Olivia semakin meringkuk terpojok ketakutan di sudut ruangan dengan menutup kedua telingannya rapat-rapat seolah tidak mau mendengar suara Daniel sedikit pun.
“Pergi dari sini atau perlu aku panggil satpam untuk mengusirmu!” pekik William dengan garang seraya menatap Daniel dengan tajam.
“Kau tidak perlu repot-repot aku bisa pergi sendiri dan sampai jumpa lagi dalam waktu dekat.” Daniel menyeringai namun entah mengapa sorot matanya malah mengarah kepada Olivia, lalu ia pergi dengan tenang seolah tidak menciptakan keributan sama sekali.
William mengeratkan jemari tangannya, menahan gejolak kemarahan yang terasa meluap-luap pada Daniel. Lalu dengan hati-hati William membantu Olivia untuk bangkit dan mendudukannya di sofa.
Tubuh Olivia masih bergetar, matanya tertutup rapat, kedua tangannya masih menyumbat masing-masing lubang telinganya.
Hati William mendadak terasa seperti diremas-remas, dengan pilu ia tatap wajah Olivia lalu ia rengkuh tubuh wanita itu dengan erat.
“Apa yang pernah dia lakukan padamu? Kenapa kamu sangat ketakutan seperti ini?”
Mendengar kalimat itu Olivia kembali menangis sejadi-jadinya.
“Maafkan aku Will…,” ucapan Olivia tertahan, remasan tangannya pada pakaian William semakin mengerat. “Karena menyelamatkanku dari pria itu kamu jadi harus mengalami ini….”
“Kalau aku memang menyelamatkanmu, bukankah itu pilihanku jadi kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri.”
Tangis Olivia semakin pecah, air mata kesedihan dan rasa bersalahnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Hanya permintaan maaf yang terus terucap dari mulut Olivia.
Olivia memeluk William semakin erat tanpa menyadari bahwa luka jahitan di perut William tanpa sengaja tertekan oleh tangannya.
“Ah…,” ringis William seraya menyentuh luka jahitan di perutnya.
Olivia tersentak, tentu saja Olivia mengetahui luka itu, ia sangat mengetahuinya sebab kedua tangannya lah yang menorehkan luka tersebut pada tubuh William. Pelahan Olivia melepaskan pelukkannya pada tubuh William dan menjauhi pria itu.
William yang masih meringis, menatap Olivia dengan bingung, “Aku baik-baik saja, sepertinya aku terlalu banyak bergerak jadi….”
“Sepertinya aku harus pergi,” sela Olivia.
Baru saja William membuka mulutnya dan hendak mencekal lengan Olivia, wanita itu sudah berlari keluar dari ruangan dengan air mata yang berderai membasahi wajahnya.
“Oliv…,” ucapan William terhenti saat kedua bola matanya menangkap benda berkilau yang teronggok di lantai ruangan.
William pun memungutnya dan terlihat sebuah kalung berliontin bulan sabit dengan bingkai indah mengelilingnya.
Seketika kepala William berdenyut nyeri, sekelebat bayangan muncul di benakknya tapi William tidak bisa melihatnya dengan jelas.
‘Kalung ini, kalung yang Olivia pakai…,’ batin William.
“Apa Anda baik-baik saja?” seruan Jimmy memecah lamunan William.
Jimmy terlihat panik, napasnya terengah-engah, jelas sekali pria itu berlari-lari untuk tiba di ruangan William.
“Anda tidak terluka kan Pak?” tanya Jimmy lagi. “Apa yang dilakukan polisi, kenapa mereka masih membiarkan Daniel berkeliaran bahkan mengampiri Anda,” rutuk Jimmy.
“Bagaimana kamu tahu Daniel datang kemari? Bukankah sebelumnya kamu mengatakan akan pergi ke kantor untuk mengurus beberapa pekerjaan?” selidik William.
“Olivia mengirim pesan pada saya…. Oh ya apa Olivia baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja dan sudah pergi,” balas William. “Kamu asistenku kan?” tanya William berikutnya.
Jimmy mengangguk mantap dan langsung bersiaga di posisinya. Tanpa terduga William menyodorkan kalung berliontin bulan itu kepada Jimmy. Jimmy menatap William dengan bingung, tetapi kalung itu cukup familiar hanya saja Jimmy tidak ingat pernah melihatnya di mana.
“Bisakah kamu mencari tahu informasi tentang kalung ini?”
