Dada terasa sesak, Oceana tidak habis pikir dengan sikap Kalvin yang tidak kenal ampun. Bagaimana bisa ia jatuh cinta dengan pria seperti itu. Padahal sikap awal Kalvin sangat manis meskipun posesif. Siapa sangka pria ini berubah begitu drastis.
“Berhenti Kalvin! Apa kau sudah gila?!” teriak Oceana sambil berjalan mendekati suaminya. Hatinya sangat pilu melihat Bimo menjerit kesakitan dengan kulit yang melepuh oleh batang rokok menyala.
“Apa sayang? Aku hanya memberikan hadiah pada Bimo sekaligus matiin rokoknya sesuai keinginannya."
Kalvin semakin kuat menekan rokok di perut Bimo. “Ampun Kalvin!”
“Bukankah ini yang kamu inginkan?”
Dengan verbal tidak mempan, Oceana pun langsung bertindak dengan menarik lengan Bimo yang sudah memberontak. Tenaga Kalvin sangat kuat hingga Bimo sulit lepas dari Kalvin yang berusaha melepaskan diri. Namun, Oceana tidak menyerah merebut Bimo dari suaminya. Ia tetap menarik Bimo sekuat tenaga sampai Bimo terlepas dari suaminya hingga mereka terjatuh ke lantai.
“Sakit! Sakit!” Bimo segera bangun dan memegang perutnya sambil menjerit. Dia memutar badannya berulang kali.
“Bimo, tenang, tenang!”
Oceana yang berusaha menenangkan Bimo, tiba-tiba kepalanya mendongak karena ada tarikan yang sangat kuat. Kepalanya terasa berdenyut karena Kalvin begitu kuat menarik rambutnya.
“Berhenti membelanya! Kamu tahu betapa lelahnya aku? Anak ini telah membuatku marah!” ucap Kalvin dengan suara berat dan serak. Suara itu sangat dekat di telinga Oceana hingga bulu kuduknya merinding.
“SUDAH KUBILANG, INI SALAHKU!”
Suara teriakan Oceana semakin membuat Kalvin murka. Kalvin menekan pipi Oceana sambil berbisik, “berani kamu meninggikan suaramu padaku?”
“A-aku ....”
Oceana pun didorong begitu saja hingga terhempas dan menabrak meja makan yang terbuat dari kayu. Bagian ujung kayu meja yang tumbul menabrak kaki kanan Oceana.
Sementara, Kalvin mendekati Bimo yang masih memutari badan. Tanpa aba-aba pria itu langsung menendang hingga Bimo menabrak dinding.
“Aaa, sakit! Ka-kalvin jahat, Kalvin jahat!”
Oceana berusaha mungkin membangunkan badannya dan berjalan pincang ke arah Bimo. Ia memeluk Bimo dengan menghelus kepala sahabatnya. Ia merasakan adanya cairan kental merah di kepala Bimo. Tangan Oceana pun gemetar dibuatnya.
Dia menangis dan bicara dengan lirih, “ Kalvin, tolong hentikan!”
Seperti inilah Kalvin yang tidak hanya menyiksa Oceana dengan fisik tapi juga menyiksa batinnya. Suaminya tahu bahwa dengan menyiksa Bimo adalah hukuman terberat bagi Oceana.
Tanpa aba-aba, tubuh Oceana langsung ditarik dan dipisah pelukannya secara paksa dari Bimo.
Saat Oceana ditarik ke arah dapur, Kalvin menampakkan gelagat nafsu ingin menyiksa Bimo. Seperti harimau yang hendak mencabik-cabik mangsanya.
“Kalvin, aku mohon!” Oceana merangkak mendekati dan memeluk kaki suaminya. Namun, tenaga Kalvin tidak dapat menghentikan sikap bringasnya. Dengan kasar Kalvin melepas kaki dari pelukan Oceana hingga terhempas.
Kalvin mengambil sapu di dapur, lalu berjalan balik dan memukul Bimo dengan amarah yang tak tekendali. Semua tenaga digerahkan untuk menyiksa. Kadang-kadang, ia memukul. Kadang-kadang, ia menendang. Kadang-kadang, ia injak-injak perut Bimo.
Melihat kondisi Bimo yang sudah tak berdaya, suami Oceana menghentikan aktivitas kejinya lalu menarik kerah baju Oceana hingga membawa masuk ke dalam kamar. Entah apa yang ada dipikiran Kalvin, kini pria itu memaksa istrinya untuk berhubungan intim.
Oceana menangis dan hanya pasrah. Hatinya sangat hancur seakan harga diri sebagai seorang wanita tergores. Meskipun Kalvin suaminya, tetapi memperlakukan wanita seenaknya saja bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan. Tiada rasa menghargai pendamping hidupnya.
