“Hah? Tiga hari?”
Aku memekik tak percaya. Kukorek kuping kananku yang sedang ditempeli HP. Semoga saja tadi aku salah dengar.
[Iya, Jena. Tiga hari.]
Aku berdecak kesal, lalu menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga yang berada di sebelah kamar.
“Enggak bisa, Man. Tiga hari itu terlalu mepet. Kategori yang dikerjakan juga banyak banget, ‘kan? Medsos, photo collage, greeting card. Bisa keder gue kalau ngerjain itu semua sendirian dalam waktu tiga hari. Mana masing-masing kategori minimal 5 desain. Wah! Ini kelihatan banget, sih, pengin bunuh gue.”
Beberapa saat yang lalu, aku sedang asyik mendesain template cover book untuk edisi bulan Maret nanti. Aku mendapat mandat dari Bos Yudha by phone karena mulai Senin kemarin aku sudah Work from Home alias bekerja dari rumah. Tidak sulit bagiku mendapat izin WFH karena Jevinlah yang turun tangan memberi tahu Bos Yudha.
Catat! MEMBERI TAHU!
Jevin tak butuh jawaban ‘setuju’ atau ‘tidak’. Sekali dia berucap, tak peduli apa respons bawahan, dia akan tetap kukuh pada ucapannya itu.
Awalnya kupikir tugas yang diberikan Bos Yudha hanya akan bertambah di akhir pekan nanti atau setidaknya sampai pekerjaanku selesai. Sayangnya, aku mendapat kabar dari Armand bahwa bos semprul itu memberikanku tugas baru. Aku diminta melanjutkan pekerjaan Luna, rekanku sesama graphic designer yang saat ini dirawat di rumah sakit. Luna mengerjakan template edisi valentine. Sayangnya, dia baru mengererjakan dua template untuk kategori medsos.
Sebenarnya aku terima-terima saja dengan tugas ini, asalkan tidak ada tenggat waktu. Lagipula valentine masih lama. Sekarang baru tanggal 26 Januari. Jadi, seharusnya aku tidak perlu didesak seperti ini.
Aku menduga bahwa Bos Yudha dendam kesumat kepada Jevin, jadi dia melampiaskannya padaku dengan cara memberiku banyak pekerjaan. Sudah menjadi rahasia umum kantor bahwa Bos Yudha memang sedikit sensi dengan Jevin. Katanya, Jevin itu bos tersombong yang pernah dia temui selama pontang-panting bekerja di berbagai perusahaan.
Hahaha! Para lelaki benar-benar berengsek! Mereka yang bersitegang, aku yang jadi korban.
“Ya, udah, deh!” putusku pada akhirnya.
Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menolak, ‘kan?
“Berarti yang gue prioritaskan yang edisi valentine dulu, ya.”
[Cakep!]
“Make sure enggak ada tambahan lain yang bisa membunuh gue. Gue cuma manusia biasa, Man. Gue cuma cewek lemah yang enggak berdaya.”
[Preeettt! Misslebay mulai betingkah.]
“Titip pesan sama Bos Yudha. Bonus!”
[Yaelah, Na. Dikasih kerjaan gitu doang minta bonus, yang ikhlas ngapa.]
“Sorry, Man. Stok ikhlas gue udah habis gue gadaikan. Make sure Bos Yudha transfer bonus, atau seenggaknya selama tiga hari berturut-turut, pintu rumah gue—ups, sorry!—maksud gue pintu rumah Bos Jevin diketuk sama kurir yang nganterin triple box pizza. Titik. Bye, Babe!”
Aku memutuskan sambungan, tak menghiraukan Armand yang bersiap mengorasikan ketidaksetujuan. Aku beranjak ke kamar untuk mengambil macbook, lalu kembali ke ruang keluarga. Setelah itu, aku menelpon Bi Kinta untuk mengantarkan jus alpukat dan camilan untukku.
