Evan, salah satu cowok paling populer di Laveire, dengan wajah tampan dan statusnya sebagai anak pemilik hotel bintang lima paling mewah di kota. Evan, tertarik pada Amira. Nama Amira membuat Evan penasaran. Selalu ada berita tentang Amira yang membuat Evan gerah. Amira yang dekat dengan pewaris Exscales. Amira yang melawan pembullyan Michelle. Amira yang punya backingan guru. Amira yang bersahabat dengan kakak kelas. Kenapa selalu Amira? “Gue kelas XI-B,” ucap Evan, dengan tangan yang masih terulur menunggu balasan Amira. “Boleh kan kita kenalan?” Pertanyaan Evan sukses membuat lorong sekolah ramai. Amira menatap Evan curiga. Dia penasaran tentang apa yang membuat Evan menghampirinya. “Boleh,” jawab Amira, membalas uluran tangan Evan. Dalam sekejap, Amira bisa melihat apa yang terjadi di masa depan. Cowok di hadapannya ini akan– “Aw!” Amira memekik keras, merasakan sakit yang tiba-tiba di tangannya. Pandangan Amira tertuju pada orang yang menarik tangannya, Raga. “Siapa l
Setelah keributan di lorong Laveire terurai, Amira benar-benar mengajak Michelle, Febby, dan Raga masuk ke dalam kantin. Mereka makan di sana, sambil berbincang sebentar sampai waktu istirahat habis. Michelle sudah kembali ke kelasnya, begitu juga Febby. Tersisa Amira dan Raga yang melangkah pelan menuju kelas mereka, XI-A. “Lo liat apa tadi?” Tanya Raga sesampainya mereka di kursi masing-masing. Raga yakin sejuta persen jika Amira melihat masa depan lewat Evan. Mereka kan berjabat tangan tadi. “Cowok gila. Dia mau ngejebak gue,” jawab Amira sinis. Seketika, Amira menoleh ke arah Raga. Dia memasang wajah terkejut, membuat Raga bingung. “Kenapa?” Tanya Raga sambil memegang wajahnya sendiri. Apa ada yang aneh di wajah Raga sampai Amira melotot begitu padanya? “Lo udah mau ngomong sama gue lagi?” Ternyata hal itu yang dipertanyakan Amira. Memang, Raga sempat mengabaikan Amira sebelum ini. Dia irit bicara dan hanya menjawab jika ditanya. Tidak seantusias biasanya. “Udah e
Michelle dan Febby menghampiri kerumunan di lorong. Kerumunan itu membuat Michelle cemas, karena tempatnya dekat dengan kelas Amira. “Itu Amira!” Seru Febby sambil menunjuk di kejauhan. Mereka pun bergegas mendekat. Dilihatnya Amira dan Raga sedang berhadapan dengan Evan, untuk kedua kalinya. “Cowok itu nyari masalah apalagi coba?” Febby bergumam kesal. Kemarin, Febby memang mengalah karena Amira menghalanginya. Harusnya Febby tidak begitu. Biar saja Amira kesal padanya, asalkan cowok buaya macam Evan ini jauh-jauh dari temannya. Febby sudah mendengar kabar tentang Evan. Cowok itu memang terkenal super kaya. Kelebihan Evan adalah ketampanan, tapi kekurangannya adalah dia seorang playboy. Lebih dari separuh siswi Laveire pernah menjadi pacarnya, dengan cara yang licik. “Hahaha ….” Evan tertawa keras. Dia bahkan bertepuk tangan. “Lo bener-bener keren, Amira!” Tangan Evan terangkat, berniat memberikan sebuah tepukan bangga di lengan Amira. Sayang, tujuannya meleset karena Ra
