halooo, happy weekend Thor akan tambahin lagi kalau pada suka, tapi komen like sama vote buat mereka yah ... 🤏🏻🤏🏻 Thor akan kembali dengan 1 bab atau 2 bab lagi, 1nst4gram @almiftiafay
“Apa kamu keberatan?” tanya William sebagai balasan atas kalimat bernada protes yang dilayangkan oleh Giff yang sedikit berseru saat menyebut, ‘Ini jam dua pagi Tuan William Quist’ dengan penuh rasa frustrasi itu! “B-bukannya keberatan, tapi—“ “Anggap saja ini sebagai persiapan agar kita bisa pergi ke preschool itu sebentar untuk memastikan aku benar bahwa yang aku lihat siang itu adalah Lilia,” sela William sebelum sempat Giff memberinya jawaban. “Kalau dugaanku benar, Lilia pasti berangkat bersama dengan Keano.” “Boleh saja bersiap pagi,” jawab pemuda itu. “Tapi ini pagi buta, Tuan! Siapa orang gila yang berenang jam dua pagi begini?” “Aku!” jawab William dengan lantang. “Cepatlah! Kalau kamu tidak ikut aku akan menahan gajimu selama enam bulan.” “Apa itu bukan termasuk pelanggaran?” protes Giff pada William yang lebih dulu berjalan meninggalkan kamar hotelnya setelah membuat ‘keributan.’ “Akan saya adukan ke kementerian ketenagakerjaan kalau Anda menahan gaji saya!” Meski kesa
Lilia melihat William yang berlutut dan memeluk Keano. “Papa,” sebut Keano dengan suara yang gemetar. Ia jatuhkan kepalanya di bahu bidang William saat air matanya tumpah menjadi muara di pipi. “Keano kangen Papa,” katanya dengan tersedu-sedu. Bukan hanya Keano saja yang menangis, William pun juga. Pria itu pun menjatuhkan dagunya ke bahu kecil Keano. Kedua lengan kekarnya merengkuh tubuh kecil Keano sehingga ia hilang dalam dekapannya. Suara baritonnya yang kemarin didengar oleh Lilia kembali terdengar siang hari ini saat ia membalas anak lelakinya itu. “Papa juga kangen Keano,” ucapnya. “Papa pikir Papa sudah tidak akan pernah bisa bertemu dengan kamu lagi.” Kalimatnya sederhana tetapi mengobrak-abrik hati Lilia yang berdiri dan menjadi penonton di sana. Ia terenyuh, lewat ucapan itu saja ia tahu bahwa mereka berdua saling merindukan. Mengingat Keano yang selama ini juga tak hanya sekali atau dua kali menanyakan ‘Apakah Papa masih lama datangnya’—hal yang kemarin pun ditan
Jika tak merasakan cairan hangat memenuhi dan membingkai matanya, mungkin Lilia akan terus membiarkan Wiliam menjabat tangannya sepanjang sisa hari. Ia perlahan menarik tangannya saat membalas, “A-Anda sudah mengenal dan menyebut nama saya dengan benar kemarin,” katanya. “Lilia Zamora, seperti yang Anda ketahui.” Ia lalu menunduk untuk menghindari sepasang iris gelap William yang sejak tadi terus menatapnya tanpa henti. “Ekhem!” Suara Giff berdeham dari samping kanan William. Pemuda itu pasti sedang berusaha mencairkan kecanggungan dengan menghampiri Keano. “Halo,” sapanya seraya berlutut di hadapan Keano dan mengisyaratkan agar mereka melakukan tos. “Halo Uncle Giff,” balas bocah kecil itu. “Uncle kangen juga dnegan kamu, Keano.” Tepat setelah ia selesai bicara, Keano pun memeluknya. “Keano juga kangen.” “Apa kabar, Jagoan?” “Baik,” balasnya saat Giff melepas pelukannya. “Apakah Uncle menjaga Papa dengan baik?” Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja ….” Ia lalu berdiri saat W
