“Sudahlah, Keona. Tidak usah dipikirkan lagi. Nasi sudah jadi bubur.”
Keona menghela napas. Ia tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin saat ia bersiap-siap. Ada banyak bekas kemerahan di leher dan tulang selangkanya, bahkan dadanya. Perlahan, disentuhnya bekas-bekas itu satu per satu, sembari membubuhkan riasan agar tidak terlihat. Pikirannya melayang ke kejadian semalam. Sekalipun dalam pengaruh obat, Keona bisa mengingat sensasi yang ia rasakan dari permainan pria itu. Tidak kasar ataupun memaksa, tapi tetap penuh tuntutan. Mempermainkannya hingga menanggalkan kewarasan. Mencapai puncak kepuasan. Tanpa bisa ditahan, hal itu membuat pipi Keona bersemu. “Ah, dia pasti pria yang suka menyewa wanita,” gumam perempuan itu, mengingat kata-kata yang sempat ia dengar dari bibir pria itu semalam. “Makanya sangat ahli–ah, apa yang kukatakan.” Ia menggerutu sendiri. Sekalipun ia dirugikan karena keperawanannya hilang dan ia tidak bisa menuntut apa-apa. Bodohnya, tadi pagi ia terlalu ketakutan sampai-sampai tidak mampu menuntut pertanggungjawaban. Kalau dipikir sekarang, setidaknya Keona bisa menuntut uang ganti rugi untuk pengobatan ayahnya. Ah, atau mungkin pria itu justru balas menuntutnya ya? Karena Keona tanpa izin memasuki ruangan itu untuk sembunyi? “Sudahlah.” Keona menghela napas. “Lupakan saja. Ayo kita fokus cari uang dan merawat Ayah.” Wanita itu sudah memutuskan untuk menggadaikan rumah ini untuk mencari pinjaman. Sejak awal, ia menghindari cara ini karena rumah ini adalah warisan mendiang ibunya. Keona tidak ingin kehilangan rumah ini kalau-kala ia nanti gagal membayar pinjaman. Namun, sekarang ia sudah bisa bekerja. Tempat kerjanya pun tidak main-main. Otaknya yang cerdas membuat Keona berhasil diterima di Greenland Corp sebagai pegawa magang. Bukan bekerja sebagai buruh kasar seperti dugaan ibu tirinya. Ia pasti mampu melunasinya, sekalipun ia harus bekerja seumur hidupnya. “Tunggu,” gumam Keona tiba-tiba. Tangannya menyentuh bekas kemerahan di lehernya sembari mengernyit. Ada sesuatu yang hilang– “Astaga, kalungku!” pekiknya tertahan. Seketika memutar tubuhnya dan mulai mencari di semua sudut di kamar mandi, tapi tidak ada. Buru-buru ia berpakaian dan keluar kamar mandi. Mengecek kalau-kalau kalungnya jatuh saat ia berkelahi dengan Ratna tadi. Namun, nihil. “Aduh, bagaimana ini,” ia seperti ingin menangis. “Itu kalung hadiah Ayah dan Ibu.” Ia tidak pernah melepaskan benda itu dari lehernya, sebagai pengingat rasa sayang dan cinta orang tuanya kepada Keona. Akan tetapi, Keona tidak bisa menyisihkan waktunya lebih lama untuk meratapi kalungnya yang tidak ada. Ia harus segera mengurusi ayahnya dan pergi bekerja, sekalipun denagn perasaan berantakan. “Keona, kamu dari mana, Sayang?” Keona menatap pria yang kini terbaring lemah di atas tempat tidur. Pria gagah yang dulu selalu memeluk dan melindunginya tersebut kini terlihat menyedihkan. Hanya bisa mengharapkan belas kasih orang lain untuk mengurusi dirinya sehari-hari. “Ayah. Lapar ya? Ayo sarapan dulu,” ucap Keona tanpa menjawab pertanyaan sang