"Pak Yogi, saya belum selesai makan, Pak," terangku dengan menahan diri dari tarikan tangan Pak Yogi.
"Kanaya, cukup!" jawabnya sembari menutup bibirku dengan jari telunjuknya.
Aku langsung terdiam dengan tatapan yang terarah pada laki-laki tampan tersebut. Ih ... apa-apaan sih, Kanaya? Ingat ya, nikah enam bulan saja. Jadi kamu harus benar-benar bisa mengontrol perasaan! ucapku sendiri dalam hati.
"Sudah, memandang saya?"
Pak Yogi terus menggandeng tanganku dan mengajak masuk ke dalam kamar.
Ya ampun ... kamar lagi, kamar lagi. Emangnya ngga ada tempat lain apa? Secara rumah sebesar ini.
Pak Yogi langsung duduk di sofa tempatku tidur dengan masih tetap menggenggam tanganku.
Dia terlihat seperti memikirkan sesuatu yang sangat serius. Aku masih berdiri dengan tangan yang digenggam Pak Yogi, berusaha untuk melepaskan.
Bukannya terlepas, tapi justru tubuhku terjatuh di atas tubuh Pak Yogi yang seketika ambruk karena tertindih olehku.
Dadaku terasa berdegup kencang. Napasku seakan begitu sesak. Beberapa kali aku menelan saliva hingga terasa kering.
"Kamu dengar 'kan apa yang diinginkan Kakek tadi?" ucapnya begitu dekat diwajahku. Hembusan napasnya yang hangat begitu terasa. "Kakek menginginkan cucu dari kita, Naya." Seketika mataku terbelalak. Jangan bilang kalau Pak Yogi menginginkan anak dariku. Tidakk .... Aku tidak mau dimanfaatkan oleh Pak Yogi terlalu jauh.
"Kamu tidak sedang berpikir macam-macam 'kan?" tandas Pak Yogi dengan mendorong tubuhku semakin menjauh.
"Macam-macam? Maksud Bapak?" tanyaku sok polos. "Sudahlah, Pak, saya mau mandi dulu."
Segera kujauhkan tubuhku dari Pak Yogi dan gegas mengambil baju dari dalam tas, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.
Berulang kali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya. Perasaan apa ini? Kenapa jantungku berdegup begitu kencang ketika berada di dekat Pak Yogi? Hemh ... Pasti ini hanya perasaan sesaat saja.
***
Selesai mandi, aku langsung mencuci baju yang sudah kurendam di bak besar.
"Naya .... Kamu tidur di kamar mandi, ya?" teriak Pak Yogi sembari menggedor pintu.
Apa-apaan sih, Pak Yogi? Orang lagi nyuci baju digedor-gedor. Segera kubuka pintu kamar mandi dengan perasaan kesal. "Ada apa sih, Pak? Lagi nanggung nyuci," tanyaku dari balik pintu karena hanya memakai handuk.
"Ngapain? Harusnya saya yang tanya. Kamu ngapain saja di kamar mandi sampai berjam-jam?"
Nih orang. Masa' di kamar mandi saja ditanya ngapain. "Memangnya Bapak kalau di kamar mandi ngapain? Mandi 'kan? Nyuci baju juga 'kan?"
Netra Pak Yogi membelalak. "Nyuci baju?"
Aku menjawab pertanyaan Pak Yogi dengan anggukan kepala. "Memangnya kenapa? Ada yang salah, Pak?"
"Kamu nyuci baju di kamar mandi saya? Ini kamar mandi pribadi, Naya. Lagian sudah ada banyak ART di rumah ini. Mereka yang akan membereskan semua pekerjaan rumah, termasuk mencuci."
"Mau kamar mandi pribadi atau umum, sama saja 'kan Pak? Intinya buat nyuci ngga masalah," terangku sedikit ketus.
Saat ingin menutup kembali pintu kamar mandi, Pak Yogi justru mendorongnya sampai aku hampir terjatuh. Tangan Pak Yogi pun segera meraih lenganku dengan cepat.
Kini tubuhku begitu dekat dengan tubuh Pak Yogi. Netra kami saling memandang. Aku menatap wajah tampan Pak Yogi, bibirnya yang indah, hidungnya yang mancung. Sempurna. Ya. Pak Yogi memang laki-laki yang sangat menawan.
"Jangan bilang kamu terpesona dengan saya, Nay? Benerin tuh handuk, kamu!" ucap Pak Yogi dengan memalingkan wajah.Ya ampun, ternyata lilitan handukku hampir lepas. Dengan cepat aku langsung mengencangkan kembali.
Tenang Nay! Jangan grogi seperti ini! Aku mengatur napas yang dari tadi tak beraturan.
