Share

Penguasa alam Moksa

Klamping ini sebenarnya adalah dasar dari bukit kapur kecil dan orang-orang disana menyebut kapur dengan Gamping sehingga lama kelamaan daerah ini sebagai Glamping dan berubah menjadi Klamping.

Pada awalnya memang Satya Wiguna sangat takut ketika di ajak oleh eyang buyutnya ketempat ini, akan tetapi lama kelamaan Satya menjadi terbiasa bahkan sangat menyukai tempat ini.

Mbah Wiguno mengajak menyeberangi sungai dengan melompati bebatuan sungai yang menonjol dengan di ikuti Satya kecil.

Dengan lincahnya keduanya berlompatan menuju ke arah dasar tebing Klamping.

Kemampuan Satya sendiri sudah sangat lincah di bandingkan dengan anak-anak kecil seusianya. Dan bahkan mungkin kekuatan dan kelincahannya sebanding dengan seorang pemuda.

Lembah Klamping sendiri merupakan bantaran sungai yang tidak banyak di manfaatkan oleh penduduk desa karena di anggap angker dan wingit, luasnya kira-kira sebahu menurut ukuran orang-orang desa.

Penduduk sekitar percaya bahwa tempat ini adalah tempat berdiamnya banyak makhluk-makhluk ghaib seperti siluman dan demit.

Disini ada juga sebatang kayu yang sudah sangat tua yang terletak di pinggiran sungai yang sudah ada entah sejak kapan yang di percaya penduduk secara turun-temurun sebagai badan dari ular yang terpotong yang dapat keluar darahnya jika dilukai.

Dan memang keberadaan kayu tua ini yang panjangnya kurang lebih lima meter dan berdiameter tujuh puluhan centimeter memang benar adanya.

Penduduk desa Landoh menyebutnya "Kayu Ulo" atau "Kayu Ular" dan memang kayu ini tidak pernah berpindah dari tempatnya walaupun di terjang banjir besar sekalipun. Hal ini benar-benar di luar logika penduduk desa.

Dan suatu ketika, Mbah Wiguno yang melintas dekat batang kayu ini mendadak ditegur oleh suara yang berat dan dalam.

"Sudah beberapa kali kamu melewati tempat ini, tapi kau tak menghiraukan aku Guno!" suara yang sangat dalam dan berat menegur Mbah Guno.

Mbah Wiguno segera menghentikan langkahnya!

"Oh, Naga Landoh! Maaf... Maaf," kata Mbah Guno seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di dada sambil menghadap batang kayu tua itu.

Dan tiba-tiba batang kayu ini sudah berdiri tegak! sehingga terlihat menjulang tinggi dan kini di ujung nya muncul sebuah kepala ular yang sangat besar.

Satya yang menyaksikan ini sangat takutnya, dia segera bersembunyi di balik tubuh Mbah Wiguna.

"Maaf Naga Landoh! Aku kira dirimu masih bertapa, sehingga aku tidak ingin menggangu tapa bratamu," kata Mbah Wiguna.

"Sebenarnya aku hanya penasaran saja dengan anak kecil yang selalu kamu ajak kemari Guno," kata ular naga raksasa ini.

"Aura bocah ini lain dari yang lain," lanjut si ular naga raksasa.

"Memang benar Naga Landoh, dia adalah cucuku yang sedang aku didik dan kelak jika sudah dewasa dia akan menggantikan kedudukanku di alam Sukma," jawab Mbah Wiguno.

Selanjutnya mereka berbincang tentang hal-hal yang tidak di pahami oleh Satya Wiguna.

Dan beberapa saat kemudian Mbah Wiguno mengajak Satya menuju sebuah goa yang terletak tidak jauh dari tempat itu, sedang-kan si ular raksasa telah kembali ke wujudnya semula! Sebatang kayu besar dan seperti sudah lapuk yang teronggok di pinggir sungai.

Sewaktu pertama kali ke tempat ini pada malam hari, Satya Wiguna sangatlah takut, sehingga selalu berada di belakang Mbah Guno dan memegang celana pendek selutut yang dikenakan Mbah Guno.

Apalagi ketika dilihatnya ada seonggok bayangan seperti orang berjongkok di kegelapan ketakutannya semakin bertambah.

"Ini pasti Genderuwo," pikir Satya , seperti cerita-cerita kawannya.

Akan tetapi Mbah Guno tampak tidak pernah takut akan apapun jua.