“O-Opa Alaric?” ulang William setelah ketegangan dari rangkaian kisah yang dikatakan oleh Keano itu perlahan surut. “Iya, Pa. Opa yang menyelamatkan kami,” jawabnya. “Opa datang dengan Paman Zain dan membawa kami masuk ke mobilnya untuk pergi dari sana.” Lilia tak tahu apa yang membuat pria itu menjatuhkan kedua bahunya penuh dengan kelegaan. Sepertinya apa yang disampaikan oleh Keano telah memenuhi keingin tahuannya terhadap satu hal. William lalu menoleh padanya, merasa bodoh karena harus Keano yang mengatakan semua itu, bukan bibirnya sendiri. “M-maaf,” katanya. “Sekali lagi saya minta maaf karena tidak ingat dengan kejadian itu, siapa Keano atau siapa Anda. Tuan Alaric mengatakan bahwa ingatan saya sepertinya berhenti pada lima tahun yang lalu karena saya tidak tahu jika Nona Ivana sudah menikah dan memiliki anak.” William memberikan anggukan samar yang sama dengan senyumnya. “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Aku juga tidak memaksamu untuk mengingat, Lilia. Aku sudah sangat b
“Bagaimana bisa Tuan Alaric dan Pak Zain sudah di sini lebih dulu?” tanya Giff dari belakang William saat Lilia lebih dulu masuk melewati gerbang bersama dengan Keano. William pikir, Giff pasti penasaran karena ia masih belum tahu duduk perkaranya Pemuda itu masih belum tahu bahwa orang yang menyelamatkan Lilia dan Keano pada hari kebakaran vila adalah Tuan Alaric dan Zain. “Seperti yang pernah kita sebelumnya, Giff,” jawab William dengan berbisik, menoleh pada Giff yang berdiri di sebelah kanannya. “Bahwa ada orang yang membantu Lilia dan Keano saat kebakaran itu. Orang itu adalah Papa Alaric. Tadi Keano cerita kalau mereka berhasil pergi dari sana dan bertemu dengannya. Dia maestro-nya.” Giff tercenung mendengar penjelasan singkat itu. “Artinya selama ini Tuan Alaric tahu di mana Nona dan diam saja sekalipun melihat Anda seperti mayat hidup?” tanggap pemuda itu. “Pasti ada tujuannya, kendalikan dirimu.” William berjalan lebih dulu meninggalkan Giff untuk menyusul Lilia
Mendadak William kebas, untuk sesaat bibirnya terpasung bisu hingga ia mengucap, “S-sungguh?” tanyanya. “Sungguh Lilia adalah Leonora?” Jika benar begitu ... secara tak sengaja artinya Ivana telah mewariskan pernikahan turun ranjang? Sebuah kebetulan luar biasa yang tak pernah ia sangka sebelumnya. “Iya,” jawab Tuan Alaric dibersamai dengan anggukannya. “Alasan aku menyembunyikan Alya adalah karena dia saksi kunci peristiwa kenapa Lilia menjadi anak angkatnya.” “Kenapa, Pa?” “Jika kemarin Gretha berniat mencelakai Lilia, lebih dari dua puluh tahun yang lalu Bertha mencelakai istriku dan meminta orang suruhannya untuk mencari Leonora kecil sampai ketemu,” jawabnya. “Alya yang menjadi saksi bagaimana Bertha menghalalkan segala cara untuk bisa menjadi Nyonya keluarga Roseanne.” Satu demi satu jawaban berhasil didapatkan oleh William. Rupanya semuanya tak sesederhana yang ia bayangkan bahwa menghilangnya Lilia dan Keano itu hanya sebatas tak bisa ditemukan, tetapi ada peristiwa pel
Sakit sekali … Sesak di dadanya mendesak hingga ia seperti lupa bagaimana caranya bernapas. Seberkas ingatan itu membuat tubuhnya seperti terombang-ambing di tengah laut yang tak bertepi. Ia menunduk dan tanpa sadar air matanya menetes. Ia meremas dadanya erat-erat, berharap rantai yang melilitnya itu teruraikan. Ia ingin ingat semuanya, melihat William dan matanya yang dihancurkan badai membuat Lilia ingin mengakhiri semua itu. Tapi jika itu terjadi, siapkah ia dengan segala sesuatunya? *** William duduk di kursi dan menunduk menatap layar ponselnya yang menyala. Ia tersenyum saat melihat fotonya bersama dengan Keano dan Lilia yang kini tak perlu lagi ia tangisi. Ia menyentuh layar ponsel itu dan menuju ke sebuah kontak yang ia tambahkan ke pintasan layar paling depannya. Kontak milik Lilia yang ia beri nama [L’amour de ma vie] yang berarti cinta dalam hidupku. Yang senantiasa ia kirim pesan sekalipun saat itu William tahu tak akan pernah mendapat balasan. William masih ser
