"Mas? "Aku pikir mungkin Mas Suryo keblabasan karena lupa atau sedang melamun. Mungkin juga ia ingin menurunkanku di tempat yang agak jauh karena takut ada orang yang bakal memergoki kami. Tapi saat roda mobil terus berputar semakin jauh hingga berkilo-kilo meter aku pun akhirnya tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Ini mau kemana, Mas? Kok aku enggak diturunin? Udah jauh banget ini rumaku. "Ya aku enggak mungkin lah jalan kaki jika harus menempuh jarak sejauh ini. Lagi pula sudah sangat malam--tidak,tidak. Tapi dini hari, hampir subuh!--keadaan kampung pun sangat sepi. Aku enggak bakalan berani jika harus pulang sendirian. Jika aku nanti ketemu makhluk goib yang seram bagaimana? "Ini bentar lagi nyampe kok, " tuturnya membuatku kebingungan. "Hah? "Nyampe? nyampe ke mana? Baru saja aku ingin kembali bertanya, jalanan yang rasanya tak asing bagiku membuat alisku berkerut. Kalau tidak salah, ini adalah jalan menuju peternakan sapi milik Mas Suryo. Apakah pria itu akan membawa
Aku terbangun saat matahari mulai meninggi. Menoleh ke samping, ada Mas Suryo yang tertidur dalam posisi tengkurap. Sebelah tangannya terjatuh menimpa perutku dan aku yang berniat untuk beranjak pun menyingkirkannya dengan hati-hati. Memutuskan segera memasuki kamar mandi untuk sekedar mencuci muka barang sebentar, dan tanpa membuang banyak waktu, aku pun melangkah keluar dari kamar untuk menjelajahi rumah ini. Ini adalah rumah dengan bangunan yang cukup luas. Pada bagian belakang hampir setengah dindingnya terbuat dari kaca yang masih tertutup gorden tebal. Saat aku menarik tali kain itu ke samping maka pemandangan halaman yang banyak ditumbuhi pohon pun langsung tersaji di depan mata. Aku pun segera membuka pintu dengan antusias karena tertarik dengan halaman berumput hijau itu. Dengan kaki telanjang aku melangkah menapaki rerumputan yang masih basah. Perlahan aku menyusuri kebun buahku--ow, apakah aku boleh menyebutnya begitu?--yang rindang sembari menghirup nafas dengan panjan
Aku mencabut handphone yang telah selesai ku-charge hingga penuh. Menyalakan benda persegi yang semula kehabisan daya itu sembari melangkah menuju sofa, aku kemudian duduk dengan tenang. Keadaan rumah begitu lengang karena Mas Suryo kini kembali tidur setelah kami menghabiskan sarapan dan berbincang sebentar. Pria itu benar benar serius dengan ucapannya yang ingin tidur seharian. Untung saja ini hari minggu sehingga ia tak memiliki jadwal pergi ke kelurahan. Ponselku bergetar tak henti hentinya tepat setelah berhasil menyala. Ada banyak notifikasi pesan dan juga catatan panggilan yang tak terjawab. Saat aku membuka salah satu aplikasi chating, di sana terdapat ratusan pesan dari beberapa orang yang langsung membuatku mengernyit. Ada dari keluargaku, terutama sang adik paling manis, Ratna. Mas Suryo juga banyak mengirimiku chat, mungkin saat ia mengirimkan pesan ini ia belum tahu bahwa ponselku tertinggal di kamar kos. Ia juga puluhan kali melakukan panggilan yang sia sia, hanya me
