"Kakak ..."
Celine memeluk mereka satu persatu. Anak-anak asuhnya. Ada rindu yang bertumpuk-tumpuk selama seminggu ini dia meninggalkan mereka semua.
"Kakak pergi ke mana?"
"Kok lama pulangnya?"
"Kak, Dafi berantem sama Andi. Rebutan kue."
"Kak, dikampung ada apa aja? Ada rambutan gak?"
"Kak, aku bosen masakan bibik. Mau kakak aja yang masak."
"Kak. PR ku banyak. Susah mau jawabnya. Ajarin, Kak."
"Kak, bajuku sobek. Belikan baru, ya."
"Kak, Mak Susi cerewet. Kalau ada kakak dia baik."
"Kak."
Celine menoleh. Putri tampak cantik dengan rambut diikat. Kakinya masih pincang. Masih memakai tongkat. Berat hati sebenarnya waktu meninggalkan mereka walau hanya seminggu.
"Sayang." Celine memeluknya. Gadis mungil ini cacat setelah kecelakaan itu. "Gimana kabarmu? Sehat?"
"Sehat. Kakak lama pergi. Kami kangen."
"Kan, cuma sebentar."
"Tapi, rasanya lama."
"Ini kakak udah pulang. Ayo k
Wanita jelita itu sedari tadi bolak balik menelepon suaminya. Tidak diangkat. Kadang terputus. Oke, mungkin ada gangguan signal. Provider sering mengalami kendala seperti ini. Resiko jika memilih long marriage relationship. Ponsel menjadi ajang pelepas rindu.Tiara nama wanita itu. Ibu satu anak yang sedang menempuh pendidikan di negara ini. Demi cita-citanya menjadi seorang pendidik yang berkualitas, menciptakan generasi penerus bangsa yang mandiri dan tangguh.Untuk itulah dia berani mengambil resikonya, berpisah dengan mereka. Dia membawa serta anak lelakinya, atas permintaan suaminya."Bisma ke mana saja sih," rutuknya dalam hati. Biasanya tidak begini. Entah mengapa satu bulan ini terlihat aneh. Sangat sulit dihubungi. Sekalipun bisa, hanya sebentar.Dia mengerti suaminya sedang mengerjakan sebuah proyek besar tahun ini. Memang itulah pekerjaannya. Hanya saja, kali ini aneh. Seperti lupa pada anak istrinya.Panggilan ke tiga puluh dua, tersamb
Sebuah mobil Toyota Fortuner terparkir cantik di depan rumah itu. Suara mesinnya yang menggema, membuat anak-anak yang sedang asyik bermain, berlarian keluar. Ingin melihat siapa yang datang. Kaki kecil mereka nampak lincah melenggang. Suara tawa mengiringi langkah menuju teras depan.Selama ini rumah mereka tidak pernah menerima kedatangan tamu dari manapun. Mereka juga tidak diijinkan keluar, pagar ditutup rapat. Tidak dikunci. Tapi, siapa saja yang berani keluar tanpa ijin dari kakak mereka, akan dikenai sangsi. Mereka akan dilepas ke jalanan. Sehingga tidak ada yang berani melanggar."Siapa itu yang datang?""Omnya ganteng.""Mobilnya bagus.""Pasti kaya.""Eh, omnya bawa oleh-oleh. Asyik."Entah apa lagi yang diucapkan anak-anak, mereka berbisik-bisik. Terlihat sangat antusias saat Bisma membuka pagar dan kakinya berjalan masuk menuju rumah itu.
Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt ....Celine terbangun mendengar suara telepon berbunyi. Dia mengambilnya di nakas, melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini.Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt ....Ternyata bukan ponselnya yang berbunyi. Dia melihat lagi, ternyata ponsel suaminya yang berdering sejak tadi."Kak, bangun. Ada telepon." Dia mencoba membangunkan Bisma yang sedang tertidur disebelahnya. Namun, lelaki itu enggan. Matanya masih tertutup, tak mau bangun sama sekali. Semalaman dia merajut kasih dengan istrinya, sehingga pagi ini hanya tersisa kelelahan."Kak!" Guncangannya kali ini agak keras dari yang sebelumnya. Matanya sempat melirik ke arah jam. Pukul enam pagi. Di harusnya segera bangun dan mandi bersih, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim."Apa?" Suara serak Bisma terdengar. Matanya setengah terbuka. Tangannya masih melingkar di tubuh istrinya. Tak mau melepaskan. Dia masih ingin bermanja."Ini." Celine me
