Malam ini Indra tidak perlu susah-susah tidur di atas pohon lagi karena dia menginap di penginapan yang ada di Desa Rahong. Ternyata banyak pendekar lainnya yang juga menginap di sana, mendadak banyak warga desa yang membuka penginapan dadakan di dalam rumahnya setelah melihat banyaknya pendekar yang datang ke desa.
Pagi harinya suasana di Desa Rahong semakin ramai saja banyak bendera-bendera kerajaan yang dipasang di tepi jalanan, pernak pernik hiasan juga ikut menambah kemeriahan. Arena turnamen beladiri sendiri sudah disiapkan di Hutan Rahong yang ada di sebelah utara desa, di sana sebuah panggung besar nan megah yang terbuat dari bambu dan beralaskan papan sudah disiapkan.
Di depan panggung tersebut sudah ada sebuah lapangan besar yang biasanya menjadi tempat para penduduk menggembala sapi dan kambing, lapangan itulah yang akan menjadi arena pertarungan para pendekar. Meskipun turnamen belum dimulai tapi sudah banyak pedagang yang hilir
“Aku tidak pamer, hanya saja aku orang yang pemalu,” bisik pria bermasker yang tiba-tiba sudah ada di samping kiri pria yang menghunuskan pedangnya. Terlihat jelas bahwa pria yang menghunuskan pedang benar-benar terkejut karena tidak bisa melihat pergerakan pria bermasker.“Hihihi.. kalian seperti anak-anak saja,” kata Indra sambil tertawa, tentu saja kedua pendekar itu langsung menatap Indra dengan tajam.“Sebaiknya kalian simpan kekuatan kalian untuk turnamen nanti, hanya anak-anak saja yang tidak sabaran untuk berkelahi sebelum turnamen dimulai,” sambung Indra sambil tersenyum.“Apa yang kau katakan, kau bahkan tidak menyadari kedatanganku tadi,” ucap pria yang menghunuskan pedang.“Hihihi.. sok tahu,” tukas Indra pura-pura.“Kalau memang kau menyadari keberadaanku kenapa tadi kau hampir menginjak diriku?”
Hari itu suasana di Desa Rahong semakin meriah saja, Senopati Saktiwaja dan Adipati Janggala beserta rombongannya dijamu di kediaman kepala desa. Panitia turnamen beladiri juga semakin sibuk untuk menyiapkan persiapan turnamen yang akan dilaksanakan besok pagi di Hutan Rahong.Malam harinya Desa Rahong semakin ramai karena ada pertunjukan tari jaipong di depan kediaman kepala desa, semua itu dilakukan dalam rangka hiburan sekaligus acara penyambutan bagi Senopati Saktiwaja dan Adipati Janggala. Banyak pendekar yang ikut menonton acara tersebut, beberapa kali juga terjadi keributan diantara pendekar hingga para pengawal Senopati harus turun tangan untuk melerai mereka.Pagi harinya turnamen beladiri yang ditunggu-tunggu akhirnya sudah siap digelar, panggung yang ada di pinggir lapangan sudah dihias dengan indah. Adipati Janggala beserta keluarga, Senopati Saktiwaja serta keluarga kepala desa duduk dengan nyaman di atas panggung, sementara par
“Jangan sombong kau pendekar!” bentak salah satu pendekar di arena, dengan cepat dia langsung melesat maju melayangkan pukulannya mengincar leher Windu.“Aku tidak sombong, tapi aku rasa menghadapi kalian saja masih mampu aku lakukan sendirian,” kata Windu yang langsung mengelak ke samping dan menghantam tangan si pendekar dengan kakinya sampai lawannya terlihat kesakitan.‘Ggbuukkh’Tidak hanya sampai di situ saja karena Windu juga langsung melompat ke udara seraya menghantamkan kaki kirinya ke bahu si pendekar yang menyerangnya, suara hantaman terdengar begitu keras. Pergerakan Windu juga berlangsung begitu cepat sampai lawannya tidak bisa mengelak, tubuh si pendekar langsung oleng hendak ambruk.‘Beukh’‘Beukh’Dua pukulan beruntun menghantam tubuh si pendekar, tampaknya Windu tidak membiarkan musuhnya begitu s
