"Kenapa aku nggak kepikiran untuk mengecek cctv?" batin Arland setelah memutuskan sambungan teleponnya.Arland mulai mengecek cctv melalui hp-nya. Dia melihat ketika Bi Asih berpamitan pulang kepada Ayra."Jadi Bi Asih sedang pulang? Ayra sama sekali nggak bilang kepadaku." gumam Arland tanpa mengalihkan pandangannya dari layar hp-nya.DEGArland terkejut mengetahui cctv di belakang rumah serta di depan gudang mati."Apa yang sebenarnya terjadi?" batin Arland merasa heran.Hingga akhirnya pandangan Arland menangkap sosok Ayra keluar melalui pintu belakang, setelah itu dia tidak melihatnya lagi."Jadi Ayra pergi ke ...." Arland beranjak dari duduknya dengan langkah cepat berjalan menuju gudang."Benar dugaanku Ayra pasti berada di ruang bawah tanah." batin Arland setelah melihat pintu menuju ruang bawah tanah terbuka.Mendengar suara kaki melangkah semakin mendekat ke arahnya, Arland menoleh ke belakang. Terlihat Mark berjalan dengan cepat ke arahnya."Mark, sepertinya Ayra berada di r
Pandangannya fokus pada leher Ayra yang dipenuhi dengan tanda kissmark hasil karyanya. Dia kembali mengukir senyum tipis di bibirnya, ada perasaan bangga dalam dirinya.Arland melingkarkan kalung berlian the hope diamond ke leher Ayra."Ayra, kamu nggak akan meninggalkan mas, 'kan?" Arland bertanya menatap sendu wajah Ayra sambil menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinganya. Ayra yang sudah tertidur tentu saja tidak mendengarnya.Arland ikut merebahkan tub uhnya di samping Ayra, meletakkan salah satu tangannya di bawah leher Ayra sedangkan tangan yang lainnya menarik pinggang Ayra agar merapat dengannya. Dia memeluk Ayra dengan erat.Pagi hari Ayra bangun dari tidurnya, menahan rasa sakit di sekujur tu buhnya. Dia merasa lega ketika menoleh ke samping, tidak ada Arland di sampingnya. Apa yang dilakukan oleh Arland tadi malam masih terekam jelas di otaknya. Bukan hanya fisiknya yang terluka, batinnya juga ikut terluka.Dengan hati-hati Ayra turun dari ranjang sesekali merin
Ayra tampak terkejut mendengar ucapan Arland, seketika menunduk dengan jantung berpacu tidak karuan. Berulang kali menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, berusaha menenangkan dirinya sendiri."Mas Arland sepertinya sangat marah kepadaku?" batin Ayra asal menebak melihat Arland pergi begitu saja tanpa pamitan kepadanya. Ada rasa bersalah di hatinya, namun di sisi lain dia juga merasa lega karena Arland sudah pergi dari rumah.Setelah kepergian Arland, Ayra segera membereskan meja makan kemudian masuk ke dalam kamarnya. Seikat bunga mawar yang tergeletak di atas nakas menarik perhatiannya. Ayra segera mengambilnya lalu mengamatinya."Jadi hari ini merupakan anniversary pernikahanku dengan Mas Arland yang kedua. Pantas saja tadi malam Mas Arland sangat marah." gumam Ayra teringat dengan kemarahan Arland tadi malam, setelah membaca notice yang terselip di seikat bunga tersebut lalu meletakkan kembali di atas nakas.Ayra masuk ke dalam kamar mandi melepaskan s