Aku terbangun pada dini hari saat merasakan ada yang aneh pada tubuhku. Dan saat aku membuka mata aku langsung dihadapkan oleh pemandangan di mana Mas Suryo sedang memakan dadaku dengan lahap. Lampu memang tak dinyalakan dan membuatku tak bisa melihat dengan jelas, namun sinar bulan yang masuk dari celah jendela memberikan gambaran yang lebih dari apa yang kubutuhkan. "Ngh, Mas. Ngapain? " Aku mencoba mendorong kepalanya dari dadaku. Hisapannya yang kuat seperti bayi sangat membuatku tak nyaman karena geli. "Aku pengen lagi, Yang. " padahal kami baru melakukannya beberapa jam yang lalu. Aku bahkan masih bisa merasakan miliku yang nyeri karena digempur olehnya selama dua ronde. Dia ini maniak atau apa? "Kan tadi udah, Mas. " Aku berusaha menahan jemarinya yang mulai menjelajah area bawahku. Mencoba menggapai biji kecil dan menggosoknya dengan jempol. Sontak saja perlakuannya membuat tubuhku mengeliat. "Pengen lagi... " "Ah, Mas... Besok pagi aja ya. Mhh... Jangan
Ada banyak hal yang terjadi setelah aku menikah dengan mas suryo. Bukan hanya kami semakin mesra tapi kehidupanku pun mulai berubah menuju sesuatu yang baru. Seperti perkiraanku semalam saat ia meminta jatah, aku tak jadi oulang ke rumah orang tyaku karena aku merasa kakiku lemas. Bagian bawahku juga perih jika di oakai untuk berjalan jauh. Jadi aku berpikir untuk pergi kesana besok saja. Tapi sayangnya besok dan besoknya lagi terus tertunda karena mas suryo benar benar berubah setelah ia memdapatkan haknya ia malah semakin besemangat tiap harinya untuk meminta lagi dan lagi. Sementara aku sama sekali tak. Bisa menolaknya, dia selalu membuatku tak berdaya oleh sentuhannya. Dan akhirnya aku pun selalu di buat lemas hampir setiap waktu. Mungkin karena sudah lama tak melakukannya, ia jadi bertingkah seperti itu. Tapi untunglah, dua hari ini pria itu sedikit mengasihaniku dengan tak menyentuhku dengan berlebihan. Sehingga aku pun bisa beraktifitas seperti biasa. Aku bahkan sudah bere
Aku sedang menaiki angkot yang akan membawaku pulang ke rumah keluargaku. Rasa antusias karena sudah sangat rindu melihat wajah bapak, ibuk dan juga adikku membuatku bersemangat. Aku sampai harus menahan senyumanku di sepanjang perjalanan agar tak dianggap aneh oleh penumpang lain. Tanganku yang menenteng sekantung plastik penuh jajanan juga menjadi terkepal menahan diri yang terlalu larut dalam gembira. Namun di perempatan jalan tak jauh dari rumah, aku melihat ibuk yang sedang berjalan sendirian. Beliau sepertinya sedang menuju ke sawah untuk memetik sayur karena beliau membawa sebuah keranjang dari anyaman bambu. Berniat memberinya kejutan dengan kedatanganku aku pun akhirnya memilih untuk turun dari angkot.Membantu ibuk memetik cabai dan terong sepertinya bukanlah ide yang buruk. Lagi pula aku juga sudah lama tak pergi ke sawah. Padahal waktu kecil aku selalu ke sana untuk bermain di sungai bersama teman temanku.Mengingat kenangan yang indah itu membuatku rindu masa kecilku ya
"Kamu apain anak saya, HAH?! "Dengan wajah super galak ibu berdiri berhadapan dengan Mbak Retno yang langsung mengkeret. Kedua tangan terbentang membentengiku yang masih terduduk di tanah. Sementara suara bentakan keluar dengan lantang dari mulutnya. Jika sudah menyangkut soal anak, ibuk memang tak main main membela. Dari dulu beliau tak mau diam saja jika anaknya diperlakukan dengan semena-mena oleh orang lain. Apalagi jika itu dilakukan tepat di depan mata kepalanya sendiri, sudah pasti ibuk tak akan ada takut takutnya untuk balik membalas. "Kamu dorong Sufi? Beraninya kamu kasar kasar sama anak saya! " Satu jambakan mendarat di rambut mbak Retno yang langsung meronta-ronta. "Berani kamu ya! Mau mati hah?! " Mbak Retno melolong karena jambakan ibuk makin kencang. Aku yang merasa tak tega pada mbak Retno yang kesakitan, dan juga takut ibuk akan lebih kalap langsung berusaha berdiri untuk melerai. "Sudah, buk. ""Biarin, Ndok. Biar ibuk kasih pelajaran sama janda jahat ini. Biar
