Riuh suara pertarungan memenuhi aula istana yang megah, namun kini terasa seperti medan perang. Gema benturan logam, desis api, dan pekikan para Salamander menciptakan simfoni kekacauan yang menggema hingga ke langit-langit tinggi berhias ukiran emas. Mayangsari berdiri di atas altar, senyumnya dingin seperti embun beku. Tatapannya yang tajam memperhatikan para peserta ujian yang kelelahan, tubuh mereka terhuyung-huyung melawan makhluk buas yang tak kenal lelah.Dari sudut pandangku, kelima Salamander itu seperti monster yang mustahil ditaklukkan. Tubuh mereka berlapis sisik tebal, mata menyala merah, dan setiap gerakan mereka disertai dengan gelegar yang mengguncang lantai. Aku bisa merasakan setiap serangan mereka mendekatkan kami semua pada keputusasaan.Di sisi lain aula, seorang pria mencoba menyerang dengan pedangnya, teriakan keberanian mengiringi ayunan senjatanya. "Aaaah!" Namun, hanya dalam sekejap, cakar Salamander menghantamnya dengan brutal, membuat tubuhnya terpental sep
Mandala berdiri dengan angkuh, aura dinginnya semakin intens, seolah seluruh ruangan menjadi saksi atas kekuatannya. Langit-langit aula yang sebelumnya penuh ukiran megah kini bergetar setiap kali dia bergerak. Debu mulai jatuh perlahan, menciptakan efek kabut tipis di tengah kerumunan yang tersisa. Udara terasa berat, seperti membawa tekanan yang menghimpit paru-paru setiap orang.Aku mencoba mengatur napas, meskipun rasa sakit dari tendangan tadi masih membakar tubuhku. Di kejauhan, Risa memandangku dengan mata yang basah. Dia ingin berteriak, tetapi sepertinya suaranya tertahan oleh ketakutan yang menguasainya.Mandala memutar kepalanya, mengamati semua orang di ruangan itu, sebelum pandangannya kembali tertuju padaku. "Kau ingin melawan, tapi kau bahkan tak bisa berdiri tegak. Lihatlah dirimu," katanya dengan nada mencibir, suaranya serak namun penuh ejekan.Aku menggenggam pedangku lebih erat. Tangan ini bergetar, bukan karena takut, tetapi karena tubuhku mulai lelah. Tapi aku ti
Ketika Mandala bersiap mengayunkan tangannya ke arahku, sebuah suara desing tiba-tiba memecah udara. WHIZZ! Anak panah melesat dengan kecepatan tinggi, menancap di lengan kanan Mandala yang terangkat. Dia mengerutkan alis, sejenak terhenti, sebelum tatapannya beralih ke arah asal panah. Di ujung sana, berdiri Risa dengan busur di tangannya, napasnya memburu."Kau," gumam Mandala sambil menyipitkan matanya, wajahnya berubah menjadi ekspresi marah yang mengerikan. Dengan satu gerakan cepat, dia menghilang dan muncul di depan Risa."Beraninya kau," desis Mandala sambil menjulurkan tangannya, mencengkram leher Risa. Suara tulangnya seperti hampir berderak di bawah tekanan itu. "Seharusnya kau tetap diam kalau ingin hidup lebih lama."Risa berusaha menggenggam tangan Mandala, kuku-kukunya mencakar tanpa hasil. Napasnya tersendat-sendat, tubuhnya bergetar. Namun, dengan sisa kekuatannya, dia meludah dengan kasar. "Lepaskan tangan kotormu, sialan!"Aku menyaksikan pemandangan itu dari tanah
Darah masih mengalir deras dari tubuh Mandala yang terkapar tak berdaya di sudut aula. Mayangsari, yang masih terengah-engah dengan luka di tubuhnya, menatapku dengan sorot penuh kebencian. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa sakit, tidak hanya fisik tetapi juga emosional."Apa yang kau lakukan, bajingan?!" teriak pria dengan kapak besar yang tadi menyerang Mandala bersamaku. Suaranya menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. "Kita hanya perlu mengalahkannya! Kenapa kau membunuh mereka?!"Aku tidak menjawab. Langkahku berat namun mantap menuju altar, tempat di mana Mayangsari sebelumnya berdiri dengan penuh kewibawaan. Setiap langkahku menggema di aula yang kini terasa sunyi. Suara desah napasku dan dengung energi yang memancar dari relik kristal biru di altar menjadi latar belakang yang mencekam.Mayangsari menggeliat di lantai, tubuhnya mulai bersinar dengan cahaya biru kehijauan yang memancar semakin terang. Ia mencoba berbicara, namun sua