"Pa - Pak Yogi ngapain ikut masuk? Ingat ya, Pak! Kita hanya menikah selama enam bulan. Jadi Bapak jangan macam-macam!"
"Cepat kamu ganti baju! Cucian biar diberesin sama ART." Pak Yogi langsung ke luar. "Oh ya, kamar mandi saya tidak pernah untuk mencuci, apalagi sampai bath-tubnya dibuat merendam baju," jelasnya tanpa membalikkan badan.
Huft ... ternyata jadi orang kaya itu ribet, ya. Apa-apa ngga boleh. Begini salah, begitu salah.
"Nay, cepatan!" teriak Pak Yogi.
"I - iya, ini juga lagi ganti baju!" teriakku tak mau kalah.
-
--Selesai ganti baju, gegas aku ke luar. Pak Yogi terlihat sedang menekan sebuah bel.
"Tolong ke kamar saya, sekarang!"
Lagi-lagi Pak Yogi menatapku seperti tadi malam. Hah ... pasti dia mau mencela pakaianku lagi. "Saya memang hanya punya baju seperti ini, Pak. Maklum, saya bukan orang kaya seperti Bapak. Yang dengan mudah bisa membeli apa yang diinginkan," terangku sebelum mendapat protes dari Pak Yogi.
Pak Yogi terlihat mengernyitkan kening. Bibirnya seakan menahan tawa. "Nanti kamu ikut saya!"
"Ke mana, Pak?"
Belum sempat Pak Yogi menjawab, terdengar ketukan pintu.
"Masuk saja!" titah Pak Yogi. "Kamu ambil semua cucian yang ada di dalam kamar mandi! Buang saja semua pakaian itu! Lalu bersihkan kamar mandinya!" Perintah Pak Yogi pada ART yang baru saja masuk.
"Baik, Mas Yogi."
"Tunggu! Maksud Pak Yogi, pakaian saya mau dibuang? Enak saja." Aku pun menyusul ART tersebut ke kamar mandi. "Mbak, jangan dibuang pakaiannya!"
"Ta - tapi, Mbak Naya. Mas Yogi sudah menyuruh untuk membuang pakaian ini."
"Ya sudah. Kamu cuci kembali saja! Nanti kamu kasihkan lagi pada Naya!"
"Baik Mas Yogi."
Aku pun melepaskan pakain tersebut dan membiarkan untuk dibawa Mbak ART.
"Jangan mentang-mentang banyak uang, lalu seenaknya saja Bapak membuang barang yang menurut Bapak tidak ada harganya. Saya membeli pakaian tersebut harus nabung dulu, Pak."
Pak Yogi menyeret tanganku dan mengajak ke luar dari kamar.
"Yogi, kenapa menyeret Kanaya seperti itu?" tanya Kakek Jaya yang sedang duduk di ruang tengah.
Pak Yogi langsung melepaskan tanganku. "Yogi mau ke luar dengan Naya, Kek."
"Memangnya mau ke mana? Mau bulan madu, ya? Ya sudah, kalian mau bulan madu ke mana? Biar Kakek yang urus semuanya."
Pak Yogi menggelengkan kepala di depan Kakek Jaya. "Yogi cuma mau jalan-jalan saja, Kek."
"Ya sudah, kalian hati-hati! Jaga Kanaya baik-baik!"
Pak Yogi hanya menganggukkan kepala. Aku pun mendekati Kakek Jaya untuk berpamitan.
"Kek, Naya pergi dulu," ucapku sembari mencium tangan Kakek Jaya.
-
--"Pintar juga kamu mencari perhatian dari Kakek," celetuk Pak Yogi sesaat setelah masuk ke dalam mobil.
"Maksud Pak Yogi?"
"Ngapain juga cium tangan Kakek kalau bukan ingin cari perhatian?"
"Ya ampun ... jadi Bapak pikir, dengan berpamitan seperti tadi itu cari perhatian? Justru saya yang heran sama, Bapak. Kenapa Bapak pergi begitu saja? Apa Bapak sudah lupa sopan santun?
Pak Yogi tidak menanggapi ucapanku, dia menekan tombol musik dan memutar volume dengan kencang.
Ish ... ternyata Pak Yogi sangat menyebalkan. Baru sehari jadi istrinya. Dan aku masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk berpisah darinya.
Kulirik wajah tampannya yang kini fokus menatap kedepan.
