Dering panjang dari ponsel Hiraya membuat gadis itu menggeliat tidak nyaman. Tangannya dengan asal meraih benda pipih yang memang ada di atas malas dekat tempat tidur. Hiraya menyipitkan matanya, melihat siapa yang menelfon dirinya di pagi-pagi buta dan hari Minggu!"Hae Sun?" Hiraya berusaha duduk ketika melihat nama Kim Hae Sun sebagai id caller-nya. ["Bangun Hiraya Carlisle!"] Sembur Hae Sun dari seberang sana. Tampaknya gadis itu sudah naik pitam karena panggilan yang dia lakukan tak kunjung mendapatkan balasan. Hae Sun memang harus bersabar, dia sudah menghubungi Hiraya sebanyak dua puluh satu kali. Hingga di percobaan ke dua puluh dua, barulah Hiraya mengangkat telfonnya.Hiraya sontak menjauhkan ponsel dari telinganya, suara Hae Sun begitu menggelegar dan mengagetkan dirinya. Nyawa Hiraya belum terkumpul sepenuhnya!"Kau tak perlu berteriak-teriak Hae Sun, aku sudah bangun!" ["Hah! Sudah bangun setelah aku telfon kau sebanyak dua puluh dua kali,"] ketus Hae Sun. Hiraya mel
Setelah menjahili Hiraya dengan puas, di sinilah sekarang Ernest berada. Pria itu tengah bersandar di kursi rotan yang ada di kediaman Seok Hyeon. Dua aktor itu tengah menikmati hari libur mereka. Tak ada jadwal apapun yang harus keduanya lakukan di hari Minggu yang cerah ini. Jadilah mereka berkumpul di sini, rumah Seok Hyeon memang markas utama bagi Ernest dan Kang Seung Jo. Tiga aktor terkenal itu memang sering menghabiskan waktu bersama, mereka sering hangout dan berlibur bersama. Para penggemar ketiganya menyebut mereka sebagai Olympus Squad sebab visual ketiganya yang tidak kaleng-kaleng bak Dewa Olympus cabang Korea Selatan!Baik Ernest, Seok Hyeon, maupun Seung Jo mereka bertiga sama-sama memiliki paras yang menawan dan un-real!Mereka juga sering masuk ke dalam top 100 pria dengan wajah tertampan di dunia versi beberapa majalah popular. Ketiganya juga menyandang God or goddess of visual, atau the original visual. Jadi wajar jika para penggemar menyebut circle pertemanan yan
Hiraya langsung turun dari mobilnya dengan terburu-buru. Matanya memindai sekeliling, mencari kedai ramyeon yang buka dua puluh empat jam di dekat Sungai Han. Baru saja hendak membuka ponselnya untuk menghubungi Hae Sun, detektif itu sudah melambaikan tangan dari kejauhan. "Hiraya, di sini!" Seru Hae Sun yang sudah berada di depan kedai ramyeon. Hiraya mendongakkan kepalanya, dia mengangguk kecil dan berjalan menuju ke arah Hae Sun sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas selempang. Keduanya lalu masuk ke dalam kedai, duduk di sebelah jendela yang terbuka. Pagi ini tepat jam setengah lima, keduanya benar-benar bertemu sesuai dengan janji tadi pagi lewat telepon. Setelah memesan dua mangkuk ramyeon dan juga minuman, keduanya duduk berhadapan dengan atmosfer yang serius. "Sepertinya aku harus membuka pagi mu dengan topik yang berat," ucap Hae Sun mengawali. "Tidak masalah," balas Hiraya yang seratus persen setuju. Hae Sun menghela nafas panjang, "Soal rekaman cctv yang wa
Ernest, Seok Hyeon dan Seung Jo yang baru saja mendapat kabar dari Yoshi. "Apa maksudmu, apanya yang gawat Nona Yoshi?" Tanya Seok Hyeon dengan wajah yang sudah sangat panik. ["Ck! Berhenti bertanya dan cepat datang ke lokasi yang aku kirim Seok Hyeon. Saat ini jangan banyak bertanya mengerti!"] Tut Tut Tut!Sambungan telepon itu dimatikan secara sepihak oleh Yoshi, bahkan Seok Hyeon masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Satu hal yang pasti, otot-otot di tubuhnya menegang seketika. Jantungnya juga berpacu lebih cepat dari biasanya. "Ernest, panggil Joan dan Haru. Kita harus pergi sekarang!" Perintah Seok Hyeon sambil berdiri dari duduknya, dia lekas menyimpan ponsel ke saku celana. Kemudian berjalan keluar dari balkon dengan terburu-buru. Ernest mematung di tempatnya, dia masih bingung tapi tak berniat banyak bertanya. Saat mendengar nama Hiraya disebut, dia merasa kalau sang istri ada dalam bahaya. Tanpa banyak berbicara, Ernest segera menghubungi Joan dan Haru
