"Sial@n!"
Laki-laki tersebut terus mengumpat. Ia berjalan menuju ke arah dua perempuan beda usia, Maya dan nyonya besar. Tidak lama kemudian ia berdiri berkacak pinggang. Tepat beberapa meter di belakang dua perempuan itu duduk.
"Cepat pulang. Pengasuh sial@n. Hanya menambahi pekerjaanku saja," ujarnya seraya menuding ke arah Maya.
Nyonya besar yang mengetahui itu dibuat kaget. Cucu tersayangnya belum pernah berbuat kasar seperti ini. Apalagi terhadap perempuan.
"Ada apa kamu Jojo. Jaga kata-katamu," ujar nyonya besar mengingatkan.
"Jadi Oma lebih membela perawat sialan daripada cucu Oma sendiri?" tanya Jonathan.
Nyonya besar menggeleng. "Bukan begitu. Tentu saja aku sangat sayang pada cucuku. Tapi kenapa kamu terkesan tidak suka pada Maya? Apa salah dia padamu?" tanya nyonya besar sambil menatap lekat cucunya.
"Dia menambahi pekerjaanku saja. Gara-gara dia, aku diminta mama untuk mengawasi Oma jalan-jalan," ujar Jonathan.
"Lho Oma yang ajak dia jalan-jalan kok. Memang Oma tidak bosan apa harus setiap hari di dalam kamar?" tanya nyonya besar balik.
"Kita kembali saja, Nyonya. Sebentar lagi sudah pukul delapan," ucap Maya untuk mengalihkan pembicaraan.
Ia tidak mau keributan semakin melebar. Maya yakin kebencian Jonathan kepadanya bukan karena ia mengajak jalan-jalan. Tapi karena pertemuan mereka sebelumnya yang terlibat adu mulut.
Tanpa banyak bicara Maya mengambil kursi roda. Ia memapah nyonya besar untuk naik di atasnya. "Sudah enak duduknya, Nyonya?" tanya Maya kepada nyonya besar.
"Iya," jawab nyonya besar singkat.
Maya kemudian mendorong kursi roda tersebut ke rumah. Sementara Jonathan berjalan mendahuluinya tanpa sepatah kata pun. Beberapa warga yang melihat nyonya besar didorong Maya tampak menyapa dengan khidmat. Sepertinya nyonya besar adalah sosok yang disegani di komplek elit tersebut
"Kita langsung makan, Nyonya?" tanya Maya sesampainya di rumah.
"Sebaiknya begitu. Saya sudah lapar," ujar nyonya besar.
Tanpa bertanya, ia mendorong kursi roda tersebut ke arah ruang makan. Di sana sudah duduk nyonya Mulia, tuan Mulia dan tentu saja Jonathan.
"Mengapa kamu bawa kemari, Maya?" tanya nyonya besar heran.
"Bukankah Nyonya mau sarapan juga?" tanya Maya.
"Saya biasanya sarapan di kamar," ujar nyonya besar.
"Oh maaf, Nyonya." Maye segera mendorong kursi roda tersebut balik ke kamar nyonya besar. Yang hanya selisih beberapa meter dari situ.
"Maya!" panggil nyonya Mulia. Sesaat melihat Maya berbalik arah meninggalkan ruang makan.
Maya menoleh ."Ada apa, Nyonya?" tanya Maya heran.
"Biar mama makan di sini saja," ujar nyonya Mulia.
Sebelum berbalik arah, Maya bertanya terlebih dahulu pada nyonya besar. Untuk meminta pendapatnya. "Bagaimana Nyonya. Mau makan di mana?" tanya Maya.
"Baiklah. Sesekali tidak apa makan di meja makan," ujar nyonya besar.
Maya langsung berbalik arah. Membawa kembali kursi roda ke arah ruang makan. Tampak wajah Jonathan menahan kesal. Namun Maya tidak peduli.
Ia mendekatkan kursi roda ke salah satu kursi di meja makan. Tepat di depan Jonathan. Selanjutnya membimbing nyonya besar untuk duduk di sana.
"Nyonya mau makan apa?" tanya Maya ramah. Ia mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi.
