Share

53. Kegagalan

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 02:28:28

Ratih berjalan pelan di tengah malam,

Setibanya di depan rumah Kyai Ahmad, dia mengetuk pintu kayu yang usang, dan tak lama kemudian, suara berat dari dalam rumah terdengar.

"Siapa itu?" suara Kyai Ahmad terdengar begitu dalam dan menggetarkan.

Ratih mengumpulkan keberanian. "Assalamu'alaikum, Kyai. Saya Ratih."

Pintu terbuka perlahan.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Masuklah," jawab Kyai Ahmad dengan suara yang tenang, mempersilakan Ratih masuk ke dalam rumahnya.

Ratih melangkah masuk, dan dalam sekejap, dia merasa seolah berada di tempat yang jauh berbeda. Kehangatan dan ketenangan langsung menyelimuti dirinya, seakan-akan seluruh kekhawatirannya sedikit berkurang. Kyai Ahmad mempersilakan Ratih duduk di sebuah kursi bambu yang terletak di tengah ruangan.

"Sampaikan kenapa kamu datang kesini lagi, Nak," kata Kyai Ahmad, duduk di hadapan Ratih dengan tatapan yang tajam namun penuh pengertian.

Ratih menarik napas panjang dan mulai menceritakan segalanya. "Kyai, suami saya, Bagas, sedang dilan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   54. Titik Balik Ratih

    Semenjak Bagas mengungkapkan perjanjian pesugihan kepada istrinya. Hari demi hari, Bagas tidak terfokus dengan ladangnya. Dia telah lama tidak berkunjung atau hanya sekedar melihat hasil panennya. 'Ratih, sekarang nggak pernah melihat ku lagi di rumah! Hem! Ini semakin lebih berat dari yang aku bayangkan!' Bagas duduk di ruang tamu dengan wajah letih. Tangannya gemetar menggenggam secangkir kopi yang belum disentuh. Dia tahu Ratih pergi tanpa izin, tetapi tak punya keberanian untuk menanyakannya. “Mas Bagas,” panggil Ratih tegas. Suaranya membuat pria itu tersentak. “Ratih ... kamu dari mana?” Bagas mencoba terdengar santai, meski matanya menyiratkan rasa takut. Ratih berjalan mendekat, menatap Bagas dengan mata yang tajam namun penuh harapan. “Aku bertemu Kyai Ahmad Syafii.” Mata Bagas membesar. “Apa? Kenapa kamu melibatkan orang luar, Ratih? Ini masalah kita!” “Masalah kita?” Ratih tertawa pahit. “Mas, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang hidup kita, Kamu pikir aku akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   55. Pengungkapan Persyaratan

    Ratih menyeka air matanya, lalu mendekati Bagas. Kali ini suaranya melembut, tapi tetap penuh ketegasan. "Mas, kamu yang memulai semua ini dan kamu harus menyelesaikannya. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Kita hadapi makhluk itu. Tapi aku punya syarat." Bagas mengangkat wajahnya, mencoba menangkap harapan di mata istrinya. "Apa syaratnya, Tih?" "Kamu harus putuskan semua hubungan dengan ilmu hitam itu. Tidak ada lagi pesugihan, tidak ada lagi kompromi. Kalau kamu berani melawan makhluk itu, aku akan berdiri di sisimu. Tapi kalau kamu nggak berani, Mas... aku pergi," tegas Ratih. 'Meski aku sebenarnya udah nggak mau lagi menjalin hubungan ini sama kamu, Mas!' Ratih berbicara dalam hatinya. Bagas terdiam lama, memikirkan kata-kata istrinya. Kengerian mulai merayap di hatinya. Namun, jauh di dalam dirinya, ada dorongan yang perlahan tumbuh: harapan dan keberanian. "Baik, Ratih. Aku akan melawan. Aku akan menebus kesalahanku ... demi kamu." Di luar, suara angin yang mend

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   56. Kekecewaan Semakin Bertambah