Aku bekerja tanpa rehat selama lima jam. Hanya terjeda dua kali karena pipis dan muntah. Dari kerja cepatku, aku berhasil menyelesaikan dua setengah template untuk kategori medsos. Mungkin satu jam lagi akan menjadi tiga.
“Mbak Jena!” Panggilan Bi Kinta menyeret mataku dari layar macbook. “Mau makan siang di sini atau di meja makan?”
“Anterin ke sini aja, ya, Bi. Aku malas turun ke bawah. Lagi banyak kerjaan soalnya.”
Bi Kinta mengiakan dan pamit ke dapur. Tidak lama kemudian, dia dan Bi Rahmah kembali membawa beberapa hidangan lengkap. Mereka menaruhnya di meja kaca berkaki pendek, tepatnya di belakang macbook-ku.
“Makasih banyak, Bi Kinta, Bi Rahmah,” ucapku seraya memindahkan macbook ke sofa.
“Susu hamilnya mau dibuatin sekarang, Mbak?” tanya Bi Rahmah.
“Nanti malam aja, Bi.”
Usai melayaniku, seperti menyendokkan nasi, menyendokkan dada ayam opor, dan tumis kacang panjang, Mbak Kinta dan Mbak Rahmah pamit ke dapur. Aku mempersilakan mereka makan siang bersama karyawan lain yang ada di rumah.
Baru makan beberapa suap, aku mendapat telepon dari Jevin. Hanya dengan melihat namanya saja aku sudah tersenyum cerah dan excited menjawab panggilannya.
“Hello, my handsome husband!” sapaku genit.
[Kelarin kerjaan kamu sebelum jam lima. Kita ke rumah Papaku, dinner.]
“Ochay, handsome! Ada lagi?”
[Enggak.]
“Eh, Mas-Mas-Mas!” sergapku sebelum dia memutuskan panggilan tanpa pemberitahuan. “Mas, kamu bisa beliin macbook baru enggak? Macbook-ku agak ngadat tadi.”
Gimana, ya, reaksinya? Setuju atau nolak? Kalau enggak juga enggak masalah, sih. Macbook-nya masih lancar jaya juga.
Ada banyak alasan yang membuatku sering meminta-minta kepada Jevin—minta uang cash, minta belikan barang, minta belikan makanan, dan lain-lain, padahal uang transferan bulanan darinya tidaklah sedikit—50-60 juta per-bulan. Aku belum pernah menggunakan uang transferannya. Aku belanja kebutuhan pribadi dari gajiku di Stencilindo. Salah satu di antara banyaknya alasanku adalah ingin menumpuk uang transferan darinya dan menjadikannya tabungan untuk masa depan kami.
Catat! KAMI. Bukan AKU saja.
[Kirim gambar model yang kamu mau.]
Cukup. Jawaban itu sudah mewakili semua pertanyaanku, meskipun dia langsung memutuskan panggilan. Aku tersenyum lebar saat menatap layar HP yang menunjukkan bahwa panggilan telah berakhir.
“Kadang ngeselin, tapi gimana, dong? Keloyalannya bikin aku jatuh cinta,” gumamku gemas sendiri.
Jatuh cinta .... Hahaha! Arti cinta saja aku tidak tahu, kenapa sok-sokkan menerka bahwa diriku jatuh cinta?
Ah, sudahlah. Aku harus buru-buru mencari model macbook yang kuinginkan dan mengirimkannya pada Jevin sebelum lelaki itu mengomeli dan membatalkan keputusannya.
“Mbak Jena!” Panggilan Bi Kinta mengalihkan pandanganku dari layar HP. “Ada tamu di bawah.”
Keningku berkerut. “Siapa?”
Perasaan aku enggak janji ketemuan sama siapa pun. Apa mungkin itu kurir yang mengantarkan triple box pizza?
“Cewek, Mbak, namanya Vivian.”
“Vivian,” beoku dengan kerutan kening yang semakin keriting. Otakku mencoba mengingat-ingat, apakah aku memiliki kenalan bernama Vivian?
