Simon kini tidak hanya menguasai pasar, tapi ia merambah mulai ke sepanjang jalan yang terdapat banyak toko, rumah makan dan restoran. Anak buahnya semakin bertambah setiap hari.
Dia banyak mengalahkan preman-preman kecil yang akhirnya menjadi anak buahnya. Nama Simon semakin terkenal di kawasan itu.
"Setor, Bang."
Jika malam tiba, para anak buah Simon mulai menyetor uang hasil pajak dari pasar dan toko. Meski Simon dikenal kasar dan kejam, tapi ia adalah seorang yang adil dan tidak pelit. Dia akan membagi rata penghasilannya pada semua anak buahnya, dan kadang memberi bonus. Oleh sebab itu, semua anak buahnya menyukainya dan menjadi pengikut setia.
"Bang, aku dapat rejeki banyak tadi di pasar." Ryu mendekati Simon yang sedang menghitung uang.
"Dapat berapa?" tanya Simon tidak acuh.
"Dua ratus tiga puluh lima," jawab Ryu dengan wajah sumringah.
Simon menghentikan kegiatannya dan memandang Ryu.
"Berapa kali angkat barang bisa dapat segitu banyak?" Simon sedikit curiga.
"Cuma empat kali. Tapi tadi ada ibu-ibu baik banget. Mungkin dia kasihan, terus kasih dua ratus ke aku," jelas Ryu.
"Ini, Bang," lanjutnya sambil memberikan uang itu ke Simon.
"Napa lu kasih ke gue? Ya udah sono di tabung. Jangan boros," ujar Simon.
"Ini buat nyicil bayar sekolah sama beli perlengkapan seragam kemarin, Bang."
"Hei, bocah bego! Lu kira gue minta ganti rugi karena dah biayain lu sekolah? Udah sono sekolah yang bener. Pokoknya kewajiban lu cuma belajar dan sekolah. Biar ga sia-sia gue modalin lu sekolah. Udah sono pergi, ganggu aja."
Simon memukul kepala Ryu dengan buku yang dipegangnya. Sedang Ryu tersenyum dan pergi meninggalkan Simon.
Karena Simon sekarang dah jadi preman besar, maka tidak ada lagi satupun anak yang berani mengolok ataupun menyentuh Ryu.
Sedang dengan uang yang didapatnya hari ini, Ryu berencana untuk mendaftar les beladiri.
***
Rumah mewah dan besar itu terasa lengang. Terlihat hanya ada kesibukan di dapur.
Agatha sedang memasak makanan kesukaan Jason putranya dibantu Darmi, asisten yang juga sudah mengasuhnya sejak kecil."Stok untuk satu bulan sudah terbeli semua kan, Bi?"
"Sudah, Nya. Tadi di pasar rame banget. Dan ada tukang panggul seumuran Den Jason." Darmi berkata sambil melirik majikannya.
"Dua belas tahun dah jadi tukang panggul? Di mana orang tuanya." tanya Agatha sambil tangan masih sibuk meracik bumbu.
"Bapaknya baru saja meninggal, dan dia tidak punya Ibu. Usianya tiga belas tahun, Nya. Dan namanya ... Ryu," jelas Darmi, dan ketika menyebut nama Ryu, ia memelankan suaranya. Seakan takut ada yang mendengar.
Agatha menghentikan kegiatannya. Ia menatap Darmi yang sudah dianggap seperti Ibu kandungnya sendiri itu dengan sendu.
"Apa maksdumu, Bi. Anak itu pasti sudah mati. Dua belas tahun kita mencarinya, tapi tidak ada hasil. Mungkin itu hanya kebetulan saja, nama anak itu juga Ryu."
"Tapi tidak ada salahnya jika kita mencari tahu, Nyonya. Saya yakin anak itu masih hidup. Lagipula ...."
"Cukup, Bi. Semua usaha sudah aku lakukan untuk menemukannya, tapi tidak ada titik terang sama sekali. Lagipula aku juga sudah melupakan anak itu." Agatha sedikit marah pada Darmi.