Bersambung
Mobil Pak Yogi berhenti di depan sebuah salon. "Ayo turun!"Aku pun mengekori langkah Pak Yogi. Kami masuk ke sebuah salon yang begitu mewah. "Pak. Bapak mau nyalon di sini?" Pak Yogi hanya diam tanpa menghiraukan pertanyaan dariku.Terlihat beberapa karyawan salon yang sangat cantik. "Pantes nyalon di sini. Karyawannya saja cantik-cantik begitu." Pak Yogi menghentikan langkahnya dan menatapku serius."Kamu bisa diam ngga?"Segera kututup bibirku dengan tangan."Saya minta, kalian rubah perempuan aneh ini menjadi cantik!" pinta Pak Yogi pada karyawan salon."Eh, Yogi. Ada yang bisa kami bantu?" tanya perempuan cantik dengan rambut berwarna cokelat dan postur tubuh yang semampai."O - oh. Aku nganter istriku nyalon."Perempuan tersebut menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Di - dia istri kamu, Gi? Aku denger sih, kamu udah nikah. Tapi ....""Maaf. Pernikahan kami memang dipercepat. Jadi banyak tema
Kakek Jaya tersenyum melihat perubahanku."A - aneh ya, Kek?""Bukan aneh, tapi kamu sangat cantik, Nay. Pantes cucu Kakek terpikat."Aku tersenyum malu menanggapi pujian Kakek Jaya. Sedangkan Pak Yogi, seperti biasa, dia hanya diam dengan sikapnya yang kaku."Kamu betah 'kan Nay, tinggal di rumah ini? Kalau kurang nyaman karena ada Kakek, kalian bisa tinggal di rumah yang satunya lagi. Kakek tidak keberatan. Kalian 'kan sudah menikah."Sebenarnya enakan tinggal di rumah Bapak dan Ibu. Bisa nyantai. Rumah sebesar dan semewah ini tak menjamin rasa nyaman. Apalagi ... punya suami nyebelin, kaku dan sombong, ucapku dalam hati dengan melirik Pak Yogi yang duduk di sampingku.Seketika Pak Yogi menatapku. Dia menggeser duduknya lebih dekat. "Kamu membatin saya?"Aku melihat ke arah Kakek Jaya dengan senyum yang dibuat-buat."Kalian ini. Sudah dekat hampir satu tahun. Tapi masih terlihat kaku."
Pagi ini aku joging dengan Kakek Jaya di depan rumah."Kakek tiap hari joging seperti ini, ya?" tanyaku dengan menggerakkan tangan ke kanan dan ke kiri."Iya, Nay. Sudah jadi rutinitas wajib untuk Kakek. Dulu Yogi selalu menemani Kakek. Sekarang dia terlalu sibuk dengan kerjaannya.""Iya tuh, Kek. Di kamar saja sibuk dengan laptopnya."Kakek Jaya tersenyum dengan pandangan tetap ke depan. "Tapi kamu cinta 'kan Nay dengan cucu Kakek?""Cinta? Pak Yogi itu bukan type Nayla, Kek. Jadi mana mung ... kin." Astaga. Keceplosan. Aduh, Nay ... to*ol banget sih, kamu, ucapku dalam hati dengan menepuk bibirku sendiri.Kakek Jaya langsung menghentikan gerakan jogingnya. "Apa, Nay?"Ma*pus. Tamat riwayatmu, Nay.Belum sempat aku menjawab. Pak Yogi tiba-tiba datang di situasi yang begitu menegangkan."Kek. Besok Yogi sudah mulai berangkat ke kantor lagi." Kakek Jaya tidak menjawab ucapan Pak Yogi. Beliau masih teru
Netraku membulat sempurna ketika melihat isi kotak yang diberikan Kakek Jaya.Sebuah kalung yang begitu indah. Sangat indah. Dan juga sebuah kunci. Tapi aku sendiri tidak tahu itu kunci apa.Di dalam kotak tersebut terselip sebuah surat.Untuk Kanaya, cucu mantu tersayang.Kanaya. Kakek berharap, kamu mau memakai kalung tersebut.Sebelum neneknya Yogi meninggal, dia pernah berpesan agar kalung tersebut diberikan pada siapapun perempuan yang menjadi istrinya, Yogi. Dan Kakek sudah memenuhi wasiat dari neneknya Yogi.Sedangkan untuk kunci. Kamu simpan baik-baik! Jangan sampai siapapun tahu tentang kunci tersebut! Bahkan Yogi sekalipun.Suatu saat, kamu pasti akan membutuhkan kunci itu.Salam sayang dari Kakek Jaya.Memangnya ini kunci apa? Kenapa Kakek memberikannya padaku? tanyaku dalam hati dengan begitu penasaran."Apa isi kotak itu, Nay?"Segera kusimpan kunci dan surat di kantong celana sebel
