sekitar sepuluh kilometer. Tidak terlalu jauh, memang. Zulaika berangkat dengan menaiki motor matiknya. Dia memang sudah lihai mengendarai mobil sejak tahun lalu, tapi entah mengapa aku belum percaya bila gadis itu membawa CRV hitam ini. Kuanggap dia masih terlalu dini untuk mengendarai kendaraan roda empat. Anak yang kupikir masih terlalu ‘dini’ tersebut, nyatanya sudah sangat liar di luar ekspektasiku.
Kulirik jam di dasbor mobil. Pukul sembilan lewat lima belas. Aku harus lekas sampai, pikirku. Sudah tak sabar lagi mulut ini hendak bertanya panjang kali lebar kepada Zulaika. Meminta pengakuannya atas chat-chat mes*m yang tak sengaja kutemukan di laptop. Apa pun yang terjadi, anak itu harus mendapat teguran. Kalau perlu, akan kukirim dia ke pesantren yang berbasis boarding school, bila dia terlalu gengsi dan tak nyaman untuk tinggal di pondok konvensional seperti si Ario. Biar kujual saja emas-emasku di brangkas demi membayar biaya Islamic Boarding School yang selangit tersebut. Yang penting dia berubah!
Ya, jika dipikir, aku yang salah. Aku yang sudah terlalu lembek. Membiarkan anak itu mengambil keputusan sendiri, tanpa aku ingin ikut campur kepadanya. Termasuk menutup aurat.
Zulaika memang tak berjilbab, meski dia terpantau masih salat apabila di rumah. Aku pernah menyarankan, tapi tak kupaksa lagi sebab dia selalu beralasan belum siap. Bagiku hidayah itu memang milik Allah. Namun, nyatanya aku salah. Hal yang wajib saja aku tak bisa memaksa anak tersebut. Apalagi hal-hal yang remeh temeh. Aku sungguh menyesal. Hanya rutukan saja yang dapat kulayangkan kepada diriku sendiri sepanjang perjalanan.
Setelah berkendara sejauh setengah perjalanan, aku tiba-tiba harus melambatkan laju kendaraan sebab kemacetan dari arah depan sana. Kerumunan orang tampak dari sini. Mobil-mobil dan kendaraan bermotor di depanku juga turut berhenti. Astaga! Apa-apaan ini? Mengapa harus di saat seperti ini terjadi kemacetan segala?
Aku mengembuskan napas masygul. Merasa kesal luar biasa. Buru-buru aku membuka kaca mobil dan berusaha mencari informasi kepada warga yang tampak berbondong-bondong menuju ke arah kerumunan.
“Pak, ada apa ya, di depan sana?” pekikku kepada seorang lelaki 40 tahunan yang berjalan dari arah ujung sana dan menuju balik ke sebuah bengkel pinggir jalan dekat mobilku berhenti.
“Ada kecelakaan, Bu. Anak SMA pakai motor berdua. Laki sama perempuan. Digilas sama truk katanya.”
Astaghfirullah! Jantungku rasanya mau lepas. Napasku pun langsung tercekat. Ya Allah! Apakah itu Zulaika dan pacarnya yang bernama Boo? Jangan-jangan … mereka sudah kabur dari sekolah dan mengalami kecelakaan barusan.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung keluar dari mobil dalam keadaan mesin yang sudah kumatikan. Aku tak peduli lagi apabila kendaraan di belakang sana bakal ngamuk sebab mobilku telah menghambat jalan. Yang ada di otakku hanya Zulaika seorang.
Aku berlari kencang. Sepanjang langkah, hanya istighfar yang kuucap. Aku meminta ampun pada Allah. Memohon agar Zulaikaku panjang umur dan selamat.
Sekiranya hanya perlu satu menit untuk tiba di ujung kerumunan. Sebuah motor matik warna abu-abu mirip kepunyaan anakku hancur bagian depannya. Motor itu digotong oleh beberapa orang pria untuk ditepikan.
“Zulaika!” Aku berteriak histeris. Lututku lemas. Tangisku pecah. Dua tubuh telah terbujur dengan penutup koran di atasnya. Darah mengalir membasahi aspal. Raung mobil polisi dan ambulans bersahut-sahutan bagai lagu kematian yang pilu.
“Bu, ada apa? Apa itu anaknya?” Seseorang telah menggamit lenganku. Aku yang langsung terduduk di aspal, tepat beberapa jengkal dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan tersebut, hanya bisa tergugu sambil menutupi wajah.
“Ya Allah, Bu? Anaknya beneran?”
“Coba dipinggirkan dulu ibunya. Tenangin dulu di sini.”
Berbagai suara memenuhi telingaku. Namun, yang kupikirkan hanya nasib tragis yang menimpa Zulaika. Ya Allah, cobaan macam apa ini? Dia baru saja mengirimiku pesan. Mengapa anakku sudah pergi dengan bersimbah darah begini?
