Firda hampir terpancing emosinya. Namun dia pun sadar tidak mudah menyangkal gosip tanpa didukung bukti-bukti otentik. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyata pun dalam kenyataannya orang-orang lebih mudah percaya pada hoax.
Firda hanya bisa geleng-geleng kepala seraya pergi pulang setelah membeli beberapa kebutuhan hariannya. Namun gosip tentang Arman sepertinya masih akan tetap berlanjut hingga mereka bosan sendiri membicarakannya.
‘Gila, tidak salah yang dikatan Hendi. Ternyata ada gosip yang sangat edan di kalangan warga. Aku tak menduga sudah sejauh itu gpsip tentang Arman. Tapi benarkah semua itu?’ rutuk Firda dalam hati. Namun diakui atau tidak, sesungguhnya dia pun mulai sedikit terpengaruh dengan berita-berita yang masuk ke telinganya.
Akhirnya Firda sampai di rumahnya. Baru lima bulan dia dan suaminya menempati rumah di kompleks BTN Antiex. Nama sebenarnya BTN Sindang Sari. Namun karena hampir 80% penghuninya berstatus karyawan PT. Textile Antiex, perumahan itu pun sering dianggap sebagai perumahan khusus karyawan.
Rumah yang ditempati Firda merupakan over alih kredit. Walau posisinya berada paling pinggir dan agak terpisah dari bangunan yang lain, namun bangunan lebih besar dan lebih megah dibanding yang lain karena pemilik lama sudah merenovasinya. Halamannya pun cukup luas yang dipenuhi aneka tanaman hias dan pohon buah-buahan. Sangat asri dan nyaman dengan pasokan udara segar yang melimpah.
“Bu Firda sore amat pulangnya.” Sebuah suara tiba-tiba menyapa Firda yang baru saja memarkirkan motornya di garasi. Firda segera menolehkan wajah mencari asal suara penyapa.
Deg! Jantung Firda seketika terasa berhenti berdetak. Bola matanya sedikit terbelalak saat melihat sosok penyapa itu ternyata laki-laki yang paling dibenci dan ditakutinya.
Lelaki itu berdii di bawah pohon rambutan dengan memakai celana jeans hitam yang robek di sana-sini serta kaos hitam tanpa lengan, diolah ingin memamerkan semua tato yang tergambar pada kedua lengan dan daadanya. Gaya berpakaian yang sudah menjadi ciri khasnya.
“I… i… iya Mas, seperti biasa aja,” jawab Firda sedikit gelagapan seraya menatap lelaki yang dikabarkan sudah sering keluar masuk penjara karena kasus kriminal dan pemerkosaan.
Sebelah tangan lelaki itu memutar-mutar sebatang rokok yang masih menyala. Sementara tangan yang lainnya mengelus-elus celana robek-robeknya tepat di bagian slangkangannya yang menyembul. Tatapan mata dan seringai bibirnya yang hitam terlihat mengintimidasi.
“Pak Bagasnya belum pulang, Bu?” tanya lelaki itu sambil bersandar pada pohon rambutan di belakangnya.
“Be…be..belum, Mas. Sebentar lagi pulang, u..u..udah di jalan,” jawab Firda sambil tergesa-gesa memasukan anak kunci pada pintunya. Sekilas dia melihat lelaki bertampang kriminal itu bangkit dari bersandarnya, lalu melangkah seperti yang hendak mendatanginya.
“Makin gede aja buahnya, Bu,” ucap lelaki itu dengan tatapan liar yang tertuju pada bagian depan tubuh Firda yang terhalang kerudung cokelat muda.
Wajah Firda mendaadak merah padam menahan kesal, marah dan takut yang berkecamuk dalam daada. Dengan sangat tergesa-gesa dia segera masuk ke rumahnya tanpa mempedulikan ucapan yang sangat kurang dari lelaki brandalan itu.
Firda segera menutup dan mengunci kembali pintunya. Jantungnya berdebar kencang dan sekujur tubuhnya bergetar dan melemas. Dia berdiri menahan pintu dengan punggungnya, berjaga-jaga jika lelaki kurang ajar itu mendorong pintu dan memaksa masuk ke rumahnya.
Sekilah mata Firda menatap jam dinding yang menunjukan waktu pukul enam kurang beberapa menit. Keadaan dalam rumahnya sudah sedikit gelap. Namun Firda tidak berniat menyalakan lampu. Dia khawatir lelaki itu memaksa masuk dan berbuat jahat terhadapnya. Dalam keadaan gelap Firda masih bisa sembunyi atau berlari keluar melalui pintu dapur.
Bukan baru kali ini Firda ketakutan dengan kehadiran lelaki brandalan itu di dekat rumahnya. Namun kali ini rasa takutnya sangat berbeda. Ada aura aneh yang dirasakannya saat dia menatap mata lelaki itu hingga bulu kuduk Firda pun merinding. Sesuatu yang terasa ganjil namaun sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Sejak pertama pindah ke kompleks itu, beberapa tetangganya sudah mewanti-wanti agar jangan kenal apalagi dekat dengan lelaki bernama Alex. Namun suami Firda justru sengaja mengakrabkan diri dengannya. Menurut Pak Bagas, preman justru harus didekati agar tidak berani mengganggu.
Alex tinggal dengan ibunya, seorang janda yang sudah renta. Rumah sederhananya berjarak kurang lebih lima puluh meteran dari rumah Firda. Preman kompleks itu tidak setiap hari ada di rumahnya. Pasar, terminal, stasiun kereta, tempat hiburan malam dan pelabuhan laut, menjadi rumah keduanya.
Saat Alex sedang di rumah ibunya, Pak Bagas sering mengundangnya untuk sekedar minum kopi, ngobrol atau bermain catur. Sejauh ini Pak Bagas pun belum pernah mengajak Alex masuk ke dalam rumahnya, kecuali saat numpang ke kamar mandi yang ada di dapur.
Beberapa kali Firda memprotes suaminya yang tidak mau mendengar nasihat para tetangganya. Namun alih-alih menanggapi protes istrinya, Pak Bagas justru sering melontarkan pujiannya untuk Alex. Menurut dia, keberengsekkan Alex belum seberapa jika dibanding dengan kenalan dirinya saat muda dulu.
Firda pun mengakui, Alex tidak pernah berbuat kurang ajar pada dirinya. Namun tatapan mata serta candaannya kadang terkesan mengintimidasi dan melecehkan. Firda sering dibuat gerah, jengah dan muak karenanya. Namun Alex pun cukup tahu diri, dia tidak pernah mencandai Firda di depan suaminya.
Andai saja Alex sedikit peduli dengan penampilannya, mungkin dia akan menjadi sosok idola emak-emak sekompleks. Kulit wajahnya yang sedikit legam, akan tersamarkan dengan hidung mancungnya, matanya yang setajam elang, alisnya yang tebal, rambutnya yang gondrong serta tato-tato di sekujur tubuhnya, bahkan bisa menjadi daya tarik tersendiri.
Sudah cukup lama Firda berdiri menahan pintu dengan punggungnya. Namun dia tidak mendengar suara langkah Alex mendekati pintu. Firda menduga jika Alex tidak masuk ke beranda rumahnya. Dia masih tetap berdiri di bawah pohon rambutan atau di tempat lain.
Dengan gerakan yang sangat pelan, Firda mendekati jendela samping. Lalu dia menggeser sedikit gordennya untuk mengintip keberadaan Alex.
“Astaga!” pekik Firda sedikit keras. Jantungnya tersentak dan darahnya seketika berdesir kencang. Dia segera memejamkan mata, namun masih tidak cukup untuk membuang bayangan mendebarkan yang baru saja dilihatnya dengan durasi yang tidak terlalu lama.
Firda melihat dengan jelas, Alex sedang berdiri di bawah pohon rambutan dengan celananya yang dipelorotkan hingga setengah paha. Kepalanya mendongak ke langit, mulutnya megap-megap, kedua matanya pun merem melek, sementara salah satu tangannya bergerak lincah mengocok belalai hitamnya yang sangat besar dan panjang.
‘Dasar manusia gila!’ maki Firda dalam hati. Dalam sepanjang hidupnya, baru kali ini dia melihat lelaki berprilaku nekad dan norak seperti itu. Dalam sepanjang hayatnya pula, Firda baru pertama kali melihat belalai lelaki sebesar dan sepanjang milik Alex.
Setelah menguasai degup jantung dan dirinya, Firda segera beranjak menuju kamarnya. Lalu mengunci pintu kamar dan berdiri bersandar pada daun pintu. Sekujur tubuhnya terasa makin lemas dan bergetar. Belalai besar dan panjang yang semestinya tidak dilihatnya itu, telah merasuki benaknya.
Dan entah pikiran mana yang telah menggerakkan dirinya, hingga tanpa disadarnya, Firda mendatangi jendela kamarnya. Lalu dia pun menyingkap sedikit gordennya untuk kembali mengintip aksi sang lelaki gila dan nekad yang sedang bermastrbasi di alam terbuka.
“Astagfirullahaladzim!” Firda berseru seraya melepas gorden yang dipeganggnya dan kedua tangannya refleks mengusap beberapa kali sambil membaca segala doa yang dihapalnya.
Di bawah pohon rambutan itu, Firda tidak menemukan Alex, namun yang terlihat hanya sesosok bayangan hitam yang sangat mengerikan. Hampir menyerupai bayangan manusia raksasa. Bayangan itu pun sedang melakukan seperti yang tadi Alex lakukan. Belalainya pun terlihat berukuran raksasa.
“Alex atau siapa yang tadi menyapaku? Mengapa dia menjadi sosok aneh begitu? Jangan-jangan… “ tanya Firda dalam hati.
“Astaga! mengapa aku bisa melihat makhluk-makhluk aneh seperti itu?”
Seketika tubuh Firda menggigil, wajahnya pucat, mata terpejam, mulut komat-kamit, dan bulu kuduknya merinding. Ketika Adzan Maghrib berkumandang, kesadaran Firda kembali pulih. Dia pun bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat Maghrib setelahnya.
Setelah melaksanakan Shalat Maghrib, bayangan Alex dan sosok ganjil yang menyerupai Alex dan mengerikan itu pun menguap dari pikiran dan bayangan Firda. Saat suaminya pulang kerja, semua sudah kembali seperti sedia kala. Firda pun merasa apa yang dilihat dan dialaminya hanya halusinasi, hingga dia memutuskan untuk tidak menceritakan itu pada suaminya. Hari berikutnya Firda sampai di kantornya jam setengah tujuh pagi. Sengaja dia berangkat lebih pagi karena ingin segera bertemu dengan Pak Hasan untuk menanyakan banyak hal tentang Arman. Namun dia harus kecewa karena ternyata Pak Hasan tidak masuk kerja tanpa alasan jelas. Akhirnya Firda hanya duduk termangu di meja kerjanya seraya menunggu yang lain dan memikirkan semua yang telah dialaminya dipadu dengan semua info yang masuk ke telinganya. Keyakinan Firda mulai sedikit goyah. Ada sebersit perasaan dalam hatinya yang mengatakan jika Arman memang menjadi tumbal pesugihan dan kini arwahnya gentayangan. Sebenarnya Firda juga ingin
“Kok lama sekali sayang, katanya cuma sebentar?” tanya Mas Bayu saat aku sampai di rumah. “Iya Mas, tadi Bang Alex ngobrolnya lama banget sama teman-temannya,” jawabku berbohong. “Ya udah kita masuk dulu. Mas juga udah nyiapin minuman hangat buat kamu, Sayang” ajak Mas Bayu sambil tersenyum lembut menghangatkan jiwaku yang kaku dan dingin. Aku benar-benar terharu mendapati kelembutan dan perhatiannya. Lalu buru-buru masuk ke rumah dan bergegas masuk kamar mandi. Aku tidak mau Mas Bayu melihatku menangis karena terluka atas penghinaan Alex, sekaligus terharu atas kebaikan suamiku. ‘Mas Bayu, seandainya kamu tahu, istrimu tercinta ini sudah dua dinodai oleh si manusia brengsek itu. Di dalam rahim istrimu kini telah tersemai benih seorang preman kampung yang bertekad ingin merebutku darimu. Maafkan segala kelemahanku, Mas.’ Aku hanya bisa membatin sambil berusaha menahan isak tangis agar tidak menjadi raungan keras yang akan membuat suamiku cemas dan bertanya-tanya, apa sesungguhnya
