Janice dipaksa mengikuti Jason ke apartemen Vania. Begitu keluar dari lift, dia langsung melihat jejak darah di lantai dan cat merah di pintu. Semuanya sangat mencolok dan mengerikan.Belum sempat Janice bereaksi, Jason sudah bergegas masuk ke apartemen. Dia disambut oleh teriakan kesakitan seorang pria dan tangisan Vania.Vania berujar, "Jason, aku takut banget! Aku takut ...."Suara tangisannya menyadarkan Janice. Dia pun segera masuk ke dalam apartemen. Pemandangan yang Janice lihat adalah seorang pria tergeletak di lantai dengan wajah garang. Mulutnya penuh darah dan tangannya masih mencengkeram pisau.Di seberangnya, Vania memegang lengannya yang berdarah. Dia terlihat lemah di pelukan Jason. Wajahnya yang cantik sangat sedih.Pria itu terus menghina Vania, "Dasar wanita murahan! Kamu jago di ranjang, kenapa nggak biarkan aku menikmatinya juga? Padahal kamu memang wanita seperti itu!"Vania menangis dengan sedih. Dia membalas, "Nggak, bukan seperti itu. Aku bukan ...."Pria itu te
Janice hanya bisa menyaksikan dirinya sendiri berdarah. Sementara di seberangnya, Jason menarik Vania ke belakangnya untuk melindunginya.Di belakang Jason, wanita itu tersenyum. Janice melihat pemandangan itu dengan wajah pucat, lalu tersenyum pahit ....Tak lama kemudian, polisi tiba di tempat kejadian. Salah satu dari mereka bertanya, "Siapa yang lapor polisi?""Aku," jawab Jason. Dia dengan dingin menunjuk Janice, lalu menambahkan, "Dia pelakunya, cepat dibawa pergi."Polisi melihat luka di tangan Janice. Salah satu dari mereka berucap dengan terkejut, "Banyak sekali darah. Kami harus membalut lukanya dulu."Namun, Jason bahkan tidak meliriknya dan malah berbicara dengan tegas, "Bawa dia pergi. Dia harus tanggung sendiri akibat dari perbuatannya."Usai pria itu berkata demikian, Janice langsung diborgol. Salah satu polisi khawatir dengan keadaannya sehingga menggunakan perban untuk menghentikan pendarahan di lukanya.Saat perban ditekan ke luka, Janice merasakan sakit yang luar bia
Ivy buru-buru tiba di kantor polisi. Saat melihat tangan Janice yang terluka, wajahnya langsung pucat ketakutan.Ivy bertanya, "Apa yang terjadi? Baru keluar dari rumah sakit, kok sudah terluka lagi? Kamu ini seorang desainer, tanganmu sangat penting!"Janice jelas mengerti betapa pentingnya hal itu, lalu apakah Jason tidak mengerti? Dia tetap saja menendang pria itu ke arahnya. Jika begitu, biarlah masalah ini berlanjut.Janice mengusap rambutnya sambil berucap, "Aku baik-baik saja. Bu, aku nggak bertele-tele lagi. Apa hal yang kuminta kamu tanyakan sudah ada jawaban?"Ivy menggenggam tangan putrinya dengan penuh kekhawatiran. Dia menangis karena sakit hati. Setelah beberapa saat, dia baru bisa menjawab, "Sudah. Lihatlah ini."Ivy mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan isinya hanya kepada Janice. Setelah melihatnya, Janice justru merasa sedikit lega. Dia berucap, "Ternyata benar."Ivy mengerucutkan bibirnya, lalu bertanya, "Janice, sekarang gimana? Baru saja masalah Calvin selesai, ka