    "Di desa sebelah, kira-kira tiga jam perjalanan dari sini," sahut Bagas, masih dengan nada menyesal. Kyai Ahmad mengangguk perlahan, lalu berkata, “Baik. Kita nggak akan menghadapi ini sendirian. Ki Raden Praja kemungkinan besar masih memiliki koneksi dengan makhluk itu. Tapi ingat, yang terpenting adalah iman kalian. Ini akan menjadi ujian.” Ratih menatap Kyai Ahmad dengan penuh harap. “Apa yang harus kami persiapkan, Kyai?” “Selain keyakinan, hanya doa,” jawab Kyai Ahmad sambil melipat tangannya di dada. “Namun, aku akan melindungi kalian dengan ini.” Diaa mengangkat keris kecil berukir bahasa yang tidak di pahami Bagas maupun Ratih. “Ini adalah senjata khusus untuk melawan makhluk seperti Genderuwo. Tapi ingat, senjata ini hanya bekerja jika kita nggak memiliki rasa takut.” Bagas tampak semakin gugup, tapi Ratih memegang tangannya erat. "Mas, kamu bisa melakukannya. Kita harus—!" Kyai Ahmad berdiri, mengamati keduanya. “Kita akan berangkat sekarang. Tapi ingat, jangan ada pert

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   57. Mencari Jimat yang hilang

    Bagas menunduk lebih dalam, tangannya mengepal erat. “Aku takut, Tih. Aku takut kehilangan kamu. Waktu itu aku berpikir, kalau aku bisa menyelamatkanmu, aku akan lakukan apa saja.” Kyai Ahmad kembali memimpin perjalanan, tapi kali ini dia berbicara sambil berjalan. “Le, dalam hidup ini, kita memang sering dihadapkan pada pilihan sulit. Tapi pilihan yang benar sering kali adalah yang paling berat. Kamu harus ingat, ujian itu bukan untuk melemahkan kita, tapi untuk menguatkan iman kita.” Bagas mengangguk, meskipun rasa bersalahnya masih membebaninya. “Kyai, saya menyesal. Saya ingin menebus semuanya. Saya akan melakukan apa aja.” Kyai Ahmad berhenti sejenak, lalu menatap Bagas. “Penyesalanmu adalah langkah awal, Le. Tapi perjalananmu untuk menebus dosa ini masih panjang. Malam ini, kita akan menghadapinya bersama. Kamu harus siap, karena Genderuwo itu akan berusaha menghancurkan mu." Suasana semakin mencekam saat mereka memasuki area yang gelap dan penuh kabut tebal. Suara burung ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   58. Rasuk

    Sudah tiga jam kita berputar-putar seperti tak berujung! Mana jimatnya? Kamu yakin bener petunjuk itu, Mas?" Ratih hampir berteriak, saraf-sarafnya tegang. Kekecewaan membanjiri hatinya, membuat setiap langkah terasa berat. "Kenapa sih kamu harus nyalahin aku terus? Udah capek-capek nyari, jimatnya nggak ketemu juga. Ini bukan salahku!" Ratih kembali memegang pinggangnya dan marah sejadi-jadinya pada Bagas. "Mas, kamu masih tanya salahmu di mana? Kita sampai ke sini itu karena apa dan siapa?" Suasana malam semakin mencekam, dinginnya angin hutan menusuk hingga ke tulang. Ratih berdiri di depan Bagas, matanya berkaca-kaca, dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. Kyai Ahmad yang berada di dekat mereka hanya menghela napas, membiarkan pasangan itu menyelesaikan ketegangan mereka. “Mas,” ujar Ratih dengan nada gemetar, “kamu bilang semua ini buat aku. Tapi lihat, kita ke sini mencari benda yang kamu berusaha sembunyikan itu, dan kamu masih aja nggak mau ngaku salah? Kalau bukan karena k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   59. Semakin Menyiksa

    “Le, aku tahu kamu masih di sana,” kata Kyai Ahmad dengan suara tegas. “Kuatkan dirimu, jangan biarkan makhluk ini mengambil alih.” Namun, tubuh Bagas melompat dengan kecepatan yang mengejutkan, menyerang ke arah Kyai Ahmad. Kyai dengan sigap menyiramkan air zamzam ke arahnya, membuat tubuh Bagas terhenti sejenak dan terhuyung mundur sambil berteriak kesakitan. "Aaargh! Apa ini?!" teriak Bagas, suaranya bercampur dengan suara makhluk lain. Bagas terus meronta, tubuhnya gemetar hebat. Matanya kini memancarkan tatapan liar, penuh amarah, namun di balik itu tersirat rasa sakit yang mendalam. Suaranya, kini semakin berat dan menakutkan, kembali terdengar. “Pulang ... kalian harus pulang sekarang!” Ratih memegangi lengan Kyai Ahmad dengan cemas. “Kyai, dia semakin parah. Kita nggak bisa biarkan Mas Bagas seperti ini.” Kyai Ahmad menghela napas berat. "Makhluk itu menggunakan rasa putus asa dan rasa bersalahnya sebagai pintu masuk. Kita nggak bisa melanjutkan pencarian ini jika Ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   60. Gagal Panen