***
Olivia terduduk lesu di halte bus tidak jauh dari rumah sakit. Sudah 4 jam ia diam melamun di sana, tubuhnya lemah dan tidak kuat lagi untuk melakukan apapun bahkan untuk berjalan sekali pun. Olivia menyeka air matanya dan menatap kosong jalanan ramai di depannya.
Matanya sangat sembab karena sudah menangis seharian, tetapi sebanyak apa pun air mata yang Olivia keluarkan tidak akan bisa mengurangi luka di hatinya. Perasaan bersalah terus menyelimutinya, entah sampai kapan.
‘Kenapa takdir begitu kejam padaku?’ tanya Olivia pada semesta seraya meraba-raba dadanya yang begitu sesak, tetapi dahinya berkerut seketika saat menyadari sesuatu.
Ada yang hilang!
Olivia dengan panik menjamah lehernya tetapi tidak benda apa pun yang mengalung di sana.
‘Kalungnya, jangan-jangan….’ Olivia mengigit bibir bawahnya, ‘Sial, bagaimana kalau jatuh di kamar Will? Dia tidak boleh menemukannya.’
Olivia bangkit, lalu berlari tunggang langgang kembali menuju rumah sakit. Saat tiba di depan ruangan William, Olivia berhenti sejenak dan mengintip ke dalam ruangan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Olivia melirik arloji di tangannya.
‘Di mana Will?’ batin Olivia, tetapi demi menggunakan kesempatan itu Olivia tidak banyak memikirkan apa pun lagi dan beregas masuk ke dalam ruangan.
Olivia mencari di atas tempat tidur, sofa bahkan sudut ruangan, kalungnya tidak ada.
‘Will pasti sudah menemukannya, bagaimana ini?’ keluh Olivia.
“Kamu sedang mencari apa?”
Olivia sontak mematung mendengar suara berat William yang kini sudah berdiri tepat di belakangnya.
“Sepertinya kamu kehilangan sesuatu,” imbuh William.
Olivia mengeratkan kepalan tangannya, ‘Sial, apa yang harus aku lakukan?’ batinnya.
Dengan cepat Olivia bangkit dan berbalik menatap William yang kini menatapnya penuh selidik, Olivia tidak ingat jika William pernah menatapnya seperti itu. Pria itu selalu percaya padanya dan selalu menatapnya dengan hangat.
Sungguh menyakitkan.
“Ah, aku sepertirnya menjatuhkan kunci rumahku, apa kamu tidak melihatnya?” balas Olivia setenang mungkin berharap William tidak curiga padanya.
William mendengus seraya tersenyum sinis. Ia melangkah perlahan mendekati Olivia. Namun sikap William yang tidak biasa malah membuat Olivia ketakutan hingga secara otomatis tubuhnya bergerak berusaha menjauhi William.
Tetapi William bergerak lebih cepat dan memojokkan Olivia hingga ke dinding ruangan. Olivia tidak bisa lari. Jantungya berdebar menatap bola mata legam milik William yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Apa yang kamu lakukan Will?” tanya Olivia dengan separuh keberaniannya yang menghilang.
“Kamu mencari benda ini kan?” William mengacungkan sebuah kalung berliontin bulan tepat di depan wajah Olivia.
Olivia terbelalak begitu melihat kalung itu, tangannya hampir bergerak ingin merebutnya dari tangan William, tetapi Olivia ingat kalau ia sedang berbohong pada pria itu.
William tersenyum puas, seolah baru saja menangkap basah pelaku kejahatan, “Kamu tidak mau mengakuinya, kalau kamu sedang mencari kalung ini?” cibir William.
“Apa maksudmu, aku tidak mencari benda itu….”
“Wah padahal raut wajahmu menujukkannya dengan jelas padaku, tapi kamu masih ingin mengelaknya?” tukas William tidak habis pikir. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya William dengan dingin seraya memangkas jarak wajahnya dengan wajah Olivia.
Jantung Olivia hampir melonjak keluar karena sikap aneh William. William tidak pernah sekalipun bersikap seperti ini padanya, ia selalu lemah lembut dan perhatian, mengapa semuanya berubah? Apa karena amnesianya? Atau mungkin…. Memang seperti ini tabiat asli pria itu?
