Share

15-16

Purnama mengingat betul perkataan ibunya, ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Bintang atau pulang jika sudah tak sanggup lagi.

Sampai di rumah waktu sudah hampir tengah malam. Ingin sekali ia berbicara serius dengan suaminya namun Bintang terlihat lelah dan masih kesal.

Pagi hari setelah Bintang sarapan, Purnama sudah menyiapkan kata-kata untuk disampaikan pada suaminya.

Segelas air putih ditaruh Purnama tepat di depan Bintang. "Mas, kita harus bicara serius."

"Ada apa? Soal orang tua kamu?"

"Bukan, ini tentang rumah tangga kita."

"Memangnya rumah tangga kita kenapa?" tanya Bintang tanpa rasa bersalah.

"Banyak hal yang harus kamu perbaiki, Mas, sebagai seorang suami."

"Memangnya aku kenapa?" Bintang menatap Purnama.

Ada kesal di hati Purnama, suaminya tidak merasa bersalah sedikit pun.

"Sebagai kepala rumah tangga seharusnya Mas lebih bertanggung jawab."

"Owh, jadi maksud kamu aku gak bertanggung jawab?! Aku udah kasi kamu tempat tinggal yang layak, nafkah juga aku beri!"

"Nafkah yang dua ratus ribu sebulan itu? Seminggu aja itu gak cukup, Mas. Apalagi mami sama papi ikut makan di sini."

"Kan kamu kerja, jadi gak perlu aku kasi banyak- banyak."

"Yang berkewajiban menafkahi itu suami bukan istri."

"Kamu gak ikhlas uang kamu dipake buat belanja?"

"Ini bukan masalah ikhlas gak ikhlas tapi tanggung jawab kamu. Kalau kamu tukang batu yang penghasilannya kecil aku masih bisa terima tapi penghasilan kamu ‘kan memadai."

"Jadi ini semua karena duit," Bintang menyimpulkan.

"Bukan cuma duit tapi juga sikap kamu yang tidak menghargai aku sebagai istri!"

Bintang berdiri mengambil dompetnya di kamar. Ia kembali sambil membawa beberapa lembar uang berwarna merah lalu melemparkannya di hadapan Purnama.

"Ini ‘kan yang kamu mau!" Bintang berkata sinis lalu beranjak pergi. Purnama berusaha menghalangi, namun Bintang tetap berjalan keluar.

"Jangan pergi, Mas! Kita belum selesai bicara."

"Aku muak mendengar ocehan kamu! Lebih baik aku temui Alice yang selalu manis dan menghargaiku."

Mendengar nama Alice disebut, hati Purnama terasa amat sakit. Air matanya tak terasa menetes.

Apakah Bintang selingkuh? Begitu pikiran Purnama bicara.

"Argh..... " Purnama meringis, perutnya terasa mulas. Ia

mengusap area perutnya berkali kali berharap rasa mulas itu pergi.

Keringat dingin mulai keluar di pori-pori kulitnya. Rasa mulas itu makin menguat. Satu hal yang ia harus lakukan segera yaitu menemui dokter kandungan.

Purnama melangkah menuju kamarnya, ia berniat mengambil dompet dan buku pemeriksaan kehamilan. Namun mulas di perutnya makin menguat, langkahnya terhenti. Ia memegang kusen pintu kamarnya sambil membungkuk menahan sakit.

"Kamu kenapa?" tanya Bintang yang kembali untuk mengambil kunci mobilnya.

"Perut aku sakit, Mas."

"Ada-ada aja," kata Bintang tak peduli.

"Beneran, Mas. Tolong anter aku ke dokter." ucap Purnama sambil merintih menahan sakit.

Bintang melihat istrinya yang kesakitan, ada rasa tak percaya di sana.

"Mas, please!" Purnama memohon sampai hampir menangis.

Tak tega melihat Purnama meringis akhirnya Bintang memutuskan mengantar Purnama, "Yaudah aku anter,"

***

Purnama terbaring di ranjang periksa sang dokter. Kondisinya sudah lebih tenang setelah dokter menyuntiknya dengan obat. Bintang duduk di hadapan sang dokter kandungan yang telah berusia lanjut.

"Ibu Purnama mengalami kontraksi sebelum waktunya, untunglah cepat ditangani."

"Iya, Dok."

"Perlu Bapak ketahui, ibu hamil tidak boleh stress dan kecapean. Yang terjadi pada istri Bapak disebabkan karena dua hal itu. Jaga istrinya, Pak. Bahagiakan dia, istri Bapak itu sedang membawa calon penerus keluarga, darah daging Anda."

"Iya, Dok."

"Bapak sayang nggak sih sama Bu Purnama? Saya perhatikan tiap Ibu periksa kesini, Bapak nggak pernah datang ikut mengantar, Bu Purnama selalu sendiri."

"Yaa ... sayang, Dok."

"Kalau sayang, dampingi istri Anda! Jangan biarkan dia berjuang sendiri, Ibu Purnama bisa hamil juga karena andil Bapak kan?!"

"Iya, Dok."

"Saya harap ini tidak terjadi lagi, karena akan berbahaya bagi bayi dan Bu Purnama. Sementara ini Bu Purnama harus bedrest selama seminggu. Tolong sebagai suami, Bapak perhatikan kondisi istri."

"Iya, Dok."

Purnama memperhatikan segala ucapan sang dokter pada suaminya, ia mengelus perut buncitnya.

Mama akan mengusahakan apa pun untuk kamu.

