Share

Bab 5

Aku menghabiskan waktu bersama Lita hingga malam. Tidak biasanya wanita itu mengajakku jalan seperti ini. Kami menghabiskan waktu bersama untuk makan, nonton dan berbelanja. Aku tidak peduli harus mengeluarkan banyak uang hari ini, lagian Lita tidak pernah juga memintaku jalan bersamanya.

Mungkin seperti yang dia katakan, dia akan mulai mencari pasangan dan apa yang dilakukan ini adalah cara untuk memilih pasangannya. Mengetes apakah aku laki-laki yang baik dan loyal atau pelit. Wanita berprinsip seperti Lita pasti tidak suka pria pelit. Langsung akan dicoret dari list calon suaminya.

Lita memang banyak yang suka, tapi wanita itu tidak pernah menjalin komitmen dengan siapapun dengan alasan masih punya adik yang ada dalam tanggungannya. Hanya denganku saja dia tampak nyaman karena aku tak pernah mengungkapkan perasaan. Aku sedang menunggu waktu yang tepat. Mungkin sebentar lagi.

"Terimakasih untuk hari ini ya, Mas. Maaf ngajak jalannya mendadak. Sampai ketemu besok di kantor," ucapnya sembari turun dari mobilku.

Aku mengangguk dan tersenyum padanya, wanita itu melambaikan tangannya saat aku kembali menjalankan mobil. Hatiku berbunga-bunga, aku bersenandung sepanjang jalan hingga tanpa terasa sudah sampai di depan rumah.

Astaga aku melupakan Husniah. Bagaimana nasib anak itu, bahkan aku tidak mengirimkan pesan padanya karena terlalu sibuk dengan Lita. Segera kuambil ponsel yang ada di dalam saku celanaku.

Mati. Benda pipih itu kehabisan baterai. Dengan tergesa-gesa aku masuk ke dalam rumah tanpa memasukkan mobil. Mencari pengisi daya kemudian kembali lagi ke mobil dan mengisi daya di dalam mobil. Harap-harap cemas aku menunggu hingga smartphone tersebut bisa sekedar dinyatakan.

Aku sangat khawatir, bukan karena sudah memiliki perasaan padanya. Tapi karena aku bertanggung jawab atas apapun yang terjadi pada gadis itu. Kalau terjadi apa-apa padanya, bagaimana aku akan mengatakan pada Ibu. Baru kali ini anak itu keluar rumah, baru datang dari kampung pula. Pasti tidak tahu situasi kota bagaimana.

"Ya Tuhan ...." desisku kesal.

Kesal pada kekhilafanku sendiri.

Baru terisi lima persen, aku segera menyalakan ponsel tersebut. Menunggu benda itu siap digunakan terasa sangat lama. Begitu telepon genggam itu menyala, langsung bertubi-tubi masuk pesan. Bagaiman bisa aku tidak merasakan saat ponselku bergetar tadi, apa begitu besarnya Lita menyedot perhatianku. Atau memang ponsel ini sudah mati sejak tadi.

~Mas, aku sudah selesai. Tolong kirim alamat rumah ~ pesan dari Husniah jam 15.10

~Mas, aku telpon, ya.~ jam 16.00

~Mas, kamu dimana ini udah malam aku gak bisa pulang kalau kamu gak kasih alamat rumahmu~ jam 19.05

~Mas kamu membuangku?~ jam 20.30

Deg! Jantungku berdebar membaca pesan itu, apa dia merasa aku begitu tidak menghargainya. Bagaimana bisa orang dibuang.

~Mas, aku takut. Di sini sudah mulai sepi, kampus udah tutup, Aku gak ngerti harus kemana ~ jam 21.00

Tidak ada lagi pesan, itu pesan terakhir dari Husniah. Aku akan menyalahkan siapa jika sudah begini.

Segera kutekan tombol memanggil tapi nomor telepon tidak bisa dihubungi. Apa-apaan ini, apa dia marah padaku dan mematikan ponselnya.

Tanpa banyak berpikir lagi, aku segera menjalankan kendaraan. Lebih baik aku segera pergi ke kampus tadi, berharap gadis itu ada di sana. Pikiran buruk menghantuiku, bagaimanapun jika dia dibawa orang jahat. Ah, dia cukup besar untuk bisa menolak itu. Kenapa hidupku jadi makin susah begini karena kedatangannya.

