Reagan mengendus. "Aku tidak peduli, Milly. Suka atau tidak suka yang pasti aku sudah mendapatkan perempuan yang cocok denganku."
"Reagan, kau mabuk cinta. Bisa saja sekarang kau merasa bahwa dia yang terbaik, tapi bisa jadi nanti kau akan merasa bosan dan menyesal karena sudah mencintainya."
Reagan diam sesaat, apa yang dikatakan kakaknya benar. Saat ini ia hanya sedang mabuk, mabuk cinta terhadap gadis bernama Agatha. "Lalu menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Reagan pelan.
"Sekarang ini aku tidak akan melarangmu untuk mengunjungi perempuan lain, itu hakmu sebagai laki-laki. Tapi kau sudah dijodohkan dengan anak sahabat daddy."
"Apa itu artinya kau setuju aku bersama Agatha?"
"Aku tidak bilang setuju atau tidak, Reagan. Tapi jika kau memang ingin mendekatinya kau harus ingat apa saja yang tidak bisa kau lakukan padanya. Kau sudah punya calon istri, tidak mungkin kau akan memberikannya harapan yang sudah pasti tidak akan membuat kalian bersama. "
"Baiklah, aku mengerti," balasnya pelan.
"Kau memang mengerti, tapi kau bersikap tidak mengerti."
Reagan tertawa. "Oke. Terima kasih banyak, Milly, semoga harimu menyenangkan."
Tut! Tut!
Di sisi lain.
Dalam mansion besar yang mewah dan rapi Clare sedang sarapan bersama kedua orangtuanya. Clare duduk di samping kanan Dean, sedangkan Kensky duduk di hadapan Clare.
"Bagaimana hari pertamamu, Sayang?" tanya Kensky sambil menuangkan susu ke dalam gelas anaknya.
"Cukup buruk."
Dean dan Kensky terkejut kemudian sama-sama saling bertatapan.
"Buruk kenapa, Sayang?" tanya Kensky sambil meraih wadah jus orange, menuangkan untuk dirinya sendiri lalu ke dalam gelas Dean.
"Kemarin aku terlambat, jadi panita menyuruhku mengelilingi kampus sebanyak seratus kali. Itu sebabnya hari ini kakiku sekali."
Dean berdeham. "Siapa namanya? Apa perlu papi laporkan dia ke bagian___"
"Jangan, Pi," sergah Clare, "Kan aku yang salah. Mungkin kalau aku tidak terlambat dia tidak akan memberiku hukuman ini."
Kensky tersenyum sayang. "Ingat, universitas itu milik keluarga kita. Jika ada yang berani macam-macam padamu, papimu ini tidak akan segan-segan menyuruh mereka untuk mengeluarkan orang itu."
Clare menggeleng. "Tidak, Mami. Justru aku tidak ingin mereka tahu siapa aku sebenarnya. Kemarin aku sudah memberitahu hal ini juga kepada Ansley, kalau ada mahasiswa yang tahu siapa aku sebenarnya itu berarti perbuatan Ansley atau Papi."
"Kenapa papi?" tanya Dean. Ekspresinya terkejut sambil menatap Clare.
Gadis itu menahan tawa. "Aku hanya bercanda, Pi. Pokoknya aku tidak mau ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Dan jika suatu saat mereka tahu, aku tidak akan setuju jika pihak universitas memperlakukanku secara spesial. Aku ingin seperti mahasiswi yang lain, diperlakukan wajar dan layaknya seorang siswi biasa."
"Kau sangat bijaksana, Sayang," kata Kensky.
"Oh, iya," kata Dean, "Ngomong-ngomong soal perjodohanmu, kau tidak keberatan kan setelah lulus kuliah langsung menikah?"
Clare menelan ludah. Baginya keputusan kedua orang tua adalah yang terbaik. "Papi atur saja. Jika menurut Papi dan Mami itu yang terbaik aku pasti akan setuju."
Dean dan Kensky saling menatap bahagia.
"Kau sudah menghubungi Alex?" tanya Kensky kepada Dean.
"Belum, tapi pagi ini aku akan menghubunginya."
Clare menyudahi sarapannya. "Baiklah, aku ke kampus dulu. Aku tidak mau terlambat dan kena hukuman lagi."
Kensky dan Dean mengangguk. Setelah mendapat kecupan manis dari Clare, mereka tersenyum sambil melihat gadis itu hingga menghilang.
"Dia anak yang sangat penurut," kata Kensky.
"Apa menurutmu kita tidak kelewatan? Apa keputusan kita untuk menjodohkannya sudah benar?"
Kensky menatap Dean. "Jika menurutmu itu benar, sudah pasti itu yang terbaik buat anak kita, Sayang."
***
"Clare!"
Suara wanita dari arah belakang langsung mengejutkannya. Ia menoleh dan melihat sosok Ansley yang mendekatinya.
"Kau baru tiba, ya?" tanya Ansley saat melihat gadis itu keluar dari mobil.
"Iya."
"Halo, Ansley."
Suara perempuan dari arah belakang membuat mereka berdua menoleh.
"Chloe?" sapa Ansley, "Tumben kau datang pagi-pagi."
Gadis itu tersenyum paksa ke arah Clare kemudian menjawab pertanyaan Ansley. "Hari ini kan kegiatan di kampus cukup padat. Jadi, aku harus datang lebih awal biar tidak ketinggalan informasi. Aku dengar pagi ini Reagan akan mengajak kita rapat, benar begitu?"
Ansley terkejut "Oh, iya? Tapi kenapa aku tidak tahu, ya? Perasaan di group tidak ada informasi."
"Baiklah, kalau begitu aku tinggal dulu. Sampai nanti."
Ansley dan Clare melihat tubuh Chloe yang sudah menjauh.
"Sepertinya dia memang tidak suka padamu, Clare," kata Ansley.
"Aku tak peduli," balas Clare seraya bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan bersama dengan langkah cepat dan sangat panjang, "Sekarang aku hanya ingin fokus kuliah, itu saja. Jika dia tidak menyukaiku itu urusannya dan aku tidak mau mencari masalah."
"Ansley!"
Suara dari belakang membuat langkah Ansley dan Clare terhenti. Clare yang melihat sosok sedang berlari itu segera pamit dan meninggalkannya. "Aku pergi dulu, Ans. Sampai nanti."
Sosok yang baru saja mendekati Ansley kini melihat ke arah Clare yang berjalan tanpa menatap kiri dan kanan. "Kenapa dia pergi?"
"Aku tidak tahu, mungkin dia malu bertemu denganmu."
Sosok yang ternyata adalah Reagan itu kini tersenyum dengan wajah merah merona. "Apa kau sudah bilang padanya bahwa aku menyukainya?"
Ansley menelan ludah. Di satu sisi ia tak ingin mengecewakan Reagan, tapi di sisi lain ia juga tak mau berbohong. "Aku sudah mengatakannya. Kemarin kau sendiri sudah melihatnya, kan? Dia sangat menyukai burger dan minuman itu."
Reagan tersenyum. "Lalu apa yang dia katakan?"
"Dia tidak bilang apa-apa, tapi mungkin dia ingin kau sendiri yang mengutarakan perasaanmu kepadanya."
"Aku malu, Ans. Aku takut dia menolakku."
Ansley terbahak. "Pria keras kepala sepertimu ternyata punya rasa malu? Rasanya aku tak ingin berhenti tertawa."
Wajah Reagan kembali memerah. "Itu wajar, Ans. Kau tahu sendiri, kan? Ini pertama kali aku jatuh cinta."
"Aku tidak percaya, buktinya dulu kau pernah menyukai perempuan yang seangkatan dengan kita. Ingat, Reagan, kau tidak ingin hal yang sama terjadi lagi, kan?"
Reagan menggeleng. "Itu tidak benar, Ans. Aku menyukai mereka hanya sekedar suka, berbeda dengan sekarang ini. Waktu pertama melihat Agatha rasanya aku sudah menemukan wanita impianku."
"Oke, oke, aku mengerti. Tapi saranku, sebaiknya kau harus memberanikan diri untuk meluapkan perasaanmu kepadanya sebelum semuanya terlambat."
Kepala Reagan tersentak melihat Ansley. "Apa dia sudah punya pacar?"
"Sepertinya tidak, tapi kau coba saja dulu. Kalau memang kau sudah mengungkapkan perasamu kepadanya dan dia menolak, itu berarti dia sudah punya pacar."
Reagan marah. "Apa maksudmu, Ansley? Kau kan temannya, masa kau tidak tahu kalau dia sudah punya pacar atau belum."
Ansley menarik napas panjang. "Baiklah. Aku akan menceritakannya padamu, tapi setelah kegiatan terakhir selesai."
"Itu terlalu lama, Ans. Sekarang saja."
"Tidak. Kalau kau ingin mendapatkan jawaban dariku, selesai kegiatan kita ke kantin dan bicara."
***
Setelah semua kegiatan berakhir, para peserta mahasiswa baru diperbolehkan istirahat.