Ayra hanya tersenyum kecut mendengarnya, setitik air matanya menetes di kedua pipinya teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Arland. Apa yang dilakukan oleh Arland tadi malam juga masih meninggalkan luka yang masih terasa sakit sampai detik ini.Arland mengerutkan keningnya merasa heran melihat Ayra meneteskan air matanya."Sayang, kenapa menangis!""A ... ku terharu Mas." jawab Ayra berbohong berusaha tersenyum ke arah Arland.Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland mendengar ucapan Ayra. Tangannya terulur meraih dagu Ayra, dengan gerakan cepat menyatukan bibirnya dengan bibir Ayra lalu memangut nya lembut.Ayra terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Arland, teringat kejadian tadi malam. Tangannya terulur berusaha mendorong dada Arland agar melepaskan tautan bibirnya."Sayang, jangan tinggalkan mas apapun yang terjadi. Mas sangat mencintaimu!" pinta Arland setelah melepaskan tautan bibirnya lalu mengecup kening Ayra dalam waktu yang cukup lama.Ayra hanya memutar bola
"Jangan-jangan Mas Arland sudah merencanakan semua ini, menjual ku kepada pemilik restoran agar bisa bersenang-senang dengan Riska. Benar-benar suami dzalim." monolog dalam hati memegang sendok dan garpu dengan kuat, menahan emosi dalam dirinya."Sayang, makan yang banyak! Melayani pemilik restoran juga butuh tenaga." Ayra semakin geram mendengar ucapan Arland."Kenapa Mas melakukan semua ini kepadaku? Jika Mas ingin menikah dengan Riska aku tidak akan menghalanginya, aku hanya minta satu hal kepada Mas yaitu menceraikan ku!" Ayra menegaskan dengan emosi menggebu-gebu dadanya naik turun, matanya berkaca-kaca bahkan setitik air matanya sudah ada yang menetes di kedua pipinya."Ayra, kita ke sini untuk makan bukan untuk marah-marah!" ujar Arland mengingatkan tanpa merasa bersalah sedikitpun."Tapi kenapa Mas melakukan semua ini kepadaku?" desak Ayra membiarkan buliran-buliran bening mengalir deras di kedua pipinya."Sayang, habiskan dulu makanannya! Menangis juga butuh tenaga." Ayra me
Beberapa orang yang melihatnya hanya berbisik-bisik setelah mendengar ucapan Riska. Sehingga mereka berpikir Ayra merupakan wanita mura han seperti yang dikatakan oleh Riska. Tentu saja tidak ada yang mau membantu Ayra, mereka justru ikut menghinanya.Mark yang baru datang seketika terkejut melihat Ayra duduk di atas lantai sambil menutupi kedua telinganya, air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Tidak jauh darinya terlihat Riska tertawa puas. Beberapa orang yang berada di sekitar mereka tampak berbisik-bisik menjelek-jelekkan Ayra."Nona Ayra!" Teriak Mark, semua orang terdiam setelah mendengarnya begitu juga dengan Riska."Mark, kenapa dia bisa ada di sini?" batin Riska terlihat khawatir."Bubar semuanya!" bentak Mark dengan suara lantang membuat semua yang ada di sana pergi. Kini menyisakan Ayra yang masih menangis serta Riska sambil menunduk."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Nona Ayra?" tanya Mark menatap tajam ke arah Riska seolah sedang menghakiminya.Riska menarik naf
Setelah mendengar kabar bahwa Ayra mengalami kecelakaan, Arland langsung pergi ke rumah sakit dimana Ayra dirawat. Dengan langkah cepat menaklukkan lorong rumah sakit hingga akhirnya sampai di depan ruang rawat Ayra.Dia membuka pintunya secara perlahan dengan perasaan campur aduk. Terlihat Ayra terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai alat medis yang menempel pada tub uhnya. Dengan langkah pelan Arland berjalan menghampirinya.Cukup lama Arland menatap wajah pucat Ayra dengan pikiran campur aduk tidak karuan. Dia mengulurkan tangannya mengusap rambut Ayra dengan lembut lalu mengecup keningnya."Sayang, bangun! Mas kangen."Arland berkata lirih dengan bibir bergetar bahkan setitik air matanya sampai menetes.Melihat keadaan Ayra seperti ini membuat dirinya seolah kehilangan semangat hidup. Dia meraup wajahnya dengan kasar kembali menatap wajah Ayra dengan pandangan kosong.Pintu dibuka dari luar terlihat Alex masuk ke dalam ruang rawat Ayra, dia tampak terkejut melih