Amira terdiam. Dia tidak mampu menjawab. Melihat respon Amira, Raga tak bisa menahan kecewa. Tangannya terulur, menggeser Amira ke sisi. Kali ini, Amira tidak menahan Raga pergi. Lorong yang dijalani Raga seketika terasa penuh duri. Dia tak bisa terus melangkah, tapi juga tak mau kembali. “Bukan gitu,” lirih Amira pelan. Bagi Amira, Raga memang teman, tapi bukan juga sekedar teman. Amira berbalik. Dia melihat Raga yang masih berjalan di lorong Laveire sendirian. Cowok itu terus melangkah, tapi semakin lama semakin pelan. Sampai akhirnya berhenti. Raga berbalik begitu saja. Tatapan mereka pun bertemu tanpa menunggu. “Lo … enggak mau kejar gue?” Tidak keras, tapi Amira bisa mendengar suara Raga. Begitu jelasnya, membuat Amira langsung berlari menghampiri. “Lo mau nunggu gue jalan sampai sejauh apa?” Amira terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Dia tak bisa menjawab, tak ingin salah berucap. Amira tak mau membuat Raga semakin kecewa padanya. Diamnya Amira membuat Raga menghela le
Situasi saat ini sungguh berbahaya. Di atas kursi mobil yang sempit ini, Amira menindih Raga. Amira tidak peduli dengan kakinya yang sudah naik ke atas kursi dengan begitu kurang ajarnya. Wajah Amira menatap Raga, tapi tatapannya kosong entah kemana.Raga tahu apa yang terjadi. Amira sedang melihat masa depan, dengan pose yang menantang begini.“Gue bukan orang yang bisa tahan godaan,” ucap Raga pelan. Tangan Raga menarik Amira yang masih melamun. Dia meraih pinggang Amira, menjauhkan tubuh gadis itu. Raga mendudukkan Amira kembali ke tempatnya semula.“Kalau lo begitu lagi, gue enggak bisa jamin kelanjutannya bakal sama kayak sekarang ….”Amira tersentak. Dia yang baru sadar dari lamunan, hanya mendengar sebagian kalimat Raga. “Udahan liat masa depannya?” Tanya Raga pelan.Meski jantungnya serasa akan meledak, Raga memilih untuk bersikap biasa saja. Dia duduk bersandar di kursi, mencoba menenangkan kegilaannya sendiri. “Lo … cuma mau ngajak gue makan?” Tanya Amira heran. Raga ber
Amira melihat ke segala arah. Di restoran mewah bernuansa merah ini, petunjuk yang Amira dapatkan hanyalah jenis makanannya. Pasti makanan oriental, karena ada tulisan Mandarin yang terukir pada dinding di hadapan mereka. “Raga, kenapa kita ke sini?” Tanya Amira cemas. Raga menoleh, menatap Amira. Namun, dia tidak menjawab. Hanya tangannya saja yang bergerak, mengangkat tangan Amira yang sedang tertaut dengannya. Benar, Amira sudah mengeceknya tadi. Mereka akan makan di tempat ini. “Gue pesen ruang VIP, biar aman.” Jari Raga menunjuk ke kening Amira. “Otak lo aja yang kotor.” “Enak aja!” Bantah Amira sambil menepis tangan Raga. “Gue juga enggak mikir apa-apa!” Amira menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. Sayang sekali, di sisi lain malah ada Alex. Raga tidak melihat, tapi jadi Alex yang melihatnya. Sungguh memalukan! “Silakan, Tuan, Nona.” Untungnya sambutan para pelayan mengalihkan perhatian Raga dan Alex. Para pelayan itu membukakan pintu kayu di hadapan mereka.