“Baik, Tuan,” jawab Giff dengan patuh. Ia menerima ponselnya kembali dari William dan bertanya, “Apakah percakapan dengan Tuan Alaric tadi berakhir dengan baik?” William mengangguk, ia katakan apa-apa saja yang tadi didengarnya dari Tuan Alaric, bagaimana pria paruh baya itu berusaha melindungi Lilia, Keano dan Alya. Atau tentang siapa Lilia sebenarnya yang tak lain adalah seorang Nona muda keluarga Roseanne. Hingga siapa yang memiliki motif paling besar untuk menyulut api di vila miliknya satu hari sebelum pernikahannya digelar. “Anda benar bahwa Tuan Alaric memiliki alasan yang kuat,” katanya. “Artinya, kita memiliki penyokong yang juga memiliki tujuan yang sama untuk membuat kejahatan Gretha serta ibunya itu terungkap, bukan?” “Iya,” jawab William. “Ada banyak aset yang dikelola oleh Gretha dan ibunya yang pasti sekarang pelan-pelan diambil kembali oleh Papa,” ucapnya menuturkan praduga. “Tuan Alaric akan berjibaku mengamankan hak-hak milik Nona Lilia di sana sementara kita
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya William seraya bangun dari duduknya.Jarinya yang terluka yang ia keluhkan pada Lilia itu seketika terlupakan. Alisnya berkerut saat ia menatap Giff yang sekilas menggeleng saat menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan William. Dia hanya bilang ingin bertemu dengan Nona Lilia. Itu saja.”“Suruh dia pergi saja, Giff!” ucap William tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tetapi hal itu tak disetujui oleh Lilia begitu saja.Ia ikut bangun dan meraih tangan William seraya berujar, “Biar aku temui saja dia, William.”“Tidak!” tepis William, wajahnya mengeras, menolak dengan tegas. “Apa setelah semua yang dia lakukan padamu aku bisa membiarkan dia bertemu denganmu begitu saja. Tidak, Lilia! Tidak akan ada yang pergi menemui wanita itu!”Lilia menjumpai kekhawatiran yang besar dari cara William bertutur. Penolakannya yang tegas itu mengatakan lebih banyak bahwa ia tak akan membiarkan Lilia bertatap muka dengan Gretha.“Kalau kamu khawatir kamu bisa peri bersamaku
Untuk pertama kalinya setelah mereka meresmikan pernikahan, Lilia akan beraktivitas sebagai istri William dan tinggal untuk seterusnya di rumah ini. Selama bulan madu itu, ibunya—Alya—dengan bantuan Agni serta pelayan rumah tangga yang ada di rumah William mengemas barang yang ada di rumah neneknya Zain untuk kembali ke kota. Lebih dari sepuluh hari yang panjang dan Lilia melihat barang-barangnya sudah tiba di rumah ini. Alya akhirnya setuju untuk tinggal di rumah yang dibelikan oleh William. Tempatnya tidak jauh dari mereka, hanya berbeda perumahan dengan bangunan yang lebih sederhana sebab yang tinggal di sana hanya Alya dan dua orang pelayan serta seorang security. Lilia senang sebab ibunya itu akhirnya setuju untuk tinggal dirumah baru karena sebelumnya terus saja menolak dan mengatakan ia bisa tinggal di panti asuhan dan merawat anak-anak di sana—Ibu panti itu adalah teman Alya. Tuan Alaric lah yang melobinya, beliau mengatakan kurang lebih seperti, ‘Aku tidak ingin melihat