Ansley yang juga ikut dalam kegitan tersebut langsung berlari dan mendekati Clare. "Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Ansley seraya menyodorkan satu botol air mineral kepadanya.
Napas Clare tak beraturan. "Terima kasih. Aku akan ke toilet sebentar. Setelah itu aku akan ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan ketua."
"Kau tidak ingin makan siang dulu?"
"Aku tidak lapar," jawab Clare, "Oh, iya. Ingat, aku tidak ingin menerima makanan darinya lagi. Jadi kalau dia menyuruhmu lagi seperti kemarin, lebih baik berikan saja makanan itu kepada orang lain karena aku tidak akan memakannya."
Ansley terdiam. "Oke, oke. Tapi kalau dia paksa, bagaimana?"
"Tidak, Ansley, aku tetap tidak akan menerimanya."
Bersambung___
Ansley menelan ludah. "Oke, oke, kalau begitu aku ke kantin dulu. Jika ingin mencariku kau bisa ke sana atau telepon saja aku." Clare hanya mengangguk. "Aku ke toilet dulu, sampai nanti." Ia pun berlalu meninggalkan temannya sendirian. Ansley yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa menatap gadis itu hingga tubuhnya menghilang di kerumunan mahasiswa baru. Reagan muncul, matanya mengikuti arah pandang Ansley. "Mau ke mana dia? Kau tidak mengajaknya makan di kantin?" "Dia mau ke toilet dan setelah itu ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang kau berikan tadi." Reagan tersenyum sayang. "Dia gadis yang luar biasa, Ans. Aku sangat menyukainya." Tanpa mereka sadari Chloe sedang memandang mereka dari jarak yang cukup dekat. Matanya menyipit, wajahnya merah akibat rasa cemburu melihat ekspresi Reagan saat menatap ke arah Clare. "Aku harus memberinya pelajaran. Dia tidak boleh ada di kampus ini." Dengan emosi yang mel
Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley. Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka. "Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke. "Clare, kamu di mana?" pekik Ansley. Klik! Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala. "Aku di sini!" Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?" Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."
Dengan ekspresi serius Clare sedang menyelesaikan tugasnya di perpustakaan bersama beberapa mahasiswi yang seangkatan dengannya. Namun bukannya duduk bersama, Clare mengambil posisi di pojok ruangan untuk menyendiri. Bukannya tidak ingin bergaul, tapi menyendiri dan fokus belajar membuat Clare merasa nyaman. Baginya Ansley sudah cukup untuk menjadi sahabat sekaligus saudaranya di universiras tersebut. Bagi Clare satu teman yang sangat bermanfaat jauh lebih baik, daripada banyak tapi berteman hanya karena memanfaatkannya. "Clare!" Suara Ansley mengejutkannya. Dengan senyum manis ia menutup laptop kemudian menyapa wanita itu. "Ada apa? Sepertinya kamu sedang bahagia?" tanya Clare. Ansley menarik kursi yang ada di samping Clare. "Kau sudah selesai?" Mengingat di ruangan itu hampir semua penghuni adalah mahasiswa baru, Ansley mengedarkan pandangan lalu berkata, "Untuk para mahasiswa baru, lima belas menit lagi kalian harus berkumpul di lapangan, ada hal penting y
Dengan penuh percaya diri Reagan maju ke depan sambil tersenyum samar. Rambutnya yang berwarna cokelat tampak mengembang akibat tiupan angin yang sebentar lagi akan menyambut musim dingin. "Halo, Semua. Apa kalian baik-baik saja?" sapa Reagan dengan senyum melebar. "Baik, Ketua!" sahut mereka semua. Ansley dan Luke yang sedang berdiri di belakangnya menahan tawa mendengar kekonyolan sahabat mereka. "Sepertinya dia sedang gugup," kata Luke. Ansley menatap ke arah Clare. "Sepertinya begitu. Aku tahu siapa yang menyebabkan dia gugup." "Jadi, begini," lanjut Reagan seraya menatap semua wajah-wajah yang tampak penasaran menanti penjelasannya, "Karena hari ini adalah aktivitas terakhir kita dalam kegiatan ini, besok kita akan melaksanakan game sekaligus acara puncak dan pengumpulan tugas yang saya berikan tadi. Setelah__ kami para panitia telah mendiskusikan hal ini kemarin__ memutuskan untuk melaksanakan acara tersebut di sebuah vila."
"Kalau diskors mungkin aku percaya, tapi kalau sampai dikeluarkan aku rasa itu tidak mungkin."Ansley menelan habis isi gelasnya sebagai alasan untuk memikirkan apa yang tepat untuk jawaban dari perkataannya sendiri. Tidak mungkin jika dia harus mengakui bahwa ayah Clare-lah pemilik kampus itu. Apalagi Clare sendiri telah melarangnya untuk tidak membongkar informasi tersebut kepada siapapun.Setelah isi gelasnya habis Ansley membersihkan mulutnya dengan tisu lalu berkata, "Kan kau tahu sendiri Reagan adalah anak dari salah satu investor terbesar di kampus ini. Sekali saja keluhan yang dikatakan Reagan rektor pasti akan segera bertindak. Apalagi kesalahan yang dilakukan Chloe bukan hal biasa, tapi dia telah mengunci gadis yang disukai Reagan.""Kau benar, berarti sebentar lagi perang akan segera dimulai.""Perang, maksudmu?"Luke menatap Ansley. "Chloe sangat mencintai Reagan dan dia tidak akan pernah mengijinkan satu pun gadis di kampus ini yang bo
"Memangnya kenapa? Dia hanya mahasiswi biasa yang masih baru di kampus ini, Ans," kata Chloe dengan nada meremehkan. Luke dan Reagan hanya menggeleng kepala melihat sikap Chloe yang begitu sombong. "Dia memang mahasiswi baru di kampus ini, tapi kau sendiri yang melihat bagaimana emosi rektor saat tahu kau menguncinya di dalam toilet?" "Apa jangan-jangan dia juga anak salah satu investor di kampus ini?" tanya Luke, "Investor kampus ini kan banyak." Reagan terkejut dan menatap Ansley. "Apa itu benar?" Gadis itu menelan ludah. Seandainya Clare tidak memperingatkannya mungkin saat ini dengan bangga ia akan membuka latar belakang Clare yang sebenarnya kepada mereka agar Chloe tidak meremehkannya lagi. Tapi karena sahabatnya itu sudah memperingatkannya Ansley pun terpaksa memendam informasi itu sampai batas kemampuannya. "Aku tidak tahu, sumpah. Tapi coba kalian pikir secara logika, mana mungkin kalau dia hanya orang biasa rektor akan marah-
Soraya tersenyum lebar. "Aku baik-baik saja, aku hanya sedang mengingat nama kerabat saya. Awalnya aku pikir nama orangtuamu sama dengan nama kerabatku yang kebetulan tinggal di sini juga tapi ternyata tidak. Nama belakang kalian memang sama, tapi nama depannya bukan. Maaf, tadi aku cukup kaget mendengar nama belakangmu yang kebetulan sama dengannya.""Oh," balas Clare.Soraya berpamitan. "Baiklah, aku harus pergi. Sampai nanti.""Iya. Hati-hati, Nyonya.""Terima kasih."Clare pun melanjutkan kembali aktivitasnya untuk membersihkan mobil.Soraya dengan cepat berjalan ke depan kampus untuk mencari taksi. Tak menunggu lama taksi pun melintas dan Soraya menaikinya."Selamat sore, Bu. Mau ke mana?" tanya si supir dengan nada sopan.Soraya marah. "Aku belum ibu ya, Pak! Panggil saja nyonya. Jalan saja, nanti kalau sudah di depan aku akan mengatakannya."Si supir merasa bersalah. "Baik, Nyonya."Dengan tergesa-gesa Sora
"Tadi dia dipanggil rektor karena ketahuan menguncimu di kamar mandi. Awalnya aku dan Luke berpikir Reagan yang melaporkannya, ternyata setelah kami tanya Regan bilang tidak. Terus mulai besok dia diskorsing selama sebulan dan tidak boleh mengikuti kegiatan kampus bersama kita."Alis Clare berkerut. "Benarkah? Kalau memang bukan Reagan yang melaporkannya lalu dari mana rektor tahu dia yang melakukannya?""Aku rasa ada seseorang yang melaporkannya ke rektor. Kau tahu, tadi dia bilang rektor sangat marah padanya. Dia berpikir Reagan yang telah melaporkannya kepada rektor karena sikap beliau yang sangat jelas begitu membelamu."Clare tertawa. "Syukurlah kalau begitu. Setidaknya itu pelajaran buat dia agar berhenti mengerjaiku.""Tapi, Clare, sepertinya mereka mulai curiga padamu.""Curiga bagaimana maksudmu?""Mereka berpikir bahwa kau bukan mahasiswi biasa di kampus ini. Luke dan Reagan beranggapan bahwa kau mungkin adalah anak salah satu inve