Clang!
Jatuhnya ikat pinggang milik Eduardo yang menatap Ruby seolah dirinya adalah mangsa memecah keheningan di dalam kamar.
Ruby berusaha menghiraukannya, wanita itu masih berkutat dengan dua potong kain terakhir yang masih menempel di tubuhnya. Ruby mencoba meraih pengait di punggungnya, tapi terus gagal. Tangan Ruby terlalu gemetar, campuran ketakutan, dingin dan keengganan.
Kesulitan itu terlihat, tapi bagi Eduardo yang otaknya sudah keruh oleh nafsu, ia hanya melihat Ruby yang tengah memamerkan tubuhnya dengan membusungkan dada. Memancing nafsunya.
“Nah, begitu lebih benar. Jangan menangis dan menjadi sok suci—malah tidak pantas. Kau dan ayahmu itu sama saja! Munafik.”
Sebelum Ruby bisa mengartikan kalimat membingungkan itu, Eduardo tiba-tiba berdiri, membuat sekujur tubuh sang wanita yang nyaris telanjang itu merinding.
Pengalaman Ruby nol, dan ibunya telah memastikan Ruby tidak mengenal hal dewasa sebelum waktunya. Ruby hanya tahu secara global—ia harus telanjang, tapi tidak dengan detail. Ia kemarin telah menimbang kalau keperawanannya bisa dibeli dengan lima puluh juta peso, tapi moralnya saat ini menghalangi. Ruby ragu menyerahkan tubuhnya pada Eduardo.
“Aku akan memberimu sedikit kelonggaran—mengurangi penderitaanmu. Kau tidak perlu memandang wajahku,” kata Eduardo.
Ruby kembali harus kebingungan. Ia menutupi dada dan tubuhnya dengan tangan, sementara memandang Eduardo berkeliling menutup semua tirai di jendela. Yang terakhir, Eduardo menekan saklar yang ada di dekat pintu. Kamar itu gelap—nyaris tidak ada cahaya yang masuk karena semua tirai tertutup, padahal di luar masih ada suara tawa dan musik dari pesta.
Ruby ingin bertanya, tapi bibirnya justru mengeluarkan kesiap terkejut karena ia merasakan sentuhan di bahunya. Mata Ed sepertinya menyesuaikan dengan lebih cepat, karena Ruby belum melihat apapun—sementara Ed bisa menemukannya.
“Apa kau selalu mudah terkejut seperti ini?” Ed berbisik dengan suara berat itu di telinganya. Bukan bisikan mesra, lebih kepada keheranan.
“Y…ya..” Ruby tersendat karena tubuhnya menggigil. Ia tidak bisa melihat apapun, tapi bisa merasakan jari Ed mengelus bahu lalu turun ke punggungnya. Ujung jarinya sedikit kasar saat menggesek punggung Ruby.
“Bagaimana? Lebih baik saat tidak lagi memandang wajahku yang mengerikan?”
Eduardo benar-benar berbisik di telinga Ruby, membuatnya kembali merasa merinding yang anehnya bukan hanya berasal dari takut.
Ruby masih takut—sangat tahu kalau tangan Eduardo itu mungkin bisa mematahkan lehernya dengan mudah, tapi napas hangat bercampur aroma bir yang menerpa lehernya, memunculkan sensasi baru.
“Turunkan tanganmu.”
Permintaan yang dituruti Ruby dengan lebih mudah. Kegelapan dan ketidakmampuannya melihat, membuatnya lebih tidak malu. Tapi tentu Eduardo tidak mungkin diam setelah itu. Ada bibir yang menyentuhnya. Ruby merasakan bibir mengelus tengkuknya. Rambutnya masih tergelung ke atas.
Aneh—Ruby merasa perutnya tidak normal. Bukan hanya perut seluruh tubuhnya terasa aneh. Bagian-bagian yang biasa tertutup itu, menghangat dengan serempak, apalagi saat Eduardo meraba punggung, lalu meraih kaitan yang tadi gagal dibuka Ruby.
Napas Ruby tertahan saat ‘ikatan’ itu terlepas, dan harus menggigit bibir, saat sentuhan lain datang. Eduardo menyusupkan tangan di antara lengan Ruby, dan mengelus kulit yang tadi tertutup, dan menangkup dengan kedua tangannya. Usapan yang seakan tidak bertenaga, tapi bisa membuat Ruby kehilangan tenaga. Tidak mampu lagi berdiri. Tubuhnya nyaris meleleh ke lantai, sebelum Euardo mengangkat tubuhnya.