ayah. “Setelah ini minum obat dan istiharat ya, biar Keona kerja.” Wanita itu duduk di tepi ranjang selah membantu sang ayah untuk duduk dan makan. “Apa semua baik-baik saja?” Setelah beberapa saat, akhirnya Bram, sang ayah, bertanya. “Ayah menunggu kamu pulang semalam, tapi kamu tidak muncul-muncul. Ada masalah, Nak?” “Maaf, Ayah. Aku … lembur.” Keona memaksakan senyum agar ayahnya tidak khawatir. “Tidak ada masalah kok. Semua aman.” Ia tidak mau ayahnya terbebani oleh pikirannya. Namun, sang ayah justru menghela napas. “Biaya pengobatan Ayah besar ya?” ucap pria itu mengejutkan Keona. “Maaf ya, Sayang.” Keona menggeleng. Dadanya terasa sesak, menahan perasaan dan tangis agar tidak keluar di hadapan ayahnya. "Kamu lihat sendiri, kan? Ayahmu memerlukan banyak uang untuk bertahan hidup. Belum lagi kalau sampai tuan Hendrawan datang dan membuat gaduh serta mengancam ayahmu. Bisa-bisa Bram mati seketika!" Ratna sudah berdiri di luar pintu kamar, sengaja menunggu kedatangannya. Tampaknya kegembiraan Ratna ada saat berhasil menyiksa batin Keona. "Bu, jangan begitu. Harusnya ibu berempati melihat kondisi ayah," balas Keona. "Kalau begitu, pergi dan temui pak Hendrawan. Minta maaf padanya. Ini semua demi kebaikan ayahmu. Bayangkan saja kalau Hendrawan balas dendam atas apa yang sudah kamu lakukan itu. Dia itu mafia. Tidak akan pikir dua kali untuk bertindak." Usaha Ratna menakuti Keona tampaknya berhasil. Gadis itu terlihat bingung dan raut wajahnya begitu sedih. Baginya, keselamatan ayahnya paling utama. "Tapi, Bu, aku nggak mau tidur dengan pak Hendrawan." Terdengar Ratna menghela napas berat. "Kamu tidak udah khawatir. Asal kamu mau minta maaf secara tulus, mungkin pak Hendrawan akan memaafkan dan melepas keluarga kita. Keona, sekali ini, kamu harus menurut, ini semua demi keluarga kita." Keona tidak punya pilihan lain. Dari pada anak buah Hendrawan datang mengacak-acak rumah mereka dan buat perhitungan pada ayahnya, lebih baik dia mengikuti saran Ratna menemui Hendrawan. *** Pukul tiga sore, Keona sampai di tempat yang sudah disepakati. Hendrawan mau menemuinya setelah Ranta memelas pada Hendrawan. "Akhirnya kamu sampai. Kamu masih punya keberanian?" Sejujurnya, Keona takut. Tidak berani sedikitpun. Tapi memangnya dia punya pilihan lain? "Maafkan saya, tuan. Sungguh saya tidak bisa memberikan apa yang bapak minta. Saya minta maaf atas peristiwa kemarin itu. Saya mohon, tolong lepaskan kelurga saya. Kasihani saya, Tuan." Keona memelas dia berharap ketulusannya bisa menggugah hati Hendrawan. "Aku tidak akan buat perhitungan denganmu asal kamu mau tidur dengan ku. Hanya satu malam. Urusan kita selesai." Keona meremas jemarinya. Gugup dan takut. Dua anak buah Hendrawan yang berdiri di belakang pria itu semakin menambah keangkeran pertemuan mereka. "Kamu tahu, saya sudah bayar mahal untuk keperawanan kamu!" Bola mata Keona terbelalak. Berarti benar, ibunya sudah mengambil keuntungan atas dirinya. "Maaf, Tuan, tapi ... Tapi saya tidak ... Saya tidak perawan lagi." Keona menunduk sedih bercampur malu. Membicarakan keperawanannya