Share

Tak Disangka

Rachel menatap layar komputernya sembari mengusap dahinya yang berkerut tak nyaman sementara Hera menyikunya dari samping, membuyarkan lamunannya.

"Apa yang kau pikirkan? Kerutanmu akan semakin dalam kalau kau terus memasang raut jelek seperti itu."

"Diam." Rachel menyandarkan punggungnya pada kursi sembari mengembuskan napas.

"Kenapa kau masih di sini? Bukankah kau akan bertemu dengan Gideon?" tanya Hera santai sembari meminum kopinya, Rachel melirik perempuan itu melalui ekor matanya.

"Janjinya rabu depan, aku tak ingin terlalu sering bertemu dengannya."

"Bukankah itu terlalu lama?" tanya Hera lagi.

"Tidak. Aku tidak ingin kami terlihat seperti pasangan yang terlalu clingy karena setiap hari bertemu," keluh Rachel sembari merebut kopi dingin dari tangan Hera dan meminumnya, seharusnya ia juga membelinya sebelum datang ke kantor tadi.

"Memangnya kenapa kalau terlihat clingy? Bukankah itu bagus?" seru Hera jahil sembari merebut kembali kopinya yang sudah hampir habis, Rachel merengut.

"Tidak terima kasih, bagaimana pun juga aku masih ingin menjaga image-ku, sudahlah kau tidak usah ikut campur lagi, aku bisa mengurusnya sendiri," gerutu Rachel sembari mendorong Hera menjauh sementara perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya heran.

"Jadi ini alasan kau merengut sejak tadi? Karena merindukan Gideon?"

"Jangan sembarangan bicara, untuk apa aku merindukan Gideon?" sentak Rachel sembari menatap manajernya itu tidak percaya.

"Lantas kenapa? Aku yakin kau tidak punya pekerjaan hari ini, tapi kau datang ke kantor," Hera menjeda ucapannya sembari bersandar pada meja, "biasanya kau akan tetap di rumah, menonton N*****x seharian penuh."

Rachel terdiam, perempuan itu memalingkan wajahnya yang memerah sebelum memalingkan wajahnya.

"Bukan karena merindukan Gideon ... tapi dia juga salah satu alasannya," Rachel terdiam sebentar sebelum meralat ucapannya ketika Hera menaik turunkan alisnya, perempuan itu akan mengejeknya lagi, "kubilang bukan karena Gideon, tapi karena anaknya."

"Hah? Maksudmu?"

"Ya, Gideon mengajakku untuk menjemput anaknya dan menghabiskan waktu bersama," jelas Rachel sembari menatap lurus ke arah Hera yang juga menatap ke arahnya.

"Lalu apa yang kau takutkan?" heran sahabat perempuan sekaligus manajernya itu sementara Rachel menghela napas berat.

"Tentu saja karena aku tidak pandai berhubungan dengan anak kecil," keluh Rachel sembari mengusak kasar surai cokelatnya.

"Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku? Sebenarnya aku juga tidak terlalu suka anak kecil kecuali yang tenang dan mau diatur, aku hanya—"

"Khawatir?" potong Hera yang dibalas dengan anggukan oleh Rachel.

Manajernya itu merangkul Rachel sembari menepuk bahunya lembut, "oh ayolah, aku yakin kau akan bisa menanganinya."

"Dan lagi bukankah anak Gideon itu perempuan? Pasti lebih mudah mendekatinya dari pada anak laki-laki bukan? Ngomong-ngomong siapa namanya?"

"Luna," seru Rachel pelan sembari menyenderkan kepalanya di bahu sahabatnya.

"Kau bisa membelikan beberapa mainan untuk Luna nanti, aku yakin dia pasti menyukaimu," ucap Hera lagi sementara Rachel hanya mengangguk.

"Aku akan memikirkannya."

Dan hari itu tiba, hari di mana ia akan bertemu dengan Luna dan Gideon. Rachel mengembuskan napasnya gugup sembari menatap pantulan wajahnya di cermin memastikan riasannya cukup natural hari ini, bukan riasan tebal yang biasa ia kenakan sehari-hari. Ia tidak ingin membuat kesan perempuan judes di depan Luna.

Perempuan itu juga mengenakan gaun berwarna merah muda selutut dengan motif bunga yang terlihat lembut dan sederhana, bukan gaun mewah berpotongan seksi dari brand terkenal yang biasa ia kenakan.

"Sudah siap?" seru Hera dari luar, Rachel membenarkan poninya sekali lagi sebelum berjalan ke luar. Ternyata Gideon sudah menunggu di sana, lelaki itu tampak terkejut melihat penampilannya.