Aku berdiri dengan napas yang terengah-engah, pasir basah di bawah kakiku menggenggam langkahku seperti tangan-tangan kecil yang ingin menyeretku ke bawah. Udara di sekitarku berat, penuh dengan energi yang berdesakan, mengguncang tubuhku seperti gempa. Di atas langit yang kelam, dengan retakan emas yang masih berpendar samar, berdiri makhluk itu. Ia bukan hanya entitas biasa, ia adalah bencana, kehancuran, dalang dari semua yang terjadi. Ia adalah Ordo Zeros. Aku mengepalkan tangan, pandanganku terkunci pada sosok besar itu. Matanya, hitam seperti jurang tanpa dasar, menatapku dengan dingin, tanpa emosi. Suaranya menggema di pikiranku, meski ia belum berkata apa-apa, seakan keberadaannya saja sudah cukup untuk menekan jiwaku. “Ordo Zeros!” Suaraku pecah, melawan angin yang menderu kencang. Aku merunduk, mengambil trisula yang jatuh di hadapanku. Energinya masih berkilauan, meski cahayanya meredup setelah terhempas oleh kekuatan Nyi Roro Kidul. “MATI KAU!” teriakku, memusatkan s
Pasir basah di bawah kakiku seolah berusaha menahanku, seakan-akan tak rela aku meninggalkan istana dasar laut itu. Namun aku tak punya waktu untuk berhenti, apalagi kembali. Langkahku mantap, meski terasa berat. Sesekali, angin laut membawa suara deburan ombak yang menggema seperti rintihan tempat yang perlahan tenggelam ke dalam kehampaan. Istana itu—simbol kemegahan yang kini hanya menjadi kehancuran.Saat aku tiba di tepi pantai, pandanganku disambut oleh tubuh-tubuh yang tergeletak tak sadarkan diri. Mereka adalah orang-orang yang dilempar oleh Ordo Zeros ke sini, ke tempat aman ini. Pasir mengotori pakaian mereka, wajah-wajah mereka pucat, tapi hidup. Di antara mereka, aku menemukan sosok yang membuat nafasku tercekat. Risa. Rambut hitam panjangnya basah oleh air laut, tetapi wajahnya masih sama seperti yang kuingat—tenang, meski penuh luka.Aku berdiri di sana, menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu dalam dadaku yang bergejolak, perasaan yang pernah ada namun t
Angin dingin dari pantai menyelinap di antara robekan bajuku, membelai kulitku dengan kelembutan yang bertentangan dengan pemandangan di belakangku—reruntuhan kota yang ditinggalkan, saksi bisu dari kehancuran yang tak terhindarkan. Di tanganku, trisula itu bersinar redup, cahayanya berdenyut seperti jantung makhluk hidup, biru-hijau yang menguar dalam ritme yang tidak kupahami sepenuhnya. Aku tahu trisula ini adalah kekuatan besar, senjata yang seharusnya bisa menembus kehendak Konstelasi sialan itu. Namun, aku juga sadar satu hal—benda ini tidak tunduk padaku.Debu halus yang tertiup angin menggantung di udara saat aku meninggalkan batas kota, langkahku berat namun pasti menuju satu tujuan: Borobudur. Tempat di mana skenario berikutnya akan dimulai, di mana sebuah portal akan terbuka, menghubungkan pulau-pulau besar di dunia ini. Tapi Borobudur tidak dekat. Perjalanan panjang melintasi Jawa terbentang di hadapanku, jalanan yang penuh bahaya dan ketidakpastian menantiku di setiap sud
Langit terpecah oleh suara gemuruh yang mengguncang telingaku. Gelombang kejut menggetarkan udara, diikuti oleh ledakan dahsyat yang memuntahkan debu ke angkasa. Pecahan kaca dan reruntuhan beterbangan, menghantam jalanan yang sunyi. Aku menghentikan langkah sejenak, jantungku berdebar liar, sebelum akhirnya berlari menuju sumber kekacauan itu.Debu beterbangan, menyelimuti udara dengan partikel abu-abu yang menggantung di langit. Ledakan dahsyat tadi masih menyisakan riak kehancuran di udara. Suara gemuruhnya bergaung, mengguncang gedung-gedung yang telah rapuh. Aku menghentikan langkah, mengatur napas, lalu berlari lebih cepat menuju sumber ledakan. Setiap langkahku menggema di atas aspal retak yang dipenuhi pecahan kaca dan reruntuhan."Ledakan apa itu?" gumamku, jantungku berdetak cepat.Di kejauhan, samar-samar aku melihat dua sosok bertarung. Seorang pria berjubah hitam, auranya gelap bagaikan bayangan malam, menggenggam pedang hitam yang seakan-akan menyerap cahaya di sekelilin
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula