Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.
Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung banyak orang. Gemerlap lampu gantung dan harumnya bunga sedap malam yang bermekaran menyambut kedatangan mereka. Ayahanda Kaysan beramah-tamah dengan tamu agung sebelum duduk di kursi klasik untuk melihat pertunjukan tarian sebagai hiburan"Di pilih, di pilih!" seloroh Pandu yang berupa bisikan, menggoda Suryawijaya sembari melihat gadis-gadis yang duduk tak jauh dari mereka.Gadis-gadis yang berjumlah lima orang itu menunduk santun, walau sesekali tatapan mencuri pandang ke arah Suryawijaya yang menjadi primadona kerajaan."Apa ada masalah?" Suryawijaya berbicara dengan datar. Duduk tegap penuh wibawa. Tatapannya sejak tadi hanya tertuju pada Nawangsih yang berbaur dengan tamu agung lainnya. Sesekali gadis itu melayani mereka dengan menuangkan teh hangat khas istana, yang wangi dan manis seperti gadis pelayan itu."Yang ada tai lalatnya di dekat hidung lumayan, mas!" ucap Pandu, pangeran yang satu ini jelas beda dengan Suryawijaya. Ia suka bercanda."Yang pakai kebaya ungu juga ayu, lumayan itu mas, dadanya besar!"Suryawijaya menoleh, terlihat syok dengan ucapan Pandu yang membicarakan fisik wanita persembahan dari trah keluarga Tirtodiningratan."Apa? Aku sudah dewasa, mas! Jangan terus menganggapku sebagai anak kecil!""Jaga etika, cukup kamu batin saja untuk perkara seperti itu! Memalukan."Pandu menepuk-nepuk pundak Suryawijaya saat pelayan kesayangan ayahnya menghaturkan sembah dan memintanya untuk bergabung dengan ndoro bei."Semoga beruntung mas!"Dalam hati Pandu tertawa senang dan bersenandung. "Cintaku ini hanya cinta milik manusia biasaaa!"•••Suryawijaya yang begitu enggan dan marah memberi hormat seraya duduk di depan Adhiwiryo Tirtodiningratan."Alangkah baiknya gadis-gadis itu dipingit saja lalu menunggu waktu untuk layak diperistri, Romo. Dua diantara mereka masih SMA!" kata Suryawijaya sambil mengusap bibir cangkir.Pemimpin yang membawa putri-putrinya untuk di persembahkan kepada Suryawijaya mengangkat tatapannya.Adhiwijoyo meragukan pernyataan Suryawijaya, tapi mau apa dikata, tunduk kepada seorang Pangeran yang akan mewarisi takhta kerajaan adalah harga mati."Apakah itu yang Raden inginkan?"Suryawijaya mengangguk tegas. "Siapapun yang akan mendampingku tidak perlu repot-repot mencariku, cukup menunggu di istana dan belajar menjadi calon pendamping yang baik!"Suryawijaya menghentakkan cangkirnya hingga memancing Ayahanda Kaysan menajamkan mata sebagai peringatan etika sopan santun dalam jamuan makan malam."Pendekatan dulu akan lebih bagus, Romo. Biar akrab!" Adhiwiryo menyarankan dengan amat sabar. "Seluruh putri saya berpendidikan tinggi, terdidik dengan moral bangsa dan agama yang akan patuh dengan Raden!"Suryawijaya mengerti, ia memperhatikan gadis-gadis yang menikmati jamuan makan malam bersama Ibunda Rinjani dan Nawangsih dengan teliti. Matanya terpaku pada gadis yang Pandu kagumi tadi.Gadis bertubuh sintal, seksi dan memiliki dagu runcing. Ayu sekali untuk membuat Nawangsih cemburu. Suryawijaya tersenyum samar."Siapa nama gadis berkebaya ungu?"Ayahanda Kaysan menyunggingkan senyum. "Pilihan yang tepat, putraku."Suryawijaya mendengus tak kentara, tidak tertarik untuk berdebat dengan ayahnya sekarang. Ia hanya ingin cepat-cepat mengakhiri pertemuan Royal Highness Tea and Talk ini karena tujuan acara ini hanya untuk memilih salah satu dari gadis-gadis itu."Aku hanya menanyakan namanya, Ayah."Adhiwiryo berdecap puas. "Gadis idaman. Namanya Keneswari Syalindri, putri pertama dari istri kedua.""Lalu siapa yang memiliki andeng-andeng di dekat hidung?" lanjut Suryawijaya.Ayahanda Kaysan dan Adhiwiryo saling pandang."Apa mungkin putraku menginginkan dua putri sekaligus?" Ayahanda Kaysan menyimpulkan.Suryawijaya menghela napas dengan berat bagai martir seraya memandang marah ayahnya lantas tersenyum misterius."Kalau bisa dua kenapa tidak! Bukankah itu cukup bagus untuk membuat Romo Adhiwiryo senang?" Suryawijaya membatin, tidak akan ada dua. Cukup satu wanitaku. Nawangsih.Adhiwiryo bangkit dengan ekspresi terluka. "Apakah Raden