Selama Kalvin menjamah tubuh Oceana, Bimo dengan posisi terbaring dan tak berdaya dapat melihat aktivitas suami-istri itu. Kalvin tidak menutup pintu kamar dan posisi Bimo tepat sejajar menghadap ke arah dalam kamar Kalvin dan Oceana.
Dengan kehancuran di hatinya, ia menyaksikan wanita yang ia cintai bersetubuh dengan pria lain. Hal yang menyakitkan adalah Kalvin tidak memperlakukan Oceana sebagaimana seharusnya.
Biarpun dia sering dibilang idiot, tapi ia tahu bagaimana memperlakukan seseorang. Itu yang selalu diajarkan Bunda Arsy di panti asuhan.
Oceana maupun Bimo, mereka saling meneteskan air mata sambil memandang satu sama lain.
Hanya air mata yang mampu mengungkap pilu di hati. Oceana menangis karena merasa bersalah dan malu dengan Bimo. Sementara, Bimo menangis karena hatinya hancur tidak dapat melindungi orang terkasihnya. Dia sangat membenci dirinya sendiri, hanya bisa menyaksikan wanita ia cintai tersiksa oleh pria lain.
Waktu telah berlalu. Kepalanya menoleh ke kanan, melihat sesosok yang baru saja menyakitinya. Kini, Oceana tidak yakin apakah pria di sampingnya adalah pria yang pernah memperlakukan dirinya seperti ratu. Suami yang pernah memberinya kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Oceana tidak menemukan titik terang atas pertanyaan yang sudah melekat di otaknya selama 3 tahun ini.
Sejak ibu mertuanya datang, sikap Kalvin berubah total. Dari kepribadian lembut, tiba-tiba berubah menjadi kasar. Entah apa yang telah dilakukan Ibu mertuanya saat itu.
Dia tahu bahwa dirinya bukanlah menantu yang diinginkan oleh ibu mertuanya, tapi apa harus beliau mengubah putranya menjadi monster seperti ini. Kesalahan apa yang telah Oceana lakukan hingga pantas diperlakukan seperti ini.
Air mata terus mengalir. Basah diwajahnya tak dapat menghitung berapa tetes air mata telah membasahi wajahnya. Tiap tetes menafsirkan sebuah kekecewaan, kehancuran dan kerinduan akan kasih sayang. Kehidupannya hanya dipenuhi tetesan air mata hingga ia sulit menemukan nikmatnya kebahagiaan. Ke mana perginya kebahagian itu?
Remuk dibadannya membuatnya kesulitan bangun dari tempat tidur. Jalan pun ikut sulit karena kaki kanannya lebam akibat tabrakan dengan ujung kayu yang tumpul saat didorong oleh Kalvin tadi sore.
Terlihat di lantai ada kain Kalvin dan dirinya berserakan dan bercampur acak. Ia pun meraih pakaiannya dan langsung memakaikan ke tubuhnya yang tiada sehelai benang pun yang menempel.
Setelah berpakaian, Oceana langsung melihat sesosok pria yang masih terbaring di lantai tepat di depan pintu kamarnya. Air matanya kembali mengalir melihat Bimo. Dengan berjalan pincang, ia dekati Bimo lalu duduk bersimpuh. Disentuhnya wajah Bimo yang penuh dengan luka lebam.
“Maafkan aku. Seharusnya, kamu tidak perlu mengalami semua ini.”
Mendengar suara Oceana, perlahan-lahan Bimo membuka matanya.“B-badanku sakit.”
“Aku minta maaf.”
“Oceana tidak salah, jangan menangis. Bimo baik-baik saja. Bimo tidak mati.”
Bukannya membuatnya menjadi tenang, tangis Oceana semakin pecah setelah mendengar ucapan Bimo. Rasa bersalah menyelimuti jiwanya. Oceana langsung memeluk Bimo dan terus mengucapkan kata maaf. Hanya kata itu yang mampu terlontar dari bibirnya. Hanya air mata yang dapat mengartikan luka di hatinya.
Seharusnya Oceana tidak membawa Bimo ke rumah ini. Rumah ini seperti neraka. Tiada angin yang menyejukkan, hanya ada api yang terus menyala di atas rumah ini. Ia pikir ia dapat menyelamatkan Bimo dari kesengsaraan dan kesunyian, tapi ternyata justru ia membawa Bimo ke jurang yang begitu curam.
“Aku hanya pembawa sial bagi orang-orang di sekitarku. Tidak satupun dari mereka yang selamat jika hidup bersamaku. Aku hanyalah pembawa sial. Aku telah banyak membunuh orang. Maafkan aku.”
