Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya.
Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan.
Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya.
“Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara.
“Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya.
“Zahra,” sahutnya dengan pelan.
Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
Masih berada di rumah yang sama namun kini keadaan kedua wanita itu sama-sama tak terkendali. Bulan mengayunkan tangannya menghampiri wajah Zahra yang tengah meluapkan emosinya. Kejadiannya sangat cepat hingga Alfan tak bisa mencegahnya. Tamparan Bulan sekaligus menghentikan ucapan Zahra. Wanita itu menatap Bulan dengan tatapan tidak percaya. Ia memegang pipinya yang terasa panas. “Jangan melimpahkan kesalahan hanya padaku. Jika ada yang harus disalahkan itu adalah kalian berdua. Kalian yang menyembunyikan pernikahan itu. Jika kamu menyebutku pelacur lalu apa bedanya denganmu yang mau dinikahi hanya secara siri?” balas Bulan dengan suara meninggi. Zahra dan Alfan sama-sama tersentak mendengar lengkingan suara Bulan yang penuh amarah. “Sudah cukup!” Alfan melerai di antara dua istrinya sebelum keduanya kembali memulai debat. Ia menoleh ke arah Zahra. “Sudah aku bilang, semuanya salahku. Bulan
Semenjak pertemuan antara Bulan dan Zahra, keadaan sedikit mulai membaik sebab mereka sudah saling tahu tentang apa yang terjadi. Alfan berusaha bersikap adil dengan membagi waktunya, tiga hari bersama dengannya dan tiga hari bersama Zahra. Sementara di hari minggu, Alfan meminta waktu untuk sendiri. Bulan menyetujui tanpa banyak protes, sementara Zahra terlihat beberapa kali tidak menerima keputusan Alfan. Bahkan wanita itu menuntut hari minggu Alfan harus bersamanya karena ia istri pertama. Jawaban Alfan membuat wanita itu terdiam dengan isak tangis. “Jangan menuntut terlalu banyak, Zahra. Istri pertama atau kedua tidak ada bedanya, kalian sama di mataku. Seharusnya kamu bersyukur kita bisa bertemu tiga kali dalam seminggu. Dulu kita hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Kamu jangan terlihat serakah, Zahra.” Itulah ucapan Alfan yang saat itu terdengar di telinga Bulan. Begitu te
Selama beberapa hari Bulan selalu sibuk dengan urusan butiknya. Ia selalu pulang larut malam dan selama itu pula Alfan selalu menunggunya. Hubungannya dengan lelaki itu lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi di antara keduanya juga mulai terbuka tentang beberapa hal. Karena hari ini adalah hari terakhir dirinya bersama dengan Alfan maka Bulan memutuskan untuk pulang sebelum magrib tiba. Ia ingin sedikit memanfaatkan waktu bersama dengan suaminya untuk saling mengenal. Saat Bulan tiba di rumah ternyata Alfan juga baru saja tiba. Mereka berdua bahkan baru saja turun dari mobilnya masing-masing. “Tumben pulang sore, Bulan,” ucap Alfan. “Kamu baik-baik saja ‘kan?” Bulan mengangguk. “Baik. Pekerjaanku sudah selesai makanya aku pulang.” Keduanya berjalan bersamaan masuk ke dalam rumah. Bulan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah mereka berada di ruan
Keduanya duduk di meja makan dalam keheningan. Baik Alfan atau Bulan tidak ada yang bicara sebelum sarapan usai. Sebelum turun ke meja makan tadi, Bulan sempat menyiapkan beberapa pakaian untuk suaminya selama menginap di rumah Zahra, istri pertamanya. Menyebut istri pertama dan kedua selalu membuat sudut hatinya terluka tapi selalu disembunyikan. “Nanti pulang aku langsung ke rumah Zahra,” ucap Alfan memulai obrolan. “Aku tahu. Pakaian dan keperluan Mas Alfan sudah aku siapkan. Jika kekurangan apa pun, langsung hubungi saja,” balas Bulan dengan senyum manis. “Terima kasih. Maaf harus meninggalkanmu sendiri,” ucap Alfan penuh sesal. Bulan mengangguk mengerti. Inilah resiko yang harus diambil saat ia memilih bertahan. “Kita sudah sepakat. Aku mengerti,” sahut Bulan menghentikan. Sebelum pembahasan ini melukai hatinya lebih baik dihentik
“Mau ke mana Mas? Pagi sekali.” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Zahra yang melihat Alfan tengah bersiap. Padahal waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. “Aku ada urusan pekerjaan,” sahut Alfan tanpa menoleh. “Kenapa pagi sekali. Jam kantor baru akan buka jam delapan, Mas.” Zahra mendekat sambil menatap Alfan curiga. “Aku harus mengunjungi salah satu cabang yang baru mulai berkembang. Siang nanti aku akan kembali ke kantor pusat. Jadi jadwalku hari ini benar-benar padat, Ra.” Zahra menggeleng menolak untuk tidak percaya dengan perkataan Alfan. Kamu bosnya, untuk apa kamu harus bekerja sekeras ini, batin Zahra miris. “Aku mungkin akan pulang larut. Jadi, jangan menungguku.” Alfan berbalik badan dan menyentuh bahu Zahra lembut. “Mas Alfan tidak berniat menghindar, kan?” tanya Zahra dengan cairan bening ya
Pagi ini hari sangat tenang dan indah. Matahari baru saja mulai terbit dari cakrawala berwarna merah. Mewarnai langit indah dengan warna jingga yang sangat cantik. Banyak orang yang telah melakukan aktivitas di luar rumah. Tapi bagi sebagian orang minggu adalah hari untuk bermalas-malasan. Udara sangat sejuk. Segalanya tampak begitu tenang dan damai, namun tidak demikian dengan salah satu rumah yang terdengar teriakan melengking yang jelas menarik perhatian tetangga di sekitarnya. Rumah mewah yang telah diatasnamakan Bulan itu tengah kedatangan tamu tidak diundang yang seketika membuat suasana hati Bulan memburuk. Zahra, wanita itu datang dengan cucuran air mata dan menarik perhatian Alfan dengan wajah polos minta digampar. Saat Alfan bertanya tentang apa yang terjadi, entah pikiran dari mana tiba-tiba Zahra menjawab, “Mbak Bulan datang dan memberikan ini padaku. Dia me
Bulan masih tertidur lelap sambil duduk di sisi ranjang Alfan. Sementara Alfan sudah mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum manik matanya terbuka. Matahari mulai terlihat menampakkan sinarnya walau belum meninggi. Alfan merasakan pusing di kepala. Ia sama sekali tidak mengingat kejadian semalam di mana dirinya mengamuk dan berakhir tidak sadarkan diri setelah menghancurkan seisi lantai satu. Matanya menunduk dan melihat Bulan tertidur dengan posisi yang jelas tidak nyaman. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum tipis yang sangat manis. Walau dalam kemarahan sekali pun, ternyata wanita itu masih peduli padanya. Perlahan tangan Alfan terulur untuk menyentuh kepala Bulan. Baru sekali usapan, Bulan terlihat terganggu dan bergerak tidak nyaman sebelum membuka mata. Bulan langsung mengangkat kepalanya saat menyadari yang mengusap kepalanya adalah Alfan.