"Arland, Mark ...," Dokter Alex menjeda ucapannya entah kenapa lidahnya mendadak terasa kelu.Mendengar ucapan dokter Alex, Arland segera menoleh ke arahnya sambil mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan Mark?"Dokter Alex menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Arland. "Mark tidak bisa diselamatkan."DEGArland terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh dokter Alex, jantungnya berpacu tidak karuan. "Maksudnya apa?" Arland menatap ke arah dokter Alex, meminta penjelasan darinya."Mark telah meninggalkan kita." Dengan bibir bergetar dokter Alex menjelaskan."Nggak mungkin." Arland menggelengkan kepalanya pelan lalu mengusap wajahnya dengan kasar, seolah belum bisa menerima kenyataan bahwa Mark sudah meninggal dunia.Mark sudah dianggap sahabat oleh Arland sama halnya dengan Alex. Mark merupakan orang yang telah banyak membantu dirinya selama ini. Kesuksesan Arland menjadi seorang pengusaha, owner sekaligus CEO Emerald Gro
"Bu, Ayra mau jemput Zavier dulu?" pamit Ayra kepada ibunya ketika mereka berada di butik milik Bu Rina (Ibunya Ayra)."Iya sana! Lebih kamu yang menunggu Zavier, daripada Zavier yang menunggumu. Sekarang banyak kasus penculikan kamu harus hati-hati, jangan sampai Zavier menjadi salah satu korbannya!" ujar Bu Rina mengingatkan putrinya."Iya Bu." Ayra meraih tangan ibunya lalu mencium punggung tangannya."Ayra, semoga kebahagiaan selalu menyertai keluarga kecilmu!" batin Bu Rina penuh harap, menatap kepergian Ayra yang semakin menjauh darinya.Ingatannya terlempar pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika Ayra dan Reyhan dinyatakan meninggal dunia karena rumahnya kebakaran. Namun dua tahun setelah kejadian tersebut, dirinya kembali dipertemukan dengan Ayra yang ternyata masih hidup. Karena ada seseorang yang memanipulasi kematian Ayra dan Reyhan waktu itu, Bu Rina berharap kejadian tersebut tidak akan menimpa Ayra maupun Reyhan kembali.Ayra berjalan menuju mobilnya, namun ketika
Suara dering hp menarik perhatian Ayra, dia segera meraih benda pipih yang tergeletak di atas meja lalu mengangkat panggilan yang masuk ke hp-nya. "Hallo Mas, apa ada menelpon?" tanya Ayra heran tidak biasanya Reyhan menelpon di saat jam kerja, kecuali ada sesuatu yang mendesak."Dokumen buat meeting nanti siang ada yang tertinggal di rumah, apa kamu bisa mengantarkannya ke kantor? Mas banyak pekerjaan nggak sempat pulang untuk mengambilnya." jawab Reyhan menjelaskan alasan dirinya menelpon."Dokumen yang mana, Mas?""Dokumen yang ada di dalam map berwarna biru, ada di atas meja ruang kerja mas.""Ok, nanti aku antar ke kantor Mas.""Terima kasih, Sayang."Ayra memutuskan panggilannya, dia bergegas mencari dokumen yang dimaksud oleh suaminya. Setelah menemukannya, dia segera pergi ke kantor suaminya untuk mengantarkannya.Ayra menitipkan dokumennya ke resepsionis karena Reyhan tidak bisa menemuinya. Setelahnya dia berjalan keluar dari sana, namun baru beberapa langkah berjalan dia be