Luka lebam telah menyelimuti tubuh dan wajah Oceana dan Bimo. Namun, luka-luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang luar biasa yang ada di dalam hati mereka. Harga diri mereka telah dijatuhkan. Batin mereka telah dipermainkan. Mental mereka sedang diuji.Oceana mencoba menahan air matanya jatuh dan berusaha tersenyum di depan Bimo yang terbaring di atas kasur. Wanita berambut hitam bergelombang itu mengobati luka-luka Bimo. Tiap Bimo mengeluarkan suara keluh membuat hati Oceana terasa hancur.“Maafkan ... aku,” ucap Oceana dengan terbata-bata.“Ini salah Kalvin bukan Oceana. Dia yang ha-harus minta maaf sama kita. Bukan Oceana.”“Tapi....” Perkataanya terhenti dikarenakan menahan sesak di dada seakan ada yang sedang mengikatnya dengan sangat kencang. Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Rasa bersalah terhadap Bimo menghantamnya berulang kali.Rasa bersalah itu tidak mengantarkannya pada sebuah pencerahan melainkan rasa bingung. Bingung bagaimana ia harus mene
*FlashbackKelaparan dan haus telah membuatnya lupa tentang apa yang telah ia lalui. Kini yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia mendapatkan makanan dan setetes air untuk ia minum. Jangankan untuk minum, untuk dirinya mandi dan membersihkan fasesnya saja tidak punya. Syukur-syukur kalau hari hujan, ia dapat membersihkan badannya dan minum dari air kotor itu. Sayangnya, sudah seminggu lebih tidak hujan yang membuat persediaan air menjadi habis. Dengan kepalanya yang sangat pening, Oceana berumur 16 tahun memaksa dirinya berjalan keluar untuk mencari air. Air apapun yang ia temui akan diminumnya. Tidak peduli air itu kotor atau tidak, yang terpenting baginya adalah bisa membasahi tenggorokannya dan perut terasa kenyang. Keadaan telah membuatnya tidak bisa memilih. Meskipun dirinya punya rumah —peninggalan ibu asuhnya atau tempat panti asuhan yang telah bangkrut, tetap saja ia kesulitan bertahan hidup karena tidak memiliki uang. Ia tidak mampu membayar listrik dan air yang menyebabk
“Apa Kalvin tidak pernah menceritakan masalah tersebut padamu?” tanya Om Yuda yang langsung dibalas Oceana dengan kepala menggeleng. “Suami-istri macam apa kalian berdua. Masa masalah keuangan suami sendiri nggak tahu?” “Kalvin tidak menceritakan apapun padaku. Emangnya ada apa?” “Suami brengsekmu itu telah jadi korban penipuan tiga bulan yang lalu. Hal itu memberi dampak buruk pada studio fotonya yang sedang terancam gulung tikar. Meskipun ia masih punya klien, tapi itu tidak mampu menutupi kerugian yang begitu banyak,” terang OmYuda. “Seberapa banyak kerugiannya?” Om Yuda melipat kedua tangannya di dada. Keningnya mengkerut sambil menatap langit. Mencoba mengingat angka-angka yang hendak menelan Kalvin. “Kira-kira ada sekitar 500-an juta.” “Apa?!” seru Oceana yang langsung beranjak dari kursi yang baru saja ia duduki. Ice creamnya telah meleleh di tangan kanannya sedari tadi. Matanya melotot dan mulut menganga. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ia mempertanyakan te
“Ah ... tidak!” teriak Oceana sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang menyilang. Dengan reflek ia menutupi wajahnya dari benda tajam yang hendak melayang ke arahnya.Untungnya hal itu tidak terjadi. Sebab Bimo langsung berlari dan memukul Kalvin dari belakang menggunakan panci yang berbahan tebal.Hal ini menyebabkan Kalvin langsung pingsan karena Bimo memukulnya tepat di bagian tulang tengkuk. Yang mana area itu sangat rentan sekali untuk dipukuli, karena hal itu dapat mengakibatkan aliran darah dan saraf dari tengkuk ke otak terhenti sesaat yang menyebabkan seseorang pingsan.“Kalvin!” pekik Oceana yang dengan spontan membangunkan suaminya. “Bimo, bagaimana ini?”“Apa dia mati?” tanya Bimo dengan polosnya. Ia pun tiba-tiba menjatuhkan panci dan berteriak, “aah ... Bimo sudah membunuh Kalvin. Bimo sudah membunuh Kalvin.”Oceana dengan panik langsung memeriksa kepala suaminya.“Syukurlah tidak berakibat fatal.” Oceana langsung berdiri dan menenangkan Bimo yang berlarian di
