Suara terakhir yang kudengar adalah teriakan Ibu memanggil Mas Nasrul. Selanjutnya aku tak tahu apa-apa. Aku sadar, tapi mataku terpejam, tidak tahu apa yang terjadi. Fokusku ada pada kepalaku yang terasa berputar dan perutku yang terasa bak diaduk-aduk."Astaghfirullah … astaghfirullah …."Hanya kalimat itu yang ke luar dari bibirku. Terus kupanjatkan doa pada Allah. Aku belum mau mati. Aku tidak mau Sarah bersorak karena akan mendapatkan Mas Nasrul kembali.Pelan-pelan denyutan di kepalaku memudar. Hanya perutku saja yang masih terasa tak nyaman. Kucoba membuka mata, Alhamdulillah penglihatanku sudah kembali normal."Gimana, Ra. Apa yang kamu rasain sekarang?" tanya Mas Nasrul."Perutku nggak nyaman, Mas. Tadi kepalaku sangat pusing, penglihatan berputar, perutku mual rasa diaduk-aduk.""Ini, kamu minum susu sterilnya. Mungkin gara-gara kamu makan bakso kuah cabe dalam kondisi perut kosong."Mas Nasrul mengulurkan sekaleng susu steril padaku, susu sapi bergambar beruang tapi iklanny
"Wa'alaikumsalam, Mas. Ganggu?" Sarah. Itu suara Sarah. Ngapain lagi itu cewek gesrek telepon suamiku."Ada apa, Rah?" tanya Mas Nasrul, melirikku."Gimana Nada? Masih rewel nggak sama benjolnya?" tanyanya sok care."Udah nggak, Alhamdulillah. Mas mau antar Dara ke puskesmas, udah dulu, ya." "Kenapa Dara? Bawa ke sini aja, Mas. Biar aku yang periksa," sahutnya.Idiiih, ogah! Bilang saja mau cari kesempatan dalam kesempitan. Lagian, apa itu tadi? Dia memanggilku dengan Dara saja? Kalau di depan Ibu, manggilnya, Mbak. Sama Mas Nasrul manggil nama saja. Iya, sih, memang lebih tua dia, tapi yang konsisten kalau manggil orang. Kalau gini, kan, kesannya carmuk."Makasih, Rah. Tapi kami mau ke puskesmas, kebetulan juga mau mampir ke rumah mertua. Udah, ya. Assalamu'alaikum …."Tuut! Mas Nasrul memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Sarah.Kapok! Mukanya hilang kali tu orang, carmuk terus!"Emang kita kapan mau ke puskesmas? Trus beneran mau ke rumah Mama?" tanyaku pada Ma
Benda yang ditempelkan ke dadaku terasa dingin. Denga telaten, dokter muda itu memeriksaku."Selesai. Tanggal berapa Ibu terakhir menstruasi?" Dokter Yogi melepas stetoskop dari telinganya dan berjalan lebih dulu menuju meja konsultasi.Masih dibantu Mas Nasrul, aku turun dari ranjang dan merapikan pakaian."Hmm … saya lupa, Dok. Karena semenjak melahirkan, menstruasi saya tidak teratur. Kadang maju, kadang mundur, durasinya juga lebih lama dari biasanya. Bulan ini, sepertinya memang belum menstruasi." Aku menjelaskan riwayat haidku setelah kembali duduk di kursi seberang Dokter Yogi."Pakai kontrasepsi?" tanyanya lagi."Pakai, Dok. IUD," jawabku."Ini ada dua kemungkinan. Pertama Ibu Hamil, kedua efek kontrasepsi yang Ibu pakai. Karena di sini belum ada spesialis kandungan, Ibu bisa pakai tespack untuk memastikan." Dokter Yogi mempersilakan aku untuk mengikuti perawat yang membantunya."Baik, Dok." Aku mengik
"Kapan kamu melamar Sarah, Rul? Dia sudah sering main ke rumah, ndak elok dilihat tetangga." Sore itu Ibu sedang memarut kelapa guna membuat gulai nangka muda, untuk pertama kalinya Ibu menanyakan tentang kelanjutan hubunganku dengan Sarah.Sarah. Gadis berprofesi sebagai bidan dan berkulit coklat yang menjadi menantu idaman Ibu. Menurut beliau tidak ada yang yang perlu diragukan dari Sarah. Dia gadis santun, ramah, juga memiliki masa depan yang cerah. Bukan aku tidak mencintainya, aku cinta. Akan tetapi ada hal yang membuat aku kurang suka darinya, dia mempunyai sifat suka mengatur. Lima tahun berpacaran dengannya, masih belum berubah. Sering hubungan kami dilanda putus nyambung karena sifatnya itu. Dan Ibu tidak pernah mengetahuinya.Bersamanya aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Aku tidak boleh nongkrong bersama pemuda desa lain dengan alasan tidak pantas, tidak boleh beramah tamah dengan teman wanita. Saat jalan dengannya harus selalu ikuti semua keinginannya, mulai dari pakaia