“Kenapa kamu berbohong padaku?” tanya William dengan tatapan intimidasinya yang tajam.“Apa maksudmu, aku tidak mengerti?” balas Olivia dengan suara bergetar.William mendengus, “Aku mencari tahu informasi tentang kalung ini. Kalung ini adalah edisi terbatas, hanya ada satu set dengan gelangnya dan dibeli atas namaku delapan tahun yang lalu. Jelas aku melihatmu memakainya, tapi kamu masih mengelak. Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?”Olivia menggigit bibirnya, semuanya sudah terlambat. Padahal belum 24 jam ia menjalankan rencananya tetapi William sudah menangkap basahnya.Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Olivia pun menunduk lesu, dan kembali menangis dengan pilu.“Aku minta maaf Will, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapimu dengan kondisimu yang seperti ini. Aku hanya takut kamu tidak akan bisa mencintaiku seperti sebelumnya karena kamu tidak memiliki ingatan apa pun tentangku.”William pun melunak, ia menurunkan kedua tangannya dan kembali menatap Olivia de
“Will, aku bawakan makan siang untukmu,” seru Olivia dari balik pintu ruangan seraya mengangkat sebuah tas kecil berisi makan siang dengan antusias. Wajah William yang sebelumnya terlipat karena lelah membaca dokumen-dokumen pekerjaan di atas meja seketika berseri saat beradu pandang dengan istrinya itu. William pun bangkit dari kursinya, ia langsung menarik Olivia masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu ruangan rapat-rapat. Olivia tersentak untuk sesaat karena tidak menduganya sama sekali tapi sedetik kemudian ia terkekeh sambil memukul dada bidang William. Sudah satu minggu sejak William kembali bekerja. Setelah keluar dari rumah sakit pria itu sudah tidak sabar ingin segera bekerja padahal Olivia berulang kali memintanya untuk beristirahat hingga William pulih sepenuhnya. Tetapi sikap keras kepala pria itu tidak bisa Olivia hentikan sama sekali.“Ayo makan siang bersama,” ujar Olivia.Namun alih-alih menjawab William malah merebut tas kecil berisi makan siang digenggaman Oli
‘Semua sudah siap tinggal menunggu waktu untuk eksekusi.’ Isi pesan dari kontak bernama Si Eksekutor.Bersamaan dengan Olivia selesai membaca pesan tersebut terdengar ketukan yang berasal dari kaca jendela mobilnya. Olivia langsung menurunkan kaca mobilnya dan terlihat Jimmy yang kini tengah berdiri menunggunya. “Masuklah,” perintah Olivia.“Kamu memilih tempat yang sepi untuk bertemu, aku kira kita akan berbicara di sini.”“Kalau ada karyawan William yang tidak sengaja lewat sini bagaimana? Semua tempat tidak ada yang aman."Jimmy pun mengalah lalu dengan berat hati masuk ke dalam mobil Olivia seraya memberikan secangkir kopi macchiato hangat pada Olivia dan menaruh kopi cappuccino miliknya lalu membiarkan wanita itu membawa dirinya pergi entah kemana. 20 menit perjalanan tidak ada pembicaraan. Jimmy yang terlihat kalut masih sibuk dengan pikirannya, menimbang-nimbang kalimat yang tepat untuk mengatakan unek-unek dalam hatinya. Sedangkan Olivia memilih untuk diam menunggu dan bers
“Aahh...,” Olivia meringis menahan sakit di pergelangan tangannya yang memerah akibat cekalan Jimmy. Olivia menoleh sekilas ke arah Jimmy, pria itu masih terkapar tak sadarkan diri sejak satu jam yang lalu. Lalu dengan lemah Olivia melangkah menuju meja makan di area dapur. Rambut Olivia masih berantakan bahkan pakaiannya cukup kacau. Binar dikedua bola mata Olivia sirna kemudian dengan perasaan dongkol Olivia meremas cangkir kopi yang terbuat dari plastik itu dan melemparnya ke tempat sampah. ‘Semua ini tidak ada dalam rencana dan pasti ada sesuatu di dalam kopi yang Jimmy minum.’Di saat yang bersamaan suara mobil tiba-tiba terdengar memasuki halaman rumah Olivia. Olivia mengerutkan keningnya lalu menyingkap gorden di area ruang depan dan terlihat mobil William di sana. Olivia mengalihkan padangannya kembali ke arah Jimmy. Sepertinya Olivia tahu bagaimana cara memanfaatkan kekacauan ini agar ia tidak dirugikan. Dengan tampilannya yang acak-acakan Olivia bergegas berjalan menuju
