Seketika tangan yang menggenggam gagang telepon bergetar. Desiran aliran darah mengalir cepat melewati saraf di tubuhnya. Detakan jantung Naima pun memacu lebih cepat memompa darahnya, disertai dengungan sesaat di telinga. Seakan raga wanita berbadan dua itu hampir runtuh ditimpa beban di kepala.
"Maksud kamu apa?" tanya Naima bingung setelah terdiam beberapa saat, pernyataan wanita lawan bicaranya itu tentu tak dipercaya begitu saja.Suaminya tidak mungkin menikah lagi secara diam-diam, bukan?"Helmi dan gue sudah menikah lima bulan yang lalu. Gue harap lo bisa terima untuk berbagi suami sama gue," ujar wanita asing itu lagi masih dengan nada angkuh.Wanita ini pasti mengada-ada, Naima tidak akan percaya begitu saja. "Hei, Nona Serra. Siapa pun kamu, jangan berusaha merusak kebahagiaan kami. Aku sangat mempercayai suamiku!"Naima tampak sangat marah, melihat itu rasa keingintahuan Nara semakin besar. "Nai, kamu kenapa? Siapa yang menelpon?" bisik Nara, Naima membalas dengan gelengan."Terserah saja, kalau lo gak percaya. Tanyakan saja langsung ke suami, lo. Gue cuma mau bilang, saat ini gue lagi hamil lima bulan. Gue dan Helmi sangat tidak sabar menanti kelahiran anak pertama kami.""Apa? Gila! Jika kamu ingin memfitnah suamiku, kamu salah. Aku tidak akan percaya apa pun yang kamu katakan!""Hahaha, dasar perempuan keras kepala. Lo mau percaya atau gak, gue gak peduli! Asal lo tau, sekarang Helmi sedang dalam perjalanan ke rumah lo. Mungkin sebentar lagi sampai, lo bisa tanyakan langsung ke suami lo! Hegh … suami gue juga, kan."Terdengar tawa kepuasan sebelum panggilan telepon itu terputus. Gagang telepon di tangan Naima terlepas dan jatuh ke lantai. Bendungan di mata tampak mulai mengenang."Nai, apa yang terjadi? Kamu kenapa?" Nara tampak panik melihat sahabatnya yang mulai terisak dalam tangisan.Naima menyandarkan kepalanya di bahu Nara. "Bang Helmi, Ra. Di–dia menikah lagi!""Apa? Orang tadi yang bilang?" Nara pun sangat terkejut, ia mendorong Naima agar berhadapan dengannya."Iya, dia mengaku sebagai istrinya Bang Helmi.""Kamu percaya?" tanya Nara seraya mengusap air mata Naima dengan tisu di meja."Tidak, aku tidak percaya begitu saja.""Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada suamimu.""Benar, aku harus segera pulang. Tolong jaga Kiran, aku akan menjemputnya nanti."Naima mengambil tisu dari tangan Nayna. Lalu ia mengusap wajahnya dan merapikan penampilan. Naima meraih tasnya dan segera pulang, setelah berpamitan pada Kiran dan Maharani.Saat sampai di rumah, ia menunggu kedatangan suaminya dengan gelisah. Setelah satu jam ia menunggu, akhirnya Helmi pulang juga. Naima sengaja tidak menyambut di depan pintu, tapi menunggu di dalam kamar."Sayang, kamu di sini? Abang pikir kamu di butik." Helmi menghampiri dan mengecup kening istrinya. Naima hanya diam."Apa kabar, Sayang. Maaf, Abang tidak memberi kabar dua hari ini. Pekerjaan abang terlalu menyita waktu," bisik Helmi di depan istrinya. Ia berjongkok di depan Naima yang duduk terdiam di sofa. "Kenapa kamu diam saja? Sayang, ada apa?"Naima memejamkan mata sejenak, menguatkan hatinya untuk bertanya pada Helmi secara langsung. Suasana menjadi semakin tegang. "Bang, aku mau menanyakan sesuatu."Helmi mengerutkan keningnya, tidak biasanya Naima bicara dengan ekspresi wajah yang serius. "Ada apa, Sayang?""Apa benar, Abang sudah menikah lagi diam-diam?"Helmi pun tersentak, lidahnya terasa kelu tak mampu menjawab. Dari mana Naima bisa tahu rahasianya? "Sa–Sayang, tenang dulu. Abang bisa jelaskan!" ucapnya terbata menggenggam tangan istrinya.Naima langsung syok, Helmi tidak menyangkal sama sekali. "Jadi benar? A–Abang sudah menikah lagi? Abang tega! Bagaimana bisa Abang melakukan hal gila seperti itu!" Dia berusaha melepaskan genggaman tangan sang suami, meluapkan amarahnya.Helmi tak membiarkan tangannya terlepas. "Sayang, dengarkan dulu. Semua—"Tangan Helmi ditepisnya, Naima bangkit dan menyeret Helmi keluar dari ruangan. Pria itu kaget ternyata Naima hendak mengusirnya dari kamar mereka. Naima mengunci pintu dengan cepat dan bersandar di sana. Ia menangis sesegukan memegangi perutnya. Tubuh luruh, ia berteriak sejadi-jadinya.Pintu itu terus digedor dari arah luar. "Sayang, Sayang! Abang bisa jelaskan, buka pintunya, Sayang!"