Tidak lembut seperti saat menyentuhnya tadi, tapi tidak pula kasar. Ruby sedikit lega. Ia sudah membayangkan kekasaran saat Eduardo menuntut dengan keras tadi, tapi sentuhannya sejak tadi masih lembut. Ruby juga bersyukur ‘suaminya’ itu tidak lagi bicara. Tidak ada kata hinaan yang datang begitu tubuhnya telanjang.
Ruby hanya bisa melihat gerakan di kegelapan, sebelum akhirnya sentuhan lain mulai datang dan membuatnya memekik.
Sentuhan yang dulu akan disebutnya tidak pantas, karena kedua kakinya membuka lebar. Tapi Ruby tidak bisa menyebut itu lagi, saat ternyata sentuhan itu membuat kepalanya terasa begitu ringan, sementara tubuhnya mendamba sentuhan di tempat lainnya lagi.
Ruby menjerit, antara terkejut dan sakit saat Ed tiba-tiba mendesak tubuhnya. Ruby baru merasakan kasar setelah itu, karena Eduardo tidak menunggunya untuk terbiasa.
Sedikit rasa nikmat yang tadi dirasakan Ruby karena sentuhan Eduardo, tidak lagi berguna saat ia terus memacu tanpa maupun peduli dengan jeritan itu. Eduardo entah tidak mendengar—karena telinganya tertutup oleh nafsu memuncak, atau memang itu tujuannya—cocok dengan segala ancaman yang didengar Ruby.
Ruby berusaha mendorong tubuh yang menekannya, tapi Eduardo merangkum tangan itu dan menariknya ke atas. Ia juga menjepit pinggang Ruby yang juga mencoba untuk melepaskan diri dengan kakinya.
Eduardo menggeram sejenak, lalu semakin mengehentak dengan keras, sampai Ruby benar-benar tidak mampu bergerak.
“Berhenti…” isak Ruby. Tapi Ruby hanya mendengar dengusan.
Pria berambut gelap itu mendengar, tapi memang memilih tidak peduli. Ia menyalurkan amarahnya pada Ruby. Ia tidak peduli apakah Ruby menikmatinya atau tidak, ia hanya ingin kepuasan untuk dirinya sendiri.
Ruby menutup mulutnya dengan tangan, sementara air mata terus menetes dari sudut matanya. Ruby tidak ingin menjerit, karena gerakan Eduardo semakin cepat dan menghentak keras sebelum akhirnya berhenti.
Ruby terus menutup bibirnya saat mendengar napas terengah dan pria itu berbaring di sampingnya.
“Lumayan… Paling tidak tubuhmu bisa memenuhi hasratku.” Terdengar gumaman sebelum napasnya menjadi tenang dan teratur.
Pria itu telah puas dan tertidur, tapi Ruby masih menangis sambil meringkuk dan membungkam bibirnya. Ruby tidak hanya menangisi rasa sakit di tubuhnya, tapi menangisi betapa hina dirinya saat ini, dan mungkin seluruh kesakitan itu pantas. Bagaimana pun itu, ia hanya wanita yang menjual diri.
“Mamá…” bisik Ruby, setelah tidak lagi terisak. Hanya sosok ibunya yang saat ini bisa membuatnya waras. Ruby harus menguatkan diri untuknya, dan juga ibunya yang masih terkujur lemah di rumah sakit. Tak peduli betapa hina hal yang dia lakukan, dia berjanji akan bertahan demi sosok yang paling dicintainya.