Hingga beberapa saat lamanya Hendy dan Firda hanya terdiam. Keduanya asik berkelana dengan pikirannya masing-masing. Firda merenungi banyaknya kejanggalan dalam kematian Arman. Sementara Hendy asik menikmati rokok dan segelas kopinya yang sudah dingin. Isi kepalanya sudah sangat lelah memikirkan yang sedang terjadi. Sebagai seorang sahabat yang sudah menganggap Arman sebagi saudara kandungnya tentu saja Hendy memiliki beban moral yang lebih dibanding siapapun. Dia sangat mengenal karekater Arman dengan keluarganya, lebih dari siapapun. Kehilangan yang dirasakan oleh orang tua Arman, juga dirasakan olehnya. “Hen, ibu boleh tanya sesuatu yang sedikit sensitif?” Firda kembali angkat bicara. Tiba-tiba saja dia teringat dengan obrolan emak-emak kemarin sore. “Silakan Bu. Saya tidak akan menutup-nutupinya,” balas Hendy santun. “Kamu kenal dengan Mas Andi, tukang gali kuburan?” tanya Firda dengan sangat hati-hati. “Astagfirullah!” seru Hendy seraya menghentakan punggung pada sandaran kur
Aku Dan Cewek Misterius (1) Tok tok tok "Man, kuliah gak lu!" Hendy yang sejak tadi menunggu Arman di luar kamar mandi, berteriak tak sabar. “Bentar, gua lagi nanggung, Nyet!” Arman menjawab sekenanya. “Colay jangan di kamar mandi, Nyet! Ganggu jadwal orang mandi aja!” rutuk Hendy makin kesal. Arman tersenyum puas karena sudah membuat sahabatnya salah persepsi. Dia sama sekali tidak sedang melakukan aktivitas kamar mandi yang menegangkan itu. Dia justru sedang berjongkok menunggu sesuatu yang akan keluar dan terbuang dari dalam tubuhnya. Sementara pikirannya sedang melayang pada peristiwa semalam. Jiltan lidah Firda masih terasa di sekujur tubuhnya. Syaraf-syaraf kenikmatannya kembali menggila dan tersiksa. Perlakuan Firda tadi malam sulit ditebak. Kadang cepat dan kasar, kadang juga lembut penuh perasaan hingga membuat Arman serasa terbang melayang dicabik-cabik badai syahwat birahinya. Firda tiada hentinya memberikan service yang menakjubkan, dia bahkan tidak membiarkan kesemp
Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Mas Bayu menjelaskan tentang obsesi dan fantasi dirinya. Mas Bayu mengaku sudah cukup lama memendam hasrat dan terobsesi pada aktivitas seksual yang tak lazim. Dia sangat menginginkan istrinya melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain atas seizin dan sepengetahuannya. Bahkan jika perlu dilakukan di depannya. Atau melakukannya secara bersama-sama dengan mengundang lelaki lain. Menurut Mas Bayu gambar dan film-film itu sengaja dia koleksi untuk memancing libidonya agar bergairah saat menyetubuhiku. Jika suatu saat dia tiba-tiba bersemangat menyetubuhi itu akibat fantasinya sedang tinggi. Imajinasinya sedang bagus membayangkan aku disetubuhi lelaki lain. Dia mengakui juga kalau selama ini fantasinya sering gagal karena lama kelamaan bukan hanya khayalan yang dia butuhkan namun melihatnya secara langsung. Dia juga mengakui sering membayangkan bagaimana liar dan binalnya jika aku melakukan hubungan intim dengan laki-laki muda, gagah dan perkasa.