seolah membahas kacang goreng, di depan tiga pria yang memandangnya dengan jengah. "Apa? Bukankah kata ibumu kamu masih perawan?" Keona tidak lagi bisa berkata apapun. Pipinya semakin memerah karena merasa malu. "Tuan boleh bawa saya ke dokter untuk memeriksa. Saya tidak bohong, Tuan." Titik air mata yang jatuh di telapak tangan Keona saat gadis itu menunduk, jelas menunjukkan kalau dia tidak bohong. "Sial!" Umpat Hendrawan menendang meja hingga gelas minumannya jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. "Pergi kau dari hadapanku! Aku tidak sudi lagi berurusan dengan keluarga kalian! Tapi katakan pada ibumu, urusan kami belum selesai. Dia harus tetap membayar utangnya!" *** “Duh, setelah beberapa bulan, akhirnya aku bisa melihat si bos secara langsung!” Keona mendongak, lalu menoleh pada rekannya yang sedang bergosip berdua di sampingnya. Keningnya mengernyit karena berani-beraninya mereka mengobrol soal bos di jam kerja. “Hei, kerjaan–” “Hush, lihat dulu, Na. Itu pemandangan langka.” Salah satu rekannya menyela, sembari menunjuk ke arah seorang pria berjas yang tidak jauh dari mereka. “CEO kita. Mumpung berkunjung ke lantai kita.” Keona mengalihkan pandangan. Dia bisa melihat punggung pria itu, tapi tidak jelas dengan wajahnya, karena membelakangi mereka. “Itu CEO kita?” tanyanya kemudian. Ia belum pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya, karena proses wawancaranya tidak sampai harus diseleksi sendiri oleh CEO. “Benar! Bos kita. Pemilik perusahaan ini! Jangan bilang kamu gak pernah dengar Kairos Mahesa? CEO perusahaan ini? Pewaris Greenland Corp?” Sebanyak informasi yang dikatakan rekannya, Keona hanya mengangguk-angguk. Sebagai mahasiswa bisnis dan mantan anak orang kaya, Keona pernah mendengar nama itu sebagai pria yang digadang-gadang sebagai jenius di dunia bisnis. Namun, ia belum pernah melihat rupa pria itu karena di internet maupun berita tidak pernah ditampilkan. Ah, sudahlah. Yang terpenting, Keona harus segera mencetak materi rapat hari ini sesuai perintah atasannya. Wanita itu berdiri, bersamaan dengan suara pekik tertahan dari para rekannya. Saat Keona menoleh untuk mencari tahu sebabnya, Keona mendapati pria yang dikatakan sebagai pewaris Greenland Corp. itu sedang menoleh ke arah kelompoknya. Ke arahnya. Seketika Keona menahan napas. “Pria itu!” batinnya berteriak. Wajahnya langsung memucat. “Pria yang tidur denganku kemarin … adalah bosku sendiri!?”“Pria yang tidur denganku kemarin … adalah bosku sendiri!?” Sumpah demi apa pun, kenapa kesialan datang padanya bertubi-tubi? Dunia ini seakan sedang mempermainkannya. Dari mulai lolos dari rencana buruk ibu tirinya, menghabiskan malam dengan pria asing, dan di saat ia berniat mengikhlaskan semua, kini Keona baru tahu kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah bosnya sendiri!? Bagaimana kalau pria itu tahu bahwa Keona menerobos masuk ke dalam kamarnya dan bahkan berhubungan badan dengan Kairos? Tanpa sadar, Keona menggeleng pelan, lalu buru-buru mengalihkan pandangan dan berjalan pergi untuk melakukan pekerjaannya. Tidak apa-apa. Keona hanya tinggal meminimalisir kontak dengan pria itu. Lagi pula, ia masih dalam masa probasi, bukan karyawan tetap ataupun memiliki posisi tinggi, sementara Kairos adalah CEO perusahaan. Nyaris mustahil mereka akan bertemu kembali setelah ini. Yang barusan tadi toh hanya sebuah kebetulan. Ya, pasti begitu. *** Keona sama sekali tidak m
“Bukankah Anda harus bertemu Mr. Smith?” Kalimat Gen membuat tangan Kairos berhenti membuka pintu mobil. Dia hampir lupa dengan meeting bersama kolega barunya itu, dan semua ini karena Keona! Kairos melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Benar, dia ada janji temu dengan kolega bule nya itu. Tidak bisa ditunda, karena sangat sulit mengatur janji bertemu dengan Mr. Smith. “Kalau begitu, kita jumpai Mr. Smith, setelahnya kita ke rumah Darmawan!” Dada Kairos bergemuruh, dia yakin akan bertemu dengan wanita yang sudah membuat rasa sakitnya sembuh. Traumanya hilang, bahkan kini dia bisa tidur tanpa harus dihantui mimpi buruk yang sejak dulu membelenggunya. Ini seperti jawaban dari semua permasalahannya. Dia akan melamar gadis itu, dan hal itu akan membuat kakeknya yang terus memaksa untuk menikah akan bungkam dan berhenti mengganggunya. *** "Kamu antarkan sampel ini ke perusahaan garmen, katakan kita butuh bahan yang lebih lembut!" Dengan sigap Keona menerima perin
"Kemarilah, Nak. Jangan takut. Meski tampang mereka seperti iblis, keduanya tidak akan berani memarahimu, apalagi pria bertampang menyeramkan ini!" Tukas Candra Mahesa mendelik ke arah Kairos. Keona bergerak gelisah, salah tingkah ditatap penuh selidik oleh Kairos. Tapi, dia tidak bisa mengabaikan permintaan Candra. Gelas yang berisi air hangat dia serahkan ke tangan Chandra. Berusaha tidak memedulikan keberadaan Kairos. "Diminum, Kek. Ingat kata dokter, kakek dehidrasi hingga tidak fokus saat menyebrang." Candra hanya tersenyum. Dia mengangguk lalu patuh menghabiskan isi gelasnya. Kairos dalam diam mengamati interaksi romantis antara Keona dan kakeknya. Sejak kapan mereka kenal, mengapa terlihat sangat akrab? "Kamu ngapain di sini?" Tanya Kairos dingin. Ini masih jam kerja dan seharusnya wanita itu masih ada di kantor. "Saya diminta pak Deni mengantarkan sampel kain ke pabrik garmen, Pak. Terus tanpa sengaja bertemu sama kakek di jalan-" "Sudah! Jangan berani kau mema
Pada Awalnya Kairos menatap jijik sekitar yang mereka lalui. Becek, banyak sampai di sisi jalan, bau busuk yang menyengat, membuatnya Ingi. muntah. Namun, melihat Keona yang gesit dan bersemangat saat berbelanja, terlebih bagian menawarnya, Kairos bisa melupakan semua hal buruk itu. "Hanya beberapa perak, kau menawar berjam-jam?" delik Kairos menaikkan satu alisnya. Takjub melihat gadis itu memperjuangkan satu sen pun. "Bapak tidak akan mengerti. Dua ribu itu sangat berharga. Bisa nambah buat beli garam," jawab Keona melanjutkan perjalanan. Kali ini dia singgah di tempat penjual bumbu dapur. Setelah lebih setengah jam, akhirnya perbelanjaan itu berakhir. Kening Kairos mengkerut kala memperhatikan hidung Keona yang tengah mengendus sesuatu. "Bapak, lapar tidak? Ayok, saya traktir makan mi ayam." Kairos tentu saja menolak, tapi niatnya hanya bisa tersimpan di hati, Keona sudah beranjak tanpa menunggu jawaban Kairos hingga terpaksa pria itu pun ikut masuk ke warung mi ayam. H
