Sinna menatapku dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya tampak sedikit terbuka.Aku membalasnya dengan berusaha melebarkan kelopak mata yang masih terasa berat.“Setiap wanita akan merasa mabuk bila ada di dekatnya, apalagi ketika ia mengajak bicara, wah! Terasa melayang tiga puluh senti di atas tanah,” jelas Sinna antusias.Sinna menelangkupkan tangan dan memandang langit-langit. Jari-jarinya bergerak seolah mengetuk-ngetuk pipi, mungkin di pikirannya saat ini sedang membayangkan suasana ketika berada di dekat laki-laki tampan itu.“Semua ... wanita?” tanyaku heran.Kurasa walaupun seorang laki-laki memiliki ketampanan level kebangetan, tidak akan membuat para wanita semabuk itu.“Ah!” Sinna mendesah lelah.Wanita ini menurunkan tangan, sedangkan bahunya bergerak turun.Kini pandangan matanya tertuju tepat ke manik mataku, sesaat kemudian terlihat ekspresi terperanjat bercampur rasa kesal terlihat di wajahnya.“Ka-mu ti-dak?” serunya seolah sedang mengalami shock.“Em,” sahutku mantap.
“Aduh sudah deh! Pokoknya gadis aneh sepertimu tidak akan paham. Ini hanya dialami aku dan sesamaku yang masih normal saja. N-O-R-M-A-L,” rajuknya geram sambil menunjukku.Aku tertawa mendengar ilmu “pokoknya” itu dikeluarkan. Biasanya jika pembuka kalimat menggunakan kata itu, itu berarti berbantahan harus segera dihentikan.Sinna kemudian bangkit dan menarik selimutku hingga menutupi leher.“Istirahat yang cukup, semoga cepat sembuh dan bisa kerja lagi,” ucapnya terdengar hangat di hati.Aku mengangguk perlahan dan tersenyum di dalam hati merasakan kehangatan seorang ibu dari sahabatku ini. Setelah itu, aku memejamkan mata dan mendengar suara kegiatan yang dilakukan Sinna. Mungkin temanku itu sedang membersihkan tempat ini atau apa saja yang menurutnya bisa membantu mengurangi pekerjaan rumah.Andai ... andai saja bisa menceritakan apa yang baru-baru ini kualami pada sahabat terdekat itu ..., tetapi jika diri ini nekad melakukannya, jangan-jangan sebelum detik berganti, aku langsung
“Hah!”Aku ternganga ketika sumber suara itu mendekat.Manajer laboratorium mendekat sambil tersenyum ramah. Tetapi bukan itu yang membuat aku terkejut.Di belakang badan gempal manajer, menjulang sosok setinggi seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter itu, pemilik penthouse.Em ... apa hubungannya pemilik penthouse itu dengan laboratorium ini ini? Seketika, apa yang kulihat dan kualami di hari itu kembali terbayang.“Anneth,” panggil Pak Badzan sekali lagi.Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan meja yang kugunakan untuk melakukan pekerjaan.“Y-ya, Pak,” ujarku sambil mengangguk.Tetapi, mata ini tetap sebentar-sebentar menatap sosok tinggi tegap yang ada di belakang manajer lab itu.Laki-laki tampan itu sekarang sedang menatapku sambil tersenyum menyeringai, lalu ia menganggukkan kepala.“Bagaimana kabarmu? Apa demammu benar-benar sudah sembuh?” ucap Pak Badzan dengan tersenyum.Aku mengiyakan sambil mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang di
Allen sibuk menatap pemilik penthouse dengan kagum, tak menghiraukan panggilanku. Mata ini masih membelalak menyaksikan kini pelan-pelan kaki-kaki Allen bergerak turun perlahan dan akhirnya kembali menjejak lantai. “Daffar, ayo kita segera pergi dari ruangan ini sebelum ketampananmu membuat anak-anak buahku berteriak-teriak,” saran Pak Badzan yang ternyata sudah berada di ambang pintu keluar. Laki-laki ini menatap seolah tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan yang baru saja terjadi. “Oke, sepertinya kita akan sering berjumpa Anneth,” sahut laki-laki ganteng ini sambil mengerling dan berbalik untuk mengikuti langkah manajer lab. Kedua orang itu akhirnya keluar dari ruangan ini dan itu membuat Allen sekali lagi menjerit kagum dan terus memuji-muji pemilik penthouse itu. Lain halnya denganku, aku yang merasakan tubuh ini kembali gemetar dan merasa sedikit mual. Kepala yang terasa sedikit berdenyut juga melengkapi apa yang terasa ketika pintu ruangan ini tertutup. “Tom, tolong gant
Manajer lab dengan badan gempal dan rambut yang sudah mulai memutih itu tersenyum bijak.“De-par-te-men khu-sus,” ejanya dengan pelan, tentu tujuannya agar aku merasa tak salah dengar.Aku termenung mendengar kepastian ini.Siapa pegawai di Omega Laboratorium ini yang belum mendengar informasi tentang departemen yang satu ini?Informasi dalam taraf bisik-bisik sering terdengar di antara para pegawai. Hal ini disebabkan karena departemen tersebut sangat tertutup bahkan untuk pegawai yang bekerja di sini.Ruangan untuk departemen tersebut juga terpisah dari bangunan utama ini. Dan yang paling khusus, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki departemen itu.“Anneth,” tegur manajer lab dengan lembut.“E ... iya, Pak. Em ... apa saya saja yang dipindahkan ke sana?” tanyaku lebih lanjut.“Oh, tidak. Ada Evan dari lab fisika dan beberapa nama lain, sebentar!” ucapnya, lalu mengambil sebuah kertas yang ada di tumpukan berkas paling atas dan membacakan beberapa nama lain itu.Andai .