Amira gelagapan. Dia mendorong kursinya mundur. Kedua mata Amira langsung tertuju ke arah pintu keluar. Dia ingin segera pergi dari ruang VIP restoran mewah ini. Secepatnya!“Jangan!” Ujar Raga saat Amira hendak beranjak. Tangan Raga terulur, mencegah Amira pergi. “Gue cuma bercanda,” ucapnya kemudian.Tangan Amira menepis Raga kasar. “Bercandaan elo enggak lucu!”Amira menatap Raga dengan wajah memerah. Sungguh, Amira benar-benar panik. Memori buruknya tentang lelaki, seketika menyeruak keluar bagai air bah. Terus membanjir membuatnya hilang arah.“Sorry ….” Raga mengucapkan maaf. Sudut mata Amira yang berair, membuat Raga semakin serba salah. Raga bergerak mendekat. Tangannya terulur pada Amira. “Gue enggak tau kalau lo bakalan takut begini.”Amira menunduk. Dia tidak mengucapkan satu kata pun. Tangannya sibuk meremas ujung roknya sendiri, begitu kencang sampai kusut tak berbentuk. Raga tidak bisa terus diam. Dia beranjak dari kursi, berlutut di samping Amira. “Maafin gue ….”Tak
Di saat Amira merasa canggung dengan suasana pembicaraan mereka. Terdengar suara dari pintu yang diketuk. Ruang VIP di restoran yang mereka tempati, sepertinya memiliki tamu.Raga mengalah dengan ketukan tersebut. Dia berseru memberikan izin. “Masuk aja.” Pintu terbuka, dan sebuah kereta dorong makanan terlihat. Para pelayan datang, membawa makanan yang mereka pesan. “Permisi, Tuan, Nona,” ucap salah satu pelayan. “Kami akan menyiapkan makanannya.”Raga tak repot merespon lebih banyak. Dia memilih untuk membiarkan para pelayan itu melakukan tugasnya. “Selamat menikmati, Tuan, Nona.”Para pelayan berpamitan pergi. Mereka sudah selesai mengisi meja sampai penuh dengan makanan. Seketika, perhatian Raga dan Amira beralih pada semua makanan itu. Tampilannya yang menggiurkan, juga harum yang menggelitik hidung, membuat mulut mereka berliur. “Makan, yuk.” Ajak Raga pada Amira. Tangannya dengan sigap mengambil sendok dan garpu. “Semuanya?” Amira menatap tak percaya. “Ini pesenan elo? Ba
Lorong yang sebelumnya sepi, menjadi penuh dengan decak kesal. Evan memicing, mengajukan protes. Dia yang bicara pertama, meski yang lain juga sama tidak setujunya. “Kenapa jadi misah gini? Emang ada apa?” Evan menatapnya menuduh. “Lo mau selamat sendiri apa gimana?”Amira balas menatap Evan tidak percaya. Tuduhan Evan sungguh membuat Amira sakit hati. Tega sekali Evan menuduhnya sebagai orang yang picik seperti itu. “Jaga mulut lo!” Raga menarik kerah seragam Evan penuh emosi. Amira memang marah, tapi dia tetap diam. Raga yang malah menunjukkan amukannya. Dengan tatapan tajam menusuk, Raga berucap sinis. “Kalau bukan karena Amira, lo udah ketangkep dari tadi, bego!” Reynald terpaksa turun tangan melerai kedua muridnya itu. Dia berbisik dengan suara yang sangat pelan. “Jangan membuat keributan!” Seru Reynald, setengah memohon. “Kita bisa ketahuan!”Amira menarik tangan Raga, meminta cowok itu melepas cengk
“Pegang tangan gue! Jangan dilepas!” Raga membuat tautan tangannya dengan Amira lebih erat. Dia benar-benar tak ingin Amira tertinggal. Mereka berenam berlari melawan arah. Bukannya menuruti perintah untuk kembali ke dalam kelas, Reynald membawa mereka menyusuri lorong sekolah, menuju taman belakang Laveire. “Periksa semua kelas!” Teriakan nyaring membuat Reynald seketika berhenti. Kelima murid di belakangnya, ikut berhenti secara otomatis. Tak jauh dari mereka, Reynald bisa melihat dua orang yang membawa senjata. Mereka memakai pakaian serba hitam, dengan masker yang menutupi separuh wajah. “Sembunyi!” Reynald memekik tanpa suara. Dia menarik Febby ke lorong di belakang.Dengan sebuah isyarat singkat, Reynald meminta keempat muridnya yang lain untuk ikut merapat ke dinding, bersembunyi di sudut. Dia memberikan kode agar mereka menutup mulut dan tidak membuat suara sama sekali. “Sst ….” Reynald meletakkan