***

Keduanya hanya terdiam saat pulang dari rumah sakit, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Purnama tidak ingin bertambah stress jika mereka bicara dan Bintang pun tidak mau mendapat sebutan pembunuh.

Semalaman Purnama merenung, prioritasnya kini adalah anak dalam kandungannya. Ia akan melakukan apapun demi sang calon buah hati.

Purnama melihat Bintang yang masih tertidur di sisinya, sejak semalam Bintang tak berkata apapun. Purnama mengelus perut buncitnya.

Dia papa kamu, tetapi jangan pernah kamu tiru kelakuannya.

Purnama segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Selesai shalat Subuh, ia segera pergi menemui Lily sahabatnya. Ia membutuhkan seseorang untuk bertukar pikiran dan Lily sahabatnya sepertinya orang yang tepat.

Mereka berdua duduk berhadapan di sebuah warung bubur ayam. Uap bubur mengepul dari mangkuk di atas meja.

Purnama mengaduk aduk buburnya sambil bercerita, Lily tampak serius mendengarkan. Hanya beberapa suap saja yang masuk ke mulut Lily saking seriusnya mendengarkan Purnama.

Air mata Purnama kembali menetes, sesak terasa di hatinya. Lily memberi selembar tisu pada Purnama.

"Gue gak nyangka rumah tangga lo separah itu."

"Gue harus gimana? Apa gue ajuin cerai aja?"

"Proses perceraian itu gak gampang. Lo harus beberapa kali sidang belum lagi kalo si Bintang brengsek itu gak mau nyerein lo bakal makin lama prosesnya."

"Tapi gue gak kuat Ly, makin lama gue makin tersiksa."

"Lo juga harus mikirin baby yang di perut. Proses sidang yang ribet bisa bikin lo kecapean dan tambah stress. Gak baik buat baby lo."

"Buah simalakama. Gue bertahan juga bakal stress, Ly."

"Menurut gue yang penting sekarang pikiran lo jangan stress, gugatan cerai bisa lo ajuin setelah si baby lahir."

"Maksud lo?"

"Abaikan segala sesuatu tentang laki lo. Dia mau gini kek gitu kek, jangan dipikirin, anggap aja dia orang-orangan sawah."

"Gue ‘kan serumah, mana bisa gitu?"

"Bisa, gue yakin lo bisa. Abaikan segala sesuatu tentang laki lo terutama hal-hal yang buruk biar pikiran lo tenang dan si dedek bayi juga sehat."

"Apa gue bisa?"

"Lakukan itu demi anak lo. Seorang ibu pasti bisa melakukan apa pun demi anaknya."

Purnama terdiam mendengarkan penuturan sahabatnya.

Ucapan Lily ada benarnya.

"Sekarang lo makan, jangan cuma diaduk doang tuh bubur!"

"Iya."

"Lo harus kuat, demi anak lo! Kalo si Bintang berlaku kasar lagi sama lo, pintu rumah gue selalu terbuka untuk lo."

"Makasih, Ly."

Purnama mengikuti saran sahabatnya. Ia mengabaikan segala sesuatu tentang Bintang. Ia melakukan aktivitas sehari- hari seperti biasa, namun membatasi komunikasi dengan suaminya.

Bintang menyadari perubahan istrinya, ia merasa Purnama semakin menjauh. Tetapi bagi Bintang itu bukanlah hal yang harus ia risaukan.

***

Hari demi hari berlalu, kehamilan Purnama makin mendekati waktu lahir. Perutnya sudah demikian besar.

Purnama menantikan kelahiran bayinya namun sampai melewati tanggal perkiraan lahir masih belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan. Purnama cemas sudah 2 minggu lebih dari perkiraan hari lahir. Ia menemui dokter kandungannya.

Setelah melalui berbagai pemeriksaan, dokter menyarankan agar Purnama segera melahirkan dengan bantuan induksi. Hal ini harus dilakukan karena dikhawatirkan sang bayi mengalami keracunan air ketuban. Air ketuban yang ada di dalam rahim jika sudah lebih dari 40 minggu bisa meracuni bayi karena bayi sudah bisa mengeluarkan tinjanya sendiri.

Induksi adalah proses stimulasi untuk merangsang kontraksi rahim sebelum kontraksi alami terjadi, dengan tujuan untuk mempercepat proses persalinan. Prosedur ini tidak dapat dilakukan sembarangan, karena mengandung lebih banyak risiko dibandingkan persalinan normal.

Purnama menyiapkan mentalnya karena proses induksi lebih menyakitkan daripada kelahiran normal tanpa induksi. Setelah dari rumah sakit ia pulang dan menyiapkan segala keperluannya.

Purnama memasukkan beberapa potong pakaian, perlengkapan bayi dan kain yang mungkin akan ia perlukan saat bersalin nanti.

Hatinya terasa sedih, di saat-saat seperti ini seharusnya Bintang mendampingi. Purnama mengambil gawainya untuk menghubungi Bintang.

[Mas, aku ke rumah sakit. Dokter bilang aku harus induksi sore ini. Sudah saatnya bayi kita lahir.]

Purnama berharap masih ada setitik kepedulian Bintang. Sebagai istri ia ingin sekali ada suami di sisinya saat melahirkan. Purnama menunggu jawaban Bintang. Pesan itu telah dibaca Bintang namun satu jam menunggu Bintang tak jua menjawab. Purnama memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit sendiri.

Ada sesak di dada, tapi ia harus kuat demi anaknya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status