“Iii-ya ... silahkan dicari. Saya akan coba untuk mencarinya juga!” Kemala tergagap untuk menjawab Mirna, sama halnya dengan Yana yang menjadi salah tingkah.
“Di mana ya, Kak? Seingatku aku simpan di saku celana, ternyata tidak ada. Tadi aku pun cukup lama mencari di teras depan, barangkali terjatuh.” Pernyataan Mirna seakan membuat manik mata Kemala ingin keluar, bahkan jantungnya berpacu dengan cepat.
Kemala seakan diserang rudal oleh Mirna. Wanita itu masih sibuk berpikir, apakah Mirna sudah lama berada di teras rumahnya? Apa saja yang dia dengar? Akh ... semua gara-gara Yana yang seenaknya saja mengeluarkan kalimat itu. Namun Kemala pun ingin tahu apa motif dibalik pernikahan Herdian dengan Mirna hingga meninggalkannya tanpa kabar.
“Ibu juga akan coba bantu, ya ...,” ujar Yana demi menyembunyikan rasa canggungnya.
Beberapa menit mereka bertiga mencari keberadaan kunci mobil milik Mirna. Tiba-tiba Mirna mengeluarkan sesuatu dari saku outernya, lalu berkata, “Kak ... ternyata ada di saku kardiganku.” Mirna memasang wajah polosnya, “Kukira jatuh padahal seingatku ... tadi aku simpan di saku celana bukan saku kardigan.”
Apakah wanita itu sengaja membuat shock Kemala dan Yana? Entahlah, Kemala pun tak berpikir lebih jauh, dia tidak peduli apakah rencana Yana dan Herdian akan berhasil atau tidak. Tetapi dia justru mencemaskan hubungannya dengan Mayang akan rusak hanya karena sandiwara Yana dan Herdian. Sedangkan dirinya tidak tahu menahu soal rencana busuk mereka.
“Kalau begitu saya pamit pulang dulu, Kak Kemala.” Mirna sambil melirik ke arah Yana, “Ibu yakin gak akan ikut dengan Mirna?”
“Sepertinya tidak, Nak. Kamu juga buru-buru bukan,” tolak Yana secara halus.
“Oke, selamat siang!”
Huft ... perasaan Kemala sedikit agak lega setelah Mirna keluar dari rumahnya. Namun, tidak sampai disitu. Ternyata hal lain yang lebih mengejutkan pun datang. Kemala melihat seorang pria yang baru turun dari mobil sport berbicara dengan Mirna yang baru akan masuk ke dalam mobilnya. Pria itu tak lain putra Yana, suami Kemala. Siapa lagi kalau bukan Herdian.
“Mas, kamu juga datang ke sini?” tanya Mirna terkejut, “Bukannya kamu bilang sedang ada meeting saat aku minta kamu mengantarku.”
“Iya. Ini juga baru selesai meeting lalu ke sini.”
“Jangan-jangan kamu mau jemput ibu di sini? Tadi sudah aku ajak agar pulang bersamaku ternyata beliau menolak. Katanya masih belum selesai memesan kue dari Kak Kemala.”
Herdian agak terkejut saat Mirna bilang di dalam rumah Kemala juga ada Yana. Padahal sama sekali Herdian tidak tahu soal rencana kunjungan ibunya ke rumah istri pertamanya. Dia sendiri datang ke rumah itu karena ingin meminta maaf pada Kemala. Namun tak disangka dia bertemu Mirna dan juga Yana di sana. Alhasil dirinya pun bersandiwara pada Mirna.
“Iya, tadi ibu memang memintaku menjemputnya. Aku bilang aku akan selesaikan meeting dulu,” dustanya.
Mirna tampak sedikit berpikir. Tapi sepertinya dia juga malas untuk bertanya lebih jauh, maka dirinya pun tak lagi mempermasalahkan alasan apapun yang keluar dari mulut suaminya. Selain itu dia sedang terburu-buru untuk mengantar kue ke kantor Mayang.
Sementara menunggu Mirna meninggalkan rumah Kemala, Herdian sedang memikirkan alasan yang pas untuk Yana. Tentu ibunya pasti marah jika sampai mengetahui bahwa kedatangannya ke rumah Kemala untuk meminta maaf. Sejujurnya Herdian melakukan semua ini hanya karena suruhan Yana. Jauh di lubuk hatinya dia masih mencintai Kemala.
Herdian berpikir, Yana telah melakukan banyak hal untuknya. Ia juga tak ingin dicap sebagai anak durhaka. Sebab itulah dirinya selalu menuruti apapun perkataan Yana.
Pria berpakaian rapi itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Kemala. “Selamat pagi!”