“Apa itu!?” Suara lantang seorang pria membangunkan Ruby yang masih terlelap, merasa lelah setelah malam panjang yang membuat area bawahnya perih.Saat Ruby membuka mata, wanita itu terkejut melihat pria yang sudah sah menjadi suaminya berdiri menjulang di samping ranjang, memandangnya dengan kening berkerut.Ruby memaksakan kepalanya berpaling, manik cokelatnya mengarah ke telunjuk Eduardo. Tepat saat itulah, Ruby menyaksikan noda merah pekat yang mengotori bed cover tempat keduanya bergumul semalaman. “Darah.” Ruby menjawab dalam gumaman, karena tidak yakin jawabannya benar. Noda itu sudah jelas adalah darah, tidak perlu ditanyakan. Ruby curiga kalau pertanyaan itu hanya jebakan.“Aku tahu itu darah! Tapi kenapa kau berdarah?! Kau tidak sedang menstruasi, kan?!” Bentakan Eduardo, semakin keras. Ruby tentu saja dengan otomatis tersentak, sementara perlahan wajahnya memerah–malu.Ia jelas tahu darah itu berasal dari mana, dan seharusnya Eduardo juga tahu. Hal itu membuat Ruby terdia
“Lalu kau pikir aku tidur dengan siapa? Aku mabuk tapi masih bisa membedakan wajah!” bentak Eduardo. Jengkel karena Javier malah berpendapat absurd. Eduardo tahu ia mabuk tadi malam, tapi tidak mungkin menduri wanita yang salah.“Tapi bagaimana mungkin? Ini Liz. Aku tahu benar pergaulannya seperti apa. Dia beruntung lolos dari tanganku… dulu.” Javier menambahkan karena pergaulannya saat ini tentu berbeda.“Aku sering bertemu dengannya di hotel bersama pria bergantian setiap kalinya. Sebentar! Aku ingat dulu.” Javier mengerutkan kening, lalu melipat telunjuknya untuk menunjuk hitungan pertama.“Aku bertemu dengannya di Cancun, lalu Chilangolandia*. Terakhir aku bertemu dengannya di resort Playa del Carmen. Ia memakai bikini dan bergandengan tangan ke pantai—dia delapan belas saat itu.” Javier menampilan sederet bukti yang membuatnya sulit percaya kalau Lizeth Ramos masih perawan.“Dia juga pernah dikabarkan dekat dengan salah satu pemain film bukan? Aku lupa yang mana.” Kabar itu terl
Ruby bisa melangkah dengan lebih baik. Masih merasakan nyeri diantara kakinya, tapi tidak lagi menyiksa. “Sebentar.” Ruby mendengar ketukan di pintu kamar tadi, dan memaksakan diri untuk berjalan. Ruby bersyukur telah merapikan diri. Setelah menangis dengan puas tadi, Ruby berendam cukup lama di bak mandi mewah yang ada di kamarnya. Penampilannya cukup layak sekarang, meski rambutnya masih separuh basah. Ruby berharap matanya yang lebam tidak terlalu kentara. “Senora* Rosas, Anda sudah bangun dan terlihat cantik..” Ruby mendengar sapaan bernada ramah dan lembut saat membuka pintu. Ruby jelas tidak tahu siapa. Semua orang yang dilihatnya saat hari pernikahan kemarin tidak lebih sepintas lalu—baik tamu maupun penghuni rumah itu. “Saya, Tita. Pelayan di sini. Saya mengurus makanan dan kebutuhan rumah.” Tita mengulurkan tangan sambil membungkuk. Kulitnya gelap, sementara tubuhnya kurus, tapi tampak tegap. Rambutnya yang berbaur dengan warna abu-abu, terkepang dua dengan rapi. “Ru
“Perkenalkan, Pedro. Aku tinggal di sini juga. Aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi aku ikut menolong saat kau pingsan kemarin.” Pria itu mengulurkan tangan. Meski tidak ingin, Ruby terpaksa menerima. Ia tidak ingin bersikap tidak sopan pada salah satu penghuni rumah itu. Dan tentu Ruby tidak ingat pria itu menolongnya. Ia benar-benar pingsan tanpa menyisakan kesadaran setelah melihat wajah Eduardo.“Halo.” Ruby mengangguk pelan, sambil melirik lorong. Berharap Tita lebih cepat kembali. Ia tidak ingin bersama pria itu berdua saja.“Aku pikir pernikahan kalian tidak akan terjadi. Tapi akhirnya rumah ini bisa lebih ceria. Wajah baru yang cantik membuat perbedaan yang nyata.” Pedro memuji, tapi Ruby sama sekali tidak gembira mendengarnya. Jenis pujian cantik itu berbeda dengan yang didengar dari Tita tadi. Jenis yang ini sering didengar Ruby saat ia bekerja di restoran. Sebagai pelayan restoran, Ruby tentu sering bertemu konsumen hidung belang, dan membuat muak.“Kau pendiam rupa