Tak satupun orang yang mau membantu Keona membawa ayahnya ke rumah sakit. Saat kejadian itu, Ratna dan Winda pergi entah kemana. Susah payah, Keona membawa ayahnya dengan taksi online ke rumah sakit. "Ya, Tuhan, aku harus bagaimana?" keluhnya, mendapati hanya ada uang merah dua lembar pengisi dompetnya. "Mbak, kita harus segera melakukan penanganan, usus buntu nya sudah sangat parah bahkan sudah pecah di dalam perut. Kalau tidak segera di operasi, nyawa pasien bisa tidak tertolong." Kepanikan Keona semakin besar. Kemana dia harus meminta tolong. Selama ini dia sudah mengusahakan untuk mengurus kartu berobat gratis dari pemerintah, tapi Ratna melarang. Dia berang dan meminta Keona menghentikan niatnya karena dianggap buat malu dan takut ketahuan kalau mereka sebenarnya sudah jatuh miskin. Tidak ingin bertengkar dan terjadi keributan lebih lanjut, ayahnya meminta Keona membatalkan niatnya. "Lakukan tindakan apapun, yng penting ayah saya bisa selamat," jawab Keona cepat. Dia
Keona tidak punya pilihan lain selain menyetujui syarat dari Kairos. Mulai hari itu, Keona membersihkan apartemen pria itu. Selama sebulan penuh sehabis pulang kerja. Sudah seminggu penuh.Apartemen itu cukup bersih, hanya butuh dua jam baginya membersihkan seluruh ruangan. Pada hari ketiga dia dapat, Keona melihat banyak tumpukan berkas yang bertebaran di atas meja, pun gelas kopi Kairos. Dia menebak kalau pria itu sangat sibuk akhir-akhir ini karena dia kantor pun jarang terlihat."Bukannya pak Kairos punya sakit maag? Minum kopi sebanyak ini," batinnya membereskan gelas dan sampah bekas makan malam yang sama sekali tidak disentuh, tergeletak begitu saja dan sudah bau basi."Orang kaya beda, pesan makanan mahal-mahal tapi nggak dimakan," cicitnya memasukkan semua sampah pada kantong hitam.Terpikir olehnya untuk memasakkan makan malam untuk Kairos. Pastinya lebih sehat. Kebetulan, sebelum ke apartemen, dia singgah ke pasar membeli bahan makanan untuk dibawa pulang.Satu jam berkutat
Winda melempar tatapan minta tolong pada Ratna. Wanita itu juga bingung harus bagaimana sekarang. Winda mengingat kapan terakhir dia melihat Keona memakai benda itu. Biasanya kalung itu tidak pernah lepas dari leher saudara tirinya itu. Tiba-tiba ingatannya membawa jalan keluar.“A-aku ... waktu itu aku ada di hotel Star, tanpa sadar mungkin jatuh di sana. Aku baru sadar setelah keesokan paginya.” Winda yakin jawabnya benar. Dia sempat mendengar Keona bertanya pada bi Sum soal kalungnya, sekembalinya dia dari rencana jual diri itu.Kekecewaan terlihat jelas di mata Kairos. Jadi benar, Winda adalah pemilik kalung itu. Tubuhnya lemas seketika, tapi dia sudah berjanji akan bertanggung jawab.“Ini kalungmu.” Kairos menyerahkan benda berkilau itu pada Winda. Ragu awalnya, tapi Winda pada akhirnya mengambil benda itu.“Lalu?” Winda tampaknya sudah merasa di atas awan. Entah mengapa, hatinya berkata kalau ada sesuatu yang mendesak pria itu untuk menemui pemilik kalung itu, ya, seperti rasa b