Olivia mengeratkan jemarinya dan menggigit bibir bawahnya. “Aku harus mencegah William menjawab kuis itu.”Olivia pun segera menghubungi William tetapi pria itu tidak mengangkatnya bahkan di layar yang menampilkan video William secara langsung tidak terlihat William menerima sebuah panggilan telepon darinya.“Daniel sialan dia meretas semuanya!”Tanpa membuang banyak waktu Olivia langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pergi menuju lokasi William. Sepanjang perjalanan Olivia terus berusaha menghubungi William tetapi nihil. Akhirnya Olivia beralih menghubungi Jimmy karena Olivia yakin ia bisa menghubunginya.“Ayo Jimmy angkatlah!”Alih-alih mendengar suara pria itu Olivia malah menerima suara dari operator. Berulang kali Olivia coba namun hasilnya tetap sama. Dengan kesal Olivia memukul kemudi mobilnya.“Ada apa ini? Kenapa aku tidak bisa menghubungi Jimmy juga?!” rutuk Olivia.Sesaat kemudian notifikasi kembali muncul, dengan cepat Olivia membukannya dan membagi pandangannya ant
Daniel menyeringai sambil memegangi pipinya yang terasa panas, “Untuk apa ini? Apa begini tanda terima kasihmu padaku?” cemooh Daniel.“Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu menjebakku!”Pria licik itu malah terkekeh seraya melangkah mengelilingi ruangannya. “Sepertinya ada kesalahpahaman di antara kita.”Olivia mendengus tidak habis pikir, bisa-bisanya pria licik itu mengelak setelah semua yang dilakukannya.“Menaruh perangsan di dalam kopi yang dibeli Jimmy, dan diam-diam merekam apa yang terjadi malam itu di kediamanku padahal jelas-jelas aku sudah meminta si eksekutor untuk membatalakan rencana….”“Kamu terlalu bermain aman Olie. Apa kamu pikir dengan rencana membosankan yang kamu buat bisa berhasil meyakinkan William kalau si Jimmy itu sering menggodamu?” tukas Daniel gemas.Tentu saja Olivia ingin bermain aman dalam rencananya supaya semuanya berjalan dengan lancar. Olivia tidak mau terburu-buru dan gegabah tetapi pria itu malah merusak semuanya.Daniel kemudian mendekati Olivia dan
Pesta perayaan pembukaan hotel cabang baru digelar malam ini. Banyak sekali tamu-tamu penting yang terlihat. Tubuh mereka terbalut begitu elok di dalam tuxedo untuk para pria dan gaun untuk para wanita.Begitu pun dengan William dan Olivia. Mereka tampil begitu memesona. Olivia tampil cantik dengan gaun berwarna beige yang sederhana nan elegan dan William tampil dengan gagah dan tampan dengan tuxedo berwarna hitam.Ketika Olivia dan William tiba semua pandangan tamu undangan tertuju ke arah mereka. Sebagian dari mereka ada yang menatap dengan antusias ada pula yang malah berbisik-bisik dengan tamu lain membicarakan insiden yang menimpa William baru-baru ini atau menggunjing Olivia.Karena itu Olivia tidak pernah suka mendatangi pesta apa pun yang berkaitan dengan perusahaan William atau hotelnya, sebab ia tahu banyak orang-orang dalam pesta itu yang akan memandangnya drngan rendah.“Hai Will, Olivia kalian keren banget malam ini,” sapa seorang wanita menyebalkan bernama Alya.Olivia s
Olivia berlari menerobos kerumunan sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat, mencari-cari William. Tetapi sulit sekali. Terlalu banyak orang di dalam ruangan itu dan lagi gedung itu besar sekali, Olivia tidak tahu William ada di ruangan mana. “Ya tuhan kemana pria itu?” rutuk Olivia seraya menghubungi William melalui telepon selulernya. Tetapi William bahkan tidak mengangkat panggilan dari Olivia. “Apa Daniel masih meretas ponsel William?” gumam Olivia kemudian ia terpikirkan sesuatu. Mungkin ia bisa meminta bantuan Daniel untuk menemukan William. Dengan berat hati akhirnya Olivia pun menghubungi Daniel dan tak berselang lama terdengar suara berat pria itu di ujung sana. “Bagaimana? Aku sudah menyiapkan banyak orang dan banyak hal untuk rencana kali ini. Apa kau masih ingin ikut bermain denganku?” “Bisakah kamu mencari William? Ada sahabat kakaku di tempat ini dan aku yakin dia dan William pasti saling mengenal. Aku takut William bertemu dengannya karena dia pasti akan