Allen mengangguk-angguk.“Itu bukan seperti yang kita inginkan, bagaimana ya jelasinnya?” ucapnya dengan ekspresi bingung.“Itu bukan karena sekarang ada Aaron ‘kan?” godaku lagi.Gadis itu kembali menggeleng dan mengacungkan dua jari tepat di depan mataku sebagai simbol swear.“Tunggu! Memang Kamu gak merasa begitu?” ucapnya dengan ekspresi wajah terkejut, sepertinya kini ia yang terheran-heran.“Apa harus?” jawabku dengan bingung.“Wah! Wah! Beneran, coba ke klinik besok, sepertinya Kamu gak normal,” seru Allen, komentarnya mengingatkan aku pada kata-kata Sinna.“Em apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyaku penuh selidik sambil mencondongkan badan ke arah Allen.“Tommy yang laki-laki juga merasakan hal yang sama,” jelasnya sambil mengambil tisue dan mengelap bagian meja yang sudah bersih.“Oh ya?” seruku sambil kembali ingat apa yang dikatakan Sinna dan reaksi salah satu anggota timnya yang mengiraku mengalami guncangan jiwa.Apa yang sedang kurangkai di pikiran sekonyong-konyong
Asisten manajer itu beranjak dari meja kerjanya, lalu berjalan ke arahku. Kemudian, ia berdiri di samping meja kerjaku sambil menatapku tajam.Aku mengangkat pandang, balas menatapnya dengan tatapan biasa saja untuk menyembunyikan rasa penasaranku agar tidak terendus oleh wanita ini.“Em, begini, saya memiliki latar belakang keluarga yang tidak biasa. Tidak seperti orang lain, saya dibesarkan di panti asuhan. Jadi, saya rasa saya harus mengecek kevaliditasan data-data pribadi saya. Dan lagi ...,” jelasku tapi sengaja menghentikan kalimat dengan merendahkan suara di akhir kata.Wanita ini sepertinya otomatis sedikit merundukkan bahunya dengan ekspresi ingin tahu.“Ada data-data yang harus saya update,” bisikku lirih seolah data itu sangat penting.“Oh,” sahutnya, bahunya kembali tegak.Wanita ini tertegun sejenak, terlihat seperti sedang berpikir.Aku menunggu dengan sabar sambil memasang wajah penuh harap.Detik berjalan menggantikan menit.Beberapa saat kemudian, wanita ini mengembus
Aku mengernyitkan kening.Dari apa yang baru saja kita lakukan, apanya yang rahasia?Yang barusan ini ‘kan hanya memindahkan specimen darah dari tabung kecil ke cawan.“Oh! ya,” jawabku singkat. Tapi, ancaman halus itu, tak urung membuat rasa penasaran yang sudah hampir penuh ini meluber.“Ayo!” perintah asisten manajer ini sambil keluar ruangan.Bagai anak itik, aku mengekor emak asisten manajer itik ke ruangan akhir yang kami boleh masuki.“Tugasmu adalah memperhatikan cawan-cawan itu masuk ke ruangan sebelah dengan berurutan. Perhatikan nomor yang ada di cawan itu dengan label yang ada di spesimen tadi. Data label specimen itu bisa dilihat di sini. Layar ini akan menunjukkan identitas specimen darah yang sedang masuk ke ruangan sebelah,” jelas asisten itu.Jari-jarinya menunjuk-nunjuk sebuah layar sebesar tablet yang berada di bawah kotak tertutup kaca yang alasnya berjalan dengan pelan.“Tekan ini jika cawan-cawan itu berjalan dengan nggak semestinya,” imbuhnya sambil menunjuk sat