Dong Wei menggeleng pelan. Ia masih tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Dengan nada protes ia berkata, "Ketua Wang, semes--"
"Simpan pedangmu! Tidak seharusnya kau bersikap lancang pada Panglima Long Feng," bentak Wang Weo memotong perkataan Dong Wei. Kedua matanya melotot. Membuat Dong Wei terintimidasi atas kewibawaannya. Anggota sekaligus temannya itu pun memasukkan kembali pedangnya.
Wang Weo mendongakkan kepala dan merentangkan kedua tangannya yang terkepal. Lalu ia meletakkan tangan kanannya di dada dan tangan kirinya di perut. Seketika itu pula, sebuah pedang muncul. Dengan penuh hormat, Wang Weo menyodorkan pedang itu pada Long Feng dan berkata, "Panglima, terimalah pedang ini sebagai jaminan atas kesetiaan kami padamu."
Para anggota Aliansi Jing Quo langsung lemas atas apa yang mereka lihat. Mereka tahu, pedang itu telah menewaskan ratusan pendekar. Jika Wang Weo memberikan pedangnya, bagaimana bisa mereka melawan Long Feng?
Sementara
Sudah barang tentu jika pernyataan Long Feng kali ini berhasil menghapus kerut di kening semua orang. Kekesalan mereka digantikan dengan terbitnya senyuman. Mereka tidak pernah menduga kalau ada masanya kekuatan Sekte Teratai Putih yang mengerikan itu bisa menghilang. Maka, setelah mengetahui kelemahan sekte terkuat di wilayah Haidong, para anggota Aliansi Jing Quo pun bergegas membuat rencana penyerangan. Hampir semua anggota aktif memberikan usulan. “Orang-orangku yang akan berada di barisan paling depan untuk membombardir Desa Jinchang dengan duri-duri tajam mematikan!” ungkap Dong Wei bersemangat. Ia sangat yakin pada kemampuan para anggota sektenya. Lebih-lebih dengan jurus Perisai Bulu Emas yang dimiliki, tidak akan mungkin orang-orang Jinchang mampu memotong bulu mereka jika hanya menggunakan pedang biasa. "Ketua Wang, aku dan seluruh anggota Golok Beracun akan siap ditempatkan di mana pun. Aku bahkan sudah tidak sabar ingin memenggal kepala Patr
Semua anggota Aliansi Jing Quo sudah berlatih dengan keras menyiapkan penyerangan. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang telah ada di depan mata. Sementara itu, persiapan yang matang juga telah dilakukan oleh Long Feng. Permintaannya pada Kaisar Han Chen beberapa waktu lalu telah dikabulkan. Maka, dengan sebuah gulungan berwarna keemasan yang berisi titah kaisar, ia bersama seluruh prajurit yang berasal dari Sekte Teratai Putih, kembali ke Jinchang. Benar, dengan dalih demi keamanan nyawa para prajurit, Long Feng meminta kaisar untuk memberikan cuti satu hari, tepat pada hari di mana gerhana bulan total akan terjadi. Sebagai gantinya, para pendekar terpilih dari sekte aliran putih membantu mengamankan istana bersama para prajurit yang ada. 'Aku harus mengucapkan salam perpisahan pada orang tua terkutuk itu,' gumam Long Feng dalam benaknya. Ia menghentikan langkahnya di depan kediaman orang tuanya. Long Feng menatap lekat-lekat tem
"Chen'er, cepat masuk!" perintah seorang lelaki paruh baya pada seorang bocah yang sedang bermain di halaman rumah. Melihat raut wajah lelaki di hadapannya, bocah itu pun mengangguk tanpa membantah atau sekadar bertanya. "Baik, Ayah!" ucapnya, lalu memberi hormat sebelum masuk ke dalam rumah. Patriark Yong Yuwen mendongak, memandang bulan yang bundar sempurna. Ia menghela napas panjang, berharap sesak di dadanya melebur dan hilang bersama embus angin. 'Bukankah malam ini terlalu indah untuk dilewatkan dengan bersembunyi?' batinnya. Bukan tanpa alasan Patriark Yong Yuwen tampak begitu gusar. Firasatnya mengatakan, hal buruk akan terjadi. Bukan hanya padanya, melainkan juga pada seluruh anggota Sekte Teratai Putih di Jinchang. "Petaka apa yang sebenarnya akan menimpa kami?" desisnya lirih. "Apa kau masih cemas?" Sebuah suara lembut membuat Patriark Yong Yuwen menoleh ke belakang. Lelaki itu tersenyum hangat pada perempuan bermata coklat yang mulai muncu
Jerit tangis ibu dan anak-anak pun melekat erat pada dinding-dinding ruang bawah tanah. Mereka ingin berhenti melangkah dan kembali menyusul suami dan atau ayah mereka berjuang melawan musuh. Namun, mereka tidak boleh berhenti berlari. Entah bagaimana kehidupan ini terasa begitu kejam? Bahkan rasa ‘peduli’ menjadi hal yang wajib dimusnahkan. Meskipun demikian, setelah cukup jauh melangkah, pada akhirnya mereka tidak sanggup lagi untuk menahan diri agar tidak menengok ke belakang. Para wanita itu sungguh berharap para pria menyusul mereka. “Jangan berhenti! Apa kalian tidak mengerti untuk siapa suami kalian mempertaruhkan nyawa?” pekik Huang Hua begitu keras, membuat beberapa wanita yang sempat berhenti, mulai melanhkah lagi seraya berusaha menghentikan isakan mereka. “Ibu, aku ingin bersama Ibu,” rengek Yong Chen tidak mau melepaskan pelukannya dari Huang Hua. “Chen’er! Berhenti merengek dan pergi! Ikut bibimu sekarang!” bentak Huang Hua denga