    "Ini, ambil! Jangan letakkan di sini!" suara Bagas menggema tegas di tengah ladang. Dia mengarahkan para petani yang sibuk memindahkan karung-karung hasil panen ke gudang. Peluh membasahi dahinya, tetapi matanya tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, suara Ratih dari kejauhan memecah konsentrasinya. "Mas Bagas!" panggilnya, "Sarapan dulu!" teriaknya dari depan rumah. Bagas menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Ratih yang berdiri dengan celemek di pinggang dan wajah cemas. Dia tidak menjawab. Matanya menajam, memandang istrinya dari kejauhan. Dalam hati, ada pikiran yang melintas. 'Apa yang dia lakukan? Kenapa terus aja berteriak-teriak seperti itu? Nggak lihat aku sedang sibuk?' Bagas menghela napas panjang, menyapu keringat di dahinya dengan tangan. "Nanti aja! Aku masih banyak kerjaan!" balasnya akhirnya, tapi nadanya terdengar lebih ketus dari biasanya. Ratih berjalan mendekat dengan ekspresi kecewa. "Mas, sarapan dulu! Nanti kamu lemas dan sakit" ujar Ratih Bagas mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Pesugihan Genderuwo   61. Keresahan Bagas

    Bagas melangkah dengan penuh amarah, meninggalkan Ratih dan Kyai Ahmad tanpa memedulikan panggilan mereka. Langkah-langkahnya membawanya ke arah hutan yang gelap, jauh dari desa. Hari semakin gelap, dan suara-suara hutan mulai terdengar—gemerisik daun, lolongan aneh dari kejauhan, dan sesekali bunyi ranting yang patah di bawah kakinya. “Kenapa jalannya jadi sejauh ini? Rumah Ki Praja nggak biasanya sejauh ini dari desa,” pikir Bagas sambil terus berjalan. Peluh membasahi dahinya, sementara dadanya mulai terasa sesak karena kelelahan. Hutan itu terasa aneh. Pohon-pohon besar tampak lebih menyeramkan dari biasanya, dengan cabang-cabang yang menjulur seperti tangan kurus yang ingin menangkapnya. Sesekali Bagas berhenti untuk melihat sekeliling, mencoba mencari jalan yang benar. Tapi anehnya, setiap kali dia melangkah maju, dia merasa seperti kembali ke tempat yang sama. "Hah! Capek! Kenapa sih kok belum kelihatan juga rumah Ki Praja? Heran?!" keluhnya dengan napas tersengal-sengal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   125. Pertempuran Batin Bagas Kembali

    Bagas duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar ke arah halaman yang gelap. Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di pohon mangga yang berdiri kokoh di sudut pekarangan. Namun, ketenangan malam itu tidak bisa meredakan kekacauan dalam pikirannya.“Masih kepikiran soal jimat itu, Mas?” suara lembut Ratih memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, membawa segelas air putih.Bagas tidak menjawab langsung. Dia hanya menghela napas berat, menggenggam gelas yang disodorkan istrinya tanpa benar-benar ingin meminumnya.“Aku nggak tau, Tih. Aku nggak tau apa yang benar lagi,” gumamnya akhirnya, suaranya rendah, nyaris tenggelam dalam keheningan malam.Ratih duduk di sebelahnya, menatap suaminya dengan tatapan penuh iba. “Mas, nggak ada yang salah kalau kamu merasa takut. Tapi kita harus menghadapi ini. Bersama.”Bagas tersenyum kecil, meskipun senyum itu tidak mencapai matanya. “Kamu bilang ‘bersama,’ tapi aku yang memulai semua ini, Tih. Aku yang bawa Genderuwo itu ke r

  • Pesugihan Genderuwo   124. Pertanyaan Berat Bagas

    "Mas, kamu udah sadar?”Ratih mengelus kening suaminya dengan lembut. Napasnya mulai tenang, meskipun rasa khawatir masih membayangi. Kejadian ketika Bagas muntah darah tadi siang adalah mimpi buruk yang tak pernah ingin dia ulangi. Meski begitu, di hatinya masih ada sisa kecewa yang sulit disembunyikan.Bagas bersandar di ranjang, tubuhnya terlihat lelah. Pandangannya mengitari ruangan, menatap rumah yang belum berubah, seolah mencari sesuatu yang hilang.Malam itu, di tengah suasana hening, Ratih sibuk merapikan catatan kecil berisi petunjuk dari Kyai Ahmad. Bagas duduk di meja makan, wajahnya penuh dengan keraguan dan kekhawatiran.“Ratih, apa kamu yakin ini jalan yang benar?” Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Ratih menghentikan kegiatannya. Tatapannya mengarah pada suaminya, penuh kelembutan tapi tegas. “Kamu masih meragukan ini, Mas?”“Bukan itu…” Bagas mencoba menjawab, tetapi suaranya goyah. “Aku hanya berpikir… bagaimana kalau kita malah membuatnya semakin marah? Genderu

