Lima menit lebih dua detik Devi menangis di pelukan Rangga setelah dirasa gumpalan di dalam dada telah memudar Devi perlahan melepas dekapannya.
“Di mana Jessy?”
Rangga tersenyum tipis dan menjawab, “Jessy pulang bersama Pak Saman dan istrinya. Katanya mau di ajak mandi dan makan.”
“Aku terlalu sibuk dengan kesedihanku hingga melupakan orang yang butuh perhatianku.” Senyuman getir menghiasai wajah Devi.
Keduanya berdiri kembali tertunduk memandang bungga segar di atas gundukan makam. Saat itulah Devi tersadar akan kehadiran Rangga di makam bukan suatu kebetulan belaka. Sekilas Devi melirik tubuh jangkung Rangga dan kembali menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Kamu tahu dari mana ibuku meninggal?” Suara pelan Devi memecah keheningan.
“Hari ini adalah hari kematian Ibu, tepat yang ke tiga tahun. Niatk
Ada sesuatu hal yang tak begitu sederhana untuk dikatakan di antara dua manusia yang mempunyai unek-unek berbeda. Rangga sekarang sedikit canggung setelah mengentahui jika awal mula kesalahan terletak pada kakak kandungnya bukan Devi yang pergi begitu saja tanpa alasan. Hal itulah yang tidak pernah dibicarakan Devan waktu itu, hanya mengatakan jika Devi pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Rangga juga membantu Devan kala itu untuk menyakinkan pada Lydia jika kakak iparnya itu orang baik-baik walaupun tak berbuah manis. Tapi dirinya menjadi tempat ternyaman Lydia untuk menumpahkan isi hati perihal Devan dan menantunya yang tak kunjung hamil meskipun Rangga lebih banyak mendengarkan. Saat itu memang Rangga tak tertarik untuk ikut campur urusan rumah tangga Devan. Ada sedikit penyelasan di hati Rangga mengapa ibunya mati lebih cepat sebelum melihat cucu yang dinantikan benar-benar hadir ke dunia, tapi Rangga lebih menyesali menutupi r
Devan mulai gagap jika surat itu ia berikan, pasti Dewi akan melarang datang kepersidangan. Itu artinya Devan setuju dengan gugatan perceraian. Tapi kalo tak diberikan pasti Dewi akan menaruh curiga, ngomel dan bertengkar lagi seperti biasanya. Sedangkan Devan masih ragu dengan keputusannya . “Pinjamlah! Tapi aku ingin makan dulu.” Devan melangkah ke ruang makan disusul Dewi berjalan di belakang. Sebenarnya Devan sempat mencari keberadaan Devi setelah satu tahun ditinggalkan. Tapi nihil. Di rumah mertuanya tak ada manusia, di tempat hotel Devi berkerja tak ada satu pun orang yang tahu kemana Devi pergi. Mencari ke teman-teman waktu sekolah pun tak ada satu pun yang tahu. Semua itu ia lakukan tanpa sepengetahuan Dewi. Meskipun awalnya menikmati kepergian Devi nyatanya Devan sulit menghapus bayang-bayang Devi dari benaknya. Kadang ketulusan, kasih sayang dan cinta baru dirasa jika pelakunya sud
Hasrat yang sudah tidak tertahankan yang Devan rasakan, sesuatu di dalam tubuhnya minta dikeluarkan. Tubuhnya yang gempal berdiri dan berjalan ke samping rumah, melepas kancing celana jins yang ia kenakan kemudian menurunkan resleting mengeluarkan pusaka miliknya. Kaki Devan maju selangkah tubuhnya hampir menghimpit tembok berusaha menyembunyikan pusaka yang menjulur di balik celananya. Air kencing membasahi tembok rumah, tak perduli itu rumah siapa yang penting Devan segera kencing. Lalu kembali ke tempat duduk semula sambil meraih bungkus rokok di atas meja. Bungkus rokok kosong yang bergambar terselip gambar leher bolong itu kosong. Devan menarik nafas panjang sambil meremas bungkus lalu melemparnya sembarangan. Hanya ditemani puluhan bahkan ratusan nyamuk yang bergantian mencicipi darahnya Devan terus menunggu berharap ada manusia datang memberi kabar soal Devi. Berkali-kali menepuk nyamuk yang sudah gendut mengisap darahnya, gatal di kaki dan
Dada Rangga sedikit bergetar tapi masih mampu mengusai emosi membuatnya tak begitu menampilkan kepanikan. Tak ada pilihan lain selain menatap wajah kakaknya yang mudah tersulut emosi. “Wow ... kejutan apa ini?” kata Devan. “Gini Mas, kita bicara dulu!” suara Rangga sangat bergetar. Dengan sangat tergesa-gesa Devi turun dari mobil melangkah menuju rumah. Devan yang melihat Devi menghindar lantas mengikuti dari arah belakang meninggalkan Rangga. “Dev ... Dev ... tunggu!” Devi terdiam tak menjawab atau pun menoleh, kini berdiri di hadapan pintu merogoh tasnya mencari kunci rumah. Karena panik Devi hanya mengaduk-aduk tas tak menemukan kunci yang ia cari. “Kita tak perlu bicara!” kata Devan di sampingnya. Devi tetap sama tak menoleh atau menjawab tanganya terus mencari kunci di dalam tas. “Dev!” Suara Devan terdengar keras. Tangan Devi berhenti bergerak, tertunduk sejenak. “Mau apa?” “Jelaskan semua!” “Apa lagi yang harus aku jelaskan?” Tangan Devan kembali mengepal kuat, dadany