"Cukup segitu nasinya, Maya. Untuk lauk biar aku ambil sendiri," jawab nyonya besar.
"Baiklah," jawab Maya singkat. Ia meletakkan piring dan nasi tersebut tepat di depan nyonya besar. Tidak lupa ia mengambilkan sendok dan garpu.
Ia kemudian berdiri di belakang nyonya besar. Untuk berjaga-jaga apabila nyonya besar membutuhkan sesuatu.
Nyonya besar mencari keberadaan Maya. Ia menoleh ke belakang. "Apa yang Nyonya butuhkan?" tanya Maya seraya mendekat.
"Mengapa berdiri saja di belakangku. Ayo duduk di sampingku," ujar nyonya besar.
Semua orang yang hadir seakan tidak percaya. Belum pernah nyonya besar berlaku seramah itu kepada perawatnya. Itu artinya, nyonya besar sangat menyukai Maya.
Nyonya Mulia tersenyum melihat itu. Ia ikut senang saat mamanya menemukan orang yang disukai. "Duduklah Maya. Tidak apa makan bersama kami. Bukankah kamu belum sarapan?" tanya nyonya Mulia.
Jangankan sarapan, sejak kemarin sore dia belum meminum air sama sekali. "Baiklah," ujar Maya seraya duduk di samping nyonya besar. Tepat di depan Jonathan.
Tampak wajah Jonathan yang semakin jengkel. Ia segera menghabiskan makanan di piringnya secara asal. Tampaknya ia ingin segera kabur dari tempat tersebut.
"Ayo ambil piringmu dan makanlah," ujar nyonya Mulia lagi.
Dengan agak ragu Maya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Ia mengambil sayur dan lauk yang di depannya. Rasa lapar mengalahkan rasa sungkan duduk bersama dengan para majikannya.
"Hmm ke depannya aku akan makan di meja makan saja. Ternyata bisa berkumpul dengan anak dan cucuku itu menyenangkan," ujar nyonya besar.
Mereka yang berada di situ kaget dengan pernyataan nyonya besar. Termasuk nyonya Mulia. "Benarkah Mama? Aku ikut senang mendengarnya," ujar nyonya Mulia.
Selama ini nyonya besar sangat jarang bersedia makan bersama. Lebih suka makan sendiri di kamarnya. Sehingga, saat ia bersedia makan bersama, itu sebuah pertanda baik.
"Tentu saja. Aku sudah memiliki perawat yang menganggapku seperti orang sehat. Dan tidak membatasi keinginanku," tukas nyonya besar.
Mendengar itu Jonathan langsung berdiri. Gelas kosong di depannya ia senggol dengan siku tangannya. Gelas itu jatuh tepat di dekat Maya. Pecahan kacanya hampir mengenai kaki Maya.
"Ada apa Jonathan?" tanya nyonya Mulia kaget.
"Dia yang menjatuhkannya sendiri, Ma," ujar Jonathan sambil jari telunjuknya mengarah kepada Maya.