  • Pesugihan Genderuwo   123. Pusaran

    Ratih duduk di samping Bagas. Dia mencoba tegar, meski hatinya berdebar. Bagas tampak gelisah. Tangannya menggenggam sajadah erat. Wajahnya pucat, pikirannya kacau. Doa-doa terus terdengar. Namun, ketakutan Bagas semakin membesar. Tiba-tiba, tubuh Bagas menegang. Sekujur tubuhnya terasa panas, seolah ada api yang menyala di dalam dirinya. “Panas … panas!” jerit Bagas, memegang dadanya dengan erat. Ratih segera mendekat, panik melihat suaminya menggeliat kesakitan di lantai. “Mas! Mas, ada apa?!” tanyanya dengan suara gemetar. Bagas mulai berguling-guling di lantai, mencoba mengatasi rasa sakit yang menyerang. “Panas! Tolong … aku nggak kuat!” suaranya memekik, memecah keheningan malam. Kyai Ahmad, yang mendengar teriakan itu, segera masuk ke dalam rumah bersama salah satu muridnya. “Ada apa ini?!” tanyanya, melihat Bagas yang tubuhnya kini dipenuhi bintik-bintik merah seperti bekas luka bakar. “Dia kesakitan, Kyai! Tolong Mas Bagas!” seru Ratih sambil memegangi suaminya yang t

  • Pesugihan Genderuwo   122. Ragu

    Keputusan Bagas untuk membantu membawa sedikit kelegaan bagi Ratih dan Kyai Ahmad. Namun, mereka tahu bahwa langkah ini hanyalah awal, dan Bagas masih melangkah dengan setengah hati. Kyai Ahmad menarik napas panjang, berusaha memberikan ketenangan. “Nak Bagas, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menyusun strategi. Kita harus mendekati jimat itu tanpa menarik perhatian Genderuwo. Dia pasti akan merasakan jika kita mencoba mengusiknya. Karena itu, saya membutuhkan keberanian mu untuk membantu mengalihkan perhatiannya.” "Bukannya, jimat itu udah ada sama kalian?" tanya Bagas. "Iya. Ini jimat yang lainnya udah sama aku, Mas! Tapi ini bukan satu-satunya jimat yang kamu punya, kan?" Ratih mencecar ucapan Bagas. "I—iya, kamu benar!" sahut Bagas melemah. "Kali ini aku nggak akan tertipu lagi sama kamu, Mas! Cukup waktu itu aja, kamu menipu kami berdua!" Pekik Ratih. "Iya, maaf!" jawab Bagas dengan singkat. Kyai kembali memberikan instruksi kepada Bagas. "Nak Bagas kamu harus

  • Pesugihan Genderuwo   121. Bagas mulai Membantu

    Ruangan itu dipenuhi ketegangan. Ratih berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar antara marah dan takut. Bagas tetap duduk di kursi ruang tamu, menatap lantai dengan tatapan kosong. Di seberang mereka, Kyai Ahmad mengawasi dengan penuh kesabaran, berusaha menenangkan keadaan. “Mas,” suara Ratih pecah, penuh emosi, “apa kamu nggak lihat? Semua ini udah melampaui batas! Aku tahu kamu ingin kita hidup lebih baik, tapi caramu salah! Pesugihan ini bukan solusi. Ini kutukan!” Bagas mendesah berat, jemarinya menggenggam lututnya erat. Dia tidak berani menatap mata istrinya. “Apa kamu pikir ini keputusan mudah buat aku, Tih?” suaranya rendah, hampir berbisik. "Semua ini … semua yang kita punya sekarang, aku perjuangkan. Kalau aku memutuskan perjanjian ini, kita kehilangan semuanya. Kembali ke nol. Kamu mau hidup seperti dulu lagi? Serba kekurangan?” Ratih menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya. “Mas, aku nggak peduli soal kekayaan itu! Aku peduli soal kita, soal nyawa kita! Ka

  • Pesugihan Genderuwo   120. Ki Praja dan Amarahnya yang Membara

    "Bajingan! dasar Bagas bodoh!" Ki Praja duduk bersila di dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin. Di hadapannya, sebuah kendi tanah liat berisi cairan hitam berkilau. Dia menggumamkan mantra pelan, matanya terpejam, wajahnya penuh konsentrasi. Tiba-tiba, bayangan samar muncul di permukaan cairan kendi itu—bayangan Ratih sedang menggenggam jimat utama yang baru saja ditemukan."Dasar Bagas, goblok! Udah aku katakan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Seketika, napas Ki Praja berubah menjadi berat. Matanya terbuka lebar dengan sorot penuh kemarahan. Dia menatap kendi itu dengan tatapan yang tajam, tubuhnya bergetar menahan amarah.“Dasar perempuan licik! Bagaimana bisa dia menemukan jimat itu?!” desis Ki Praja dengan suara rendah namun penuh dendam.Dia meraih tongkat kayu di sampingnya dan memukul meja kayu di depannya dengan keras. "Bajingan! Bagas bodoh! Sudah aku peringatkan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Suara meja yang terbelah menjadi du

  • Pesugihan Genderuwo   119. Ritual akhir

    Tiba-tiba cahaya terang muncul di sekeliling Ratih. Genderuwo itu menjerit keras, tubuhnya perlahan memudar hingga menghilang dari pandangan. Ratih terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Dia memeluk jimat itu erat, air mata mengalir di pipinya. “Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku kalah,” bisiknya dengan suara parau, sebelum semuanya kembali sunyi. Saat itu, Ratih terbangun dengan napas tersengal. Pandangannya mulai kembali terang, ruangan yang sebelumnya terasa seperti mimpi buruk kini terlihat nyata di hadapannya. Jemarinya masih menggenggam erat jimat yang baru saja diambil. “Aku harus segera pergi dari sini! Sebelum Mas Bagas pulang!” gumamnya dengan nada panik. Ratih berdiri dengan tubuh yang masih lemas. Dia memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya. Dengan langkah cepat, dia keluar dari ruangan rahasia itu, namun perasaannya masih dipenuhi kecemasan. Setiap suara kecil membuatnya melonjak kaget, takut kalau Bagas sudah pulang atau ada yang memergoki

  • Pesugihan Genderuwo   118. Jimat Hitam

    “Nak Ratih, sudah siap?” Kyai Ahmad sambil menatap Ratih dengan serius. Ratih mengangguk, meskipun tangannya gemetar. “Insya Allah, Pak Kyai. Saya sudah membaca doa pelindung sepanjang malam. Saya harus siap.” Kyai Ahmad memberikan senyuman kecil untuk menyemangatinya. “Ingat, fokus pada Allah. Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu.” Murid-murid Kyai Ahmad yang berada di ruangan itu juga menatap Ratih dengan penuh dukungan. Salah satu dari mereka, Feri , berkata, “Kami akan menjaga ruang ini dengan zikir dan doa. Bu Ratih tidak sendiri!" “Terima kasih. Aku nggak bisa membiarkan Genderuwo terus menguasai hidup kami,” jawab Ratih dengan nada tegas. Ruang ritual di belakang aula telah disiapkan dengan hati-hati. Di tengah ruangan, terdapat meja kecil yang dikelilingi lilin-lilin besar. Sebuah mangkuk tembaga berisi air ruqyah ditempatkan di atas meja, sementara di sekitarnya terdapat garam yang telah didoakan, kain putih, dan minya

  • Pesugihan Genderuwo   117. Tanda di Perut

    Dia menghela napas panjang, lalu menenangkan pikirannya. ‘Aku harus memutuskan ini semua. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Mas Bagas boleh aja menyerah, tapi aku nggak!’ pikirnya tegas. Hari itu berlalu dengan penuh aktivitas. Murid-murid Kyai Ahmad membersihkan aula belakang pesantren, mengatur meja, dan menyiapkan segala bahan yang diperlukan untuk ritual. Ruangan itu mulai terasa berbeda, penuh dengan aura ketenangan dan kekhusyukan. Sementara itu, Kyai Ahmad meluangkan waktu untuk membimbing Ratih secara pribadi. Dia mengajari Ratih cara membaca doa pelindung dengan intonasi yang benar dan membantu memperkuat keyakinannya melalui zikir dan shalat. “Nak Ratih, ingatlah bahwa Genderuwo akan semakin marah dan berusaha mengintimidasi kita. Tapi jangan pernah berhenti membaca doa ini, apa pun yang terjadi,” pesan Kyai Ahmad. Ratih mencoba menguatkan dirinya. "Aku tau Kyai. Aku udah siap apapun hasil dan gangguannya!" Malam sebelum ritual, Ratih duduk di depan Kyai

DMCA.com Protection Status