Hiraya melebarkan matanya sempurna saat sebuah tangan yang dingin menarik paksa dirinya untuk berjongkok. Gadis itu di paksa untuk bersembunyi, nafasnya sudah pendek-pendek. Berlari sekencang-kencangnya adalah alasannya. Hiraya makin terkejut lagi saat tahu siapa yang menariknya untuk bersembunyi di balik body mobil yang tengah terparkir rapi. "Yoshi kau? Kenapa kau bisa ada di sini?" Tanya Hiraya dengan lirih, dia sadar masih ada pria berotot yang mengejar dirinya tadi. Yoshi menaruh jari telunjuknya di bibir, tidak berniat menjawab pertanyaan Hiraya dengan kata-kata. Dia juga sudah menggeleng cepat, tak membiarkan Hiraya banyak bersuara. Langkah kaki mulai terdengar jelas dan terburu-buru, Yoshi lekas membekap mulut Hiraya dan memaksa gadis itu agar merapatkan tubuhnya bersembunyi di body mobil yang terparkir. "Ke mana larinya gadis kecil itu?" Suara berat dari pria berotot itu terdengar jelas di telinga Hiraya dan juga Yoshi. Keringat dingin makin bercucuran di wajah dan tubu
Hae Sun sudah mengangkat revolver Colt Python yang dia bawa, mengacungkan senjata api itu tepat ke kepala para pria yang mengepung dirinya dan Hiraya. Perempuan muda itu memang sudah bersiap, dia tak pernah pergi dengan tangan kosong. Setidaknya harus ada senjata yang dia bawa, untuk berjaga-jaga jika harus melindungi diri di kondisi yang kurang ajar seperti ini. "Sial! Kenapa orang-orang bodoh seperti ini selalu bertubuh besar?" Hae Sun merutuki dirinya sendiri yang bertubuh kecil. Meski dia cukup tinggi, tapi bobot tubuhnya tentu tak sebanding dengan orang-orang yang mirip depth colector itu. Sepeninggal Hiraya, satu pria mengejar Hiraya dan juga satu pria ambruk. Kini Hae Sun masih harus menghadapi setidaknya tiga orang pria bertubuh besar. Dua diantarnya memiliki rambut gondrong, sedangkan satunya lagi punya tato naga di lengannya. "Turunkan senjata mu dan ikut dengan kami jika kau ingin selamat," ucap pria bertato pada Hae Sun. perempuan itu tak gentar, dia malah menyungging
Hiraya memutar bola matanya malas, saat ini buka penjelasan yang dia harus berikan pada Yoshi. Mereka berdua harus segera pergi dari tempat itu. "Aku jelaskan saja nanti, kita harus benar-benar pergi dari sini Yoshi." Hiraya menarik tangan Yoshi untuk segera berlari. Yoshi hendak protes, tapi tak sempat sebab kalah cepat dengan gerakan Hiraya. Keduanya kembali berlari, hari sudah mulai siang. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, lingkungan sudah mulai ramai. Seharusnya ini menjadi kesempatan emas bagi Hiraya agar bisa selamat dari kejaran pria-pria berotot itu. Hiraya dan Yoshi berhenti di bawah pohon Cemara yang cukup rindang. Mereka berhenti di sana dan menyandarkan tubuh di pohon tersebut. Yoshi sudah terduduk dengan nafas yang pendek-pendek, dia tak bisa jika harus diajak berlari lagi. Sedangkan Hiraya masih berdiri meski bersandar pada pohon. "Hiraya, kau kenapa bisa membuat pria itu pingsan dengan mudah? Apa biasanya kau memang membawa benda berbahaya itu ke man
Ernest menurunkan kaca mobil, dia melihat siapa yang datang dan mengetuk kaca mobil Seok Hyeon. "Ya, ada apa Tuan?" Tanya Ernest masih dengan nada yang sopan. Ada tiga orang pria yang datang, dua diantaranya hanya diam di belakang satu orang pria bertato. "Kami hanya ingin menumpang pergi dari sini," ucap pria bertato. Ernest menoleh pada Seok Hyeon, bermaksud meminta pendapat atau jawaban yang sekiranya tepat. "Tapi kami tidak ingin pergi saat ini Tuan, kami ada urusan di sini."Itu suara Seok Hyeon, dia yang mengambil alih memberi jawaban. Pandangan pria itu sudah sangat tajam dan lurus, apalagi saat melihat ada dua orang pria lagi yang terlihat siap untuk baku hantam kapan saja. "Maaf Tuan, kami tak bisa mengantar kalian ke mana pun." Ernest menyahuti. Lalu dengan gerakan yang sangat natural dia berusaha menutup kembali kaca mobil. Akan tetapi gerakan Ernest tersebut dihentikan oleh pria bertato. Sontak membuat ketegangan di sana semakin kuat. "Aku tahu kalian ingin pergi d