Janice membalas, "Ini bukan soal dia dan Calvin yang berbeda. Ini karena dia berbeda denganku. Dia suci, mulia, dan dia adalah wanitamu. Kalau aku?""Aku bukan siapa-siapa. Jadi, aku nggak pantas bersaing sama Vania, nggak pantas melawan, dan nggak pantas membela diri. Aku harus tunduk, menerima nasib, menyerahkan segalanya, dan mengakui semua kesalahan. Benar, 'kan?" tanya Janice."Jason, apa kamu pernah berpikir setelah aku melakukan semua itu, apa yang akan terjadi? Apa kalian akan melepaskanku begitu saja? Jadi, apa yang harus kulakukan? Mati saja?" tanya Janice.Setiap kata Janice menusuk hati. Setelah mengatakannya, dia sendiri malah tertawa. Dia mengangkat tangan yang terluka di hadapan Jason dan menggoyangkannya, lalu melanjutkan, "Cuma beberapa milimeter lagi, sarafku akan putus. Kamu pasti kecewa, 'kan?"Janice melanjutkan, "Kalau tanganku hancur, Vania akan jadi satu-satunya wakil kampus dalam kompetisi. Setelah itu, opini di internet akan berbalik.""Mereka akan bilang aku
Janice berpikir sejenak dengan tenang, lalu mendekat ke satu-satunya polisi bisa dia percaya dan memberi tahu, "Maaf, bisa tolong ....""Oke," jawab Priska sambil mengangguk. Setelah memberikan semua instruksinya, Janice merasa lega.Supaya tidak membuat Priska berada dalam situasi sulit, dia menarik napas dalam sebelum berucap, "Aku sudah kasih tahu semuanya. Aku nggak bakal membiarkanmu menyinggung orang lain. Silakan tangani aku sesuai prosedur."Priska bersikap baik pada Janice. Jika sampai dia terlibat masalah dengan Jason karena dirinya, tentu saja Janice akan merasa tidak enak. Itu sebabnya, Janice mengangkat tangan yang diborgol dengan patuh.Priska menatapnya dengan ragu, lalu tiba-tiba berucap sambil tersenyum, "Sebenarnya ...." Dia mulai berbicara, tetapi setelah itu menjadi ragu dan tidak melanjutkan ucapannya.Kemudian, Priska bertanya dengan makna yang mendalam, "Kamu nggak merasa lebih aman tinggal di sini?""Aman?" Janice sedikit bingung, tetapi dia tetap membalas sambi
"Nona Janice, sebagai pengacara, aku harus dengan bertanggung jawab memberitahumu bahwa ini adalah hasil terbaik untukmu," ucap Wilson dengan tak acuh. Dia seolah yakin bahwa Janice yang tidak memiliki dukungan hanya bisa menerima nasibnya.Janice menutup naskah pidato itu dan menatap Wilson tanpa berkata apa-apa. Di bawah tatapan Janice yang tegas, Wilson tiba-tiba merasa sedikit tidak yakin."Nona Janice, kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Wilson."Pak Wilson, seingatku kamu pernah dikejar-kejar karena bantu orang miskin menangani kasus secara gratis. Itulah yang bikin Keluarga Karim menghargaimu, 'kan?" tanya Janice dengan nada lembut.Wilson tertegun sejenak. Masa lalunya itu hanya diketahui oleh Jason dan Anwar. Lantas, bagaimana Janice bisa mengetahuinya?Sebagai pengacara yang berpengalaman, Wilson dengan cepat kembali tenang. Kemudian, dia bertanya, "Memangnya kenapa?"Janice berucap, "Ketika mengatakan semua ini padaku, apa hatimu merasa tenang? Lupakan soal kasus Vania
Jason tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya melirik sekilas ke arah Janice dengan ekspresi yang makin dingin. Pria itu memancarkan sikap yang jelas melarang orang mendekat. Di dalam hati, Janice mencibir. Itulah Jason yang dia kenal.Pada saat itu, terdengar suara tegas dan tajam dari belakang. "Janice, kenapa masih berdiri di sana? Semua orang lagi menunggumu." Anwar yang berbicara demikian.Janice berbalik dan melihat bahwa di belakang Anwar, ada ibunya dan Zachary. Biasanya, dua orang ini sama sekali tidak punya posisi penting dalam acara sebesar ini.Tidak disangka, kali ini mereka muncul di situasi yang sangat tidak menyenangkan. Jelas, Anwar khawatir bahwa Janice akan berubah pikiran dan menolak untuk naik panggung."Janice ...." Zachary terlihat serius dan mencoba mendekat untuk melindungi Janice.Namun, Janice segera menggeleng padanya sambil berujar, "Cukup temani ibuku saja."Di bawah tatapan peringatan dari Anwar, Janice akhirnya naik ke panggung. Di antara hadirin, Calvin yan