Langit sore itu sudah berwarna merah yang artinya senja akan tiba. Tak ada firasat apapun yang aku rasakan selama menyusuri jalanan yang di penuhi daun-daun kering. Aku dan ibuk hanya sesekali mengobrol. Membicarakan hal random seperti apa yang aku lakukan di kota. Apakah aku makan dengan baik selama ini, apakah aku pernah sakit, apakah aku tidur dengan cukup. Meskipun agak judes, tapi percayalah ibuk itu adalah orang yang sebenarnya sangat perhatian pada keluarga. Karena sudah mendapatkan izin dari Mas Suryo, malam ini pun aku berniat untuk menginap. Pria itu pun sudah beberapa kali mengirim pesan, mengingatkan aku harus menepati janji bahwa aku hanya tinggal selama semalam saja. Benar benar semalam saja. Ia menulis itu berulang kali seolah takut aku akan menetap di sini selama sebulan. Dasar bucin. Sampai di depan rumah aku dan ibuk terherna heran karwna ada mobil yang terparkir angkuh di halaman. Aku tak begitu familiar dengan mobil itu jadi aku oun tak bisa menebak siapa pemil
Sore itu aku baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Rambut yang basah karena habis keramas kubungkus dengan handuk. Sementara tubuhku terbalut selembar bathrobe warna biru kebesaran, ya, itu milik Mas Suryo. Aku baru saja mengambil lotion di atas meja rias yang kini dipenuhi oleh berbagai produk perawatan tubuh dan wajah. Mas Suryo yang menyuruhku membeli itu semua karena teringat dulu ia begitu nelangsa saat melihat aku tak punya alat make up ataupun skincare. Padahal aku merasa baik-baik saja tanpa itu semua. Tapi yah, karena ia terus memaksa aku pun mau tak mau menuruti keinginannya itu. Lagipula istri harus menurut apa kata suami. Aku juga cukup senang karena produk kecantikan yang aku miliki sekarang mbuatku bisa merawat wajahku menjadi lebih baik. Aku jadi tak terlalu minder karena sudah tak begitu buluk. Hehe.Menuang cairan beraroma harum itu pada telapak tangan, aku yang sedang membauinya sedikit tersentak ketika tiba tiba pintu kamar terbuka. Mas Suryo yang berpakaian ser
Tiba di ruang tamu aku ternganga. Mata membeliak lebar. Di sana, tak jauh dari tempatku berpijak, ada sosok suamiku yang sedang berlutut. Kedua telapak tangan berada di atas paha, sementara kepalanya menunduk dalam. Pose paling meyakinkan untuk membuat permohonan atau ampunan. "Mas! " Aku berteriak. Menghampiri lelaki berkemeja biru itu untuk segera bangkit dari posisinya di lantai. Namun tanganku yang mencoba meraih lengannya malah ditepisnya lembut. Pria itu juga menggelengkan kepalanya, menyuruhku tanpa suara untuk tak mengganggunya. Lalu Mas Suryo mengalihkan tatapannya ke depan. Di mana telah berdiri bapak dan ibuk yang tentu saja menampakan wajah kaget dengan kelakuannya yang tak terduga ini. Sebenarnya Mas Suryo dapat ide ini dari mana sih? Apa ia baru saja nonton sinetron sehingga ia terinspirasi melakukan hal konyol seperti itu? Bukannya tersentuh, sebenarnya aku malah merasa malu karena aku pikir acara berlutut ini agak berlebihan. Demi tuhan, kami kan sedang tidak syut
