Share

4. Kesinisan Hakiki

Dikumpulkan di lapangan pada pukul delapan pagi untuk upacara itu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Pukul delapan di musim kemarau itu matahari udah nggak merangkak naik, tapi udah lari buat sampai di atas. Gerah, Sist. Mana sekarang aku pakai jas jurusan yang tebelnya minta ditampol. Aku jadi berharap bisa berenang-renang manja di Danau Toba.

Hal yang membuatku tambah jengkel adalah aku baris pas banget di samping si Alan yang sok-sokan pakai masker. Aku jadi miris. Memang aku penyebar virus atau bagaimana sampai dia berdiri di dekatku saja harus pakai masker? Oh, atau jangan-jangan dia lagi yang punya virus ganas makanya malu terus pakai masker. 

"Ngapain lihatin aku kayak gitu?" Kesinisan hakiki memang sudah nemplok kuat di wajah Alan. Duh, sekarang aku benar-benar ingin buka sepatu pentopelku dan melemparnya tepat di muka pas-pasan si Alan.

"Wahai Tuan Alan, tampangmu memang sangat lemah lembut. Bentar deh, kurasa kacamata kamu itu kurang membantumu melihat, ya? Ya ampun. Kamu harus cek lagi, gih, ke optik terdekat."

"Nggak usah lebay pake Tuan-Tuan segala kalau niat menyindir. Ngomong aja langsung jangan pake bahasa alien kayak gitu."

"Duh, Tuan Alan, kamu itu memang dari planet mana? Aku tadi ngomong pakai bahasa Indonesia loh, dari planet bumi itu bahasanya."

"Bodo amat. Yang pasti kamu kelihatan bego kalau ngomong pakai bahasa itu."

Refleks aku lepas sepatu dan langsung melemparnya ke dada Alan. Ah, salah sasaran. Tadi aku niatnya lempar ke muka dia. Salahkan ukuran tubuh Alan yang jangkung. Jadi, lemparanku kurang tinggi. 

"Cuma orang gila yang buang sampah ke badan orang lain. Nggak punya sopan santun."

F*ck!

Aku hendak memukul Alan, tapi cowok itu gesit menghindar. Dia langsung pindah barisan, bertukar posisi dengan Agung yang memiliki postur tubuh raksasa. Sialnya sepatuku dibawa. Si Alan kampret emang harus aku tenggelamkan di Laut Merah. 

"Woy, Alan! Balikin sepatuku."

Alan noleh ke arahku. Wajah sinisnya yang hakiki bertambah beberapa derajat. "Bukannya udah kamu buang tadi?"

"Balikin nggak?!"

Alan melempar sepatuku ke belakang sampai mendarat di koridor perpustakaan. Wadaw, jauh banget. Dia punya tenaga super kayaknya. Barisan belakang menyadari ada suara benda jatuh. Namun, Pak Hendi yang lagi bicara di depan nggak menyadari itu. Syukurlah, setidaknya aku aman. Perlahan aku jalan ke belakang untuk mengambil sepatu. 

Sialan kampret! Aku kutuk kau jadi batu terus hanyut di sungai kena kotoran kuda nil!

***

Ngabisin waktu ala aku dan kedua sahabatku itu bukan hangout di kafe atau pergi ke mall ngabisin duit orang tua. Namun, ngabisin waktu versi kita yaitu ngobrol di dalam kelas sambil makan camilan kuaci yang kadang bikin batuk-batuk kalau kulitnya nggak sengaja tertelan.

"Nanti bikin jadwal main deh, biar bisa ketemu. Hari minggu aja, soalnya hari sabtu aku masuk kerja, eeeeaaaaaa .... "

"Tiap minggu?" tanya Disa.

"Jangan tiap minggu. Emangnya aku ini bandar duit?" 

"Emang ngabisin duit berapa sih, buat main?" Niara ikut nimbrung.

"Kalau mainnya ke Maja paling tiga puluh ribu. Kalau ke Majalengka bisa nyampe lima puluh ribu," jawabku.

"Kenapa jadi mahalan ke Majalengka? Maja sama Majalengka jauh Maja, Pril." Niara menautkan alisnya. 

"Yaiyalah mahal ke Majalengka. Kan kalau di Maja kita irit makan karena disuguhin sama Mimi. Kalau ke Majalengka, makan ayam geprek kita bayar sendiri." Aku nyengir sambil mengangkat tangan menunjukkan jari tengah dan telunjuk.

Mimi itu ibunya Niara. Aku dan Disa sudah beberapa kali ketemu beliau. Aku sendiri sudah menganggapnya Ibu keduaku. Abis pas aku nginep di Maja dia baik banget.

"Sebulan dua kali, deh. Minggu kedua sama minggu keempat," usul Disa.

"Setuju." Aku dan Niara berseru kompak. 

Bunyi ponsel dalam saku bajuku membuat obrolan kami terhenti. Aku melihat layar ponsel yang menampilkan notifikasi pesan masuk. Seketika alisku terangkat. 

"Siapa?" tanya Niara. Agaknya dia kepo pada si pengirim pesan. Atau aneh dengan ekspresiku yang berbeda dari biasanya. Yang pasti dia itu memang peka banget. Jadi, kalau ada yang berbeda denganku, dia bakal langsung tanya.

"Alfa," jawabku singkat. Sedangkan tanganku lihai menari di layar ponsel.

Manusia Alfabet. Nama panggilannya Alfa. Begitu aku menamai orang yang kemarin ngasih umpan huruf P di Whatsapp itu. Siapa suruh dia nggak mau ngakuin nama sendiri? Terus dia memberikan hak penuh padaku untuk memanggilnya dengan sebutan apapun. Masih untung nggak kupanggil nama binatang. Setidaknya aku masih berperikemanusiaan karena memberinya nama yang bagus. 

"Alfa siapa?" tanya Niara lagi. 

"Secret admirer aku, Ra." Aku terkekeh menyebutnya. Lima puluh persen aku yakin kalau Alfa memang pengagum rahasiaku. Abis dia tahu kalau aku suka menulis puisi. Aku yakin dia juga tahu namaku. Namun, nggak mau ngaku, maunya sok-sokan jadi orang asing yang baru kenalan. Jadi, dia menamaiku Beta. Karena katanya aku juga udah gila pas meladeninya menyebutkan seluruh alfabet. Jadilah kita kayak pasangan romantis yang berbagi nama. Bilang aja dia mau modusin cewek jomblo kayak aku. Eh, tapi aku belum tahu gender Alfa sebenarnya. Namun, kemarin dia bilang dia itu laki-laki. Sebelum aku mendengar suaranya, aku masih meragukan itu semua. 

"Sejak kapan seorang April punya pengagum rahasia?"

"Sejak saat ini. Aku kan cewek cantik, wajar dong kalau punya pengagum rahasia."

Niara dan Disa refleks menampilkan ekspresi mau muntah. Huh, punya temen gini amat. Mereka langsung melanjutkan makan kuaci dan melupakan aku yang masih sibuk membalas pesan Alfa.

Me: Jadi? Dapet dari mana nomorku?

Alfa: Dapet pas gosok ale-ale

Me: Ale-ale cuma menampilkan
kalimat coba lagi

Alfa: Anda belum beruntung

Me: Selamat Anda mendapat 1000 rupiah

Alfa: Beli lagi ale-ale ah

Me: Biar menang lagi ye? 
Kembung-kembung dah tuh perut

Alfa: Biar dapet nomor Michelle Ziudith

Me: Ngimpi siang bolong

Alfa: Kalau bolong harus ditambal

Stres memang Alfa ini. Aku tak lagi meladeni pesannya karena kalau chat-an sama Alfa ngaconya nggak bakal berhenti. 

Setelah kuaci satu bungkus ukuran jumbo raib, Niara minta diantar ke online shop yang ada di Pagandon, Kadipaten. Katanya dia mau beli botol minum yang sama kayak punyaku. 

Kami naik mobil angkot 1A. Abis itu jalan kaki ke TKP. Di sana kita pilih-pilih baju segala rupa. Padahal kita nggak niat beli. Namun, lumayanlah buat ngabisin waktu bareng sebelum senin nanti berkutat dengan setumpuk kerjaan.

Usai puas melihat-lihat baju, kita balik lagi ke Pasar Kadipaten buat beli kerudung yang nggak ada di olshoop. Jalan kaki lagi sambil ketawa-ketiwi. 

"Nanti kalau kangen kita vc," kata Niara. Kedua tangannya menggenggam tanganku dan Disa. "Jangan sok sibuk, ya. Pokonya kita harus punya waktu buat ngobrol."

"Siap."

Aku nggak ikhlas kalau harus jauh sama mereka. Namun, mau bagaimana lagi? 

Tiga bulan. Aku harus sabar nahan rindu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status