Sedikit tergesa-gesa wanita itu menarik lengan anaknya menuju travel yang sudah menjemput kedatangan mereka. Tidak ada rencana pulang ke tanah air, hanya hatinya berkata, ada sesuatu yang harus dia ungkap. Beberapa bulan terakhir ini, ada yang mengganjal dari hubungan pernikahan mereka."Ayo, Devan. Cepat sedikit." Langkahnya yang panjang, tidak bisa diimbangi oleh kaki kecil itu."Ma, pelan-pelan jalannya." Anak itu bersungut-sungut, bibirnya menekuk."Maaf, Nak. Mama ngejar waktu. Harusnya kita udah sampai sebelum papa pulang kerja."Wajah anak itu berbinar saat mamanya mengucapkan kata-kata itu. Sudah sekian bulan mereka berpisah, dia rindu kepada papanya. Biasanya mereka bermain apa saja. Namun, karena dia harus mengikuti mama bertugas, kebersamaan dengan papanya menjadi hilang.Mobil travel itu melaju membelah jalanan ibu kota. Pemandangan gedung bertingkat dan hilir mudik kendaraan y
Mata cantik itu mengerjap beberapa kali. Suasana ruangan ini sudah tidak asing baginya. Ini kamarnya yang berada di rumah, bukan apartemen di Jerman.Tiara mengangkat kepala yang terasa berat, lalu perlahan duduk dan menyandarkan diri di headboard ranjang. Dia menarik napas dalam, mencoba mengingat apa yang sudah terjadi.Mereka baru tiba dari bandara dan pulang ke rumah, lalu mendapati suaminya sedang menelepon mesra seorang wanita.Ya Tuhan. Kepalanya kembali berdenyut. Rasanya sekeliling kamar menjadi berputar. Lalu, Tiata baru menyadari bahwa dia sendirian di kamar ini.Entah di mana Bisma, Devan dan penghuni rumah yang lainnya. Saat hendak turun, Tiara mendengar suara pintu dibuka. Bisma masuk dengan cepat dan langsung mendekatinya."Jangan bangun dulu. Kamu istirahat aja, ya."Bisma membantu Tiara untuk duduk kembali ke
Celine berjalan tegak memasuki gedung perkantoran itu. Bangunan mewah, megah yang tegak menjulang di tengah congkaknya ibu kota.Dia agak ragu sebenarnya melangkahkan kakinya ke tempat ini. Namun, tekad di dadanya sudah bulat. Dia ingin segera menyelesaikan semuanya. Sudah hampir dua bulan ini tidak ada kabar dari Bisma, suaminya.Beberapa kali di menghubungi lewat telepon tapi kurang di respons. Pesannya hanya di balas sesekali, itu juga singkat. Satu hal yang masih rutin dia dapatkan adalah transferan untuk anak-anak.Bisma seperti menghilang begitu saja, sejak telepon terakhir setelah kedatangan istrinya.Celine tidak bisa diperlakukan seperti ini. Dia tidak mau digantung, ingin kejelasan mengenai hubungan mereka. Apakah dia masih dianggap sebagai istri atau tidak. Jika lelaki itu sudah tidak menginginkannya, baiknya dia diceraikan.Hatinya sakit. Merasa diri seperti barang, diambil dan
"Selamat sore. Benar ini dengan Ibu Celina Andini?" Suara seorang lelaki menyapa saat Celine mengangkat teleponnya."Benar. Ini dengan siapa, ya?""Saya Fauzan. Notaris-nya Bapak Bisma," jawabnya."Oh. Ada apa ya? Saya sudah tidak berhubungan dengan Bapak Bisma lagi." Dia menjawab.Bibirnya gemetaran setiap kali nama lelaki itu disebut oleh siapa saja. Bahkan, di rumah panti mereka, nama itu keramat, Onah dan yang lain tidak boleh menyebutnya. Di tempat kerja juga begitu, Siska memilih untuk diam dan tak mau bertanya apa pun lagi mengenai hubungan mereka."Saya mengundang Ibu untuk datang ke kantor kami. Ini mengenai jual beli rumah yang akan diproses atas nama Ibu.""Maksudnya?""Bapak Bisma, memberikan rumah yang sudah ibu tempati sebagai hak milik." Begitulah penjelasannya."Tapi, saya ...""Saya harap ibu bersedia datang ke kantor kami pukul sepuluh besok pagi. Alamat akan kami berikan setelah
Sebuah mobil Avanza terparkir cantik di depan rumah itu. Suara mesinnya yang menggema, membuat anak-anak yang sedang asyik bermain, berlarian keluar, ingin melihat siapa yang datang. Kaki kecil mereka nampak lincah melenggang. Suara tawa mengiringi langkah menuju teras depan."Kakaaakk ..." Mereka berteriak saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu.Lalu mulai berbisik-bisik saat melihat seseorang lain ikut berjalan bersisian dengan kakak mereka."Siapa itu yang datang sama kak Elin?""Ih, omnya ganteng.""Mobilnya bagus, ya.""Pasti kaya.""Eh, omnya bawa oleh-oleh. Asyik."Entah apa lagi yang diucapkan anak-anak. Mereka terlihat sangat antusias saat Celine dan Fauzan membuka pagar, masuk menuju rumah itu."Ayo masuk. Kakak bawa kue nih. Cuci tangan dulu, ya." Senyum manis tercipta di bibirnya. Anak-anak itu kembali berlarian masuk ke dalam rumah.Fauzan yang sedari tadi hanya diam memperhat