Sampai di kampus, tempat itu benar-benar sudah sepi. Hari memang sudah malam, sudah hampir jam sebelas. Aku harus kemana dan bertanya pada siapa kalau sudah begini. Kenapa Husniah malah mematikan handphonenya.

Perlahan, kujalankan kembali mobilku mengelilingi kampus ini. Berharap menemukan sosok gadis kecil itu di sudut-sudut jalan atau di teras-teras bangunan yang ada di sekitar kampus. Mataku awas memindai sekitar. Dengan kesal kupukul kemudi untuk meluapkan emosi.

Sudah kuputari kawasan kampus ini tapi tak kutemukan jejak Husniah. Harus kucari kemana lagi anak itu. Aku menghentikan mobil di pinggir jalan dekat masjid yang berada tak jauh dari kampus. Berpikir dan mencari solusi untuk menemukan Husniah. Lapor polisi juga belum bisa, lagipula aku akan mengatakan apa. Dia bukan anak kecil lagi, bukankah akan terasa lucu jika kukatakan dia hilang saat kutingglkan di kampus.

Saat otakku sedang kacau, aku melihat sosok gadis kecil duduk memeluk lutut di teras masjid yang sudah sepi itu. Tak salah lagi itu gadis yang aku cari, Husniah.

Segera aku jalankan mobil menuju pelataran masjid, hatiku antara lega dan juga emosi melihatnya lagi.

"Ngapain di sini, bukannya pulang!" Seruku saat jarakku sudah cukup dekat dengan Husniah.

Gadis itu mengangkat kepalanya, mata dan hidungnya memerah, sepertinya dia menangis.

"Kau tahu ini sudah jam berapa, hah?! Nyusahin orang saja. Ayo pulang!"

Aku berkata sambil berjalan kembali ke mobil, Husniah mengekor tanpa membantah satu katapun yang keluar dari mulutku. Padahal semuanya salahku, dia yang ada di luar hingga jam segini adalah salahku. Namun saat aku menyalahkannya dia tetap diam saja.

Sepanjang jalan hanya ada keheningan, Husniah tidak mengatakan apapun. Gadis itu diam membisu, pun demikian aku tak berniat lagi memarahinya. Percuma, dia hanya menelan semua ucapkanku tanpa berniat membalasnya.

Tubuhnya terlihat lemas, apa dia tidak makan seharian. Dasar gadis bod0h, dia sudah besar, seharunya tahu apa yang harus dilakukan ketika lapar. Terserahlah.

Sampai di rumah, Husniah tetap diam tak berkata-kata, setelah masuk ke dalam rumah dia langsung berjalan menuju kamarnya.

"Tidak tahu terimakasih. Kau tahu ini sudah jam berapa, seharunya aku sudah tidur nyenyak kalau tidak mencarimu," seruku sebelum gadis itu membuka pintu kamarnya.

"Terimakasih ..." Lirihnya tanpa menoleh sama sekali.

"Kamu marah padaku? Seharusnya tadi aku tidak menjemptmu, biar saja sekalian kamu jadi gelandangan."

Husniah membalikkan tubuhnya dan menatap padaku, menatapku dengan tatapan mata penuh luka.

"Ya, seharusnya kamu tidak usah menjemput ataupun mencariku, Mas. Seharusnya aku juga tidak udah pergi ke masjid untuk menghindari orang-orang iseng tadi. Lebih bagus mereka penjahat sekalian, penculik dan pemerkosa, lalu membunuhku. Kalau aku mati, setidaknya aku bisa bertemu Ayah dan Bunda dan tidak menyusahkanmu lagi," ucapnya dengan bibir bergetar.

"Dari pada nyusahin orang yang hidup, lebih baik aku memang mati saja."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Husniah berbalik dan masuk ke dalam kamar. Bahkan aku dengar bunyi pintu dikunci dari dalam.

🍁 🍁 🍁

Komen (21)
goodnovel comment avatar
Inas karim
tega y laki-laki ini. ahh gemasss sama husnia
goodnovel comment avatar
Margaret Harefa
makin seru
goodnovel comment avatar
Tuti Sulastri
tega banget s anan,pdahal dia tau klu Nia SDH g ad orngtua,hidup sebatang kara,AQ yakin dia pasti akan menyesali k angkuhannya,trhdp Nia istrinya,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status