Melihat ada lagi yang tumbang membuat para pendekar yang masih ada di lapangan semakin waspada. Mereka mulai berkumpul saling memunggungi satu sama lainnya, namun tiba-tiba saja hempasan angin terasa masuk ke ruang di belakang mereka.‘Bbeukhh’‘Ggdaaakk’Windu langsung menghantamkan pukulannya mengenai dada seorang pendekar sampai tubuhnya tersungkur ke depan, Windu juga menggunakan kaki kanannya menghantam lutut pendekar lainnya dari belakang. Merasa musuhnya sudah ada di belakang para pendekar itu langsung berbalik. Tapi dalam waktu yang singkat Windu melayangkan beberapa pukulan secara beruntun.‘Dddaakh’‘Beeukkh’‘Ggddaakkh’Terdengar benturan benturan keras saat pukulan Windu berhasil mengenail lawannya dengan telak, tubuh mereka semua langsung terpental saat terkena pukulan beruntun Windu yang dilapisi oleh tenag
“Jangan segan-segan, karena aku juga tidak akan segan untuk menghabisi kalian semua,” tukas Salaksa sambil menghunuskan pedangnya.“Apa jadinya jika kakek melihat hal ini? Apa memang semua murid perguruan besar seperti itu?” batin Indra.Indra merasa tindakan Salaksa dan Windu bertentangan dengan apa yang Braja Ekalawya ajarkan kepadanya selama ini, yah meskipun kelakuan Indra sendiri juga bertentangan dengan ajaran-ajaran gurunya. Tapi setidaknya dia merasa membunuh seseorang tanpa alasan yang jelas dan setimpal adalah sebuah kejahatan.“Apa jangan-jangan Rima juga akan bertindak seperti itu?” pikir Indra sambil perlahan menggerakan kepalanya ke samping untuk melihat Rima. Namun lagi-lagi Rima ternyata sedang menatapnya dengan tatapan mengerikan bagaikan singa yang ingin menerkam mangsanya. Indra secepat kilat mengalihkan kembali perhatiannya sambil pura-pura bersiul.
Dua pendekar yang memakai tangan kosong langsung menyongsong kedatangan Salaksa, salah satu diantara mereka langsung memalangkan kakinya hendak menjegal laju tubuh Salaksa. Tapi pendekar tersebut langsung menjerit saat kakinya menghantam tubuh Salaksa yang melesat, terlihat kakinya langsung bengkak karena tulang lututnya bergeser.Salaksa menebaskan punggung pedangnya ke pinggang pendekar itu, seketika tubuh pendekar itu terpental dan berguling-guling di tanah pinggangnya tampak menghitam ibarat terkena luka bakar. Satu pendekar yang tadi ikut maju sudah pasrah, Salaksa mengayunkan pedangnya mengincar leher pendekar tersebut. Tapi pendekar yang membawa golok melesat dan menahan tebasan Salaksa.‘Tttrraangg’Terdengar dentingan senjata berbunyi, tapi golok yang menangkis pedang Salaksa langsung terpotong menjadi dua, tapi karena hal itu pergerakan pedang Salaksa menjadi agak melambat sampai pendekar yang tadi
“Hahaha… Apa kau sudah gila pendekar?” tanya seorang pendekar sambil menertawakan tantangan dari Indra yang kini berdiri di tengah lapangan.“Siapa sebenarnya dirimu hah? Berani-beraninya kau merendahkanku!” bentak pendekar yang seharusnya menjadi lawan Indra.“Aku Indra Purwasena dari perguruan Dharmabuana!” tegas Indra dengan lantang.“Hahaha.. aku belum pernah mendengarnya.”“Perguruan dari mana itu? Asing sekali di telingaku.”“Telingaku malah gatal mendengarnya,” terdengar para pendekar di lapangan malah mengejek perguruan Indra.“Heh kalau mau mengejek perguruanku, kalahkan dulu diriku!” bentak Indra.“Aku tidak peduli darimana kalian berasal, pada akhirnya kalian akan tetap mati,” kata pria berbaju hitam bergambar kepala kobra. So
Karta tampak menyeringai senang kepada dua pendekar yang sudah pucat pasi tersebut, tapi dengan tubuh gemetar mereka berdua langsung berlari keluar lapangan sambil mengatakan bahwa mereka menyerah. Kini tinggal Indra dan satu pendekar lainnya yang masih berdiri menatap Karta.“Kau tidak mundur anak muda?” tanya pendekar yang berdiri tak jauh dari Indra.“Murid Dharmabuana tidak akan pernah mundur dari arena turnamen! Terlebih jika melawan manusia keji sepertinya,” tegas Indra tanpa ragu.“Mengejutkan. Jika kita selamat melawannya, suatu saat nanti aku ingin main ke perguruanmu,” kata pendekar di samping Indra sambil mulai memasang kuda-kuda.“Ya,” jawab Indra pendek sambil mulai memasang kuda-kuda dasar perguruan Dharmabuana.“Si tengil itu, apa dia tidak sadar betapa berbahayanya orang itu?” gerutu Rima yang begitu kesa