Wajah penuh luka Patriark Yong Yuwen menatap lelaki yang membuat lehernya tercekik dengan pandangan nanar. Ia benar-benar tidak berdaya. Sungguh ia tidak peduli jika nyawanya yang dipermainkan dan ditumbangkan. Namun, hatinya seperti tertusuk pisau saat melihat warga Jinchang dibantai. Andai saja kitab itu ada padanya, mungkin lelaki itu akan menyerahkannya pada Wang Weo. Meski Patriark Yong Yuwen tahu musuhnya itu tidak akan berbaik hati mengampuni mereka, bahkan mungkin akan menjadikan para penduduk Jinchang sebagai budak, kenyataannya untuk saat ini, hal itu terlihat lebih baik dibandingkan dengan melihat para warga tak berdosa tewas. "Ma-af-kan a-ku, tapi langit ... tidak menakdirkan Kitab Naga Bertuah denganmu," ucapnya tersendat-sendat. "Set*n!" umpat Wang Weo yang kemudian memberikan tendangan kuat ke perut Patriark Yong Yuwen hingga jatuh terpental ke belakang. "Bunuh semuanya! Jangan sisakan satu pun nyawa! Aku ingin mencium tajamnya wangi darah segar,
Kenyataannya, pedang Wang Weo sama sekali tidak membuat Huang Hua gentar. Tidak ada raut takut ataupun cemas dalam mukanya. Perempuan itu justru terlihat menyunggingkan senyum mengejek. "Sampai kapan pun kau tidak akan mendapatkan kitab itu. Ketahuilah, kitab itu berada di tangan yang benar. Jika waktunya telah tiba, dia akan datang padamu. Seorang pendekar pedang tanpa tanding, yang menguasai segala jurus pedang dalam Kitab Naga Bertuah. Lalu kalian akan ma-" Wang Weo tidak kuasa menahan tangannya untuk tidak menggorok leher jenjang Huang Hua. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dikatakan perempuan itu bisa saja terjadi. Dengan Kitab Naga Bertuah, pendekar selemah apa pun, bisa menjadi seorang pendekar tanpa tandingan. "Habisi semua penduduk Jinchang! Cari kitab itu di rumah-rumah warga, juga di dalam ruang bawah tanah!" Perintah dari Wang Weo menjadi akhir bagi kehidupan di Jinchang. Para pendekar dari sekte aliran hitam itu mengahabisi semua orang, baik bayi, bal
"Patriark! Patriark Yong! Patriark di mana?" teriak Genjo Li setelah memasuki ruang bawah tanah. Ia berjalan melewati mayat-mayat yang tergeletak tak terurus, seperti sesuatu yang tidak berharga. Sejujurnya, rasa mual menyergap pemuda itu akibat anyir darah yang begitu menyengat. Namun, kecemasan membuat Genjo Li tidak punya waktu untuk muntah. Sepanjang lorong ia susuri degan mata menggerayangi setiap mayat yang ia lewati, demi menemukan sang guru. Namun, jauh di halaman hatinya, Genjo Li sungguh berharap tidak ada Patriark Yong Yuwen di antara mayat-mayat itu. Ia berharap sang guru masih hidup. Pada akhirnya, lorong itu mengantarkan Genjo Li pada sebuah goa. Dengan langkah sedikit terhuyung, ia terus berjalan sampai ke ujung goa. Tepat ketika kakinya sampai di bibir goa, mata Genjo Li terbelalak mendapati banyaknya mayat yang berkali lipat jumlahnya daripada yang ia temui sebelumnya. Dengan suara parau dan nyaris tak terdengar, Genjo Li berkata, "Bagaimana mungkin
Samar-samar sinar matahari melewati celah-celah dedaunan. Pagi itu kicauan burung terdengar lebih nyaring, tetapi tidak membawa keceriaan. Sebaliknya, mereka seolah turut melantunkan nyanyian duka atas pemakaman sepasang suami istri yang tewas dalam pertempuran. "Aku tahu, Patriark dan Nyonya Yong adalah pasangan sejati. Bahkan meninggal pun bersama." Suara sendu itu terhenti sejenak. Sebelum akhirnya terdengar lagi dengan nada yang jauh berbeda. "Nyawa harus ditebus dengan nyawa!" ucapnya dengan gigi digertakkan. Benar, ucapan penuh kebencian itu terlontar dari mulut Genjo Li. Ia sampai mencengkeram bajunya sendiri untuk pelampiasan sesaat. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu bangkit dari duduknya. Kepalanya menoleh ke sekeliling karena suara derap langkah kaki kuda tertangkap oleh telinganya. 'Satu, dua ... ah, sialan!' batin Genjo Li mencoba menghitung banyaknya kuda yang berlari. Menurut hasil pendengarannya, setidaknya ada empat kuda yang melesat men