***Sudah dua jam Naima mengurung diri di kamar. Helmi mondar mandir di depan pintu, tampak gelisah. Para pelayan yang melihat majikan mereka, bertanya-tanya satu sama lain. Tidak biasanya sepasang suami istri ini bertengkar. Permasalahan pasti berat, hingga membuat sang nyonya rumah mengurung dirinya.Waktu sudah menunjukan pukul 06.00 sore. Helmi mencoba membuka pintu akses yang berada di kamar putrinya. Namun, tetap saja ia tidak bisa masuk. Naima telah mengunci semua pintu dan jendela dari dalam. Helmi bahkan tidak tahu di mana letak kunci cadangan."Sayang … abang mohon, keluarlah! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, jangan menyiksa dirimu seperti ini, kasihan calon anak kita."Mendengar perkataan Helmi dari luar pintu, membuat Naima menyunggingkan senyuman pahit. Saat ini ia telah berbaring di tempat tidur dan berhenti menangis. Terlihat bekas kemerahan di matanya. Naima mengelus perutnya, merasakan gerakan dari dalam sana. Sepertinya si calon bayi juga merasakan kesedihan yang dia rasakan. Seolah meminta untuk tetap sabar dan berpikir jernih."Terima kasih, Sayang," ucap Naima lirik, seakan si cabang bayi memberinya semangat.Dari arah luar terdengar obrolan antara dua orang. Suaminya sedang berbicara pada Nara, suara Kiran juga terdengar memanggil namanya. Naima bisa sedikit bernafas lega. Setidaknya kehadiran Nara bisa membantunya menghindar dari Helmi. Naima pun membuka pintu perlahan.Tiga orang itu telah berdiri di depan pintu memandangnya, Naima langsung menarik tangan Nara ke dalam kamar. Kiran yang dalam gendongan Nara pun ikut masuk. Helmi ingin menahan, tapi pelototan mata Naima yang menakutkan membuatnya terdiam. Akhirnya pintu kembali ditutup.Naima segera mengambil Kiran dari gendongan Nara, mengecup kening putrinya dan meletakkan gadis kecil itu di tempat tidur."Bunda … Ayah ada di depan.""Iya, Sayang. Tapi Kiran harus mandi dulu."Gadis kecil tiga tahun itu menurut. Naima memang mengajarkan padanya untuk bebersih dulu ketika sampai di rumah. Nara pun memperhatikan gerak-gerik sahabatnya yang terlihat sedikit aneh, tak nampak ekspresi apa pun."Nai, apa yang terjadi?" Nara benar-benar penasaran, ia telah menahan diri hendak bertanya."Nanti akan aku ceritakan. Kamu bisa bantu aku sebentar?""Tentu saja, perlu bantuan apa?""Tolong ambilkan peralatan mandi Kiran dari kamarnya. Serta tolong kunci pintu kamar Kiran dari dalam.""Baiklah." Nara langsung melakukan permintaan Naima."Bunda, Kiran mandi di kamar Bunda?" tanya gadis kecil polos itu.Naima menoleh dan tersenyum pada putrinya. "Iya, Sayang. Kamar mandi kamu ada yang rusak. Jadi Kiran nanti mandi di sini dan bobok di kamar kamu sama bunda dan Tante Nara, ya!" ucapnya membelai pipi halus Kiran, gadis itu mengangguk.Tidak lama Nara datang dengan peralatan mandi Kiran, lengkap. Kemudian Nara membantu Naima memandikan gadis kecil itu. Naima memandangi wajah Kiran yang penuh keceriaan. Dia bahkan melupakan kesedihannya beberapa saat lalu. Ia berdiri di samping Nara yang sibuk menyabuni seluruh tubuh Kiran. Naima hanya bisa membantu membilas dengan air shower karena kondisi perutnya yang besar. Setelah selesai mereka membiarkan Kiran berendam sedikit lebih lama."Ra, kamu nginap di sini ya? Aku butuh teman ngobrol.""Iya, aku paham. Kamu bisa jadikan aku tempat unek-unek kamu, seperti biasa. Ini … karena wanita itu?"Naima menunduk membenarkan. Tak ada kata untuk menyangkal lagi. Raut wajahnya kusut tak bercahaya "Apa yang akan terjadi selanjutnya, Ra?"Selesai memandikan Kiran, mereka diam di dalam kamar sang putri. Pintu akses ke Kamar Naima sudah pun dikunci. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara ketukan, kali ini dari pintu kamar Kiran sendiri. Helmi terus memanggil nama Kiran dan Naima."Naima, Sayang … keluar ya? Kita bicara sebentar." Tak terdengar lagi kekalutan dari suara Helmi. Pria itu terdengar tenang dan sabar.Namun, Naima hanya diam, tak berniat untuk merespon panggilan itu. Kiran tampak bingung dengan diamnya sang bunda. Sedangkan Nara hanya bisa menghela napas berat, dia tau ini sangat sulit untuk diterima. Hingga terdengar lagi panggilan dari Helmi."Kiran … Cantik … keluar dong … ajak Bunda juga ya, Sayang ….!" Kali ini bujukkan itu dilakukan pada sang putri, yang langsung mendapat perhatian dari gadis kecil itu."Ayah …." Wajah mungil itu menoleh pada sang bunda. "Ayah, Bunda. Kenapa Bunda gak bukain pintu?" Pertanyaan polos Kiran lontarkan."Nai, sebaiknya kamu buka pintu. Ada Kiran di sini, tidak baik membiark
Pertanyaan Rinjani sedikit membuat dada Naima bergetar. Jawaban yang tepat harus segera dia berikan. Jika tidak, mamanya bisa curiga."Masih di luar kota, Ma," jawab Naima menahan kegugupannya."Oo, ya udah masuk dulu. Mama mau cerita banyak sama kamu." Jani mengajak mereka masuk. "Nara, ayo masuk. Kita sarapan sama-sama.""Iya, Tante," jawab Nara sedikit sungkan, karena memang jarang datang. Mengingat keberadaan seseorang di rumah itu membuatnya sedikit canggung.Naima yang melihat sikap sahabatnya, tersenyum geli. Dia tau Nara pasti sedang mencemaskan sesuatu. Tiba-tiba tangan Nara ditarik Kiran agar cepat masuk kedalam. "Tante … ayo masuk! Kiran mau ketemu Om Ganteng!" ajak gadis kecil itu tidak sabar disertai sikap centilnya."I–iya, Sayang …."Naima dan Rinjani menggeleng bersamaan. Melihat tingkah lucu Kiran adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Gadis kecil itu memang selalu bersemangat, apalagi jika dengan kehadiran Nara di rumah itu. Kiran akan semakin bersemangat mempertemu
Naima pun menyurutkan air matanya. Lalu ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah mengganti pakaian mereka keluar dari kamar. Naima mengantar sahabatnya hingga ke depan pintu rumah. Hari ini Naima bisa sedikit tenang. Helmi tidak lagi mengganggunya melalui panggilan telepon. Paling tidak hari ini dia bisa memikirkan langkah apa selanjutnya yang akan dia ambil. Naima mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Berharap dia bisa mendapatkan bantuan dari orang itu.Akan tetapi, pada malam harinya, Helmi tiba-tiba datang. Tidak mengejutkan bagi Naima. Helmi jenis orang yang tidak akan melepaskan apa yang dia punya, dan akan mengejar apa pun yang dia inginkan.Naima mendatangi Helmi di teras pintu masuk. "Kenapa datang ke sini, Bang?" "Sayang, ikut Abang pulang ya, kita bicarakan baik-baik," bujuk Helmi dengan wajah memelas."Baik-baik yang bagaimana maksud, Abang?" Naima membuang muka."Sayang …." Ucapan Helmi tiba-tiba terhenti. Rinjani tiba-tiba keluar menghampiri mereka. "Helmi
Lirikan mata Naima yang tajam, membuat nyali Helmi semakin ciut. Tidak hanya sekedar kecewa, kemarahan tertahan tampak jelas dari mata dan wajah istrinya itu."Abang, akan jelaskan.""Ya! Memang seharusnya seperti itu!" Naima melepaskan genggaman tangan suaminya."Abang minta maaf … abang memang telah menikah lagi, tanpa sepengetahuan kamu." Pengakuan Helmi yang jelas akhirnya terucap.Seketika jantung Naima langsung berdesir hebat. Seakan jatuh dari ketinggian, pengakuan suaminya itu sangat menyakitkan."Jadi?" Suara Naima sedikit serak, menahan tangisan yang hampir pecah, berusaha menahan agar Helmi tidak melihat sisi lemahnya."Abang minta tolong, agar kamu mau merahasiakan dulu dari keluarga kita."Tatapan Naima sinis pada sang suami. "Alasannya?""Abang belum siap …."Naima lantas membuang muka. Pernyataan Helmi mengakui kesalahan saja masih belum bisa dia terima. Sekarang malah harus menerima permintaan yang sangat tidak bisa dimaafkan."Belum siap? Oo … mudah sekali ya? Abang t