“Senora Mía!” Tita memekik kaget, sambil memandang kerja kerasnya yang terbuang.Wanita yang bernama Mía itu tidak peduli tapi. Ia terus memandang Ruby dengan mata tajam.Ruby tidak tahu siapa dia, tapi Ruby tahu kebencian wanita itu pada dirinya sama seperti Eduardo. Mata yang memandang dengan dendam.“Siapa yang mengatakan kau boleh memberinya makan?!” Mía marah pada Tita, tapi wajahnya tetap memandang Ruby. Maka Ruby memutuskan untuk bicara. Membela Tita paling tidak.“Maaf, aku tidak bermaksud…”“Saat jam sarapan datang dan kau tidak muncul. itu berarti aku anggap kau tidak ingin makan! Jangan berani-beraninya meminta sarapan khusus hanya untukmu saja!” Mía memotong penjelasan Ruby. Sejak awal memang tidak ingin mendengar.“Senora, saya yang…”Bahkan pembelaan Tita pun diputus dengan dejakan lidah.“Aku tidak memintamu bicara! Bekerjalah, dan bereskan itu!”Mía menunjuk kekacauan yang ada di lantai, lalu telunjuknya beralih pada Ruby.“Kau dengar, Lizeth Ramos! Kau mungkin menika
“Halo?” Ruby menjawab dengan takut-takut. Pria tua itu tampak ramah dan lemah awaknya, tapi itu tipuan. Ruby tidak akan lupa tamparan yang diberikan pria itu kemarin.“Kau belum mengacau bukan?” Terdengar pertanyaan bercampur geraman dari Esli.Rasa takut Ruby berkurang jauh seketika. Menyadari kalau geraman itu tidak lebih dari ancaman kosong. Ia tidak perlu takut, Esli tidak bisa menyentuhnya saat ini. kalau hanya omelan, Ruby masih bisa menanggungnya.“Mengacau dalam hal apa?” tanya Ruby dengan sedikit lebih berani. Sikap hormat yang kemarin ditunjukkan Ruby karena menganggap Esli pria yang tengah bersedih akibat anaknya mengalami kecelakaan dan koma, tidak lagi ada. Baginya, Esli tidak lebih dari penipu yang memanfaatkannya.“Kau jangan macam-macam!” Esli terdengar semakin marah.“Aku tidak mengacau.” Ruby tidak ingin membuatnya marah lebih jauh. Teringat ibunya masih ada bersama Esli. Kalau tahu wajah asli Esli adalah penipu, Ruby tidak akan membiarkan Esli membawanya. “Kalau
“Tidak akan terjadi! Kau tidak akan menikah dengannya.” Esli menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke kursi. Lelah dengan tiba-tiba.“Oh, syukurlah.” Liz lega ayahnya tidak ingkar janji.“Tapi kau pergilah! Ke Paris atau kemana terserah. Jauhi negara ini. Jangan pulang sebelum aku minta,” kata Esli dengan tegas.“BENARKAH?!” Liz memekik girang dan langsung menghambur memeluk ayahnya. Liburan mendadak selalu terdengar menyenangkan.“Jangan sampai bertemu dengan teman-teman yang mengenalmu tapi.” “Hah? Kenapa begitu?” Liz merajuk dengan menghentakkan kaki. Apa gunanya berlibur kalau tidak bisa bersama teman-temannya?“Kau pergi saja dan jangan menghubungi siapapun dari sini! Aku akan mengawasimu!” Esli tidak mendengar protes itu dan menyuruh dengan lebih tegas.“Tapi…”“BERANGKAT SEKARANG!”Liz tersentak dan menatap ayahnya dengan mata memerah. Ini pertama kali ia mendengar ayahnya membentak. Liz menyambar vas yang ada di atas meja lalu membantingnya ke lantai. Ungkapan emosi sebag
“Kau tahu aku sibuk,” kata Ed, sambil memijat keningnya. Nyeri itu masih ada. Obat itu sepertinya tidak berguna.”“Dan kenapa kau bertanya?” Ed bertanya, tapi sudah tahu apa jawabannya.“Kau punya istri sekarang. Tanggung jawabmu adalah untuk pulang.”Tebakan Ed tidak salah. Javier membahas hal yang tidak ingin didengarnya.“Kau terlalu peduli dengannya!” desis Ed.“Dia istrimu sekarang. Tentu aku peduli. Kau seharusnya datang dan mencoba untuk dekat dengannya. Meminta maaf paling tidak. Kau menyakitinya.” Javier mengomel.“Haruskah? Aku tidak memaksa…”“Entah kau memaksa atau tidak, kau membuatnya menangis! Kau ingat menangis? Hal yang terjadi saat ada yang merasa sakit, terluka atau sedih, marah juga.” Javier tentu hanya tengah bersikap sarkastik. Menyindir Ed—menyebutnya tidak berperasaan karena tidak mengerti emosi.“Aku tidak sangat bodoh!” gerutu Ed.“Tapi sekarang terlihat seperti itu! Pulang dan urus dia!” Javier kini tidak menyarankan lagi, tapi menyuruh.“Nanti!” Ed tidak me