"Ini Bibi yang teruskan. Aku mau istirahat." Agatha meninggalkan Darmi yang diam mematung.
Darmi menatap potongan ayam yang akan dimasak menjadi ayam asam pedas di depannya.
"Bahkan makanan kesukaan Lingga saja, kamu masih membuatnya setiap hari. Bagaimana kamu bisa pmelupakan anak itu?" gumam Darmi pada dirinya sendiri.
Darmi ingat saat itu, tiga belas tahun yang lalu.
Di tengah hujan deras, dia menggendong seorang bayi merah yang baru saja dilahirkan Agatha, keluar dari rumah Tuan Prayoga.Tuan dan Nyonya Prayoga tidak menginginkan bayi itu. Karena bayi itu benih dari Lingga, putra orang yang sangat di benci Tuan Prayoga. Dia menyuruh Darmi dan Parman untuk membawa bayi tak berdosa itu ke panti asuhan.
Dengan dipayungi oleh Parman, ia masuk ke dalam mobil. Ia mendekap erat bayi itu. Darmi menangisi keadaan nasib anak itu. Dia baru saja dilahirkan, dan Agatha baru saja menyusui sebentar lalu Ayahnya, Tuan Prayoga dengan kejam memisahkannya.
Di tengah hujan deras dan guntur menggelegar, mobil Parman meluncur pergi membawa Darmi dan bayi itu. Berkali-kali Darmi menciumi bayi itu. Bahkan bau amis darah bayi itu belum hilang.
Darmi mengambil seuntai kalung liontin milik Agatha, lalu memasangkan pada leher si bayi. Ia berharap, suatu hari nanti Agatha bisa menemukannya kembali melalui kalung itu. Dan juga bayi itu mengenakan baju dengan rajutan namanya yang di buat sendiri oleh Agatha.
Agatha yang menjahit sendiri baju kecil itu dan menuliskan namanya dibalik baju itu dengan rajutan.
Ryu
Yang berarti naga. Nama itu pemberian dari Lingga, Ayahnya, yang menghilang tepat satu minggu sebelum Agatha melahirkan.
Tiba-tiba Parman menghentikan mobilnya secara mendadak. Ia merasa baru saja menabrak sesuatu. Parman keluar untuk melihat apa yang baru saja ditabraknya.
Ternyata itu hanya batang pohon yang agak besar tapi diberi kain hitam, jadi mirip manusia. Parman hendak masuk lagi ke dalam mobil, ketika dia merasa ada benda yang dingin menyentuh lehernya.
Beberapa orang laki-laki menodongkan pisau ke arah Parman. Lalu seorang lagi membuka pintu mobil di mana Darmi berada dan merebut bayi itu dari gendongannya.
Darmi mencoba mempertahankan bayinya, namun usahanya kalah kuat dari lelaki itu. Malam itu, tepat pukul 01.45, saat hujan deras mengguyur bumi, putra Agatha hilang diculik orang tidak dikenal.
Tiga tahun kemudian.Ryu sudah masuk ke Sekolah Menengah Umum. Ia masuk ke sekolah elit dan bergengsi karena beasiswa. Dan lagi, ia jadi satu dengan Jason dan Bella."Ingat ya, itu sekolah elit. Baik-baik lu di sana, jangan bikin masalah. Bersyukur dapat beasiswa selama tiga tahun. Pertahankan prestasi lu," ujar Simon tersenyum bangga."Pasti, Bang. Gue ga akan ngecewain Abang," sahutnya."Bang, ada yang nyari." Dipa anak buah Simon masuk dalam rumah."Siapa?""Seorang pemuda. Ga tahu juga gue, baru lihat sekarang," timpal Dipa."Ya udah suruh masuk."Dipa keluar dan tidak lama kemudian, ia muncul lagi dengan seorang pemuda tampan."Hallo, Bang." Pemuda itu tersenyum hangat. Netranya tajam dan dingin. Bibirnya tipis dan ada seringai setiap ia tertawa.Simon mengamati dan mencoba mengingat pemuda di depannya."Deri?" serunya ragu."Iya, Bang. Ini Deri, adik Devira." Kemudian Simon mendekat
Mentari tersenyum ceria menyambut pagi. Ryu berlari tergesa karena waktu telah menunjukkan pukul 06.50. Ia memasuki gerbang SMU Pelita Jaya, sebuah sekolah elit dan bergengsi.Sepuluh menit lagi, gerbang akan ditutup. Ia tidak boleh terkena sanksi keterlambatan lagi karena sebentar lagi akan naik ke kelas dua. Tinggal satu minggu lagi untuk menghadapi ujian semester akhir.Ryu masuk kelas dengan napas memburu, tepat bel tanda masuk sekolah berbunyi."Olahraga pagi lagi?" sindir Bella sinis. Ryu hanya mengedipkan mata kirinya pada gadis cantik itu.Bella menatapnya malas dan kembali fokus pada buku di depannya."Nih, buat lu," ujar Bella menyerahkan sebuah undangan bersampul ungu muda pada Ryu setelah bel istirahat berbunyi."Apa ini?""Undangan pernikahan gue," ketus Bella.Ryu tertawa, gadis jutek di depannya ini tidak berubah sama sekali sejak mereka pertama bertemu saat kelas satu Sekolah Menengah Pertama d
Keadaan semakin memanas karena Dean berteriak dan terus memaki Ryu. Pria itu seperti tidak bisa mengendalikan diri. Ayah Bella yang sedari tadi diam akhirnya turun tangan mencoba menenangkan sahabatnya itu.Kemudian Ryu dan Jason dibawa ke dalam salah satu ruangan hotel untuk dimintai penjelasan."Saya akan bertanya pada setiap salah satu dari mereka. Dan untuk yang tidak ditanya, saya tidak ingin mendengarkan apapun darinya." Ayah Bella mencoba bersikap sebijaksana mungkin.Beberapa orang yang hadir di ruangan itu diam dan mencoba menyimak. Hanya Dean yang terlihat tidak sabar dengan wajah memerah murka."Jason. Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Ayah Bella lembut."Dia sengaja menabrakku, Om. Saat ku tanya baik-baik, dia ga terima lalu memukuliku," jawab Jason dengan melirik sinis pada Ryu.Ayah Bella menghela napas panjang dan akan mulai beralih pada Ryu, ketika Dean tiba-tiba berteriak. "Sudah jelas anak itu yang
Pagi yang sedikit kelabu dengan mentari yang bersinar malu-malu.Bella berjalan sepanjang koridor sekolah dengan mendendangkan sebuah lagu. Bel tanda masuk berbunyi, tepat saat Ryu berhasil masuk ke dalam gerbang yang sudah mulai ditutup."Bella!" teriak Ryu saat melihat Bella yang berjalan dengan santai.Gadis itu menoleh ke arahnya."Tumben bisa ngelewatin gerbang dengan mulus," sindirnya.Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Bell ... m-m yang kemarin, aku beneran minta maaf ya.""Apa sih, ga penting juga," jawab gadis itu jutek."Ya ga enak aja, Bell. Sama Bokap lu, terutama.""Udahlah. Papa juga tahu kok gimana sikap Jason. Dah, masuk yuk."Bella menggandeng tangan Ryu berjalan menuju kelas. Ryu agak sedikit terhenyak dengan sikap gadis itu. Namun sedetik kemudian, pemuda berwajah oriental itu tersenyum..Rintik hujan membasahi bumi pada siang harinya
Perseteruan antara Ryu dan Jason semakin memanas. Jason selalu mencari gara-gara dan kesalahan pada Ryu. Pemuda itu seperti tidak terima telah dipermalukan saat berada di pesta Bella. Namun Ryu selalu menghindar darinya. Bukan karena dia takut pada Jason, tapi karena dia menghormati Agatha, Mami Jason yang telah begitu baik padanya.Saat makan siang di restoran itu, Agatha berulang kali meminta maaf padanya atas sikap buruk suami dan putranya. Wanita berkelas itu, bahkan tidak menyinggung sama sekali tentang tuntutan yang akan dilakukan oleh suaminya. Dia begitu lembut dan hangat pada Ryu.Bahkan Ryu mulai menyayangi wanita ituKelas dua di semester satu.Ryu mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, karena dia menyukai sains. Sedangkan Bella ambil kelas bahasa Inggris. Jason juga mengikuti Bella. Anak itu seperti tidak ingin jauh dari gadis berlesung pipit di pipi kiri itu. Dan sikap Jason itu semakin membuat Bella muak. Dia
Simon semakin gencar mengumpulkan pengikut. Dia merekrut banyak preman pasar dan jalanan dan di bagi menjadi tiga kelompok.Satu kelompok, berisi orang-orang terpilih, setia dan tidak takut mati. Kelompok yang lain, terdiri dari para preman yang berani dengan badan kekar dan pandai beladiri. Dan kelompok satu lagi terdiri dari para preman biasa yang sok jago dan tukang palak.Dipa, Hamdan dan Bono membawa mereka menggunakan sebuah Bus, entah kemana.Ryu hanya melihat mereka tanpa berani bertanya sedikitpun pada Simon."Lu beli makan, sono," perintah Simon sambil memberikan selembar uang merah pada Ryu.Gegas, pemuda itu pergi ke warung makan terdekat.Saat kembali ke rumah, Simon sudah pergi menggunakan sebuah mobil. Ryu memakan sendiri nasi yang tadi dibelinya.Ketika dia makan dengan lahap, seorang anak kecil lewat di depannya dengan menatap sendu ke arahnya. Anak itu menelan ludah melihat Ryu yang makan deng
Aroma obat khas rumah sakit menyengat masuk indra penciuman. Ryu duduk termenung di sebuah bangku luar ruangan Unit Gawat Darurat.Terdengar derap langkah kaki mendekat padanya."Hei, kamu!" teriak seorang pria padanya.Ryu mendongak dan terlihat, Ayah Jason memasang wajah murka padanya."Apa yang kamu lakukan pada anakku?" Bentaknya menbuat beberapa orang menoleh padanya."Dean, ini rumah sakit, kendalikan dirimu." Agatha mencoba menenangkan suaminya."Lebih baik kita masuk dan tanyakan pada Jason." Wanita itu menarik lengan suaminya.Ryu hanya menatap mereka dengan gamang. Seorang pria paruh baya mendekatinya."Kamu ...."Pria itu menatap Ryu tak yakin."Ya, Pak. Ada apa?" sapa Ryu sopan."Kamu bukanya bocah yang dulu jadi kuli panggul di pasar?" Pria itu semakin mendekat dan mengamati dengan seksama wajah pemuda di hadapannya."Iya. Oh, mungkin bapak dulu pernah jadi langganan saya, ya
Malam yang cerah dengan kerlip bintang bertaburan di angkasa.Sebuah mobil sedan warna hitam berhenti di tepat di depan rumah bedeng. Terlihat dua orang laki-laki turun dari mobil itu."Kenapa gelap sekali? Ryu! Di mana kamu," teriak Simon sambil menggedor pintu dari seng."Berisik banget sih lu." Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah bedeng sebelah."Dimana Ryu, Nek?" tanya Simon pada si wanita tua."Emang gue neneknya. Ya kagak tahulah. Anak tengik itu dah dua hari kagak pulang.""Dua hari kagak pulang?" Simon tertegun."Kemarin terakhir gua ke sini, dia baik-baik aja, Bang," jawab Dipa cemas."Dua hari ini ada wanita kaya, cantik, berdiri di sini kek orang bingung. Waktu gue tanya, dia bilang cari pemilik rumah. Nah pemilik rumah kan, elu, Mon.""Wanita cantik sapa, Nek? Dia bilang apa ama lu, Nek?" Simon mengernyitkan keningnya."Ya gue kagak tahu, dodol. Dia bilang cari pemilik