Tidak banyak keluarga Mahesa yang Keona kenal , lebih lagi calon suami Winda juga bernama Kairos, jadi tidak salah kalau Keona menduga bosnya lah yang akan menjadi iparnya. Tapi, bagaimana mungkin itu terjadi? Keona tidak mau ambil pusing akan hal itu. Kalau pun Memnag benar, tidak ada hubungannya dengan dirinya. Hanya saja, semakin dia coba menyingkirkan dari pikirannya, justru dia semakin terusik. "Ayah, besok pakai kemeja dan stelan jas ini, ya," ucap Keona meletakkan pakaian ayahnya. Tampak wajah Bram semakin cerah, kesehatannya perlahan membaik. Tidak bisa dipungkiri, ini semua berkat bantuan Kairos. Pada akhirnya, Gen bercerita, kalau dia berani mengizinkan personalia mencairkan pinjaman nya karena Kairos pun setuju. Jadi, tahukan, mengapa Keona merasa berhutang budi pada Kairos. "Memang besok ada acara apa?" Bram coba duduk, punggungnya sakit kalau harus rebahan terus. Sigap, Keona membantu, menyanggah dengan bantal. "Ayah tidak diberitahu ibu? Winda akan bertunangan
Pada akhirnya Keona memutuskan untuk memberi maaf dan kesempatan bagi Kairos. Bagaimanapun semua orang punya kesalahan. Kairos bersumpah dia tidak akan pernah lagi menyembunyikan apapun dari Keona. Meski tidak mudah percaya 100% pada Kairos, Keona tetap memperlakukan Kairos selayaknya suaminya, menghargai pria itu dan melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Lambat laun suasana mulai mencair. Kairos menunjukkan perubahannya. Dia mulai memberikan waktu untuk membahagiakan Keona. Kairos bahkan membawa Keona ke beberapa tempat di Eropa sebagai bukti dari janjinya mengganti bulan madu mereka yang sempat gagal. Kairos pun akhirnya menceritakan alasannya mengajak Keona segera pulang dari Bali karena tidak ingin Alena mengganggu mereka terlebih menemui Keona dan mengatakan hal yang tidak benar. "Alena memang wanita yang pernah aku cintai dan aku tidak memungkirinya namun ternyata dia tidak pantas untuk kucintai karena dengan tega berkhianat. Pengkhianatan yang pertama sudah aku
"Sayang, kau sedang apa?" Kairos mendekati Keona. Gadis itu sedang duduk di depan TV tapi dengan tatapan kosong. "Kau sudah pulang! Seperti yang kau lihat, aku sedang menonton televisi. Apa ada yang aneh?" tanya Keona ketus. Kalau Kairos pikir akan mendapati istrinya menangis di rumah maka dia salah. Keona sudah terlalu lelah untuk menangisi kejadian buruk yang terjadi dalam hidupmu kini dia sudah kebal. "Keona, ada yang ingin ku bicarakan denganmu." "Silakan." Keona mengambil sikap tegak. Kalau dipermukaan dia terlihat tenang, maka di dalam sudah hancur. "Tentang Alena-" "Alena? Mmm... " Keona tampak berpikir lalu mulutnya terbuka, ekspresi orang yang lupa lantas beberapa kemudian ingat kembali. Kairos mempelajari mimik wajah Keona, mengukur seberapa besar amarah gadis itu padanya. Akting Keona tentu saja bisa dibaca oleh Kairos. Dia tahu gadis itu pura-pura lupa sosok Alena sebagai tamparan untuknya karena sudah menyembunyikan cerita ini darinya. "Aku tahu, kau pasti sangat