Tangan Amira terkepal erat. Ucapan dari Evan membuatnya tersinggung, sekaligus tersadar. Seketika Amira ragu. Haruskah dia memberitahukan apa yang dia lihat kepada semua orang? Apakah mereka akan percaya?Ruang guru sudah di depan mata, Amira tinggal berlari dan dia akan sampai dalam hitungan detik. Namun, kedua kakinya seketika terasa berat. “Evan bener.” Amira menepis rasa kesalnya. Dia memilih untuk menggunakan akal sehat. “Apa yang gue bilang emang enggak masuk akal. Emang apa yang bakal berubah dengan usaha seorang Amira?” Ayolah, Amira bukan orang hebat yang bisa mengubah takdir seluruh dunia dengan kedua tangannya. Dia cuma remaja 18 tahun, anak sekolahan. “Gue.” Raga meraih tangan Amira. “Gue mungkin enggak bisa ada di sini kalau bukan karena lo.”“Enggak usah peduliin orang yang enggak percaya. Itu kerugian mereka, bukan lo.”Ucapan sinis Raga membuat Evan menatapnya tajam. Sekarang kedua cowok itu saling memandang penuh permusuhan.Kring! Bel sekolah yang berbunyi, mena
Amira melihat Raga dan Evan datang dari dua lorong yang berbeda. Sisi kanan atau kiri, manakah yang akan Amira pilih? Apakah seorang Raga yang jelas sudah membuat Amira galau berat? Atau Evan yang baru mulai mendekat?“Maaf,” gumam Amira pelan. “Gue enggak mau dengar alasan.” Amira sudah memutuskan.Ditinggalkan itu menyakitkan. Amira mengetahui hal itu lebih dari siapapun. Namun, ditinggalkan tanpa alasan itu ternyata lebih berat. Apalagi saat orang itu kembali dengan maaf yang terucap.“Amira!” Raga tersentak saat melihat Amira tidak berjalan ke arahnya. Dia hanya melihat punggung Amira, yang perlahan menjauh darinya. “Please, Amira! Jangan ke sana!”Raga berlari lebih cepat. Dia tidak rela. Kenapa? Kenapa Amira malah berbelok dan tidak berjalan ke arahnya?“Amira, dengerin gue dulu!”Raga berhasil menyusul langkah Amira. Dia berdiri tepat di depan gadis itu. Tangannya terbentang menghalangi.“Gue bakal jelasin semuanya!”Saat ini, Raga sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para
Suasana lorong Laveire cukup sepi karena jam pelajaran masih berlangsung. Amira berjalan santai di sana. Barusan Amira melihat guru yang akan mengajar di kelasnya, masih ada di dalam ruang guru. Amira jadi tidak perlu terburu-buru. “Nanti makan apa, ya?” Amira berjalan sambil melamun. Dia menunduk membayangkan waktu istirahat yang menyenangkan seperti kemarin. Setidaknya tanpa Raga, Amira masih memiliki teman. Kaki Amira sampai di tempat duduknya. Dia langsung duduk dan menatap ke depan. Amira melamun lagi, menunggu guru yang belum datang. “Lihat apa?” Pertanyaan yang sering Amira dengar. Suaranya juga tidak asing di telinga Amira. Bukankah itu seperti suara Raga? “Pasti karena ngantuk gue jadi berhalusinasi,” ucap Amira pada dirinya sendiri. “Raga kan udah enggak di sini. Ngapain juga gue pikirin dia terus. Orangnya enggak bakal balik juga.” Amira menguap beberapa kali sebelum memilih untuk menyandarkan kepalanya di atas meja. Dia menggunakan kedua tangan sebagai bantalan.