Aku menggaruk belakang kepala, gagal mencari nama itu dalam ingatanku. Aku memang memiliki banyak kenalan, saking banyaknya terkadang aku sampai tertukar atau tidak bisa mengingat namanya sama sekali.
“Dia pernah ke sini dua kali sebelum Mas Jevin sama Mbak Jena nikah.”
Aku ber-oh panjang seiring dengan terurainya kerutan di keningku. “Berarti teman Jevin, tuh,” gumamku seraya beranjak. Namun, baru saja badanku setengah berdiri, rasa pening mendera kepalaku. Badanku mendadak terasa ringan hingga sempat oleng kiri dan kanan.
“Kenapa, Mbak?” tanya Bi Kinta seraya berlari mendekatiku. Dia langsung memeluk kedua pundakku, membantuku mempertahankan posisi agar tidak terombang-ambing.
“Tamunya antar ke sini aja, deh, Bi. Kayaknya aku enggak bisa turun, pusing,” kataku seraya kembali mendudukkan diri, bersila di lantai.
Setelah mengiakan, Bi Kinta segera pergi. Sementara aku beringsut naik ke sofa dan membaringkan badan telentang. Kupijat dahiku sembari berharap kalau pening ini bisa segera hilang.
Huh! Melelahkan sekali menjadi ibu hamil. Baru dua bulan saja aku sudah merasakan penderitaan yang berat—mual, muntah, dan pusing.
Ah, alangkah senangnya kalau di saat-saat seperti ini ada lelaki yang bersedia memijat kepalaku, mengelus perutku, dan mencium keningku. Alangkah bagusnya lagi kalau lelaki itu adalah suamiku sendiri.
“Mbak Jena, tamunya udah di sini.”
Mendengar suara itu, kedua mataku sontak terbuka. Kuturunkan tanganku yang memijat dahi. Kupandangi perempuan cantik yang berdiri selangkah di belakang Bi Kinta.
Harus bagaimana kudeskripsikan perempuan itu? Kulitnya putih mulus seperti baru saja disiram porselen. Rambut pirang yang panjang bergelombang itu diurai bebas tanpa ikatan. Hanya melihat dari jauh saja aku seakan bisa merasakan kelembutan dari setiap helaian rambutnya.
Itu belum semuanya. Aku belum mendeskripsikan bagaimana bentuk wajahnya yang nyaris menyerupai Kim Tae Hee—artis cantik Korea Selatan yang sering menjadi brand ambassador produk kecantikan Korea. Aku berani mengatakan kalau perempuan ini adalah duplicate-nya Kim Tae Hee.
“Mbak!”
Panggilan itu menyentakku dari pendeskripsian yang sebenarnya lebih tepat disebut kekaguman. Aku segera bangun dan meminta perempuan cantik itu duduk di sebelahku. Aku juga meminta Bi Kinta membereskan meja yang penuh dengan makanan.
“Maaf banget, ya, saya suruh ke sini, soalnya saya pusing banget. Mau turun ke bawah, takutnya ngegelinding di tangga,” candaku yang kutahu tidak lucu. Namun, syukurnya perempuan itu masih bisa tertawa sosial menanggapi ucapanku.
“Enggak apa-apa. Saya juga udah lama enggak naik ke sini.”
Udah lama? Keningku berkerut samar. Kayaknya dia familiar banget sama rumah ini, padahal cuma dua kali, 'kan?
“Mbak Vivian ini siapanya Mas Jevin?” tanyaku tanpa basa-basi. Informasi dari Bi Kinta dan jawabannya yang spontanitas tadi membuatku menyadari bahwa perempuan ini cukup dekat dengan Jevin.
“Teman kuliah. Saya pernah beberapa kali datang ke sini,” jawabnya seraya memamerkan senyum alami yang begitu memukau.