Tubuh Kevin tiba-tiba menegang dan wajahnya memucat. Dia menunjuk layar dengan panik sambil bertanya, "Memangnya kenapa? Bukannya ini justru menunjukkan bahwa Nona Janice kasih informasi palsu padaku buat fitnah Nona Vania?"Banyak orang di sekitar mengangguk setuju. Namun, Janice malah menatap Vania dengan tenang sambil bertanya, "Vania, bukannya kamu yang paling tahu siapa sebenarnya yang kasih informasi ke wartawan? Kenapa kamu diam saja?"Vania terlihat panik. Dia buru-buru menjawab, "Apa hubungannya denganku? Bukan aku!"Janice terus menatapnya sambil bertanya, "Vania, apa aku pernah bilang bahwa ini ada hubungannya denganmu?""Aku cuma bilang bahwa kita sudah jelas membahas semua ini di kantor Pak Hamdan waktu itu. Jadi kenapa ketika para wartawan dan penggemarmu salah paham tentangku, kamu nggak menjelaskannya?" tanya Janice."Aku ... aku ...." Vania tidak bisa menjawab dan memilih untuk menangis.Janice berucap dengan nada peduli, "Vania, jangan nangis. Nanti, orang-orang kira
Saat Janice buru-buru tiba di rumah sakit, dia langsung melihat sekelompok wartawan mengerumuni dua sosok yang baru saja keluar dari pintu utama.Jason dan Rachel.Rachel memeluk buket mawar di lengannya, pipinya merona karena malu. Seorang wartawan bertanya, "Bu Rachel kenapa dirawat di rumah sakit?"Rachel tampak agak terkejut, lalu refleks menggenggam erat buketnya dan melirik ke arah Jason.Jason melindunginya dengan satu tangan dan menjawab dengan tenang, "Nggak ada masalah besar, cuma pemulihan."Mendengar kata pemulihan, semua orang langsung berpikir tentang pernikahan mereka yang akan berlangsung dalam waktu dekat. Seketika, mereka memahami maksud pernyataan Jason.Wartawan tersenyum dan bertanya lebih jauh, "Sepertinya Pak Jason menantikan kabar bahagia ya."Jason tidak menjawab, tetapi sikap diamnya dianggap sebagai persetujuan. Saat Rachel menyadari bahwa semua orang mulai menatap perutnya, wajahnya semakin memerah.Begitu masuk ke mobil, Rachel tanpa sadar menyembunyikan wa
Saat Rachel berhasil diselamatkan, langit malam yang kelam mulai memudar sedikit demi sedikit. Jason bersandar di jendela, memainkan rokok yang sudah lemas di antara jarinya.Arya menatapnya dengan serius. "Dia selamat, tapi tetap saja, sebaiknya lebih berhati-hati ke depannya.""Mm." Ekspresi Jason tetap datar, matanya tertunduk, bayangan dari bulu matanya menambah kesan gelap di wajahnya.Beberapa saat kemudian, Landon membuka pintu dan masuk. Dia terlebih dahulu melihat keadaan Rachel, lalu berjalan ke arah Jason."Terima kasih."Jason tidak menjawab.Landon merapikan tirai di sekitar ranjang Rachel, lalu membuka sedikit jendela, kemudian mengambil dua batang rokok dan menyodorkannya ke Jason serta Arya. Jason tidak mengambilnya.Arya menyadari ada sesuatu yang perlu dibicarakan antara keduanya, jadi dia beralasan, "Aku masih ada pekerjaan. Kalian ngobrol saja dulu."Setelah Arya pergi, Landon menyalakan rokoknya di dekat jendela dan membiarkan asapnya perlahan-lahan menyebar ke uda