“Lho ... kamu ada di sini juga?” Yana beranjak dari tempat duduknya.
“Iya, tadi aku juga bertemu Mirna di depan. Aku ingin menjemput ibu,” akunya.
Yana mengernyitkan dahinya. Kemudian dia bertanya pada putranya, “Kamu tahu ibu ada di sini dari siapa?”
“Dari Bik Narsih, tadi abis meeting aku ke rumah. Ternyata ibu gak di rumah lalu aku tanya Bik Narsih.” Herdian berharap ibunya menerima alasan yang ia berikan.
Dalam diamnya, Yana pun berpikir keras, “Apa tadi aku bilang sama Bik Narsih kalau aku akan ke sini?”
“Jadi, Kemala kamu ....” Herdian ragu untuk menyapanya, “Semoga usahamu semakin berkembang, Kemala.”
Yana menarik tangan putranya agar keluar dari rumah Kemala, “Ayo ... Ibu ada arisan lima belas menit lagi. Nanti ibu terlambat, bisa-bisa diomeli sama teman-teman ibu.”
Kemala tak dapat berkata apa-apa, dia hanya menatap suaminya dengan tatapan biasa saja. Sedikitpun tak terdengar suara yang keluar dari mulutnya. Ia sama sekali tak menunjukkan perasaan marahnya kepada Herdian.
Sedangkan kaki Herdian seolah berat untuk digerakkan keluar rumah Kemala. Sehingga Yana dengan agak keras mendorong tubuh putranya agar pergi dari rumah itu. Namun tatapan Herdian tetap tertuju pada wajah ayu Kemala. Ia sama sekali tak berkedip.
“Herdian! Cepat, ibu terlambat!” desak Yana.
“Baik, Bu.” Pria itu baru tersadar saat Yana menarik lengannya sekali lagi.
Mobil sport berwarna hitam itu pun pergi meninggalkan rumah Kemala. Wanita itu segera masuk dan menutup pintu rumahnya lalu menghambur ke dalam kamar. Ia membanting tubuhnya di atas kasur, sesak yang menumpuk sejak tadi dia tahan agar tak seorang pun melihat dirinya yang rapuh.
Dirinya sama sekali tidak menduga bahwa dunia sesempit ini. Ternyata Mirna, putri Bu Mayang yang selalu baik kepadanya, sekarang wanita itu menjadi madunya. Kemala tahu betul ada penyesalan yang terlukis pada sorot mata suaminya. Hal itu bukanlah kali pertama bagi Kemala. Herdian kerap menuruti semua perintah ibunya.
Meskipun pada akhirnya pria itu menyesalinya. Namun tetap saja, semua sudah terjadi. Dan keadaan seperti itu sungguh membuat Kemala lelah. Seharusnya Herdian sebagai suami bisa lebih tegas. Ini bukan lagi perihal bakti seorang anak pada ibunya. Tetapi tentang sikap seorang suami dalam menghadapi berbagai situasi dalam rumah tangganya.
Cling! Bunyi notifikasi pesan terdengar dari ponsel Kemala. Seseorang sedang mengirimkan pesan padanya. Ia meraih ponselnya di atas nakas.
[“Mbak, apakah Mbak Kemala sudah memulai membuat kue pesanan saya?”]
[“Maaf sekali, sepertinya pesanan kuenya saya tunda besok. Tiba-tiba acaranya dimundurkan.”]
Kemala bersyukur sekali mendapat pemberitahuan tersebut. Sebab sekarang suasana hatinya sedang kacau. Ia tidak lagi punya semangat untuk meneruskan pekerjaannya. Kemala menggerakkan jemarinya pada layar ponsel untuk membalas pesan dari pelanggannya.
[“Baik, tidak apa. Besok pastinya diambil jam berapa?”]
Setelah mendapat balasan pesan dari pelanggannya, Kemala memutuskan untuk pergi ke rumah ayahnya. Ia segera meraih sling bag miliknya. Kemudian mengunci semua jendela. Dalam kegundahannya, dia melangkah perlahan menyusuri jalan perumahan. Banyak yang ia pikirkan. Mengenai kalimatnya tentang kemandulan Mirna, sebenarnya dia sama sekali tidak tahu. Kemala hanya berniat menggertak Yana.
“Kalau saja Mirna bukan putri Bu Mayang, aku tidak akan ikut dalam sandiwara mereka,” gumamnya.
Wanita itu berjalan dengan langkah gontai. Ia juga tertarik untuk memikirkan Mirna. Apakah benar Mirna tidak mendengar percakapannya dengan Yana?
Tanpa Kemala sadari, dirinya pun telah sampai di depan rumah ayahnya. Rumah Hartono tampak sepi. Ia pikir ayahnya sedang beristirahat karena biasanya selepas sholat dzuhur, Hartono menyempatkan diri untuk tidur siang. “Ayah! Ayah!” Kemala memanggil-manggil Hartono karena pintu rumahnya terkunci. Sesekali dia mengedor-gedor pintu rumah Hartono. Kemala duduk di kursi rotan yang terletak di teras rumah. Dalam benaknya dia berpikir, “Tidak biasanya Ayah mengunci semua pintu.” Hatinya merasa tidak tenang sehingga dirinya beranjak pergi ke rumah tetangga sebelah. Kemala bertanya pada tetangga Hartono yang kebetulan pintu rumahnya terbuka. Si pemilik rumah pun sedang menonton acara televisi saat Kemala datang. Tok! Tok! “Permisi, Bu Siti!” “Kemala, ayo masuk!” ajaknya. “Bu Siti lihat Ayah, tidak?” tanya Kemala, “Dari tadi saya panggil-panggil tidak menyahut. Semua pintu terkunci, biasanya tidak pernah seperti ini.” “Lho, bukannya Pak Hartono menginap di rumahmu?” wanita yang usianya s
Sepertinya Dokter telah menyelesaikan penanganan pertamanya kepada Hartono. Kemala mengintip di balik celah tirai yang menjadi pembatas antar pasien. Seorang perawat menampakkan wajah sendu sementara Dokter pria itu menggelengkan kepalanya.“Ayah ....” Kemala hanya bisa pasrah.Wanita itu tetap duduk sambil menahan butiran bening yang hampir jatuh. Ia duduk bersandar pada dinding ruangan yang terasa dingin. Kepalanya seakan tidak dapat ditegakkan. Ia hanya tertunduk sambil berdoa dalam diam.Seorang pria berjas putih menghampirinya, “Tolong ikut ke ruangan saya sebentar!”Kemala beranjak meninggalkan ruangan menuju ke ruangan lain, ia mengekor di belakang pria tersebut. Sesampainya di sebuah ruangan, pria yang lebih dulu sampai itu mempersilahkan dirinya untuk duduk. Kemala pun menurutinya.“Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?” tanyanya lirih.“Kami, selaku tim medis yang menangani pasien sudah mengusahakan yang terbaik. Kami telah melakukan CT-scan dan rontgen. Ada pembuluh darah yang
“Operasinya berjalan dengan lancar.” Dokter yang masih mengenakan pakaian bedah itu pun berlalu dari hadapan Kemala. Kemala menarik napas lega, dia harap ayahnya semakin membaik setelah ini. Tidak sia-sia dirinya mengusahakan biaya untuk operasi. Semua itu tak akan ada artinya dibandingkan dengan kesehatan Hartono. Setelah perawat menyiapkan kamar perawatan, Hartono dipindahkan dari ruang operasi. Kemala tak pernah jauh dari sisi ayahnya. Meskipun Hartono belum sadarkan diri, tapi dirinya ingin selalu ada jika mungkin dibutuhkan sewaktu-waktu. Sudah dua hari sejak selesai dioperasi, Hartono berangsur-angsur mulai membaik. Tentu hal itu membuat Kemala senang. Tak ada keluhan yang dirasakannya. Hanya saja mereka harus menunggu kondisinya stabil. Sebab saat ini Hartono masih menggunakan alat bantu pernapasan melalui mulut. Menurut dokter, pernapasannya masih lemah. Meskipun ia sudah dapat menggerakkan anggota tubuhnya. “Ayah, bagaimana keadaan Ayah hari ini?” tanya Kemala lembut. H
Kemala menghempaskan map berisi dokumen tersebut ke tubuh suaminya. Ia tak menghiraukan gertakan Yana, dirinya segera masuk ke dalam mobil mini bus berwarna putih itu bersama Bu Siti. Sopir melajukan mobil perlahan melintasi jalanan kampung bersama iring-iringan pelayat. Kini mereka sudah berada di tempat pemakaman. Beberapa orang turun ke dalam liang lahat untuk menangkap jasad Hartono yang akan diletakkan di dalam peristirahatan terakhirnya. Serangkaian prosesi pemakaman telah selesai dilaksanakan. Para pelayat pamit satu per satu meninggalkan tanah pemakaman. Tak terkecuali Bu Siti, tetangga Hartono yang membantu Kemala. “Aku pamit pulang dulu, Kemala. Kamu harus ikhlas agar ayahmu tenang,” ucapnya. “Iya, Bu Siti. Terima kasih sudah membantu Kemala mempersiapkan semuanya.” Kemala menatap wanita yang seumuran ayahnya itu dengan tatapan sendu. Sekarang hanya ada dirinya dan gundukan tanah yang masih basah di hadapannya. Kemala merasa belum percaya bahwa ayahnya akan pergi secepa