Pagi itu Mas Suryo tak berhasil menjawab pertanyaan bapak. Aku tau bahwa ia pun masih ragu apakah keluarganya akan menerimaku yang hanya anak miskin sementara ada Mbak Melinda yang sempurna telah lebih dulu di sisinya. Tentu saja lelaki itu bisa saja tak ambil peduli dengan perkataan orang lain. Sudah dari lama juga ia tak mengurusi cemoohan Melinda. Tapi orang tua tetaplah orang tua. Tidak akan pernah ada namanya memutuskan ikatan yang didasari oleh darah daging. Itulah mengapa ia yang semula tenang dalam tekanan bapak yang terus menyuarakan tanya, tiba-tiba harus merasakan lidahnya kelu karena tak sanggup memberi pernyataan yang meyakinkan. Karena ia sendiri belum yakin akan membuat orang tuanya tersenyum bahagia ketika mengetahui pernikahan ini. Karena orang tuanya masih menginginkan Melinda tetap menjadi menantu satu-satunya. Orang tuanya sangat menyayangi wanita cantik itu. Bahkan melebihi rasa sayangnya kepada putranya sendiri. Bagaimana mungkin, aku, yang hanya seorang wani
Aku hanya menatap datar pria yang sedang nyengir lebar dihadapanku. Mau mengeluh tapi memang seperti itulah sikapnya. Tidak sabaran. Ini bahkan masih pukul enam pagi. Aku belum mandi dan hanya sempat mencuci muka. Hari minggu seharusnya untuk beres beres rumah dan aku bahkan belum melakukannya, bahkan belum memulainya. Adikku, Ratna bahkan masih ngorok di kamarnya. Tapi pria ini, Mas Suryo sudah berdiri di depan pintu rumah orang tuaku dengan dandanan rapi. "Mas, Ngapain? ""Mau jemput kamu lah, Yang. ""Ini masih jam berapa? " tanyaku menahan gemas. Pria itu hanya menggedikan bahu dengan santai, "lebih cepat, lebih baik. "Aku menghela nafas sembari mengusap wajahku dengan kedua tangan. Merasa sangat lelah padahal ini masih sangat pagi untuk merasakan itu. Apa ia tak takut dipukul lagi oleh bapak? Karena tak tega mengusirnya seperti semalam, akhirnya aku pun membukakan pintu lebih lebar dan mempersilahkannya masuk. Mas Suryo sempat akan memelukku namun aku segera mendorongnya
"Jangan cemberut, " Ucapku sembari mengecup bibirnya yang manyun. Belum cukup untuk membuatnya tersenyum, aku menambah satu kecupan lagi. "Nanti gantengnya ilang, lho. ""Udah seminggu, Yang. " Aku tersenyum saat Mas Suryo mulai melarikan tangannya untuk meraih punggungku mendekat. "Enggak bakal cukup kalau cuma dikasih dua kecupan kecil. "Aku terkekeh. Menggosokan hidungku yang mungil pada hidungnya yang mancung seperti milik para pria eropa. "Puasa dulu, ya, " bisikku mendayu. "Kita masih ada di rumah bapak. ""Ya udah, ayo pulang sekarang. "Tapi sayangnya aku harus menggelengkan kepala. Bukannya tak mau--tentu saja aku mau, aku pun sangat sangat merindukannya--namun kondisi keluargaku masih kacau. Aku harus tetap ada di sini setidaknya sampai mereka lebih tenang. "Aku enggak bisa pulang sekarang, Mas, " Ucapku memulai dengan tenang. "Tapi aku janji aku bakal tetep pulang secepatnya buat kamu. Sabar sebentar lagi ya? "Mas Suryo menghela nafas. "Kapan? "Aku menggedikan bahu. "E
Aku masih terisak dalam pelukan Mas Suryo saat bapak menyentak tanganku kuat untuk menjauh dari pria itu. "Enggak tau malu sekarang, ya? " Bapak mendesis sembari melotot. "Kalian itu bukan muhrim tapi sudah berani nempel kayak lem. Di depan orang tua pula! "Sekali lagi ia menyeretku, kali ini hingga aku berdiri dan meninggalkan Mas Suryo duduk di kursi sendirian. "Pak! " Aku mencoba melepaskan cengkraman bapak dari lenganku. "Sakit, Pak. Lepas! ""Masuk ke kamarmu sekarang! ""Enggak mau! ""Ngelawan kamu sama Bapak?! ""Tunggu dulu, Pak! " Akhirnya Mas Suryo berseru menghentikan perdebatan kami. Ia ikut beringsut berdiri dan melangkah pelan ke arahku. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak, " tuturnya saat telah saling berhadapan. Aku yang semula menatap wajahnya bingung langsung merasa was-was saat Mas Suryo balik menatapku sembari tersenyum tipis. Tanganku yang mulai gemetaran karena tahu apa maksud ucapannya kemudian pria itu genggam dengan erat. "Sebenarnya... ""Mas