“Aku ingin melihat anakku!” pekikku lagi sambil tertatih untuk bangkit. Kulihat ke sekeliling, sudah ramai orang yang mengerumuni.
“Kasih jalan ke ibunya. Ibunya mau lihat jenazah anaknya!” teriak seorang lelaki yang berusaha untuk memecah kerumunan orang yang sibuk memperhatikanku. Orang-orang itu pun lalu minggir lagi. Aku yang kini dipapah oleh dua orang ibu-ibu seusiaku, berjalan dengan kedua tungkai yang lemasnya bukan main.
“Ya Allah! Ya Allah!” teriakku sambil terus menangis dan menatap pilu ke arah dua tubuh yang berbaring dengan posisi melintang tak beraturan. Jarak masing-masing korban mungkin hanya sekitar semeter saja. Tak terlalu jauh.
“Sabar ya, Bu. Ini ujian dari Allah,” ucap seorang ibu berjilbab warna kuning di sebelahku.
“Yang mana yang perempuan?” tanyaku dengan bibir yang gemetar.
“Yang mana, Pak?” tanya ibu-ibu berjilbab hijau di sebelah kiriku kepada laki-laki bertopi hitam yang berjalan bersama polisi. Mungkin mereka akan mengevakuasi korban.
“Yang itu!” tunjuk lelaki tersebut sambil menujuk ke arah mayat yang memang sudah tak jauh dariku. Posisinya melintang dengan tertutup rapat kertas koran. Aku gemetar hebat. Seseorang yang tiba-tiba datang dari arah belakang, langsung membukakan penutup koran tersebut dengan gerakan cepat.
Aku berteriak sejadi-jadinya. Memanggil nama Zulaika dan menutup mata saking tak kuat untuk melihat kenyataan pahit ini. Zulaika, jika kamu marah kepada Mami sebab membuka W******p milikmu, apakah ini balasan yang tepat untuk kemarahan yang menunjukkan rasa kasih itu? Ketahuilah Zulaika, Mami sekarang sangat menyesal atas semua yang telah Mami lakukan atasmu. Maafkan Mami, anak kesayanganku.
“Selamat pagi. Saya Bripka Aris Sunandar, anggota satlantas polresta yang mendapatkan laporan tentang laka lantas di sini. Ibu, ada apa? Apakah Ibu adalah orangtua dari salah satu korban?” Seseorang telah berbicara kepadaku sambil menepuk pundak ini. Aku pun langsung membuka mata. Menatap ke arah sumber suara dengan perasaan yang hancur lebur. “Motor yang hancur itu … mirip milik anakku, Pak Polisi,” ujarku terbata sambil menunjuk ke arah tepi jalan sana, tempat di mana motor matik warna abu-abu yang hancur lebur itu diamankan. “Mirip? Apakah sudah dicek nomor platnya?” tanya lelaki berseragam lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya tersebut. Aku yang sudah gem
Saat para guru tiba-tiba muncul dan menyerbu ruang di mana aku berdiri, entah mengapa pikiranku malah menjadi semakin kacau. Aku hanya ingin segera mencari Zulaika, meskipun hati kecilku sangat keberatan untuk pergi begitu saja di tengah kekalutan orang-orang mengenai kematian dua teman putriku. Bagaimana pun juga, mereka tewas sebab mengantar Zulaika, yang sama sekali tidak ada di rumah. Bahkan nomor ponselnya pun tak dapat dihubungi. “Ibu, saya turut berduka cita sedalamnya atas kematian dua teman-teman Zulaika. Namun, saya harus pamit untuk mencari anak saya. Kalau Ibu bilang mereka pergi sejam lalu, seharusnya Zulaika sudah ada di rumah dari tadi. Namun, nyatanya dia tak ada di rumah.” Aku berusaha untuk berbicara pada Bu Putri, di tengah hiruk pikuk para guru yang beberapa pecah tangisnya. “
Dengan jantung yang masih berdegup kencang dan rasa ngeri yang entah semakin menyiram jiwa, aku terpaksa untuk memberanikan diri melanjutkan perjalanan ke rumah. Pikiranku tak menentu. Bercabang jadi tentang banyak hal. Ada Zulaika, teror karangan bunga, dan kecelakaan dua orang teman anakku tersebut. Sebagai seorang janda tanpa pilar penyangga kehidupan, aku sangat terbebani tatkala harus masuk ke pusaran masalah pelik seperti ini. Tak ada tempat mengadu, tak ada tempat berdiskusi. Sementara keluarga besarku jauh berada di seberang pulang sana. Itu pun hanya saudara-saudara kandung yang telah memiliki keluarga masing-masing. Orangtua tempat meluahkan curahan hati sudah lama berpulang. Hanya pada Allah saja aku bisa mengadu sekarang. “Ya Allah, aku mohon lindungi Zalika. Semoga dia sudah ada di rumah,”
“Tolong pertemukan saya dengan Yeslin. Saya mohon,” bisikku pelan dengan wajah yang memelas pada sang pembantu. Namun, pembantu tersebut bergeming. Dia masih saja menunduk dan diam seribu bahasa. “Bukakan kunci pagar ini. Saya ingin masuk dan saya janji tidak akan membuat keributan.” Aku terus memohon. Mataku mulai berkaca sebab hendak menangis saking kesalnya. Akan tetapi, aku tak bisa main kasar, sebab akan menyusahkan diriku sendiri. “Ibu akan marah pada saya,” balasnya dengan suara yang lirih. Pembantu tersebut seperti ingin berbalik badan. Namun, segera kucegat dan kutarik pelan lengannya. “Tolong, Bu. Anak saya hilang. Saya hanya ingin menyampaikan kepada keluarga ini.”