Sebenarnya Bertha tahu bahwa keputusannya memberanikan diri untuk menemui Alaric itu adalah sesuatu yang ‘bodoh’, tapi hal itu ia lakukan sebab ia tak ingin terus melihat Gretha menangis dan mengkhawatirkan akan seperti apa masa depan yang menunggu mereka, terutama bayi yang dikandungnya itu—yang mau tak mau harus Bertha akui sebagai cucunya. Namun, setibanya di sini, Bertha telah mendapatkan jawaban yang sangat jelas sekarang. Penolakan. Alaric tak bersedia membantunya, bagaimanapun Bertha mencoba menyentuh hati baik pria itu. Sudah tak ada lagi sisa belas kasih di dalam hatinya, caranya bertutur telah menjelaskan segalanya betapa mantan suaminya itu teramat membencinya. Dan alih-alih mengulurkan tangannya, Alaric justru membebaninya dengan sebuah ancaman. Meminta Zain mengamankannya dan memanggil polisi ke sini. “TIDAK, ALARIC!” seru Bertha sekali lagi. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. Bertha berlari meninggalkan teras lobi Seans Holdings saat melihat Zain selangkah me
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatus—yang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya saja—hari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana. Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah. Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana. Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia. 'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai. Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu. Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang m
Sebelum William mengatakan itu, sebenarnya Lilia sempat melihat Keano menepuk bahu ayahnya itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Sepertinya itu adalah agar William segera mengajak Lilia berdansa. Dengan masih termangu, Lilia menatap William dan tangan kanannya yang terulur kepadanya itu. "Terima, Mama!" pinta Keano dengan antusias. "T-tapi aku tidak bisa berdansa," jawab Lilia dengan gugup, merasa bersalah karena ini seperti sebuah penolakan yang tidak kentara. "Tidak apa-apa, aku bisa membuatmu berdansa malam hari ini." Anggukan William seolah sedang meyakinkannya, sehingga Lilia menerima tangan itu dan bangun dari duduknya. Ia berjalan mengikuti William yang tiba di tengah restoran, di bawah lampu chandelier yang bergantung dengan cantik. Meja-meja yang tersisih sejak awal mereka masuk itu sekarang Lilia tahu alasannya. Untuk tempat mereka berdansa. Sekilas melirik pada Keano, bocah kecil itu duduk di sana, tersenyum dengan ditemani oleh Giff yang masuk dan berdir
Gretha mengurungkan niatnya untuk menghubungi Giff. Ia tak yakin pemuda itu akan menjawabnya juga. Yang ada kemungkinan besar ia malah diblokir. Ia lalu meletakkan ponselnya ke samping bantal, memutuskan untuk pelan-pelan membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan air mata menggenang membasahi pipinya. Napasnya terasa berat, ia meraba perutnya. Hari kelahiran bayinya ini sudah semakin dekat. 'Semuanya jadi berantakan,' gumamnya dalam hati. Gigil menyergapnya dari ujung kaki. Saat ia mencoba memejamkan netranya yang lelah, bayangan wajah Ivana tiba-tiba muncul sehingga Gretha dengan cepat kembali membuka matanya. Jantungnya seperti baru saja berhenti berdetak selama beberapa detik karena tiba-tiba saja Ivana yang tak pernah ia pikirkan—dan hampir hilang dari benaknya—muncul tanpa persetujuan. Tatapan mata kakak tirinya itu—ataukah sekarang ia harus menyebutnya sebagai mantan kakak tiri—mendadak datang. Wajah cantik Ivana yang meski puca