Setelah selesai makan Pak Revan mengajak Zavier ke toko pakaian. Zavier mengedarkan pandangannya mengamati beberapa pakaian yang digantung di sana. Hingga akhirnya pandangannya tertuju pada setelan pakaian anak laki-laki dengan model kekinian. Dia mengamatinya dalam waktu yang cukup lama.Karena merasa penasaran akhirnya Pak Revan mengikuti kemana arah pandang Zavier. "Sepertinya Zavier menginginkannya?" batinnya menerka."Zavier, kamu mau pakaian yang itu?" tanya Pak Revan menoleh ke arah Zavier."Nggak Om, harganya mahal." jawab Zavier berusaha tersenyum.Zavier pernah pergi ke toko pakaian bersama dengan ibunya. Dia ingin sekali membeli pakaian yang modelnya sama dengan pakaian yang baru saja dilihat olehnya. Namun ibunya mengatakan bahwa pakaian tersebut mahal harganya, sehingga meminta Zavier untuk memilih pakaian yang lainnya, kejadian tersebut tentu saja masih terekam jelas di ingatan Zavier."Kamu tenang saja, Om punya uang untuk membayarnya."Mendengar ucapan Pak Revan, Zavie
"Ibu kenapa nggak mau ikut?" tanya Zavier heran mendongak menatap wajah ibunya."Nggak apa-apa, Zavier dan Om Revan saja yang ke mall." jawab Ayra mengusap rambut Zavier dengan lembut sambil tersenyum ke arahnya."Zavier ingin sama ibu juga." Zavier menunduk dengan raut wajah tampak sedih.Ayra yang melihatnya segera berjongkok di hadapan Zavier, kedua tangannya diletakkan di sisi kanan dan kirinya."Zavier, ibu sibuk mau membantu nenek di butik jadi nggak bisa ikut Zavier jalan-jalan. Zavier jalan-jalan sama Om Revan saja ya?" Ayra berusaha mencari alasan yang tepat agar Zavier tidak memaksanya ikut dengannya.Perlahan Zavier mengangkat pandangannya menatap ke arah ibunya. "Tapi Bu ....?""Lain kali kalau nggak sibuk ibu ajak Zavier jalan-jalan. Sekarang Zavier jalan-jalan sama Om Revan, jangan nakal!" Zavier menganggukan kepalanya dengan ragu. "Iya Bu."Ayra mendaratkan kecupan singkat di kening Zavier lalu berdiri dari jongkoknya. Dia membuka tasnya mengambil beberapa lembar uang
Ayra tampak terkejut mendengar ucapan Pak Revan, atasan suaminya itu benar-benar menguji kesabarannya yang setipis tisu dibagi sepuluh. Dia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan berusaha mengendalikan emosi dalam dirinya."Bagaimana?""Terima kasih atas tawarannya Pak, lebih baik saya tidak mengetahuinya." Ayra menutup kembali pintu kamarnya."Sabar sabar, menghadapi Pak Revan membutuhkan kesabaran ekstra." gumam Ayra mengusap-usap dadanya.Detik berikutnya terlihat Reyhan keluar dari kamar mandi, dia memicingkan matanya melihat apa yang dilakukan oleh Ayra. "Sayang, kamu kenapa?"Ayra tersentak kaget mendengar pertanyaan Reyhan, refleks menoleh ke arahnya. "Nggak apa-apa, Mas." jawabnya berusaha tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa."Kalau ada masalah cerita jangan dipendam sendiri, barangkali mas bisa membantumu mencari solusinya!""Aku nggak apa-apa, Mas nggak perlu khawatir." Ayra berusaha meyakinkan suaminya. "Nggak apa-apa kalau kamu belum m
Ayra tampak terkejut setelah mengetahui orang yang sedang meremas bahunya adalah Pak Revan."Pak, kenapa Anda ada di sini?" tanya Ayra spontan.Bukannya menjawab pertanyaan Ayra, Pak Revan justru balik bertanya. "Kenapa, nggak boleh?"Ayra memutar bola matanya malas mendengarnya, dia kembali mengaduk-aduk nasi gorengnya."Pak, tolong singkirkan tangan Anda dari bahu saya!"Ayra merasa risih dengan apa yang dilakukan oleh Pak Revan."Nasi goreng buatanmu kelihatannya sangat nikmat.""Pak Revan yang terhormat jaga sikap Anda, singkirkan tangan Anda dari bahu saya!" Ayra kembali berkata dengan tegas, berharap Pak Revan akan segera menyingkirkan tangannya dari bahunya."Aku yakin yang membuatnya pasti jauh lebih nik mat." bisik Pak Revan tepat di samping telinga Ayra.Tubuh Ayra seketika menegang mendengarnya, dia memegang sutil di tangannya dengan erat menahan emosi dalam dirinya. Ingin rasanya dia memukul kepala Pak Revan dengan sutil di tangannya, namun dia berusaha menahan diri."Pak,