Sudah sepuluh menit yang lalu bapak membukakan pintu. Meski tak ada suara pukulan atau perdebatan sengit seperti yang pikiran burukku bayangkan, namun tetap saja hatiku tak bisa tenang barang sedetik saja. Jantungku terus berdebar cepat, aku juga harus berkali-kali menarik nafas panjang agar tak bertambah panik. Aku sangat ketakutan sekarang, sampai telapak tanganku pun basah oleh keringat dingin. Aku sangat penasaran dengan apa yang bapak dan Mas Suryo bicarakan di ruang tamu. Tadi saat aku ingin membuka pintu, bapak langsung melarangku dan berkata untuk segera masuk kamar. Aku tentu saja langsung menyerukan ketidak-mauanku, namun bapak mempemperingatkanku bahwa ia akan mencincang tubuh Mas Suryo dengan parang miliknya jika aku tak menurut. Karena takut bapak benar-benar serius dengan ucapannya, tak ada yang bisa aku lakukan selain patuh. Namun tentu saja, itu hanya aku lakukan sebentar karena setelah bapak sudah duduk dan mengobrol dengan pria yang kucintai di depan sana, aku langs
Ponselku bergetar beberapa kali sejak lima belas menit terakhir. Ada banyak pesan dari Mas Suryo yang menanyakan perihal kepulanganku ini. Meskipun sebelumnya aku sudah pamit dan mendapatkan izinnya untuk bermalam di rumah orang tuaku, nyatanya, pria yang kini menjadi suamiku itu masih saja belum sepenuhnya rela aku menginap. Setelah kami pindah dan menghabiskan waktu berdua, Mas Suryo memang jadi makin rewel dan manja jika ditinggal sebentar saja. Dan aku yakin sikapnya akan makin menjadi karena sejak tadi aku sama sekali tak membalas pesan darinya. Pikiranku masih begitu penuh dengan peristiwa kedatangan Mbak Melinda tadi sore yang mengejutkan semua orang. Bagaimana wanita itu dengan berani membeberkan semuanya di depan keluargaku. Bagaimana aku terpaksa membuka rahasia terbesarku sebagai seorang selingkuhan. Bagaimana bapak yang memerintahkan agar aku mengakhiri hubunganku dengan Mas Suryo. Semuanya berjejalan di dalam otak. Sangat menyesakkan seperti akan meledak.Aku tidak tau
Tidak. Nyatanya bapak tak memberikan tamparan seperti apa yang aku pikirkan. Pria paruh baya itu hanya diam dan membiarkan hanya ibuk yang melemparkan tanya. Dan dengan terpaksa aku pun menceritakan semuanya pada kedua orang tuaku. Hal hal yang selama ini aku sembunyikan dengan rapat tak bisa kucegah untuk terkuak. Aku membenarkan bahwa aku memang memiliki hubungan dengan Pak Lurah. Itu bahkan sudah berlangsung lama. Dan aku sama sekali tak memiliki niatan untuk mengakhiri hubungan ini. Apalagi sekarang kami sudah menikah--aku masih menyimpan rahasia ini karena aku tak ingin membuat keluargaku semakin syok. Hari ini sudah sangat buruk, kenyataan bahwa aku adalah seorang selingkuhan pria beristri, yang ironisnya adalah seorang Lurah di kampung ku sendiri, tentunya itu sudah sangat mengguncang batin kedua orang tuaku. Aku tak mau menambahinya lagi dengan statusku yang kini sudah menjadi istri Mas Suryo. Apalagi, kami hanya menikah siri, bahkan tanpa restu dari orang tua. Ini adalah s