Ini seperti deja vu dengan yang terjadi di rumah Henry sebelumnya. Dari jendela Gretha bisa melihat sebuah mobil polisi yang berhenti di depan rumah. Beberapa orang petugas dalam balutan seragam pun juga terlihat keluar dari sana. Meski di luar keadaannya gelap sebab petang mulai merayap, tapi Gretha bisa memastikan bahwa mereka berjumlah lebih dari empat orang. Cukup pas untuk menangkap satu atau dua orang, semisal itu adalah dirinya dan ibunya. Gretha berdiri di sana dalam ketegangan. Ia meneguk ludah dengan dada yang berdebar, menggila hingga seolah akan meledak. Tapi, polisi itu hanya berhenti untuk mengambil sesuatu yang ada di tengah jalan. Sepertinya bongkahan balok yang menghalangi jalan dan menepikannya. Memungut beberapa keping paku dengan alat yang mereka bawa lalu mereka masuk kembali ke dalam mobil dan mengemudikannya menjauh. Dari balik jendela, Gretha duduk merosot dengan air mata yang menggantung di kedua sudutnya. "Tidak apa-apa, tidak akan secepat itu," ucap N
“Maaf,” ucap Lilia sekali lagi. “Aku pikir tidak apa-apa tadi untuk meninggalkanmu dan Keano sebentar. Maaf karena sudah membuat kalian berpikiran buruk.” William menghela dalam napasnya kemudian berlutut di hadapannya. “Tidak apa-apa, yang penting jangan begitu lagi. Kamu tahu seburuk apa kondisiku dan Keano saat kamu meninggalkan kami, ‘kan? Aku sungguh tidak ingin mengulanginya lagi, Lilia.” Lilia mengangguk, ia menunduk untuk menyentuh wajah William, memastikan prianya itu bahwa ia ada di sini dengannya. Tidak untuk pergi atau sengaja meninggalkannya. "Kita tidak jadi masuk ke dalam kafe," ucap Lilia, memandang Keano dengan mengerutkan hidungnya. "Maaf, Sayang." Alih-alih marah, anak lelakinya itu justru memberi jawaban yang menghangatkan hati Lilia. "Tidak apa-apa, Mama," jawabnya. Senyumnya merekah dan pipinya yang putih itu bersemu merah. "Yang penting Keano masih bisa bertemu dengan Mama. Terima kasih sudah kembali." Lilia memeluk Keano yang membalasnya dengan kedua tan
William menurunkan ponsel dari samping telinganya, ia mendorong napasnya yang berkabut akibat suhu yang menurun secara drastis pada malam hari. Ia mendekap Keano semakin erat saat anak lelakinya itu sepertinya memiliki kekhawatiran yang sama dengannya. Keano memang terdiam, tetapi gerakan tubuhnya yang beberapa kali merasa tidak nyaman membuat William tahu ia tengah cemas. “Apakah kita tidak akan bertemu Mama, Papa?” tanya Keano, suaranya serak, menunggu jawaban William sehingga ia harus menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu tak semakin khawatir. “Kita akan bertemu Mama, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya, kita cari Mama dulu?” William menepis jauh-jauh pikiran yang sedari tadi bergulir liar di dalam kepalanya. Bahwa ada orang jahat yang membawa pergi Lilia sehingga istrinya itu tak bisa ia temukan. Ia memutuskan untuk mendekat ke salah seorang yang juga mengantri di sana, barangkali ia tahu ke mana Lilia pergi. “Permisi, apakah kamu melihat seorang wanita dengan sya berwarna