Janice tidak mengerti maksud kata-kata Jason. Namun, sebelum dia sempat bertanya, Jason buru-buru menjawab telepon. Dari seberang, terdengar suara lembut Rachel."Kapan kamu pulang? Aku tungguin.""Sebentar lagi."Bahkan Jason sendiri tidak sadar, nada bicaranya jadi lebih pelan saat menjawab panggilan tersebut. Tangannya juga refleks melepaskan lengan Janice.Janice menunduk sambil mengusap pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, dia turun dari mobil dan pergi.Saat Jason menutup telepon, dia baru menyadari bahwa Janice sudah menghilang. Dia menoleh ke arah Norman. "Kapan dia pergi?"Norman hanya bisa menghela napas. "Waktu Pak Jason menjawab telepon.""Apa yang dia bilang?""Bu Janice ... nggak bilang apa pun." Suara Norman jadi semakin pelan.Mendengar ucapan itu, Jason bersandar ke belakang dan tubuhnya tersembunyi dalam kegelapan. Dia tetap diam sambil menyalakan sebatang rokok. Auranya menjadi mencekam dan tidak bersuara sama sekali."Ayo jalan. Besok, pesankan satu buk
Pria yang menjadi pemimpin di antaranya, menghajar wajah pria VIP itu hingga batang hidungnya patah."Jangan sentuh orang yang nggak seharusnya kamu sentuh," ucapnya memperingatkan."Baik, aku nggak berani lagi," mohon pria VIP itu sambil berlutut. Kini dia tidak lagi terlihat angkuh seperti sebelumnya.Arya melontarkan godaan, "Sepertinya ada yang bantu seseorang untuk balas dendam." Sambil berkata demikian, dia melirik ke arah Janice dan bertanya, "Sudah lebih puas sekarang?"Janice terkekeh-kekeh, "Oh, tentu saja. Aku bahkan pengen ngasih plakat penghargaan sama orang itu sebagai pahlawan pembasmi kejahatan."Siapa pun bisa mendengar sarkasme dalam kata-katanya.Arya mengerutkan kening. "Dia sudah dipukuli sampai begitu, kamu masih nggak senang? Bukannya dia baru saja melecehkanmu?"Janice menjelaskan dengan tenang, "Nih kukasih contoh yang mungkin agak kurang sopan ya. Kalau dia perkosa seseorang, kenapa harus balas dendam setelahnya, padahal bisa nolong dia di saat kejadian?""Ada
Janice terbentur ke bahu Jason.Meskipun pencahayaan di bar cukup redup, dia masih bisa merasakan tatapan pria itu yang menunduk ke arahnya. Di balik matanya yang hitam pekat, ada sesuatu yang berkecamuk. Pada akhirnya, dia hanya menelan ludah pelan."Kenapa takut?" Suara Jason rendah dan serak, terdengar seperti sedang menahan diri.Janice menundukkan matanya sesaat, lalu segera menatapnya dengan tenang. "Orang yang lebih muda memang seharusnya bersikap seperti ini di hadapan seniornya, 'kan?"Jason menatapnya dengan lekat, memperhatikan setiap perubahan sekecil apa pun dalam ekspresinya. Aura tekanan dari dirinya begitu kuat hingga membuat orang sulit bernapas.Namun, Janice hanya menatapnya dengan kebingungan dan tanpa emosi apa pun.Jason mendengus dingin, seolah-olah sedang mengejek dirinya sendiri dan bercampur emosi lain yang rumit. Namun, dia tetap tidak melepaskan genggamannya.Dengan ekspresi datar, dia bertanya, "Aku sudah bantu kamu. Sekarang, seharusnya kamu juga bantu aku
Janice menolaknya dengan sopan. Biasanya, pria kaya seperti ini punya harga diri yang tinggi dan tidak akan memaksa jika ditolak dengan baik. Namun, kali ini dia salah perhitungan.Pria itu meneguk sedikit minumannya, lalu menyeringai sinis. "Terus saja pura-pura. Aku sudah perhatiin kamu sejak kamu masuk. Kamu sendirian.""Dia akan segera datang," jawab Janice dengan tenang."Baiklah, aku mau lihat kapan pacarmu akan muncul." Pria itu jelas sudah berpengalaman menghadapi penolakan seperti ini dan tidak termakan oleh alasan Janice.Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Janice diam-diam menekan panggilan cepat ke Landon di dalam tasnya. Landon seharusnya masih ada di sekitar area ini.Namun, tidak ada respons.Pria itu tampaknya menyadari kegelisahan Janice. Dia melangkah maju dengan perlahan dan menunjuk ke dalam bar."Teman-temanku ada di meja itu. Ayo gabung minum sama mereka.""Nggak usah. Sudah kubilang, pacarku datang sebentar lagi," Janice tetap menolak.Ekspresi pria itu langs
