Bab 18
"Maaf," ucap Edward berusaha sopan.
Degh!
Tiba-tiba lampu lift menyala kembali, Adelia bernapas dengan lega.
"Sudah menyala," ujarnya sambil melihat ke arah Edward.
"Wajahmu memerah." Edward berkata sambil tersenyum. Dia merasa Adelia cukup menarik.
"Afgan adalah suamimu dan kalian baru menjalani Pernikahan Paksa?" tanya Edward tiba-tiba.
Adelia diam dan memilih tidak melihat ke arah Edward. Dia menatap layar tombol lift dengan gusar, dia merasa waktu berjalan sangat lama sekali sampai akhirnya lift itu sampai ke lantai presidensial suite.
Ting!
Pintu lift terbuka, Adelia merentangkan tangannya dengan sikap professional lalu membungkukkan tubuhnya sambil memegang kartu lift dan menyodorkannya kepada Edward.
"Silakan Tuan Edward, ini adalah kartu elektronik untuk pintu lift. Semoga Anda betah dengan pelayanan yang kami sediakan," ucap Adelia dengan bahasa baku yang sopan.
Edward masuk sambi
"Bagaimana bila aku mentraktirmu makan malam?" ucap Edward memecahkan keheningan di antara mereka.Adelia kembali menghapus air mata yang mengalir dengan buru-buru."Aku ingin pulang ke rumah saja," ucap Adelia dengan lirih.Saat tiba di depan rumah Afgan, Adelia turun dari mobil dengan berat hati. Dia berterima kasih kepada Tuan Edward untuk tumpangan yang diberikan olehnya.Sesaat hendak memutar tubuhnya, Adelia baru menyadari keanehan."Bagaimana kamu bisa tahu alamat dan mengantarku ke sini?"Edward tersenyum dengan hangat, "bukankah tadi sudah sangat jelas, kamu adalah istri yang baru menikah dengan Afgan, pewaris arogan itu."Edward terkekeh dengan ucapannya sendiri."Sudah cukup lama Aku dan Afgan saling mengenal."Adelia mengangguk lalu mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Sekuriti membuka pintu gerbang tinggi tersebut dan menyapa dengan sopan."Kamu tidak mengundangku masuk untuk sekedar minum kopi?" tan
Sama seperti pagi sebelumnya, Adelia sampai di hotel tempatnya bekerja dengan langkah lesu. Bagaimana pun dia harus tetap bekerja agar dapat melunasi hutang sang ayah yang masih belum lunas walau sudah menerima mahar yang cukup banyak.Mendengar instruksi dari CEO-nya bawah ada rapat kerja, Adelia langsung menuju ruangan tempat para hotelliers biasanya di-briefing untuk rapat tersebut.Adelia memasuki ruangan rapat dengan langkah ragu. Sudah ada beberapa karyawan di sana dan juga CEO, Mrs. Smule.Tanpa curiga, dia melihat sekeliling ruangan, mencari tempat duduk. Ketika pandangannya jatuh pada sosok duduk di tengah-tengah kursi rapat, hatinya hampir berhenti berdetak. Ada rasa terkejut yang begitu mendalam menghantamnya ketika menyadari bahwa orang itu adalah Afgan, suami yang membencinya."Afgan!?"Dia memandangnya dengan mata terbelalak, bibirnya terkatup rapat mencoba menahan kejutan dan kecemasan yang melanda hatinya.Pandangan mer
Melinda mengatakan dengan suara manja yang sengaja diperkeras agar dapat di dengar oleh orang lain juga, selain Adelia.Karyawan dan hotelier yang lain hanya tersenyum karena mereka tahu, Adelia adalah tokoh yang ingin diganggu Melinda, sehingga mereka memilih diam sebagai sikap professionalisme dalam bekerja.Melinda berkata dengan sombong, membuat Adelia kesal. Apalagi ketika tahu jika pemilik hotel itu adalah suaminya sendiri.Selain Melinda, belum ada yang tahu bahwa Afgan, sang pemilik hotel yang ganteng tetapi arogan itu adalah suaminya. Adelia mengepalkan tangannya erat-erat.Namun, Adelia tak bisa apa-apa karena pernikahan mereka pun rahasia, tak diketahui oleh orang-orang."Apa maumu, Melinda?" Suara Adelia terdengar meninggi. Tatapan tajam dilayangkan kepada Melinda.Mrs. Smule dan Afgan sudah selesai berbicara dan mereka kembali ke ruang rapat untuk mengambil berkas yang tertinggal.Merasakan suasana mencekam dari kedua wan
"Sayang, aku akan menjemputmu nanti sore sepulang kerja, maaf bila tidak dapat menemanimu makan siang."Suara yang dikenalinya membuat Adelia mulai merasa kesal lagi. Dia memilih berpura-pura tidak melihat. Adelia tahu bahwa Afgan dan Melinda sedang menuju ke arahnya."... tapi, aku ingin sekamar denganmu." Ucapan manja dari Melinda membuat darah Adelia semakin mendidih.Dengan ketus, dia keluar dari meja resepsionis dan sengaja melewati depan kedua sejoli yang membuatnya jijik itu dengan membawa sebuah kotak kardus yang berisi cukup banyak dokumen di tangannya."Kalian membuatku jijik. Pergilah mencari kamar bila tidak tahan lagi!" Adelia lalu melirik ke arah Afgan yang terlihat mulai terpancing amarah di matanya."Sebagai pemilik hotel, tentunya kamu mempunyai hak atas semua kunci kamar, hati-hati !" Adelia mendekati Afgan lalu setengah berbisik,"Pilih kamar yang tidak punya kamera pengintai!"Usai mengatakan demikian, Adelia terkekeh lalu