Kemarin, teman-teman Amira menatapnya khawatir. Setelah Amira menolak ajakan Evan, Michelle dan Febby langsung menginterogasi dirinya. “Lo enggak apa-apa?” Itulah pertanyaan yang diulang terus oleh Michelle dan Febby. Mereka ingin memastikan jika Amira baik-baik saja. Amira pun terpaksa berbohong agar mereka tidak khawatir. Amira mengatakan jika dia sedang tidak enak badan, dan ingin cepat pulang. “Apa ini yang orang-orang sebut dengan galau berat?” Amira memandang dirinya sendiri di cermin. Dia melihat kantong matanya yang menghitam. “Gue sampe enggak bisa tidur semalem!” Amira ingat lagi dengan pesan Sonya. Kalau hari ini Raga masih tidak masuk, berarti dia harus menjenguknya besok. “Apa gue bilang aja kalau Raga udah pindah sekolah? Biasanya juga apa yang gue liat itu bener.” Saat ini, Amira sedang menimbang kemungkinan. Seberapa banyak dia yakin dengan bayangan yang dilihatnya itu. Namun, bukannya mendapatkan jawaban, Amira malah semakin bingung. “Ah!” Amira menggerutu
Amira tertegun menatap pintu kamarnya yang sepi. Dia jadi ingat kalau kemarin-kemarin pintu itu sering digedor oleh Raga. “Kenapa gue mikirin dia terus, sih?” Amira berseru kesal. Bahkan kemarin, saat Amira berpikir jika dirinya menikmati kencan dengan Evan, ternyata dia malah terus mengingat Raga. “Evan baik, tapi Raga itu beda.” Evan bersikap manis dan sopan selama mereka berkencan. Bahkan cowok itu selalu membantu Amira dan menanyakan apa yang Amira inginkan. Jauh berbeda dari Raga yang seringnya memaksa dan menyuruh. “Cuma enggak ada rasanya aja ….” Amira memang senang bersama Evan, tapi tidak ada perasaan lain lagi. Jika bersama Raga, Amira bisa merasa kesal, keki, canggung, emosi, atau bahkan malu dan salah tingkah brutal. “Sama Raga itu kayak makan permen banyak rasa. Enggak pernah ngebosenin.” Sial sekali. Amira mengutuk dirinya sendiri. Dia bukannya rindu, apalagi kehilangan. Pokoknya tidak. “Ck! Mending mandi! Nanti gue telat lagi!” Amira melemparkan bantal kes
Bel pulang sekolah berdering nyaring. Amira sedang merapikan bukunya, saat Evan datang menghampiri. “Yuk,” ajak Evan sambil mengulurkan tangan. Amira hanya memberikan senyum tipis. Dia merapikan bukunya cepat, lalu beranjak. “Yuk,” jawab Amira tanpa menyambut uluran tangan Evan. Evan hanya bisa menatap tangannya yang terabaikan. Dia menghela sesaat, sebelum memutuskan untuk tidak menyerah. Evan memilih untuk mengejar Amira saja. Mereka pun berjalan bersisian menuju tempat parkir. “Mobil gue di sebelah sana,” ucap Evan sambil menunjuk ke sudut. Amira memicing, mencari mobil Evan. Dia sedikit terkejut mendapati cowok itu membawa mobil sport berwarna merah yang terlihat sangat keren. Jauh berbeda dengan mobil standar Raga, sedan berwarna hitam polos. “Ayo masuk,” ucap Evan saat mereka sudah sampai di dekat mobil. Tangan Evan terulur membukakan pintu untuk Amira, sebelum dia menyusul masuk ke dalam mobil. “Lo nyetir sendiri?” Evan terkekeh mendapati pertanyaan Amira. Dia lang
Di kantin Laveire yang ramai pada jam istirahat, Evan membuat keributan. Dia bahkan lebih berisik daripada murid-murid yang sedang mengantri makanan. “Amira, lo suka makanan apa?” Tanya Evan bersemangat. Evan dengan sengaja duduk di samping Amira. Dia memanfaatkan semua kesempatan yang dia miliki saat ini. “Apa aja,” jawab Amira singkat. Sedikit pun Amira tidak tertarik dengan pertanyaan dari Evan. Apa pun yang ditanyakan oleh Evan, jawaban Amira sama. “Kalau minuman? Lo suka apa?” Evan masih berusaha. Meskipun Amira menjawab dengan enggan, Evan tidak menyerah. Selama Amira masih menjawab, dia akan terus bertanya. “Apa aja,” jawab Amira lagi. Sebenarnya, secara teknis, jawaban Amira pun tidak salah. Dia memang tidak pilih-pilih dalam hal makanan atau minuman. Bahkan mungkin hampir dalam segala hal. Karena pada dasarnya, memang Amira tidak memiliki pilihan karena keterbatasan hidupnya sejak dulu. “Kalau ke cafe bareng gue, mau enggak?” Tanya Evan cepat. Dia mencoba meng