"Puas kau sekarang?" Bentak Kairos penuh emosi. Dia masih memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Keona. Seujung kuku pun dia tidak menyangka kalau istrinya itu akan mendatangi kantornya ini. Mungkin saja ini sudah kehendak semesta, menunjukkan kepada Keona bahwa dia kembali berkomunikasi dengan Alena. Dia menyesal karena sudah mau menerima gadis itu, kini rumah tangganya berantakan. Pasti Keona sangat marah padanya. Kairos jadi ingat dua minggu yang lalu Alena tiba-tiba saja muncul di depannya, entah dari mana wanita itu tahu perusahaan Blessing ini adalah miliknya. Dia datang memaksa untuk bertemu hingga akhirnya Kairos mengizinkannya masuk. "Apa tujuanmu ke sini? Kalau aku jadi kau, aku tidak akan pernah berani menunjukkan batang hidungku di hadapan Kairos Mahesa!" umpat Kairos ketika sudah berada di satu ruangan dengan Alena. Daripada wanita itu buat ribut, akhirnya mengizinkan Alena masuk,.itu pun demi menghindari rumor yang beredar. Dia tidak mau ada orang yang menya
Keona ingin pembuktian. Dia tidak ingin Lili memfitnah suaminya tanpa ada bukti. Akhirnya Lili membawanya ke sebuah rumah. "Aku mengikuti gadis yang bersama Kairos dan inilah tempat tinggalnya. Keona masih mengamati rumah itu. Dia diam seribu bahasa. Kalau kemarin hanya dia yang melihat kebersamaan Kairos dan Alena kini bertambah satu dengan Lili. "Apakah kau yakin Lili?" tanya Keona datar. "Aku sangat yakin, bahkan Arlan juga melihatnya. Hanya saja dia mengatakan bahwa aku sebaiknya tidak ikut campur dan tidak usah memberitahumu. Menurutku, aku tidak bisa diam. Kau sahabatku, tentu saja aku berpihak padamu," jawab Lili merasa kasihan pada Keona. Pernikahan mereka masih seumur jagung, tapi harus sudah kandas karena orang ketiga. Tapi dia berjanji seburuk apapun keadaan Keona, apapun yang terjadi menimpa sahabatnya itu dia akan selalu berada di garda terdepan membela dan melindungi Keona. "Terima kasih Lili mungkin aku harus jujur padamu." Keona pun menceritakan tentang p
Besoknya saat Kairos pulang, Keona tidak lagi menyambutnya dengan seantusias sebelumnya. Bayangan Kairos yang jalan bersama Alena di mall masih membekas dalam benaknya. "Aku membawakan oleh-oleh untukmu." "Terima kasih," jawab Keona seadanya. Kairos memandangi istrinya, lagi-lagi wanita itu terlihat tidak bersahabat bahkan bisa dibilang tidak senang dengan kepulangannya tapi Kairos terlalu lelah untuk berdebat jadi dia memilih untuk mengecup puncak kepala Keona dan naik ke atas untuk membersihkan diri. "Bu, hanya sekedar saran sebaiknya kalau suami baru pulang dari luar kota disambut dengan gembira, penuh senyum jangan cemberut. Mungkin bapak sudah lelah, capek pulang bekerja. Nanti kalau ibu terus menyambut bapak dengan wajah cemberut, bisa-bisa bapak bosan dan malas pulang ke rumah. Bibi hanya sekedar mengingatkan karena bibi sudah menganggap Bu Keona seperti anak sendiri. Zaman sekarang ini banyak wanita yang sudi menggantikan tempat istri sah," nasihat Bi Darsih panjang lebar.