Malam ini Devan sangat liar, lebih liar dari biasanya sedikit kasarya tapi Dewi suka. Hampir setengah jam akirnya Devan mengulirkan tubuhnya ke samping Dewi, nafasnya masih ngos-ngosan tubuhnya basah karena keringan keluar dari pori-pori tubuhnya, Dewi yang berada di sampingnya kini mendekat dan memeluk Devan.Hormon endorfin yang dihasilkan dari bercinta membuat pusing, stres yang dilanda Devan mencair. Tubuh dan otak lebih rileks hatinya pun tak sekalut sebelumnya. Sudah tertangkap basah telah mendua secara naluriah egoisme laki-laki tak ingin kehilangan untuk kedua kali bagaimana pun caranya tak ingin membuat Dewi marah atau curiga. Dengan cara itu Devan juga berhasil membuat Dewi tak menghujani dengan segudang pernyatan ‘dari mana baru pulang’.“Mas, aku pengen kita punya anak.” Suara Dewi memecah keheningan.“Kan-baru saja bikin.”Cubitan manja dar
Tubuh sexy hanya terbalut kutang dan tengtop warna hitam, langkah meninggalkan Susi yang masih asik bermain ponsel. Waktu menunjukan pukul satu dini hari, dengan melepas kaos yang ia kenakan berharap tubuh Devi lebih nyaman untuk tidur. Tubuh Devi meringkuk di sebelah Jessy memejamkan mata. Bukan ngantuk justru fikir terus berhalusiansi lompat kesana kemari. Merenungi nasibnya yang begitu buruk kehilangan seorang ayah, suami dan sekarang kehilangan ibu saat memerlukan dukungan penuh dari orang dicinta. Ditambah Susi menyebut nama Goman memicu pemikiran baru. Teman pria Devi waktu SMA berhasil mengusik otaknya kembali. Mengingat suatu kejadian yang tak terpikirkan sebelumnya. Mulai gemas, Devi kembali bangkit merogoh tas miliknya mengambil obat batuk kemudian minum satu biji. Kembali merebahkan diri di samping Jessy berharap bisa tidur pulas di bawah pengaruh obat. Tak punya cara lain untuk bisa membuang semua pikiran negatif di mal
Sebenarnya pria tak pernah takut dengan istri, secara fisik dan logika laki-laki selalu unggul dari pada wanita. Pria yang dihadapkan dengan seorang manusia yang bernama istri saat marah lantas nyalinya lansung menciut, bukan takut tapi malas mendengar ocehan yang begitu panjang kadang melebar kesalahan A-Z diungkit kembali. Seperti Devan hal yang paling membuatnya malas dan tak bergairah omelan yang keluar dari bibir Dewi. Ya, justru setelah menjadi istir sah secara agama dia begitu sensitif dan dihantui rasa takut.Takut Devan selingkuh, sama seperti masa lalu yang dijalani berdua. Persis seorang pencuri takut hasil curian dimaling.Takut Devi kembali dan merebut Devan dari pelukan hangat yang selama ini terjalin.Ketakutan yang berlebihan itu melahirkan sikap negatif yang memuakkan Devan. Selalu curiga, cemas dan posesif.Setelah membaca surat pengadilan ada rasa
Pagi-pagi sudah gusar! Bagaimana tidak gelisah, tidak resah? Bukan hanya Devan yang membuat suasana hati Dewi berantakan tapi sebuah kenyataan yang harus di terima, malaikat maut lebih awal ketemu Dr. Haris ketimbang dirinya, meskipun Dewi sudah janjian lebih dulu bahkan siap membayar dua kali lipat. “Dr. Haris meninggal baru saja,” ucap Dewi pada Devan. “Kita cari dokter lain.” Dewi tertunduk. “Dokter kandungan mana yang buka di hari libur jika belum janjian.” Devan kembali terdiam, memilih tak banyak bicara dari pada salah berucap karena saat ini wanita di sebelahnya sedang kacau. “Apakah aku akan jadi satu-satunya atau madu?” terdengar ucapan Dewi halus dan sangat berhati-hati dengan pandangan ke arah kertas di tangan. Devan menoleh kemudian tersenyum manis. “Kamu memang satu-satunya dan kamu maduku, manisku.” Tangan Devan mencoba menyentuh pipi Dewi, merayu sekuat tenaga. Kata-kata Devan seperti palu yang jatuh tepat di ubun-ubun Dewi, sangat menyakitkan. Devan berkata san