Aku mengangguk-angguk, percaya saja dengan jawabannya. “Ngomong-ngomong ada keperluan apa ke sini?” tanyaku bertepatan dengan tibanya Bi Rahmah. Beliau menyuguhkan dua cangkir teh hangat dan dua piring kecil berisi sepotong blackforest ke hadapan kami. “Kalau nyari Mas Jevin, dia lagi di kantor. Oh, ya, silakan diminum tehnya.”
“Iya, terima kasih, nanti aja,” tolaknya lembut dan tetap tersenyum. “Saya ke sini enggak pengin ketemu Jevin, kok. Justru saya pengin ngobrol sama Mbak Jena.”
“Ah, enggak usah pakai ‘Mbak’, just call me Jena,” pintaku yang dijawabnya dengan senyuman.
Meskipun terlihat muda, aku yakin usia Vivian berada jauh di atasku. Terlebih dia sudah mengatakan bahwa dia teman kuliah Jevin. Bukankah itu berarti mereka seumuran?
“By the way, kita pernah ketemu enggak, sih? Saya kayak merasa familiar gitu,” tanyaku dengan mata yang sedikit memicing. Sedari tadi otakku memang memberitahukan bahwa perempuan itu tidak asing. Hanya saja aku lupa pernah bertemu di mana.
“Saya datang ke resepsi kalian,” jawabnya yang seketika membuatku ber-ah panjang. Feeling-ku ternyata benar, kami memang pernah bertemu. “Saya ke sini cuma mau ngobrol santai aja, sih. Pengin kenal lebih jauh, gimana istrinya Jevin. Saya dengar kamu lagi hamil, ya?”
Aku tidak bisa menahan gerakan alisku yang terangkat. Siapa yang kasih tau dia? Mas Jevin?
Pertanyaan itu kuungkapkan padanya. “Iya, kemarin pas ketemu, dia kasih tau saya,” jawabnya yang membuatku heran.
Bukankah Jevin melarangku memberitahukan perihal kehamilan ini dari siapapun? Bahkan orang tua dan mertuaku belum mengetahui apa-apa. Lantas, kenapa dia memberi tahu perempuan yang HANYA sekadar teman ini? Aku juga tidak tahu bahwa kemarin Jevin bertemu dengan perempuan ini. Kapan? Di mana?
Demi menyembunyikan rasa penasaranku, aku menyandar dalam posisi menyamping. Kutopang kepalaku dengan tangan kiri, sementara sikuku kusandarkan di kepala sofa. “Dia cerita apa aja ke Mbak?” tanyaku, sengaja memasang tampang antusias.
“Cuma itu, kok. Dia bilang kalau hasil test pack kamu positif,” jawabnya tenang tanpa meredupkan senyuman.
Aaah, kayaknya mereka bukan teman biasa. Mereka terlalu terbuka untuk ukuran teman. Yaaa, itu mungkin biasa aja kalau bukan Jevin. Tapi ini Jevin, loh! Si kaku kanebo kering! Dia bisa terbuka pada seorang perempuan. Artinya, perempuan ini spesial untuknya.
Hmmmm, mencurigakan!
“Saya dengar test pack enggak selalu akurat, benar enggak, sih? Saya belum cek ke dokter, masih sibuk sama kerjaan soalnya.”
“Gimana kalau saya temani?”
Uwow! Ada apa ini? Enggak ada manusia yang berbuat baik tanpa mengharap imbalan, ‘kan? Apa jangan-jangan dia mau minjam duit?
Aku tertawa renyah seraya menggaruk belakang kepala. “Saya bukan bermaksud menolak, sih, Mbak, tapi kayak yang saya bilang tadi, saya belum punya waktu. Jadi meskipun ada yang mau nemenin, biar itu Jevin sekalipun saya belum bisa.” Kutambahkan gelengan sedih agar dia tidak merasa tersinggung.
“Tapi, periksa ke dokter kandungan itu penting, loh, Na.”
Eh? Kenapa tanganku dipegang-pegang, nih? Sok akrab banget!