***
Maya sigap. Ia ke belakang untuk mengambil peralatan kebersihan di dekat dapur. Ia tidak mau ada orang yang terluka akibat pecahan kaca tersebut. Namun nyonya Mulia melarangnya"Tidak usah Maya. Biar asisten lain yang membersihkannya. Tugasmu adalah menjaga mamaku," ujar nyonya Mulia."Baik, Nyonya, " jawab Maya. Ia urung ke belakang dan kembali ke tempat duduknya.Mendengar hal itu, Jonathan yang masih berada di ruang makan tampak semakin jengkel. Padahal dia sengaja menjatuhkan gelasnya agar Maya dimarahi. Atau minimal disuruh membersihkan. Agar pekerjaan Maya bertambah."Aneh sekali. Kenapa semua orang di sini selalu membela dia. Tidak hanya Oma, juga mama. Apa istimewanya anak kampung ini?" ujar Jonathan.Dipandangi satu persatu orang yang ada di situ. Seakan mencari pembelaan diri.Tuan Mulia yang sejak tadi diam ikut angkat bicara. "Sudahlah Jo. Papa lihat sendiri kamu yang menyenggol gelas itu sampai terjatuh. Jangan salah
"Apa maksudmu membawaku kemari?" tanya Maya dengan wajah ketakutan.Jonathan hanya tersenyum menyeringai. Lalu tangannya menarik Maya ke atas. Mencengkeram kerah baju yang dipakai Maya. Sampai gadis itu berjinjit agar bisa sejajar dengan tangan Jonathan.Tidak sampai di situ. Jonathan bahkan mengangkat Maya ke arah tembok. Di sana kedua tangan Maya ditempelkan ke tembok. Gadis itu tidak bisa berbuat banyak.Maya menangis sesenggukan. Hal yang paling ditakutinya adalah diperkosa laki-laki. Karena sejauh ini dia sudah mempertahankan harga dirinya sebaik mungkin. Dan ingin mempersembahkan yang terbaik untuk suaminya kelak."Jangan ge-er. Aku tidak akan memperkosamu. Cih," ujar Jonathan sambil meludah. Hampir mengenai rok yang dikenakan Maya. Seakan dia memahami kekhawatiran Maya."Lalu apa maksudmu?" Maya mulai berani menantang."Aku hanya ingin membuat kesepakatan denganmu," ujar Jonathan."Kesempatan apa? Aku tidak memiliki
Maya mendorong kursi roda nyonya besar ke kamarnya. Pintu ia buka. Dan menempatkan kursi roda di dekat pembaringan. Nyonya besar turun."Aku mau ke kamar kecil dulu, Maya," ujar nyonya besar.Maya memapahnya ke arah kamar kecil yang berjarak lima langkah. Maya ikut masuk ke dalam. Ia mengira, tugasnya termasuk membersihkan kotoran setelah nyonya besar buang hajat."Kamu tunggu di luar saja Maya. Aku bukan anak kecil yang harus diceboki," tolak nyonya besar."Maafkan saya, Nyonya," ujar Maya seraya keluar dari pintu. Ia menutupnya kembali.Tentu saja Maya lebih senang, setidaknya tugasnya tidak berat. Lebih ringan dibandingkan ekspektasinya. Padahal melamar pekerjaan ini, bayangannya merawat orang tua yang tidak bisa apa-apa. Hanya bisa tiduran di kasur.Saat datang ia membayangkan akan mengerjakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan nyonya besar. Mulai memandikan, menyuapi makan, mengganti baju hingga membersihkan kotoran
"Maksud Nyonya?" tanya Maya heran."Kematian anakku yang kedua lebih tragis lagi," ujar nyonya besar. Lagi, air matanys tumpah."Nyonya, kalau mengingat semua itu akan membuat Nyonya bersedih. Nyonya tidak usah memaksakan diri bercerita kepada saya," ujar Maya."Tidak Maya, justru dengan cara bercerita seperti ini aku lebih tenang. Karena tidak ada satu pun yang tahu tentang ini selain aku, mendiang suamiku dan ART. Dan ART itu kini juga sudah meninggal," ujar nyonya besar."Termasuk nyonya Mulia tidak tahu?" tanya Maya.Nyonya besar menggeleng pasti. "Tidak. Aku tidak pernah menceritakan kepadanya. Aki malu kalau dianggap ibu yang tidak bertanggung jawab," ucap nyonya besar."Kalau begitu terserah Nyonya saja. Mau bercerita kepada saya juga boleh. Saya akan menjadi pendengar setia buat Nyonya," ujar Maya selanjutnya.Nyonya besar tampak mengambil nafas panjang. Ada rasa bersalah yang ingin sekali ditebusnya. Namun akhirnya mengalir c