Keadaan rumah kembali kacau. Lantai dipenuhi serpihan kaca yang berserak di mana-mana. Di tengah serpihan kaca terdapat batu besar. Sepertinya ada yang sengaja melempar batu itu ke rumah mereka.Oceana langsung berlari mendekati Bimo yang sedang ketakutan. Berusaha untuk menenangkan pria tersebut.Sementara Kalvin berjalan mendekati kaca yang pecah. Dengan hati-hati berjalan, ia mencoba mengintip ke luar jendela. Entah kenapa lampu di luar mati, padahal sebelumnya ia merasa bahwa di teras lampunya menyala.Kalvin dapat menyadari bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Saat Kalvin mencoba untuk membuka pintu rumah, tiba-tiba segerombolan pria besar dan berpakaian hitam langsung menerobos masuk ke dalam rumah mereka.“Kalian siapa?” teriak Kalvin dengan raut wajah yang sangat geram. Ia menarik kerah salah satu gerombolan pria itu. Badannya sedikit pendek dari Kalvin, tapi tubuhnya tidak kalah berotot.Sebelum pria itu menjawab pertanyaan Kalvin, lalu masuklah seorang pria tua denga
"Bimo, ayo sadar! Aku mohon," pinta Oceana dengan tangan gemetar saat memegang kepala Bimo yang sudah berlumuran darah. Air matanya telah bercampur dengan cairan kental itu."Aku minta maaf ... maafkan aku, Bimo!" Dengan tubuh kecilnya itu, ia berusaha untuk mengangkat tubuh Bimo yang sudah tak berdaya. Berulang kali ia coba, namun tetap saja tubuh Bimo selalu jatuh dari punggungnya. Ia semakin panik dan merasa bersalah karena semakin memperburuk keadaan.Tangis semakin pecah. "aah aku harus bagaimana. Aku tidak tahu. Bimo, maafkan aku."Dengan gigih, Oceana mencoba sekali lagi mengangkat Bimo ke punggungnya. Kali ini berhasil. Hanya saja kakinya kesulitan untuk membawa tubuh Bimo ke arah pintu. "Bimo, aku mohon bertahanlah," bisiknya sambil tertatih membawa tubuh Bimo yang masih terkulai. Darah Bimo tidak berhenti menetes hingga memberi tanda tiap jalan yang mereka lewati. Kali ini, Kalvin benar-benar seperti orang kesetanan. Ia menyiksa Bimo tanpa ampun.Malam ini, Oceana tidak me
"Apa kau tidak akan melaporkannya ke polisi?” Oceana mendongakkan kepalanya dan menatap lurus sepasang mata yang sangat tajam. Keringatnya jatuh mengalir melewati pelipis matanya. Dia pun menyisir rambutnya yang lepek dan kusut ke arah belakang. Dengan lirih ia menjawab, “aku tidak akan melakukannya.”“Kenapa? Kau meyakini bahwa itu hanyalah kesalahan yang tidak disengaja? Atau kau meyakini harimau tidak akan memangsa lagi?”“Dia sedang tidak baik-baik saja.”“Bajingan itu?”“Dia bukan bajingan,” jawab Oceana dengan tenggorokannya yang tersekat. Ia tidak yakin dengan omongannya sendiri. Dia sendiri sering menyebut lelakinya seorang bajingan, tapi entah kenapa ia tidak menyukai kata tersebut keluar dari orang lain.“Di depan rumahku, kau ketakutan kehilangan pria idiot itu. Sekarang, kau mengkhawatirkan pria yang telah melakukan hal keji itu pada si pria idiot. sebenarnya apa yang kau inginkan?” tanya Nyai Arumi yang masih berdiri dengan kedua tangan dilipat di dadanya. Rambutnya ya
Dalam keadaan terpojok, Oceana tidak bisa berpikir jernih. Ia menekan kuku jempolnya sampai memutih. Kegugupannya tidak bisa terhindari.Sebelum masalah semakin rumit, Nyai Arumi maju. Setelah ia menyaksikan kebodohan Oceana yang berusaha menutupi kejahatan suaminya, Nyai Arumi melangkahkan kaki mendekati mereka sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.“Dokter, bisa kita bicara berdua empat mata?”tanya Nyai Arumi dengan suaranya yang terasa dingin.“Anda siapa?”“Anggap saja saya adalah wali mereka.”“Anggap?” tanyanya lagi dengan keheranan“Anda tidak perlu khawatir, masalah mereka biar saya yang tangani,” ujar Nyai Arumi sambil merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya yang berwarna coklat. Kemudian, ia menyodorkan benda segi panjang ke arah dokter tersebut.Dokter itu meraihnya dengan raut wajah yang masih kebingungan. “Apa ini?”Keningnya mengkerut saat membaca kartu pengenal Nyai Arumi. Sesekali ia memandang wajah Nyai lalu kembali menatap tulisan