"Dari tadi Kakek perhatikan, sikap kalian tidak seperti biasanya? Ada apa? Kalian sedang bertengkar?" Setelah kejadian tadi malam, sikap Pak Yogi lebih banyak diam. Ya ... meskipun setiap hari memang cuek, tapi ada kalanya dia bicara. Meskipun menyebalkan. Apa dia marah karena kejadian tadi malam? Aku 'kan tidak sengaja tidur di kasurnya. Lagian aku sudah berusaha bangunin, juga. Terus. Salahku di mana? "Ng - ngga ada apa-apa kok, Kek," jawabku dengan senyum kaku. "Mas Yogi mau sarapan roti pake selai apa? Biar Naya ambilin?" Aku berusaha bersikap perhatian. Semua ini kulakukan untuk Kakek Jaya. Sama sekali Pak Yogi tidak menanggapi ucapanku. Hih, benar-benar ya, nih, cowok. Kaya' anak kecil saja ngambeknya. "Sayang ... pake selai apa?" tanyaku dengan suara halus sembari menginjak kakinya. "Aaa ...," teriak Pak Yogi karena kakinya kuinjak. "Ada apa, Gi? Kamu seperti kesakitan." Pak Yogi men
POV Author--------Yogi segera mengunci pintu kamar setelah Kanaya keluar dengan membawa bunga yang sangat mengganggunya."Lama-lama bisa gila menghadapi kelakuan Kanaya. Kenapa bisa, waktu itu saya memilih dia untuk perjanjian menikah selama enam bulan? Hahh ..., tapi semua sudah terjadi," gerutu Yogi dengan memegang kepala.Baru saja Yogi sedikit tenang. Tiba-tiba Kanaya sudah balik lagi.Dok dok dok"Pak Yogi ... bukain pintunya! Saya mau ambil ponsel!" teriak Kanaya dengan terus menggedor pintu."Hari ini kamu tidak boleh masuk kamar, Nay! Saya mau istirahat tanpa ada gangguan dari kamu.""Okey. Tapi ambilin ponsel dan baju saya, Pak! Nanti saya ganti pakai baju apa?""Bukan urusan saya," jawab Yogi ketus."Iiih ... awas saja kamu, Pak Yogi." Dengan perasaan kesal, Kanaya pun langsung pergi."Ada apa, Mbak Naya? Kok cemberut begitu?" tanya Minah salah satu ART yang sedang sibuk memb
Tin tin tin Ketika Kakek Jaya dan Kanaya sedang asyik berjoged. Tiba-tiba datang sebuah mobil mewah berwarna hitam. Kakek Jaya pun langsung menghentikan gerakan tangan dan kaki yang dari tadi membuat beliau tertawa begitu lepas. Satpam yang berada di pos jaga dengan cepat membukakan pintu gerbang. Kini pandangan Kakek Jaya, Yogi serta Kanaya tertuju pada mobil yang sudah berhenti di halaman. Terlihat perempuan cantik dengan rambut berwarna cokelat serta berpakaian seksi keluar dari mobil. Dia menatap Yogi sembari mengulas senyum indah. Kakek Jaya langsung menoleh ke arah Yogi ketika melihat perempuan tersebut. Tidak berapa lama, datang lagi sebuah mobil yang tak asing bagi Kakek Jaya dan Yogi. Terlihat Papa dan mamanya Yogi serta laki-laki tampan keluar dari mobil tersebut. Kejutan yang luar biasa. Ketika mereka semua datang secara bersamaan tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Apalagi per
"Kenapa, Siska? Kamu kok sedih begitu?" tanya Dina dengan mendekati Siska."Kakek sudah berubah, Tante. Dulu sebelum Yogi menikah, sikap Kakek begitu baik. Tapi sekarang, sepertinya Kakek tidak suka dengan kedatangan Siska di rumah ini," adu Siska.Ketika Siska dan Dina sedang bicara, Kakek Jaya, Yogi dan Kanaya datang."Yah, boleh Dina bicara sebentar?""Nanti saja!" jawab Kakek Jaya tegas.Tiba-tiba Kanaya mendekati mama mertuanya. Dia mengulurkan tangan hendak berpamitan karena mau diajak pergi oleh Kakek Jaya. Tapi niat baik Kanaya diabaikan begitu saja. Siska terlihat begitu senang atas sikap Dina tersebut.Kanaya menarik kembali tangannya. Dia tetap mengulas senyum meskipun sudah diacuhkan oleh mama mertuanya sendiri."Kanaya, ayo!" ajak Kakek Jaya dengan menepuk bahu cucu mantu kesayangannya. Kakek Jaya menatap tajam Dina-menantunya dan juga Siska sebelum akhirnya beranjak pergi.***"Pak Yogi. Mama