Entah karena merasa malu atau bersalah, atau sedang membeli hatiku agar mau mengikuti fantasinya, atau ada udang di balik batu lainnya. Beberapa hari kemudian tiba-tiba saja Mas Bayu mengajakku nonton film di bioskop. Padahal sedang tanggung bulan dan bukan jadwal kami untuk belanja bulanan. Ini benar-benar sesuatu yang sangat baru bagi kami. Selama menjadi istrinya, aku belum pernah diajak nonton film di bioskop, jalan-jalan atau rekreasi ke tempat-tempat wisata ternama, apalagi berbulan madu ke Labuhan Bajo dan tempat eksotik lainnya. Paling banter diajak makan di resturant sekitaran mall sambil belanja bulanan. Itu pun kalau dia sempat. Sejauh ini aku lebih sering belanja sendiri di mini market terdekat. Demi menyenangkan hatinya dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya, aku pun langsung menerima ajakannya tanpa banyak pikir. Entah mengapa aku jadi mudah curiga pada suamiku sendiri. Apapun yang dilakukannya terasa tidak tulus lagi, hanya modus dan rekayasa belaka. Dengan be
Aku tidak menceritakan kejadian aneh itu kepada Mas Bayu. Aku tidak ingin mengganggu kenikmatannya menonton. Tapi alasan yang lebih kuatnya, aku justru merasa sangat takut untuk menceritakannya. Ada perasaan Mas Bayu akan marah atau ngamuk pada lelaki itu, sehingga timbul pertengkaran nantinya. Aku berusaha untuk menonton lagi walau pikiranku terus melayang ke sana kemari. Ketika pikiranku berputar-putar tak menentu, tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh pundak kananku. Awalnya aku mengira Mas Bayu yang menyentuhku. Tetapi setelah aku perhatikan, tangan dia sama sekali tidak sedang bergerak dan memegangi bungkus pop corn yang sudah habis . Matanya pun sangat serius memperhatikan layar film yang kembali menayangkan adegan seru. Lalu dengan sangat pelan-elan, aku menolehkan pandang ke belakangku. Tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siap karena memang kami duduk di baris paling belakang. Kemduian aku melihat ke sebelah kananku ke arah lelaki ganteng itu. Dan mendapati dia seda
Setelah pertemuan di rumah makan, Firda meminta Hendy untuk mengantarnya ke kantor desa. Hari sudah sore, Firda yakin kantor sudah sepi namun dia terpaksa harus ke kantor lagi karena ada beberapa barang yang harus diambilnya. Bulu kuduknya tak bisa dibohongi, akibat peristiwa kemarin dia mulai sedikit ketar-ketir. “Hen, kapan ya saya bisa bertemu dengan keluarga orang tuanya Arman?” tanya Firda ketika dia sudah berada di atas motornya dan bersiap untuk pulang. Hendy pun sudah di atas motonya, lebih tepatnya motor Arman yang kini menjadi miliki Hendy. “Lebih cepat lebih baik, Bu. kalau mau sekarang jug, boleh. Bisa saya anter.” Hendy menawarkan jasa. “Kalau hari ini kayaknya belum bisa Hen, ibu harus minta izin dulu sama suami.” Firda menimbang-nimbang kebimbangannya. “Terserah Ibu kapan siapanya, hanya saja kalau bukan hari ini mungkin saya gak bisa ngantre atau nemenin Ibu,” sesal Hendy. “Gak masalah, mungkin minta dianter Pak Asrul. Emangnya setelah ini Hendy mau kemana….?” tany