"Pagi, Pak." sapa Reyhan yang baru saja masuk ke ruang makan."Pagi juga."Reyhan segera duduk di kursi, tidak lama kemudian Ayra meletakkan sepotong sandwich serta segelas teh hangat di atas meja depan Reyhan duduk."Ini sarapannya, Mas.""Terima kasih, Sayang. Ayo sarapan bareng!" "Mas duluan saja, aku nanti sarapan bareng Zavier.""Ay, tolong masukin peralatan mandi mas yang ada di kamar mandi ke dalam koper!""Iya, Mas."Ayra keluar dari ruang makan menuju ke kamarnya. Dia bergegas mengambil peralatan mandi suaminya, kemudian memasukkannya ke dalam koper. Ayra juga mengecek kembali isi kopernya, memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal.Sekitar pukul lima pagi hari Reyhan dan Pak Revan bersiap-siap pergi ke bandara. Setelah menaruh kopernya ke dalam bagasi mobil, Reyhan berjalan menghampiri Ayra yang sedang berdiri di teras menatap ke arahnya."Sayang, mas pergi dulu ya?" Pamit Reyhan setelah berada di hadapan istrinya, sambil mengulurkan tangan ke arahnya.Ayra yang mel
Ayra mengisi piring suaminya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan suaminya duduk. "Silahkan makan, Mas.""Terima kasih Sayang, ambilkan juga untuk Pak Revan!"Ayra tampak terkejut mendengar perintah suaminya, namun dengan cepat dia merubah kembali ekspresi wajahnya. Dia meraih piring Pak Revan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan Pak Revan duduk."Silahkan makan, Pak." ucap Ayra menunduk.Apa yang dilakukan oleh Ayra tidak luput dari pandangan Pak Revan, yang sedang menatap fokus ke arahnya. Dia menarik sedikit sudut bibirnya ke atas. "Terima kasih."Setelahnya Ayra mengisi piring Zavier dan piring untuk dirinya sendiri.Reyhan, Pak Revan serta Zavier makan dengan lahap berbeda dengan Ayra, makanan di piringnya hanya diaduk-aduk saja olehnya. Ayra menoleh ke arah suaminya, putranya dan yang terakhir adalah Pak Revan.DEGAyra tampak terkejut ketika menoleh ke arah Pak Revan, ternyata Pak Revan se
Jantung Ayra seketika berhenti berdetak walau hanya beberapa detik, ketika pandangannya tertuju pada tato gambar naga di punggung Pak Revan, handuk di tangannya bahkan sampai jatuh ke lantai. Tato gambar naga tersebut mengingatkan dirinya pada sosok seseorang di masa lalunya yang telah memberinya luka."Nggak nggak mungkin." Ayra refleks, menggelengkan kepalanya pelan, salah satu tangannya terangkat menutupi mulutnya."Bukankah dia telah ....""Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Pak Revan menyadarkan Ayra dari keterkejutannya, refleks menunduk merasa malu seperti seorang maling yang tertangkap basah."Apa yang baru saja aku lakukan, bisa-bisa Pak Revan mengira aku sedang mengintipnya?" batin Ayra meruntuki kebod0hannya.Perlahan Ayra berjongkok mengambil handuk yang tadi jatuh ke lantai."Maaf Pak, handuknya jatuh saya ganti sama yang lain."Di luar dugaan Ayra, Pak Revan dengan cepat mengambil alih handuk yang ada di tangannya. "Nggak perlu." Ayra membalikkan badannya hendak perg