Dia berkata pada cucu buyutnya.

"Jangan takut Tole, ketakutanmu hanyalah karena bayangan-bayangan dari bentuk-bentuk pikiranmu saja, coba pikirkan menjadi bentuk-bentuk yang lucu saja atau hal-hal yang menarik," kata Mbah Wiguno.

"Jika Tole ( sebutan orang Jawa kepada anak atau cucu) menjumpai hal-hal ghaib anggaplah seperti itu juga.

Dan jika Tole suatu saat bertemu dengan sosok menakutkan seperti Genderuwo atau Banaspati, mereka sebenarnya juga sama seperti kita sebagai makhluk ciptaan Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi yang menciptakan semua alam semesta dan seisinya."

Mbah Wiguno memberikan wejangan-wejangan pada cucu buyutnya ini.

Dan ketika mereka sudah dekat dengan bentuk orang berjongkok tadi, dia segera sedikit membuka matanya dan melirik dari sudut matanya, karena sejak tadi dia memejamkan matanya sambil di seret oleh Mbah Wiguno, mbah buyutnya ini.

Segera di lihatnya kenyataan bahwa itu hanyalah pohon perdu saja.

Hatinya menjadi lega dan sudah berani berjalan sendiri tanpa menarik celana mbah buyutnya.

Begitulah sejak saat itu dia akan memandang hal-hal yang menakutkan menjadi hal-hal yang menggembirakan menurut pikirannya sendiri.

Ketika mereka sampai di bawah tebing berbatu kapur yang menjulang keatas setinggi puluhan meter.

Mbah Wiguno pun menghentikan langkahnya, kemudian menyibak gerumbul semak-semak belukar, sehingga tampaklah sebuah mulut goa yang hanya setinggi dada orang dewasa.

Mbah Wiguno segera mengeluarkan senter dan mengajak cucu buyutnya merangkak memasuki lorong gua yang sempit dan pengap.

Setelah merangkak lebih kurang lima belasan meter terdapat satu ruangan agak lebar yang berukuran kurang lebih dua kali dua meter.

Akan tetapi juga orang dewasa tidak bisa berdiri di ruangan ini.

Disudut ruangan ini terdapat sebuah pintu kayu yang kelihatannya sudah sangat kuno dan tua tapi masih terlihat kokoh dan kuat dengan terpasang sebuah gembok tua.

Mbah Wiguno segera mengeluarkan anak kunci yang juga terlihat sudah agak berkarat dan kuno.

Dibukanya pintu itu, Mbah Wiguno mengajak Satya untuk merangkak memasukinya.

Mbah Guno segera menutup kembali pintu dan menyelaraknya dari dalam.

"Ayo Tole kita bersemedi disini," ajak Mbah Wiguno pada cucu buyut kesayangannya ini.

"Akan aku ajak Tole ke tempat lain," kata Mbah Wiguno.

"Kemana Mbah?" Tanya sang cucu kepada eyang buyutnya ini.

"Nanti kamu juga akan mengetahuinya Le!" Jawab Mbah Wiguno.

Keduanya segera duduk bersemedi saling berhadapan. Setelah beberapa saat bersemedi dari tubuh Mbah Guno keluar cahaya kemerah-merahan melingkupi tubuh rentanya dan selanjutnya cahaya tersebut juga menjalari tubuh Satya yang bersemedi di depan eyang buyutnya tersebut.

Perlahan-lahan tubuh keduanya seperti bayangan dan secara bertahap berubah jadi cahaya sepenuhnya dan menghilang dari pandangan

Satya merasa mimpi melayang- layang di angkasa dan suatu saat jatuh cukup keras di bumi.

Ketika di bukanya kedua matanya, Satya Wiguna segera mendapati dirinya tengah duduk bersila di sebuah pendopo terbuka besar seperti pendopo di keraton.

Dan ternyata eyang buyutnya juga sedang duduk bersila di sampingnya, dan tampaknya sedang berbicara dengan seseorang yang duduk di sebuah kursi singgasana seperti pernah di lihatnya di pertunjukan ketoprak.

Selain Satya dan Mbah Wiguno, tampak di situ juga hadir beberapa orang yang semuanya duduk di depan orang yang berpakaian layaknya raja di ketoprak saja.

Satya memandang sekeliling dengan kaget, dia berpikir apakah dia diajak oleh eyang buyutnya ini nonton ketoprak?

Tapi kalo nonton ketoprak kok dirinya dan Eyang buyutnya berada di dalam nya? pikiran kecilnya pun berpikir begitu saja.

Nonton ketoprak! ya pasti dirinya sedang diajak nonton ketoprak bersama eyang buyutnya.

"Hamba sowan Kanjeng Surodilogo!" Mbah Wiguno menelangkupkan kedua telapak tangannya menyembah orang yang duduk di singgasana seperti singgasana ketoprak tersebut yang nampaknya bernama "Surodilogo!"

Ternyata itu adalah Pisowanan (pertemuan) Agung yang di lakukan di sebuah kerajaan antah berantah yang tidak di ketahui oleh Satya Wiguna.

"Ini adalah cucu buyut hamba kanjeng dan selanjutnya dialah yang akan meneruskan ilmu-ilmu hamba dan akan meneruskan posisi hamba di keraton ini, apabila Kanjeng Ratu Surodilogo merestuinya."

"Aku akan menerimanya dengan tangan terbuka Guno, akan tetapi nanti nya harus tetap diadakan ujian bagi cucu buyutmu itu jika waktunya telah tiba. Maka dari itu didiklah cucumu itu baik-baik," kata sang Ratu Surodilogo

Begitulah Pisowanan Agung itu berjalan cukup lama karena Sang Ratu Surodilogo mendengarkan juga laporan-laporan dari para pengikut setianya yang lain.

Satya Wiguna sudah tertidur dengan lelapnya dengan kepala bertelekan di paha Mbah Wiguno yang sedang duduk bersila.

Ketika Satya membuka matanya, tampak di sekitarnya gelap sekali, sehingga dia kaget dan takut dan spontan berteriak.

"Mbah, Mbah, Mbah dimana ini?" Tanya Satya ketakutan.

"Mbah disini Tole," Mbah Guno menepuk-nepuk bahu Satya untuk menenangkannya! Satya segera tenang ketika mendengan suara Mbah Guno.

Begitulah setiap malam selepas Isya, Satya selalu diajak Mbah Guno ke Klamping untuk diajarkannya dasar-dasar ilmu kanuragan.

***

Waktu berjalan dengan cepatnya, tanpa terasa hari-hari ujian akhir yang menentukan kelulusan dari sekolah dasar sudah hampir tiba, ibu sudah memperingatkan Satya untuk mengurangi bermainnya agar nanti ketika lulus bisa masuk ke SMP favorit sesuai keinginan sang ibu.

Tapi namanya anak laki-laki, pasti tidak akan betah belajar, hal ini juga terjadi pada Satya.

Dia jarang sekali belajar, kalau belajarpun hanya membolak-balik buku tanpa tahu apa yang di baca dan tanpa tahu apa yang harus dipelajari.

Walaupun begitu, selalu saja peringkat satu atau dua selalu saja bisa diraih.

Satya termasuk anak yang cukup pandai dan disayang para guru, di sekolah dasar ini selalu saja menjadi juara kelas, atau kadang di peringkat dua, dan itu menjadi siklus, kalo tidak peringkat satu ya dua.

Anak yang menjadi pesaing berat dalam hal kepandaian adalah teman perempuannya yang bernama Minarni.

Seorang gadis cilik yang beranjak dewasa dan banyak di idolakan teman-teman sekelasnya, termasuk Satya.

Walau bandel, Satya suka mengaji di mushola kepunyaan Pak Salim yang dekat rumahnya, mushola ini berada di perempatan jalan raya.

Setiap habis magrib dia pasti ikut mengaji di sana, dengan otak yang encer, ilmu agama yang di ajarkan cepat sekali mampir di otaknya.

Hari-hari terakhir mendekati ujian, Mbah Wiguno sudah tidak menghampiri Satya, karena sudah di beritahu oleh Ibu supaya jangan mengajak Satya lebih dahulu.

Dan Mbah Wiguno mengiyakannya.

Setelah masuk waktu Isya hari itu, Satya yang disuruh ibunya hanya membolak-balikkan bukunya saja tanpa tahu harus belajar apa.

Dia jadi jenuh, akhirnya dia menyelinap keluar rumah dan langkahnya pertama kali adalah ke rumah Hartono yang paling dekat dengan rumahnya, hanya berjarak kurang lebih lima puluhan meter terpisahkan oleh rel kereta api.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Brmgun Drrrk
menarik, masa kecil yang bahagia tanpa memikirkan urusan tetek bengek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status