“Selain untuk mendapatkan kepastian soal positif atau enggaknya, kamu juga bisa cek kesehatan janin kamu. Monitoring kesehatan janin itu penting, loh, Na, buat menghindari hal-hal yang enggak kita inginkan.”
Kita? Aku aja keles!
Aku hanya tertawa renyah menanggapi petuahnya. Namun, kurasa perempuan ini terlalu perhatian untuk ukuran seseorang yang baru kenal. Jujur, aku merasa risi dipegang-pegang sesama perempuan. Apalagi kalau aku tidak akrab.
“Mbak udah punya anak belum, sih?”
Aku tahu bahwa pertanyaan ini bagaikan melempar bom ke dalam lautan. Kalau beruntung, aku bisa mendapatkan puluhan, bahkan ratusan ikan. Namun, risiko yang tak kalah pentingnya adalah aku bisa mematikan batu karang dan biota laut yang perlu dilestarikan.
Ah, ngomong apa, sih, gue?
Maksudku, aku tidak tahu apakah Vivian ini sudah menikah atau belum. Jika sudah, maka pertanyaan tentang anak tidak akan pernah salah. Jika sebaliknya, maka aku bisa saja menyakiti hatinya karena mengira bahwa aku menganggap wajahnya terlalu tua dan sudah pantas memiliki anak.
“Belum,” jawabnya seraya menggeleng. Dia tersenyum getir. Sepertinya sedang sedih. “Udah lima tahun saya nikah dan sekarang adalah tahun ke enam, tapi Tuhan enggak kunjung ngasih saya kepercayaan buat punya anak.”
Nah, ‘kan? Apa kubilang? Pertanyaanku pasti nyakitin orang, ‘kan?
“Lima tahun belum lama, loh, Mbak. Banyak orang di luar sana yang udah nikah sepuluh tahun lebih, bahkan ada juga yang sampai dua puluh tahun, tapi belum dikasih anak juga.”
Ketika itu, aku teringat lagu duet Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih berjudul Mandul. Aku sontak bernyanyi dalam hati.
Sepuluh tahun sudah kita berumah tangga, tapi belum juga mendapatkan putra. Jangan bersedii-i-i-ih, jangan berduka. Mo—
“Saya, sih, bisa sabar, Na, tapi mertua saya?”
Oooh, jadi ini tentang mertua, toh? Tck! Mertua itu memang kebangetan, ya! Enggak di dunia nyata, enggak di sinetron, semuanya sama aja, suka menindas menantu.
“Memangnya mertua Mbak maksa banget, ya, pengin nimang cucu?” tanyaku yang entah mengapa tertarik dengan kehidupan rumah tangganya. Masa bodohlah kalau dia tersinggung. Toh, dia sendiri yang mulai menguak riak rumah tangganya.
Vivian tidak langsung menjawab. Dia menghela napas dan menyandarkan punggung. Kuku jempol kanannya mengorek kuku telunjuk kiri.
“Suami saya itu anak tunggal, Na. Usia Papa mertua saya udah kepala 7. Mama mertua saya udah 65. Jadi, kamu bisa bayangkan, ‘kan, gimana obsesi mereka buat nimang cucu?”
Hmmm, permasalahan yang klasikable.
“Memangnya Mbak sama suami udah usaha apa aja?” tanyaku yang kini menarik kepala dari tumpuan tangan. Aku mengambil bantal dan menaruhnya di pangkuan agar sikuku dan lenganku bisa bertopang dengan nyaman.
“Yaaa, banyak, Na.”
Ketika itu, HP-ku di atas meja berdering. Awalnya aku malas memeriksa atau menanggapi panggilan itu. Namun, Vivian dengan senang hati mempersilakanku menjawab panggilan itu. Baru ketika meraih HP aku mengetahui bahwa yang menelpon adalah Jevin. Bibirku langsung tersenyum. Entah ke mana keenggananku tadi menguap.
“Hello, my handsome! Ada ap—”
[Macbook!]
Satu kata itu sudah cukup mengingatkanku kalau tadi dia memintaku mengirimkan model dan tipe macbook yang kuinginkan.
“Ah, sorry, Mas. Di rumah lagi ada tamu, jadi aku enggak sempat nyari.”
[Siapa?]
“Mbak Vivian.”
[Kasih HP kamu ke dia!]
“Hah?”
Enggak salah, ‘kan, kalau gue kaget? Ada urusan apa dia sampai minta gue kasih HP ke temannya? Kenapa dia enggak langsung telepon ke nomor temannya aja kalau memang berkepentingan? Kenapa musti lewat perantara HP gue?
Berhubung Jevin tak pernah punya iktikad baik untuk menjelaskan hal-hal yang membuatku bingung, jadi kuputuskan untuk mengalah saja daripada berdebat dengannya, bisa-bisa Vivian tahu bahwa nasibku lebih menyedihkan darinya. Ya, nasibku sebagai istri memang menyedihkan. Aku mendapatkan segalanya, terkecuali cinta, kasih sayang, dan perhatian suami.
“Ini, Mbak. Mas Jevin mau ngomong,” kataku seraya menyerahkan HP kepada Vivian.
Dia tidak kelihatan terkejut, justru ber-oh pendek sembari menyambut HP-ku. “Emmm, saya permisi sebentar, ya,” ucapnya seraya bangkit tanpa memedulikan reaksiku.
Aku tertawa miring begitu dia menjauh, bahkan menghilang dari pandanganku. “Kenapa musti menjauh, sih? Rahasia banget, ya?”
Aku tertawa renyah, menertawakan situasi yang membuatku terlihat menyedihkan. Bagaimana tidak menyedihkan? Hei! Aku ini istri Jevin! Kenapa dia harus berbicara jauh dariku? Sepenting dan serahasia apa obrolan mereka sampai aku tidak boleh mendengar?
Ah, sialan! Jevin dan Vivian sama saja! Dua-duanya bikin kesal!
Apa yang ada di pikiran kalian saat mengetahui suami dekat dengan perempuan lain, padahal dia tidak dekat dengan kita? Kurasa normalnya kalian akan menduga adanya tindak perselingkuhan. Benar, ‘kan? Kemudian kalian akan mengamuk, menjambak si wanita dan menendang organ penting suami, atau mungkin kalian hanya bisa menangis-nangis meminta diceraikan? Oh, come on, girls!Jangan lemah seperti itu! Dalam hidup ini, cinta yang murni dan sejati itu hanya ditujukan kepada Tuhan. Tidak perlu mencintai suami seluas samudera! Asalkan transferan tiap bulan tetap jalan, no problem!Abaikan saja! Toh, bukan kita yang rugi, ‘kan? Ya, kecuali kalau jatah uang bulanan berkurang, bolehlah kalian potong ‘itu’-nya. Ha-ha-ha! Intinya, sebagai perempuan yang merasakan kecurigaan adanya perselingkuhan, aku tidak ingin bersikap lemah. Aku juga tidak ingin menyelidiki atau membalasnya karena tindakan itu sangat sia-sia dan membuang tenaga. Lebih baik aku memikirkan bagaimana
“Hello, Mam!” sapaku seraya ber-cipika-cipikidengan Mama mertua yang cantik membahana. Dia langsung menyambutku yang baru saja melangkahi pintu. Dia bahkan tidak menyapa putranya yang ‘nyelonong’masuk tanpa menyapa.'Huh! Dasar anak 'dulhakim'! Masa orang tua sendiri enggak disapa?'“How are you, Honey? Fine?Jevin kasih treatmentdengan baik, ‘kan?” tanyanya sembari memegang kedua lenganku.“Yes, of course, Mam!Coba aja kalau misalkan dia enggak nge-treataku dengan baik, huh! Aku bejek-bejek,tuh, pasti,” jawabku senormal mungkin.Aku ini bukan anak remaja labil yang suka mencurhatkan praduga kelakuan busuk suamiku kepada mamanya. Aku bukan perempuan melodrama yang cocok meniti peran sebagai sosok protagonist. Aku adalah Jena, perempuan selowdan santuyyang menghadapi masalah tanpa menimbulkan masalah. Anti diinjak-injak, tapi tidak balas menginjak-inj