bermaksud untuk mengatakan bahwa saya menjual putriku demi bantuan dari kangmas Kaysan?"Adhiwiryo berjeda. "Saya tidak mengharapkannya jika Raden memang tidak menginginkan!" urainya tampak muram ketika memberi hormat kepada birokasi tertinggi di istana itu dan Suryawijaya.Suryawijaya menggeleng cepat-cepat. "Saya hanya mengatakan bahwa itu akan membuat panjenengan senang, bukankah begitu? Harusnya begitu karena keduanya bisa bersanding denganku. Tapi maaf, aku tidak tamak, aku hanya akan memilih salah satunya jika sanggup."Ganti Ayahanda Kaysan dan Adhiwiryo terperangah. Lebih-lebih Adhiwiryo, ia menyunggingkan senyum dengan terpaksa."Baiklah, Raden. Maaf saya terbawa suasana." Adhiwiryo tersenyum sedih.Suryawijaya bangkit, ia sudah terlalu sabar untuk menghadapi situasi yang kian malam kian kusut dan panas. Hatinya pun tidak tenang manakala Nawangsih terus mencuri perhatiannya dengan tatapan harap-harap cemas."Saya akan menunggu kedatangan mereka besok pagi!" Suryawijaya membungkuk hormat seraya berlalu meninggalkan ruang tamu untuk menyendiri di dalam kamar.•••Nawangsih mengetuk pintu kamar sang pangeran. Raut wajahnya terlihat lelah. Apalagi, sepanjang acara tadi ia dapat melihat ketegangan di raut wajah Suryawijaya sekaligus hatinya tergerus manakala ia mendengar pujian dari putri-putri Tirtodiningratan untuk Suryawijaya.Tok, Tok, Tok.Nawangsih menunggu dengan resah, ia bersikeras ingin tahu apakah ada yang menarik perhatian Suryawijaya karena baginya gadis-gadis tadi mirip bunga-bunga yang sedap di pandang dan memaniskan sudut mata Suryawijaya."Ndomas."Pintu terbuka. Suryawijaya yang masih mengenakan ageman lengkap menaikkan alisnya."Acara belum selesai, kenapa kamu ada disini?"Suryawijaya bersandar di kusen pintu, menatap Nawangsih dengan pandangan bertanya."Ndomas kenapa pergi?" Nawangsih ikut bersandar di kusen satunya, ia meninggalkan acara ngeteh itu dengan dalih kebelet BAB sesaat setelah Suryawijaya menghilang dari pandangannya."Sudah ada kesepakatan! Jadi untuk apa berlama-lama disana, membosankan.""Maksudnya, ndomas sudah mengambil keputusan?"Ekspresi Nawangsih berubah menjadi was-was, posisinya mulai terancam. Ia mulai berpikir untuk mengatur strategi untuk mempertahankan Suryawijaya, tapi boro-boro mengatur strategi baru, ia mecucu dan kecewa saat Suryawijaya mengiyakannya."Aku kira, aku singgah. Ternyata aku cuma cadangan!"Nawangsih berjalan dengan gontai meninggalkan Suryawijaya yang puas menikmati keterperangahan itu.Nawangsih jelas syok tanpa bisa menyembunyikan lagi ekspresinya.Sepasang matanya lalu menghangat, sulit rasanya menahan tangis saat semuanya sudah luluh lantak. Nawangsih berhenti di belakang rumah utama, memandangi dari jauh ruang tamu yang masih menyala penuh binar bahagia.Suryawijaya mengikutinya diam-diam, ia menyaksikan gadis itu menunduk dalam, gadis itu menangis sendiri di antara mereka yang baru menerima kesepakatan ambigu yang ia berikan."Maafkan aku, Nawangsih! Seandainya ada pilihan lain. Aku akan memilihnya daripada kehilanganmu." gumam Suryawijaya lirih dalam kegelapan yang menikam keresahan yang tidak dapat di prediksi lagi kapan selesainya.Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sek
Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny
Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya
Iwan menggeram seraya ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa harus begini, kenapa harus ada mata-mata di sarang penyamun? Toh ini bukan zaman peperangan lagi, yang harus membutuhkan mata-mata di sarang musuh. Ini zaman modern dan penuh toleransi, tapi kenapa harus begini! Iwan membatin sembari menghela napas. Ia mendatangi Citra setelah mendapat wangsit yang membuatnya senang."Puasa mutihan dulu mas, laku tirakat jangan lupa biar afdol, jangan lupa juga ruwatan kalau perlu. Tapi aku ada teman disana, sesama penari juga." ucap Citra santai, tangannya dengan lihai meronce bunga melati untuk menari nanti malam dalam acara pagelaran wayang orang.Iwan menyeringai lebar. "Siapa namanya? Bisa jadi anak buahku itu cah ayu. Wah...." Aih, Citra menggeleng cepat. "Cukup aku aja mas yang jadi anak buahmu, dia gak usah, ribet, lagipula mempercayai orang yang mengabdikan diri kepada Rajanya sendiri kan gawat. Nanti buntutnya panjang, makin runyam. Sudah to, rakyat biasa seperti k