"Bu, jodoh tidak akan ke mana. Sejauh dan selama apa pun aku merantau, kalau Sarah jodohku kami pasti akan menikah." Aku membesarkan hati Ibu yang tengah dilingkupi kecemasan.Ibu terdiam sejenak. Sambil melanjutkan ulekannya Ibu berkata,"Ya sudah. Jika dirasa itu bisa memperbaiki sumber penghasilanmu, berangkatlah. Tapi ingat, besar harapan Ibu kelak kamu tetap menikah dengan Sarah.""InSyaa Allah. Jodoh, maut, rezeki, semua Allah yang mengatur, Bu. Bukan anakmu." Aku mengelus pundak Ibu, lalu meninggalkan dapur.Dua hari setelahnya, aku berangkat ke kota. Nasib baik sedang berpihak padaku, saat menelepon Awan kebetulan kantor tempat ia bekerja sedang membutuhkan seorang akuntan. Lowongan itu sesuai dengan ilmu yang aku peroleh di bangku kuliah. Alhamdulillah … Setelah menyampaikan surat pengunduran diri pada kades, aku menyiapkan segala keperluan di rantau.1,5 tahun di tanah rantau waktuku didedikasikan untuk bekerja. Disela-sela wakt
Ia mengembalikan ponselku dengan 12 digit nomor ponselnya. Dengan hati yang berbunga-bunga ,aku segera menyimpan nomornya.Dara Chubby. Begitu namanya kusimpan."Oke, Mas mau. Nanti Mas ajak juga teman-teman Mas," jawabku mantap."Siiip! Aku masuk dulu, ya. Sampai jumpa." Ia memutar tubuhnya membelakangiku, lalu perlahan menjauh memasuki gerbang rumah. Rambut hitam panjangnya yang dikuncir kuda masih terbayang hingga ia menghilang. Ah! Sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama.Tiga bulan berkenalan dengan Dara, aku memantapkan hati untuk menikahinya. Tak ada proses pacaran seperti yang aku lakukan beesama Sarah, tapi dari kedekatan itu aku bisa tahu dan merasa kalau dia memiliki rasa yang sama. Sebelum mengutarakan niatku padanya, terlebih dulu aku meminta restu Ibu."Ibu keberatan, Rul. Kenapa tidak dengan Sarah saja? Jelas-jelas kita sudah kenal lama. Katamu Dara itu anak bungsu dan dari keluarga berada, kan
"Maafkan aku, Bu. Ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan pada Ibu. Ibu tetap bisa dekat dengan Sarah, tapi tak bisa menjadikan dia menantu. Bukan dia yang aku inginkan menjadi teman hidup. Aku mohon, restui Dara menjadi bagian keluarga kita ya, Bu." Aku bergerak meraih tangan Ibu, lalu menciumnya takzim.Ibu mengela napas, tangannya mengelus rambutku pelan."Menikahlah. Menikahlah dengan pilihan hatimu, Rul. Kamu yang akan menjalani, semoga semua hanya kekhawatiran Ibu saja. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Ibu."Aku mengongakkan kepalaku. Ibu tersenyum dengan setetes air di kedua sudut mata keriputnya."Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak atas doa Ibu." Sekali lagi kucium tangan yang sudah membesarkanku itu dengan takzim, tangan yang telah berlelah-lelah menjagaku dalam kebaikan."Sama-sama, Rul. Semoga kamu bahagia selalu ya, Nak. Besok suruh Dara ke sini, dia harus tahu aturan yang berlaku di keluarga kit
Satu minggu setelah hasil testpack dengan tanda tambah, kami berangkat memeriksakan diriku ke dokter spesialis kandungan. Jarak yang cukup jauh membuat kami harus berangkat pagi. Ya, aku kekeh tidak mau periksa dengan Sarah ketika Ibu mengusulkan, titik!Kali ini Nada kuajak, tentu saja sepaket dengan Ibu. Pulang nanti rencananya sekalian mau mampir ke rumah Mama, kebetulan Kakakku Dino sedang pulang kampung.Saat kami berangkat tadi, Mbak Nira mengantar hingga mobil dengan wajah cerah. Ada apa, ya? Bukannya saat itu dia terlihat murung mengetahui kehamilanku?"Usianya sudah 10 minggu, Bu Dara. Jaga kesehatan, jangan capek-capek, dan yang terpenting jangan stres," pesan Bu Dokter yang bernama Rini padaku. Senyumnya sangat manis."Baik, Dok," jawabku singkat."Ini saya resepkan vitamin, diminum setiap hari. Bulan depan silahkan datang lagi." Dokter Rini mengulurkan selembar resep padaku."Terima kasih, Dok. Kami permisi."