'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'“Hello, Jevin! How are you?”tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
“Lo kenapa mau-mau aja, sih, disuruh resign? Kalau lo enggak mau, harusnya lo berontak, dong! Bukannya lo udah mahir, ya, kalau soal pemberontakan?”Duduk memangku kardus berisi barang-barang, aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan atasan yang biasa kupanggil Bos Yudha. Dia sedang duduk bersandar di kursinya yang berukuran jumbo, itu pun masih tampak sesak karena bobot tubuhnya memang di ambang batas wajar. Dia seperti kesulitan duduk tegap karena perutnya yang buncit.'Ngomong-ngomong soal buncit, beberapa bulan ke depan mungkin perut gue bakalan sama kayak Bos Yudha. Bahkan mungkin lebih gede. Ah, bayanginnya aja rasanya begah banget.'“Woy!” tegurnya yang membuatku sedikit tersentak. “Yeee, malah melamun! Dengar enggak gue ngomong apa barusan?”“Dengar, Bos,” jawabku malas. “Tapi, ya, mau gimana lagi? Mas Jevin kalau udah ngomong A sampai kiamat pun enggak bakal berubah jadi B. Gue juga
Sepanjang perjalanan, entah sudah berapa kali supirku mendapat telepon dari Jevin. Ah, atau mungkin Vivian. Bahkan ada juga telepon dari rekan sesama supir di rumah. Mungkin Jevin yang memerintahkan semua supirnya untuk mencari keberadaan supirku.Ah, aku tidak peduli dengan Jevin. Dia tidak mungkin mengamuk hanya gara-gara aku tidak ke rumah sakit dan pergi tanpa izin, ‘kan?Sesampainya di Perpusda, aku mengambil beberapa buku fiksi agar terkesan seperti mayoritas pengunjung, padahal aku hanya ingin mendinginkan otak yang panas dan menenangkan hati yang gondok. Aku duduk di pojokan, tepatnya di meja panjang yang berada di bagian tengah. Aku membaringkan kepalaku di meja, tepatnya di atas tumpukan buku. Menghadapkan wajah ke dinding tembok. Juga memasang earphone wireless untuk mendengarkan musik. Kusetel lagu Geboy Mujaer milik Ayu Ting-Ting. Ini adalah lagu yang sering disetel Armand saat stress.'Digeboy-geboy mujaer, nang-ning-nong, nang-ning-nong, pat
“Jadi ngomong enggak, sih? Kok, pada diam?” Duduk di pinggir ranjangku, Vivian tampak bingung dan menggaruk kepala. Sementara itu, Jevin yang berdiri bersandar di lemari dengan kedua tangan terlipat di bawah dada juga tidak berkata apa-apa. Aku sudah tidak heran jika Jevin yang diam, tapi Vivian? Bukankah dia ke sini untuk memberitahuku sesuatu yang sulit dijelaskan Jevin sendirian? Lantas, kenapa dia ikut-ikutan diam? “Ini kalau enggak ada yang ngomong bakal kutinggal tidur, nih!” 'Emmmm, ancaman lo kayaknya enggak ekstrem, deh, Na. Masa ditinggal tidur doang? Ya, mana ngaruh? Coba kalau membunuh? Siapa tau ampuh.' Aku menggaruk rahang yang mendadak gatal. Sepertinya tidak ada gunanya mengancam kedua orang ini. Lihatlah! Keduanya masih bergeming. Bahkan tidak ada satu pun yang menatapku. Entah tidak berani atau belum siap. 'Kayaknya musti gue, deh, yang mengorek informasi.' “Kalian pernah pacaran, ya?” tanyaku seraya menatap k