Keona terbangun di tengah malam. Mimpinya sangat buruk. Napasnya masih setengah-setengah bangun terbangun dari tidurnya. Rasanya seperti nyata. Keona pun memanjatkan doa agar mimpi buruknya hanyalah sebatas mimpi. Setelah mencuci muka Keona tidak bisa tertidur lagi. Pandangannya terus tertuju pada foto pernikahan mereka yang digantung di dinding. Meskipun tidak ingin mengingat kembali mimpi buruk itu tapi Keona tidak bisa untuk mengabaikan kegelisahan hatinya. Mimpinya sangat buruk. Dia melihat Kairos bermesraan dengan Alena. Awalnya hanya ada Alena dalam mimpinya wanita itu tengah berbincang dengan seorang pria semakin lama ketika memperhatikan dan Alena melihat dirinya keduanya menoleh ke arah Keona. Saat itulah Keona bisa melihat wajah pria yang tengah bicara dengan Alena adalah suaminya. Dalam mimpi itu Alena dan Kairos mentertawakan kebodohannya yang selama ini tidak menyadari hubungan terlarang yang ada di antara mereka. Keona menangis memohon kepada Kairos agar kemba
"Kamu sudah pulang? Katanya sebulan, kenapa hanya seminggu?" Berbagai pertanyaan datang menyerbu Keona. Lili dan Hani saling bergantian melempar pertanyaan, memuaskan rasa penasaran mereka padahal ini belum jam istirahat. "Kairos ada kerjaan tiba-tiba yang sangat penting, jadi kami terpaksa pulang," jawab Keona yang diikuti anggukan dari kedua temannya. Kemudian Keona membagikan souvernir yang dia bawa, hampir semua orang di ruangan mereka mendapatkan hadiah, termasuk Deni. Pria itu sedikit lebih kaku bila berbicara dengan Keona. Terlihat segan dan minder karena kini Keona bukan sekedar karyawan biasa saja lagi, tapi juga bisa dibilang bos kedua di Greenland. "Lalu, bagaimana hubungan mu dengan Arlan?" "Mmm ... Ternyata dia lebih pemain darimu," sambar Hani menarik tangan Lili dan menunjuk cincin yang melingkar di jari manis gadis itu. "Oh, my God, selamat sayang," pekik Keona berdiri memeluk Lili penuh gembira. Dia ikut senang sahabatnya itu akhirnya mendapatkan kebahagiaan
Pengamatan Kairos cukup tajam. Dia mengamati layar ponselnya, nomor baru yang tidak dia kenal. Pria itu melirik ke arah Keona, gadis itu masih memperhatikannya hingga membuatnya gugup. Dia memang tidak tahu pasti siapa pemilik nomor itu dan tujuannya menghubunginya tapi firasatnya mengatakan kalau si penelpon adalah Alena. Entah mengapa dia yakin akan hal itu, terlebih gambar gelang pada foto profilnya. "Ini pasti orang salah sambung. Sudahlah, kembalilah tidur," ucap Kairos menyimpan ponsel ke dalam saku. Meski tidak mengatakan apapun Keona menangkap sinyal aneh dari sikap Kairos. Ada yang pria itu sembunyikan. Kenapa Keona jadi kepikiran? Perasaannya juga jadi sedih. Bukan tidak pernah dia mengatakan kalau badai pasti selalu datang menerjang dalam rumah tangga. Tergantung bagaimana kita menyikapinya demi menyelamatkan ruang tangga itu. Tapi ini terlalu cepat bagi Keona. Mereka baru menikah tiga hari dan kini sudah dihadapkan dengan batu karang yang coba menghantam perahu
Siang hari waktu Indonesia bagian barat, Keona dan Kairos tiba di Jakarta. Kedatangan mereka disambut oleh Gen yang datang khusus menjemput. Tidak ada satu orang pun yang tahu akan kepulangan mereka. Itu sudah jadi perintah Kairos. "Welcome home, bos, nyonya bos," sapa Gen penuh semangat. jadi nggak selama dua hari membuat Gen merasa kesepian. Biasanya Kairos sering mengomelinya, kini setelah menikah bosnya itu pasti akan sibuk dengan istrinya dan mengabaikan kehadirannya. "Apa kabar, Pak Gen. Jangan panggil aku nyonya bos. Keona saja," balas Keona mengulurkan tangan menjabat Gen. "Kau juga jangan memanggilnya Pak Gen. Hanya Gen!" perintah Kairos melirik pada Gen."Baiklah, Keona. Silakan." Gen membukakan pintu bagi mereka berdua dan segera melesat sana.Gen tahu menempatkan sendiri makanya dia tidak membahas mengenai Alena dan informasi apa saja yang sudah dia dapatkan. Jangan sampai penyelidikannya membuat Keona merasa curiga yang berujung pada pertengkaran suami istri itu. Keon