Helmi bersikap selayaknya pria sejati. Tentu saja dia harus bertanggung jawab. Walaupun apa yang dia lakukan adalah karena ketidaksengajaan. Namun, sebagai laki-laki dia tidak akan pernah sembarangan menanggapi masalah.Sherra mengusap air matanya, dia akhirnya sedikit tenang, lalu dia beringsut, berniat untuk membersihkan dirinya ke kamar mandi. Baru saja dia berdiri di samping ranjang, wanita itu pun kembali terduduk. “Auw!” Ringgisan kecil keluar dari bibirnya.Sherra menahan rasa sakit di pangkal pahanya. Kejadian semalam sangat meninggalkan bekas di tubuh bagian bawahnya. "Sher, kamu baik-baik saja?" Melihat wanita itu kesulitan untuk berdiri, Helmi pun merasa kasihan. Dia pun teringat akan kejadian malam pertama dengan istrinya. Naima juga kesulitan berjalan karena merasa nyeri akibat ulahnya.“Ini pertama kali bagiku, Mas. Wajar jika aku merasakan sakit." Sherra tak melihat kearah pria itu, hatinya masih kesal dengan kejadian buruk yang menimpanya semalam. Dia pun memunguti ba
Keluh kesah Naima, membuat Nara sangat terenyuh.“Naima, sebaiknya kamu bicarakan berdua sama suami kamu, biar semuanya jelas. Kalau kamu di sini terus, masalahnya akan semakin berlarut-larut,” ujar Nara yang ikut merasakan penderitaan sahabatnya itu.“Iya, Ra. Beberapa hari lagi aku akan pulang. Tapi, aku akan menitipkan Kiran dulu di sini. Aku nggak mau dia nanti melihatku dan Bang Helmi berseteru,” ucapnya sambil menahan air mata yang mulai membendung. “Naima, yang sabar, ya. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Semoga ada jalan keluar untuk rumah tangga kamu dan Bang Helmi.” “Iya, Ra. Terima kasih, ya.” Keduanya pun beranjak dari duduknya dan segera menuju kamar. “Eh, iya, Kiran mana?” tanya Nara kemudian.“Kiran lagi di taman belakang sama omanya. Yuk, ke sana,” ajak Naima menggandeng tangan Nara. Mereka pun menuju taman belakang, dimana Kiran sedang asyik bermain. “Tante Cantik ...!” teriak Kiran dari kejauhan berlari sambil membawa bola kecil di tangannya.“Hay,
Asap kendaraan mengebul mencemari jalan raya kota, suara klakson bersahutan memekakkan telinga. Naima yang sedang berada di dalam mobil itu tengah melamun, melihat orang yang lalu lalang sibuk dengan urusan mereka di awal pagi ini.Pikiran Naima mulai kalut. Tak dapat dibayangkan sebelumnya, rumah tangga yang dia banggakan selama ini ternyata hanya drama. Perhatian suaminya, ternyata juga hanya sandiwara penuh kepalsuan. Buliran hangat lagi-lagi menetes dari pelupuk matanya, tak sanggup lagi dia bendung. Tak terasa, Naima hanyut dalam lamunannya hingga sampai rumah pun dia tidak menyadarinya. “Non ... sudah sampai,” panggil sang sopir yang menengok ke belakang, ke arah Naima. Naima tidak menjawab, pandangannya kosong terfokus pada jendela mobil yang mengarah ke jalan.“Non Naima ....” Lagi-lagi sopir itu menegur dan sedikit meninggikan nada suaranya. “Ah, iya, Pak. Ada apa?” Naima terkejut, lalu menoleh.“Sudah sampai rumah, Non.” “Astaga, maaf ya, Pak. Tadi saya sedikit ngantuk,
Wanita yang perutnya telah membesar itu, menunduk perlahan dan berjongkok mengambil selembar foto yang dekat dengan kakinya. Kemudian dia bangkit dan melihat foto itu sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Naima melihat sesuatu yang tidak asing baginya. Pemandangan yang selalu dia lakukan saat mengantar kepergian suaminya. Mencium tangan suami dan setelah itu mendapat kecupan hangat di keningnya. Naima kembali menjatuhkan foto itu dan Helmi hanya diam tanpa kata. "Dan ada hal yang paling mengejutkan. Wanita itu ada di kota ini bukan? Tidak jauh, sekitar lima kilometer dari sini." Naima bertepuk tangan dengan wajah sinisnya di depan wajah Helmi. "Hebat, sangat hebat."Tidak terbayangkan bagaimana rasanya jadi Naima. Membuka kedok suami dengan cara yang sangat tidak biasa. Sangat menyakitkan, tentu saja itu sangat sakit. Naima berusaha tegar, berusaha bersikap tenang. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata sang suami. Naima bukan wanita yang tidak mudah dijatuhkan.Naima menekan d