"Raden." Iwan memberi hormat dengan napas yang ngos-ngosan."Bagaimana?" Suryawijaya membuang putung rokoknya ke tanah dan menggilasnya dengan sandal, ia sudah mengira jika Iwan akan segera bertindak sesuai keinginannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Iwan, tapi ia menahan diri saat di lihatnya sang Raja berjalan menuju tempatnya bersantai-santai di taman. Sang Raja ikut bergabung, menikmati bunyi air kolam dan burung hias yang bercicit riang."Bagaimana? Sudah kamu tentukan siapa calon istrimu?" tanya sang Raja.Dengan tenang Suryawijaya mengangguk seraya meminta Iwan agar tetap ditempat. Iwan membungkuk hormat seraya bersila di atas konblok, ia diam saja sambil terus mendengarkan kalimat-kalimat yang ia duga hanya bualan saja dari Suryawijaya dengan khidmat. Sang Raja pun tersenyum samar, sesaat wajahnya terlihat berseri namun juga tersirat dalam sesuatu yang tidak bisa Suryawijaya mengerti. Ayahnya terlihat was-was. "Bagus. Siapa ya
Napas Nawangsih terengah selepas pertunjukan tari selesai. Peluh terlihat membasahi badan keempat penari yang berjalan keluar melewati jalan setapak menuju ruang tata rias."Nyi Mas. Habis beres-beres makan dulu yuk. Aku laper!" ajak Citra sembari melepas pernak-pernik pentas yang melekat di tubuhnya. Nawangsih terlalu lelah menjawab, mengingat banyak kejadian yang ia lalui hari ini. Dan tak dapat ia pungkiri kalau tatapan Suryawijaya tadi menyita atensinya untuk segera pergi ke kamar. "Tidur aja gimana, Cit? Aku capek, mau bobok." Nawangsih meringis, sungguh-sungguh ia lelah, apalagi setelah menari otot-otot kakinya pegal-pegal. "Bilang aja mau video call sama Raden dikamar." tukas Citra, menirukan gaya Nawangsih jika membicarakan Suryawijaya. Nawangsih lagi-lagi hanya meringis sembari terus melepas semua pernak-pernik dan busana menarinya. Citra merapikan pernak-pernik menarinya ke dalam rak kaca dengan bibir cemberut. "Gak asyik ah, padahal aku---!" Citra m
"Karena kamu ngeyel, Tania! Coba kalau tidak." Suryawijaya menghentikan tawanya. "Kalau tidak kamu pasti tambah ayu." imbuhnya lagi dengan senang.Nawangsih mendengus seraya menghabiskan wedang rondenya, begitu pun Suryawijaya meski matanya terus-terusan memperhatikan wajah Nawangsih.Hanya denganmu aku bisa bercanda.Selesai membayar wedang ronde, mereka masih duduk berdampingan di trotoar jalan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah kendaraan yang berlalu lalang dengan jarang dan suara malam.Setelah beberapa saat keheningan berjeda pembicaraan mereka. Suryawijaya bangkit seraya menatap sekeliling. Suasana yang sepi dan cenderung remang-remang."Ayo pulang."Nawangsih mengangguk. Mereka kembali menekuri trotoar jalan. Meresapi keheningan sambil terus memikirkan bagaimana besok.Mereka tahu upaya terbaik dalam waktu dekat ini adalah pasrah dan sabar. Namun Suryawijaya tak akan tinggal diam, ia akan mengulur waktu untuk membuat rencana dan menyusun taktik.Dan yang ia bisa mereka
Dengan lekat-lekat Suryawijaya memandangi Nawangsih dari kejauhan. Setelah yakin, gadis itukembali ke kamarnya dengan aman. Ia berbalik, menuju rumah utama dengan perasaan senang akan hal-hal yang membuatnya terus tersenyum selama menapaki tanah dan konblok di bawah cahaya rembulan."Masih menanti restu semesta untuk meminang Nawangsih sambil doa dan laku prihatin!" gumam Suryawijaya, menaruh sendal rumahan ke atas rak seraya menuju kamar mandi.Dalam keheningan yang dingin dan manis, ia dikejutkan dengan suara deheman dari ayahnya yang menunggunya di ruang makan.Suryawijaya menyunggingkan senyum, "Ayahanda belum tidur?" tanyanya tenang, tidak terkejut karena aroma rokok kesukaan ayahnya sudah terendusnya sejak memasuki lorong remang-remang yang menuju dapur dan kamar mandi."Darimana, putraku?" ekspresi Ayahanda kaysan juga tenang karena menghadapi putranya yang satu itu butuh ketenangan yang maskulin."Jalan-jalan diluar rumah, Ayahanda. Apa ada masalah?" Suryawijaya membawa dua ge