Adelia memandang Edward dengan tatapan penasaran. "Mengapa harus menginap sampai akhir pekan dan apa yang ingin kamu buktikan?" tanya Adelia.Edward memberikan senyuman hangat lalu menyeka sisa air mata di pipi Adelia dengan jempolnya."Aku tidak suka lihat wanita secantik kamu harus menangis seperti ini. Bagaimana bila aku menghiburmu dengan mentraktirmu makan malam? Hmm, kamu berhutang dua cangkir kopi untukku, bukan?"Edward memangku tangannya di dagu dengan tatapan hangat, membuat hati Adelia mulai berdebar. Dia berusaha menyimpan rasa canggungnya dengan membawa kardus karton menuju ke gudang.Edward membantu Adelia memasukkan kardus yang tadi dipegangnya ke dalam gudang. "Bagaimana dengan tawaranku? Jam berapa kita akan makan malam?"Adelia masih merasa tidak nyaman bila harus pulang di malam. Selama ini, pandangan Afgan kepadanya sudah sangat tidak baik, bagaimana bila dia masih pulang malam juga? Hal itu sudah pasti akan membuat Afgan lebih
"Bagaimana harimu, Adelia?" tanya Afgan tiba-tiba dengan suara yang terdengar hampa, seolah-olah dia hanya mencoba mencari topik pembicaraan."Baik," jawab Adelia singkat, tanpa memberikan rincian apa pun. Dia malah sibuk menjulurkan kepala untuk melihat makanan apa yang bisa dia makan di meja panjang tersebut.Mereka mulai menyuap makanan di atas piring mereka, tetapi tidak ada suara lain kecuali suara sendok dan garpu menyentuh piring. Semuanya terasa terkendali dan formal, tanpa kehangatan atau kedekatan di antara mereka.Walaupun makanan yang disajikan sangat lezat, tetapi atmosfer dingin dan kaku itu menyelimuti mereka seperti kabut malam yang menyelimuti kota.Meskipun mereka berada di tengah-tengah kemewahan, tetapi kekosongan dalam hubungan mereka jelas terlihat.Adelia masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa Afgan tiba-tiba mengajak makan malam. Namun, makanan yang enak membuatnya tidak mempedulikan hal itu. Perutnya terasa lapar dan haru
Adelia kesakitan pada perutnya. Asam lambung membuatnya kembung dan merasa nyeri di ulu hati, sehingga pandangannya mulai berputar. Saat itu dia sedang memegang piring makanan lalu terjatuh ke lantai.Suara pecahan piring yang terdengar sampai ke telinga Afgan di kamar sebelah. Tidak ada yang sanggup membuka pintu walau Afgan sudah mengedor dengan kuat.Adelia memegang perutnya dengan wajah yang pucat dan gemetar menahan sakit."To.. long!" teriaknya lirih menahan sakit.Afgan bahkan sudah berusaha menghancurkan pintu karena panik, apalagi saat terdengar rintihan dari Adelia, menandakan sedang terjadi sesuatu yang buruk.Pintu kayu yang mewah dan kuat itu tidak mudah dirobohkan. Afgan meringgis menahan sakit pada bahunya yang berusaha mendobrak pintu berkali-kali namun tidak berhasil.Akhirnya kepala pelayan berlari kecil mengambil kunci cadangan dan menghampiri Afgan.Pintu terbuka, dan Afgan segera berlari menghampir Ade
Afgan menatap Adelia yang masih tertidur dengan nyenyak di ranjangnya. Hari sudah malam dan dia memutuskan untuk berbaring sejenak di sebelah Adelia dengan maksud menjaganya, tetapi rasa lelah dan kantuk menyerangnya sehingga pria itu pun tertidur sampai pagi.Matahari menyelinap dan menyambut mereka dengan kehangatan. Adelia terbangun dan merasakan tangan yang berat memeluk pinggangnya.Kedua mata Adelia langsung membulat tajam, dengan kasar menepis tangan Afgan karena terkejut."Aowh!" Adelia meringgis karena baru menyadari jarum infus di tangannya.Sekilas di liriknya pria yang menjadi suaminya tersebut. Batang hidung yang mancung sepadan dengan rahangnya yang tegas, membuat wajah Afgan sempurna dan sangat menarik.Sesaat kemudian, Afgan membuka matanya dan pandangan mereka saling bertemu. Adelia mengerjapkan matanya berkali-kali karena merasa canggung."Kalau sudah sembuh, silakan kembali ke kamarmu! Di sini terasa sempit dan kamu