Tok tok tokPintu kamar nyonya besar diketuk seseorang dari luar."Ya masuk. Pintu tidak dikunci kok," kata nyonya besar lantang.Ternyata yang datang adalah anaknya sendiri, Katarina. Alias nyonya Mulia, mama Jonathan. Tampak wajah sembab Katarina seperti usai menangis. Tidak lama kemudian ia memeluk mamanya dengan berderai air mata."Aku ikut mendengarkan cerita Mama dari balik pintu," ujar nyonya Mulia pelan."Kau, kau," ujar nyonya besar terbata-bata."Aku mendengar semuanya, Ma. Mama tidak salah. Mengapa mama harus menyimpan semua ini sendiri?" tanya nyonya Mulia.Nyonya besar ikut menangis dalam pelukan anaknya sendiri. "Mama malu Katarina. Mama merasa bersalah, sudah menjadi ibu yang tidak bisa menjaga anak-anaknya," ujar nyonya besar, seraya mengurai pelukan anaknya."Tidak, Ma. Mama tetap menjadi ibu terbaik buat aku dan kakak-kakakku," ujar nyonya Mulia lagi."Kalau Mama bisa menjaga mereka. Mereka masih
Sudah hampir tiga minggu Maya bekerja di keluarga besar Mulia. Sudah banyak perubahan Yeng terjadi pada kesehatan nyonya besar. Baik kesehatan fisik maupun psikisnya. Yang belum berubah hanya masalah Jonathan. Sampai saat ini ia masih menunjukkan tatapan tidak suka kepada Maya. Padahal Maya sendiri sudah sedapat mungkin menghindar dari cucu kesayangan nyonya besar itu. "Kelihatannya kamu tidak menyukai cucuku Jonathan, Maya," ujar nyonya besar pada suatu pagi. "Saya bukannya tidak suka Nyonya. Saya hanya tidak biasa berteman dengan laki-laki," ujar Maya. "Beberapa kali saya lihat kamu berusaha menghindar," ujar nyonya besar lagi. Maya bingung mau memberikan alasan apa lagi. "Mungkin itu hanya perasaan Nyonya saja," ujar Maya akhirnya. Memang sesuai kesepakatan dengan Jonathan, Maya harus menghindar dari Jonathan. Maya juga harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah ini cukup satu bulan saja. Ini pula yang menjadi ganjalan bagi May
Jonathan bersungut. Ia meninggalkan ruangan dokter Faisal tanpa pamit. Entah apa yang menjadi kemarahannya. Nyonya besar juga tidak tahu."Memang anak itu begitu. Kadang emosinya tidak terduga," ujar nyonya besar kepada dokter Faisal."Saya sudah paham Oma. Dia teman saya sejak muda. Tidak masalah. Nanti akan membaik sendiri," ujar dokter tersebut.Setelah berpamitan, Maya segera mendorong kursi roda ke arah depan. Mengikuti Jonathan yang sudah menjauh menuju pintu utama rumah sakit.Ternyata Jonathan mendahului untuk mengambil mobil di parkiran. Sedangkan Maya dan nyonya besar menunggu di depan lobby."Ayo naik," ujar Jonathan di depan lobi. Ia membuka bagasi belakang, untuk menyimpan kembali kursi roda yang sudah dilipat.Nyonya besar naik di kursi tengah. Maya di kursi depan. Seperti formasi saat mereka berangkat. "Bulan depan kamu tidak usah ikut saja. Biar saya saja yang antar Oma. Menjengkelkan tuh si Faisal," ujar Jonathan
Jonathan bersungut. Ia meninggalkan ruangan dokter Faizal tanpa pamit. Entah apa yang menjadi kemarahannya. Nyonya besar juga tidak tahu. "Memang anak itu begitu. Kadang emosinya tidak terduga," ujar nyonya besar kepada dokter Faizal. "Saya sudah paham Oma. Dia teman saya sejak muda. Tidak masalah. Nanti akan membaik sendiri," ujar dokter tersebut. Setelah berpamitan, Maya segera mendorong kursi roda ke arah depan. Mengikuti Jonathan yang sudah menjauh menuju pintu utama rumah sakit. Ternyata Jonathan mendahului untuk mengambil mobil di parkiran. Sedangkan Maya dan nyonya besar menunggu di depan lobby. "Ayo naik," ujar Jonathan di depan lobi. Ia membuka bagasi belakang, untuk menyimpan kembali kursi roda yang sudah dilipat. Nyonya besar naik di kursi tengah. Maya di kursi depan. Seperti formasi saat mereka berangkat. "Bulan depan kamu tidak usah ikut saja. Biar saya saja yang antar Oma. Menjengkelkan tuh si Faizal," ujar Jo