Aku lebih terhenyak kembali saat membaca keterangan di bawah foto lelaki berkumis tebal tersebut. Bonaventura Aditio, CEO PT Sinar Abadi Pulp. Dia … CEO? Lelaki yang mengirimi bukti transfer sepuluh juta rupiah tadi pagi itu adalah seorang CEO tempat Mas Danu bekerja? Kukucek mataku. Memastikan bahwa mata tua ini tak salah melihat. Namun, ingatanku akan foto profil dan gambar di depan sana persis sama. Wajahnya sangat mirip. Ya, CEO itulah yang kontaknya telah diberi nama Daddy oleh Zulaika. Aku yang masih terduduk di depan setir, buru-buru melepas sabuk pengaman. Turun dari mobil, tanpa mematikan mesin. “Pak satpam, tolong izinkan aku berjumpa dengan Pak Danu. Sebentar saja,” kataku sambil memohon-mohon. Menan
BERAWAL DARI KEBENCIANPOV ZULAIKA “Papi terpaksa harus menceraikan mamimu. Dia keras kepala, egois, dan selalu ingin menang sendiri. Kamu tahu kan, Ika, Papi capek seharian bekerja. Namun, mamimu lebih mementingkan pekerjaannya di kantor ketimbang mengurusi kita sekeluarga.” Ucapan Papi malam itu membuatku tertegun. Acara ulang tahunku yang ke-14 seharusnya dirayakan meriah malam ini meski hanya di rumah. Kue cantik lengkap dengan lilin yang kami beli bersama sejak sore tadi, kini nganggur di hadapan. Semua persiapan sudah kami bertiga lakukan. Mulai dari beli makanan cepat saji yang nikmat, menghias ruang makan dengan balon-balon serta ornamen lainnya, plus beli minuman kola dengan ukuran jumbo dengan niat memeriahkan pesta. Kado ulang tahun pun sudah Papi kasih untukku, berupa s
BAHAGIA PAPI, BAHAGIAKU JUAPOV ZULAIKA “Mami akan berhenti bekerja. Sidang cerai pertama kami Senin besok akan digelar. Jadi, kalian harus membiasakan hidup tanpa laki-laki tidak bertanggung jawab itu.” Kalimat Mami menjadi pembuka dalam pagi Minggu yang suram. Sarapan di depan meja menjadi semakin hambar. Aku yang memang tak suka masakan-masakan Mami, memutuskan lebih baik tidak menyentuh hidangan di hadapan. Aku dan Ario hanya bisa saling pandang. Kami tak menjawab apa-apa. Lebih baik diam. Toh, pendapat kami tak akan membuat perubahan apa pun. “Ika, Ario. Ayo, lekas makan. Setelah itu, bantu Mami beres-
BAGIAN 13TERSIBAKNYA TABIR RAHASIAPOV ZULAIKA Sarapan yang Papi buatkan langsung tandas. Aku kenyang. Saat aku hendak mengambil minum di kulkas, aku terpana untuk ke sekian kalinya dengan rumah ini. Isi kulkas Papi sangat lengkap. Macam-macam pilihan minumannya. Ada jus kemasan, susu UHT, dan beberapa yoghut berbagai rasa. “Enak sekali di sini. Pasti Tante Yeslin yang siapkan. Perhatian sekali dia sama papiku,” ujarku dengan hati yang sedikit perih.Seharusnya, Mami bersikap begini. Kalau saja Mami penuh kasih, perhatian, dan tidak mengabaikan Papi, perceraian itu pasti tak akan pernah terjadi. Sekarang, sejak Papi meninggalkan rumah, kami sudah mulai kacau balau. Mami yang baru berwacana buat berhenti kerja tapi masih saja sibuk seharian di kantor, lupa untuk menyi