“Kamu lihat tadi, istri pembawa sialmu itu semakin sombong.” Yana tampak sedang kesal. “Sudahlah, Bu. Semua yang ibu inginkan sudah Kemala turuti, bahkan ia tidak melawan.” Yana semakin naik pitam begitu mendengar putranya membela Kemala. Sedangkan pria muda di sampingnya hanya bersikap biasa saja. Terkadang Herdian merasa hidupnya dikendalikan Yana sepenuhnya. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti. Sebab, Yana tidak punya siapapun lagi selain dirinya. Sementara itu, Kemala sedang membersihkan rumah. Beberapa perabotan tampak berantakan karena sudah hampir sepuluh hari rumah itu dibiarkan begitu saja. Setelah ruang tamunya bersih, ia beralih ke kamar mendiang Hartono yang tak kalah berantakan. Kurang lebih pukul 5 sore, ia menyelesaikan aktivitasnya membersihkan rumah mendiang orang tuanya. Selanjutnya, ia pergi ke rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Bukan untuk pulang, melainkan ingin mencicil memindahkan barang-barangnya ke rumah
Seorang wanita yang juga memiliki andil dalam usaha bakery-nya datang. Ia menghampiri Kemala yang tengah sibuk melayani pembeli. Sementara perutnya mulai membesar. Wanita itu terus saja melihat ke arah Kemala. “Biar saya saja.” Wanita itu menyerobot secarik kertas pesanan pengunjung. Kemala tentu merasa tidak enak hati, sebab wanita yang lebih ia anggap seperti ibunya itu sudah banyak membantu dirinya. Meskipun sebenarnya ada yang Kemala sembunyikan darinya. Harapan Kemala, wanita itu tidak terseret dalam cerita masa lalunya. Ia belum siap jika nanti hubungan mereka renggang hanya karena permasalahan masa lalunya. “Bu, biar saya saja.” Kemala menahan Mayang. “Bu Mayang duduk saja, saya siapkan choco latte ya, Bu.” Ia menyiapkan beberapa pesanan dari secarik kertas yang ia dapatkan dari wanita yang masih menatapnya itu. “Terima kasih. Echo Bakery selalu di hati.” Kemala menyodorkan sebuah paper bag berisi kue pesanan salah seorang pengunjung. Setelah pengunjung itu keluar dari Echo
Echo Bakery baru saja tutup, Kemala berjalan kaki ke arah rumahnya. Kebetulan jarak Echo Bakery dan rumahnya tidak terlalu jauh. Kemala lebih suka berjalan kaki daripada naik motor. Selain sambil menikmati pemandangan malam hari, ia juga merasa lebih senang karena sekaligus berolahraga. Mengingat selama membuat kue dan melayani pelanggan, dirinya hanya duduk dan sesekali saja berdiri. Terkadang ia merasakan sakit di area punggungnya. Terlebih sekarang dirinya sedang hamil tua, pinggangnya sering kali terasa ngilu. Malam itu, Kemala membawa sebuah kotak berisi dua potong brownies masing-masing varian keju dan original. Ia mengetuk pintu rumah Siti, sebelum dirinya masuk ke dalam rumahnya. Mereka memang tinggal bersebelahan. “Kemala ....” Siti membukakan pintu untuknya. “Ayo masuk!” ajaknya. “Tidak usah, Bu Siti. Saya hanya ingin memberikan ini.” Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam paper bag-nya, lalu menyodorkannya pada Siti. Siti merasa segan, setiap hari wanita muda itu sel
Mayang bergegas masuk ke dalam ruko miliknya. Dengan bantuan Vita, gadis yang baru saja bekerja di Echo Bakery, ia mengangkat tubuh Kemala ke dalam mobil. Selanjutnya, Mayang melarikan Kemala ke Rumah Sakit. Sementara itu ia menyuruh Vita untuk tetap membuka toko. Wanita yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri itu sangat gelisah. Ia merasa khawatir dengan keselamatan Kemala dan juga janin yang dikandungnya. Sosok Kemala memang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Kisah hidup mereka juga hampir sama. Mayang juga pernah mengalami masa-masa sulit seperti Kemala. Beberapa orang berpakaian serba putih mengerumuni mobilnya yang baru saja sampai di depan IGD Rumah Sakit. Mereka segera menyiapkan brankar dan membawa Kemala masuk ke dalam ruang IGD. Dalam hatinya, Mayang tidak berhenti mendoakan keselamatan dua nyawa tersebut. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi Mayang sangat menyayangi Kemala. “Dokter, tolong berikan perawatan terbaik padanya.” “Baik, Bu. Kami pa