Rachel agak malu karena lelaki yang lebih muda terus menatapinya, "apa yang kau lihat?" ketusnya galak sementara Gideon berdeham pelan sebelum mengulas senyum.

"Tidak ada, kau terlihat ... cantik hari ini."

Rachel harap wajahnya tidak memerah seperti kepiting rebus, perempuan itu berdeham sebelum menjawab ucapan lelaki itu sesantai yang ia bisa."

"Maksudmu hari-hari biasanya aku jelek? Kemarin aku jelek?" juteknya sembari melengos masuk ke dalam mobil sementara Gideon hanya tertawa, berpamitan pada Hera sebelum duduk di bangku kemudi.

"Apa itu?" tanya Gideon ketika melihat bingkisan berwarna biru muda di genggaman Rachel, perempuan yang lebih tua itu melirik ke arahnya.

"Oh ini, hadiah untuk Luna," serunya malu-malu sementara Gideon lagi-lagi hanya membalasnya dengan senyuman tipis.

"Kau tidak perlu repot-repot, Luna anak yang baik dan penurut, ia gampang akrab dengan semua orang," ucapnya sembari melajukan mobilnya keluar dari kawasan rumah Rachel.

Perempuan itu hanya mengangguk mengerti sebelum menatap ke arah jendela, baru kali ini ia di antar ke suatu tempat oleh orang lain selain Hera. Rasanya sedikit canggung.

"Tidak merepotkan kok, lagipula aku hanya ingin membeli ini karena terlihat lucu, dan aku pikir Luna akan menyukainya," gumam Rachel pelan, ia tidak yakin Gideon mendengarnya tapi kelihatannya lelaki itu mendengarnya karena ia mengulas senyum tipis.

"Aku menghargai usahamu tapi aku akan lebih senang lagi kalau kau tersenyum," ejek Gideon yang dibalas Rachel dengan merotasikan bola matanya jengah.

Perempuan itu mengulas senyum canggung sembari menyikut lelaki yang tengah menyetir itu pelan, "seperti ini?"

"Kau terlihat seperti sedang meringis, senyumlah dengan lebih ikhlas."

"Itu karena kau menyebalkan, aku bisa tersenyum dengan natural kalau kau tidak menyebalkan," gerutu Rachel sembari memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Gideon hanya terkikik geli sebelum menyalakan radio agar mobil mereka tidak terlalu sepi, perjalanan menuju playgroup Luna dari kediaman rachel jaraknya masih empat puluh menit.

Mereka tidak banyak berbicara setelah itu, Gideon fokus menyetir sementara Rachel fokus menatap ke arah jendela mobil, sibuk dengan lamunannya sendiri.

"Jangan terlalu khawatir, Luna akan menyukaimu," ucap Gideon memecah kesunyian di antara mereka, Rachel mengalihkan pandangannya dari jendela sebelum mengulas senyum—kali ini ia benar-benar tersenyum.

Mobil mereka berhenti beberapa menit kemudian, akhirnya mereka tiba. Rachel membuka sabuk pengamannya sementara Gideon sudah lebih dulu keluar dari mobil, lelaki itu tampak tengah menelepon seseorang. Rachel tak tahu siapa. 

Perempuan itu mengambil ponselnya menghubungi Hera melalui ruang obrolan, ia membutuhkan emotional support dari sahabatnya saat ini.

[Kita sudah sampai, aku gugup apa yang harus aku lakukan?]

Perempuan itu membenarkan tatanan rambutnya satu kali lagi, juga menatap wajahnya melalui kaca yang selalu ia bawa di tasnya, memastikan tidak ada celah dalam penampilannya. Gideon terlihat sangat serius entah ia sedang berbicara dengan siapa melalui telpon, perempuan itu segera berjalan keluar dari mobil ketika lelaki itu memanggilnya.

"Rachel maafkan aku, aku tahu ini akan canggung tapi—" lelaki itu menjeda ucapannya menggaruk tengkuknya canggung sementara Rachel menatapnya dengan alis terangkat heran.

"Ada apa?" Bersamaan dengan itu melihat perempuan bersurai legam sebahu berjalan bersama anak perempuan di sampingnya mendekat ke arah mereka.

"Gideon," tegur perempuan itu, sementara anak kecil itu berlari dan memeluk kaki Gideon.

"Papaaa!" Oh ... pikir Rachel, tapi ia lebih terkejut lagi melihat perempuan di depannya, Rachel menyipitkan matanya.

"Angie?"

"Rachel?"

Siapa sangka mereka akan bertemu dalam situasi seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status