Begitu menyebut nama Ivy, mana mungkin Anwar tidak langsung mengerti maksudnya? Dia dan Elaine saling bertukar senyum penuh arti."Bu Elaine, kalau urusan ini berhasil, aku akan berikan yang kamu inginkan.""Terima kasih, Pak Anwar."Setelah menyelesaikan pembicaraan, Elaine berbalik untuk pergi. Namun, sebelum benar-benar melangkah keluar, dia sempat menoleh ke arah perginya Zachary dan Ivy.'Zachary, kamu pasti akan menyesal telah memilih Ivy!'....Di perjalanan menuju restoran, Janice menyempatkan diri melakukan panggilan video dengan Ivy.Dalam video, Ivy dan Zachary terlihat begitu mesra hingga Janice sendiri merasa tidak nyaman memperlihatkannya kepada Landon. Setelah mengobrol sebentar, dia pun segera menutup panggilan.Landon terbatuk pelan. "Mereka kelihatannya mesra banget ya.""Ya." Janice mengangguk."Sebenarnya, kamu juga bisa seperti itu."Mendengar kata-kata itu, Janice menoleh dan menatap Landon. Dia berkata dengan serius, "Pak Landon, kamu juga tahu situasiku sekarang
Orang yang berdiri di sana adalah Zachary dan Ivy.Zachary mengeluarkan sekotak camilan dari mantel panjangnya. Meskipun jaraknya cukup jauh, Elaine merasa seolah-olah dia masih bisa melihat uap hangat yang mengepul dari camilan tersebut.Bertahun-tahun lalu, Zachary juga melakukan hal yang sama untuknya.Saat itu, dia masih seorang mahasiswi, sementara Zachary sudah menjadi sosok penting yang memimpin salah satu cabang perusahaan keluarga. Dulu, Zachary bukanlah pengecut seperti sekarang.Apa pun yang diinginkan Elaine, dia cukup menelepon Zachary dan pria itu akan menunggu di depan sekolah dengan makanan favoritnya di tangan.Namun sekarang ....Ivy menatap Zachary dengan ekspresi penuh kagum, seperti gadis kecil yang sedang jatuh cinta. Elaine tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi dari gerakan bibir Ivy, dia bisa melihat bahwa Ivy sedang memanggilnya "Sayang".Huh! Memangnya wanita itu pantas?Zachary mengatakan sesuatu, lalu menggenggam tangan Ivy dan berjalan perg
Mendengar kata-kata Elaine, tangan Rachel gemetar dan teh di cangkirnya tumpah ke meja. Dia buru-buru meraih tisu dan menunduk untuk mengelapnya.Melihat reaksinya, Elaine langsung memahami situasinya. Volume suaranya langsung naik, "Dia nggak pernah menidurimu!""Bibi! Ini urusan pribadiku! Bisa nggak kamu nggak usah nanya?" Rachel panik. Tangannya sibuk mengelap meja, tetapi airnya malah tersebar ke mana-mana, bahkan ada beberapa tetes yang mengenai kakinya.Air menetes menuruni ujung roknya. Namun, dia tidak bisa merasakan apa-apa dari lutut hingga ke bawah. Dia menatap kaki palsunya. Gerakan tangannya berhenti, ekspresinya pun semakin muram.Jason memang tidak pernah menyentuhnya.Jika dia tidak menyentuhnya karena jijik dengan keadaannya yang cacat, Rachel bisa menerimanya. Hanya saja, Jason selalu bersikap baik padanya. Kadang, ketika kaki palsunya terasa tidak nyaman, Jason bahkan berjongkok untuk membantunya memperbaiki posisinya.Di matanya, tidak pernah ada rasa jijik. Namun,