Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata.
Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota.
Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan.
Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga.
Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah.
"Ada kartu identitas?" tanya Kent.
"Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn"Maksud Anda, pelaku meninggalkan sandi di mulut korban?" tanya Endrico. Kent mengangguk."Sembilan puluh sembilan persen, aku yakin pelaku meninggalkan pesan berupa sandi di mulut korban," jawab Kent optimis. "Bagaimana kita bisa memecahkan sandi yang hanya dipahami pelaku?" tanya Benyamin pesimis. "Jika kalian pernah ikut pramuka, kalian pasti mengenali sandi ini," jawab Kent kemudian. Ia mengambil marker, lalu menggambarkan pola sandi di papan tulis. Semua mata terpaku, tertuju pada gambar yang dibuat oleh Kent sambil menerka dan mengingat sejumlah sandi yang ada di pramuka. "Well ... sudah ada gambaran?" tanya Kent sambil meletakkan marker di sakunya. "Bukankah itu sandi kotak?" Keira yang baru saja masuk dengan beberapa gelas minuman tiba-tiba ikut menjawab. Di belakangnya Brad Jewel menyusul, lalu duduk sembarangan di kursi yang kosong. "Bingo," puji Kent seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Keira. "Oh
Rumah Adam Hawkins berada di kawasan kelas menengah. Rumah-rumah berjejer rapi dalam ukuran beragam. Namun, tidak ada yang begitu besar. Halamannya tidak bisa dikatakan luas, hanya cukup menampung satu mobil keluarga berukuran sedang. Sementara di bagian dalam pagar beberapa tanaman tumbuh tak terawat. Beberapa petugas berdiri di depan pagar rumah, memastikan target tidak lagi bisa melarikan diri. Angela sampai di rumah itu, memperlihatkan kartu pengenalnya, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalamnya, tepat di sofa ruang tamu, seorang pemuda duduk terpekur di hadapan seorang wanita paruh baya yang sedang memasang wajah bengis. Dia mendelik tidak senang melihat kedatangan Angela. "Selamat sore, Ny. Hawkins. Saya Angela Joey dari Unit Pembunuhan NYPD," ujarnya memperkenalkan diri, seraya memperlihatkan tanda pengenalnya. Paras garang itu langsung melunak. Ekspresinya tidak lagi terlihat mengancam. "Oh, akhirnya Anda sampai juga, Detektif Joey. Saya
Pada usia 15 tahun, ketika para remaja mulai merasakan jatuh cinta. Membuat janji temu di bioskop, lalu menghabiskan akhir pekan dengan sebuah kecupan di kening. Namun, tidak begitu halnya dengan Kent Bigael.Ya, begitulah orang-orang mengenalnya sekarang. Detektif Kent Bigael. Pria menjelang 40 tahun, bertubuh tinggi besar, dengan bekas luka di beberapa bagian tubuh.Tidak ada satu pun orang yang tahu jika Kent Bigael yang dijuluki 'Malaikat Maut' itu dulunya adalah seorang remaja manja, putra konglomerat Manhattan dengan nama lahir Brian Burnout. Ayahnya, Kevin Burnout pemilik sejumlah perusahaan besar di Manhattan.Kent Bigael kecil hidup bergelimang harta dan kemewahan. Akan tetapi, tidak pernah tampil di depan publik. Seolah-olah memiliki firasat buruk, Kevin Burnout merahasiakan identitas putra tunggalnya itu dari khalayak ramai. Dia tidak mengizinkan putranya diliput oleh media. Dia bahkan menyiapkan home schooling untuk pendidikan anaknya. Hanya keluarga
Namanya Valencia Gonzalez, usia 27 tahun, berkerja sebagai tenaga administrasi di MNE Ekspress. Sejak orang tuanya meninggal dunia, Valencia tinggal bersama keluarga pamannya, Raul Gonzalez, di kawasan Low East Side.Raul Gonzalez, pria berdarah Mexico bertubuh sedang. Di usianya yang menyentuh angka 60, wajahnya masih terlihat tampan, dengan lingkar manik berwarna coklat. Wajahnya ramah, tatapannya pun terlihat hangat. Satu kekurangannya yang terlihat jelas. Ia jelas termasuk suami yang berada dalam barisan suami-suami takut istri.Hilda Chavez, wanita berusia lima puluhan yang tidak bisa dikatakan ramah. Senyumnya sedikit, sehingga terkesan dingin dan galak. Di lehernya tergantung kalung dengan liontin salib berukuran besar, seolah ingin menegaskan keyakinan yang ia anut.Saat Angela memperlihatkan foto Valencia kepada pasangan suami istri itu, hanya Raul yang menunjukkan gurat kesedihan di matanya, sedangkan Hilda hanya melirik tipis, tanpa reaksi yang berart
Sementara Angela menanyai Melissa, Kent menemui staf lainnya untuk melihat rekaman CCTV. "Bisa tolong buka file rekaman tanggal 10 Mei?" pinta Kent sopan. "Sekitar pukul sembilan pagi," lanjutnya. Staff bernama Bobby itu menuruti permintaan Kent, membuka folder rekaman CCTV tanggal 10 Mei. "Stop!" seru Kent. Layar monitor memperlihatkan seseorang menggunakan masker masuk membawa paket. Kent mengenali kemasan paket berwarna merah itu, persis sama dengan paket yang ia terima kemarin. Dia pun masih ingat dengan detail data yang tertera pada resi di kemasan paket itu, dimana tertera dengan jelas paket itu diterima oleh MNE Ekspress pada tanggal 10 Mei 2020, pukul 9 pagi, dan diantarkan kepadanya pada tanggal 11 Mei. Kent memperhatikan dengan teliti gambar sosok yang mengantarkan paket itu, mencoba mencocokkannya dengan seseorang yang ia kenal, tapi hasilnya nihil. Sosok itu benar-benar asing di matanya. Angela masuk dengan buku catatannya.
Naomi ...Valencia ...dan segera menyusul Charlotte.Mereka adalah para malaikat suci yang telah ternoda oleh sepatu penghuni neraka itu.Saat ini seisi kota sibuk membicarakanku. Mereka bilang aku biadap, kejam, dan sadis.Hei! Coba kalian pikir, lebih sadis mana aku, atau gadis-gadis yang telah menjadi budak iblis ini?Saat ini mereka tersenyum manis di depan kalian, tapi tahukah kalian jika tak lama lagi senyumnya akan berubah menjadi seringaian licik menakutkan?Suara polos mereka bahkan akan terdengar seperti nyanyian neraka yang menyeramkan. Bahkan langkah kaki mereka akan berubah menjadi irama yang memacu mereka untuk berbuat sesat.Seperti orang itu. Iya, orang itu yang telah membuatku begini. Dia yang memulai neraka dunia ini, dan aku bersyukur karena dia yang sekarang telah jadi abu.Kalian masih menganggap yang aku lakukan k
Suasana di ruangan berukuran sembilan meter persegi itu tampak tegang mencekam. Dua pria dengan postur tubuh berbeda duduk berhadapan dengan meja berbentuk segi empat di tengah-tengah mereka. Keduanya terdiam, hanya sorot mata yang saling menatap, terlihat menyuarakan apa yang ada di dalam hati dan pikiran masing-masing. Adam Hawkins, pemuda berwajah polos itu menunggu Kent bersuara terlebih dahulu. Ia berusaha untuk tampak tenang meski di dalam hati berkata sebaliknya. Ia mengutuk Olivia, Naomi, dan Valencia berkali-kali karena telah menyeretnya ke dalam kasus ini. "Jadi kau memacari Naomi Heitcher, tapi di belakangnya juga mengencani Valencia Gonzalez?" Kent mengulangi pertanyaannya. Pemuda itu mendebas kasar. Ia menghirup udara sepuasnya, lalu menghempaskannya dengan kuat. Sepertinya ia ingin sekali memaki pria besar di depannya itu, tapi ia sadar berurusan dengan Kent Bigael tentu saja hal nomor satu yang harus ia hindari. Ia kembali menga
Adam Hawkins berjalan gontai ke luar dari gedung NYPD. Ia akhirnya dibebaskan setelah menjalani interogasi maraton dua puluh jam. Mulai dari detektif Endrico, Angela, sampai Kent Bigael.Tubuhnya terasa lelah dia ingin segera pulang lalu beristirahat total hingga keesokan harinya.Namun, hatinya gelisah. Rasa bersalah hadir di sudut hatinya yang paling dalam. Ia ingin menghubungi seseorang tapi ia tahu ponselnya telah disadap dan dirinya pun telah diikuti seseorang. Adam Hawkins sadar dirinya tidak akan pernah lagi memiliki kebebasan, tapi kegelisahan ini harus segera ia tuntaskan jika bisa ia ingin meluapkan semua kekesalannya pada seseorang.Ia bersyukur Tuhan mendengar doanya, dan memahami kegelisahan yang dirasakannya. Tepat di sudut jalan mendekati rumahnya Adam Hawkins melihat boks telepon umum. Ia pun memutuskan untuk mampir ke sana.Ia sempat memperhatikan kiri dan kanan sebelum memutuskan menekan nomor, menghubungi seseorang yang saat ini sangat