Share

14. Vianca ke Apartemen Zeva

Vianca mendengar suara mesin mobil dari dalam kamar. Dia terperanjat, saat sadar bahwa Zeva sudah pulang tanpa pamit terlebih dulu padanya. Dia menghampiri Melvin yang masih berada di ruang tengah. Wanita itu terkejut, lantaran Melvin sedang asik menghitung uang ratusan ribu yang cukup banyak.

"Kak, Mas Zeva udah pulang?"

"Iya! Kakak suruh pria itu pulang."

"Kakak minta uang sama dia? Kakak meras Mas Zeva?"

"Iya." Melvin menjawab sambil mengipasi dirinya dengan uang pemberian Zeva.

Vianca geram, dia menyiram wajah Melvin dengan satu gelas air yang berada di atas meja.

"Hey, sialan! Uang gua jadi basah gara-gara lo."

"Malu-maluin, tahu, gak! Cepat balikin! Ada berapa semua?"

"Cuma dua juta, kok. Tenang aja!Katanya ini buat sarapan kita berdua."

Melvin tidak cerita bahwa Zeva sudah mentransfer juga ke rekeningnya dengan jumlah yang lebih banyak. Adiknya terlalu rese untuk diajak kerja sama.

"Sini uangnya! Vianca akan kembalikan uang Mas Zeva."

"Ya elah, timbang uang dari buaya darat juga. Vianca, kamu itu gak berbakat sama sekali jadi pelac**.  Harusnya, kamu punya strategi jitu untuk memeras Tuan Zeva itu. Dia suka sama kamu, gak akan ungkit-ungkit uang yang akan dia keluarkan, berapa pun jumlahnya, paham? Kamu tahu, teman kakak yang jual diri sudah bisa beli rumah mewah. Asal pinter ngomong kaya kakak ini."

"Ya, sudah! Kakak saja yang jadi pelac**, sana! Sepertinya kakak lebih berbakat. Aku mau hidup biasa-biasa aja." 

"Tapi sayangnya, kakak bukan cewek, Vi. Hahaha..., tapi serius! Kamu harusnya berterimakasih sama kakak, gara-gara kakak acting marah-marah, kakak jadi punya alasan buat minta dia nikahin kamu. Tos dulu, dong!"

Melvin mengacungkan tangan ngajak tos, tapi Vianca menepis tangan itu.

"Apa maksud kakak?"

"Kakak berlagak marah, meminta pertanggungjawaban dia untuk nikahin kamu. Dia setuju, tapi hanya bersedia nikah siri. Dan kalian, akan menikah besok."

Vianca terbelalak, dia tak sanggup berkata apa pun. Otaknya masih mencerna dan tak percaya.

"Amazing kan cara kakak? Ayo kita bersorak, Vi. Katakan selamat tinggal pada kemiskinan."

Vianca ingin muntah melihat reaksi Melvin. "Kakak, dengarkan aku baik-baik! Aku tidak miskin karena sudah bekerja, dan akan memperbaiki semuanya. Walau penghasilanku gak banyak tapi bisa mencukupi. Kalau Kak Melvin ingin kaya, makannya kerja, dong! Aku kemarin nganggur gara-gara cari kerja susah. Sementara, kakak apa? Gak usaha sama sekali 'kan?"

Melvin merasa Vianca rese lantas pergi dari kontrakan Vianca. "Banyak bacot, baru kerja bentar aja udah songong!"

"Mau ke mana? Kembalikan dulu uang Mas Zeva!" Vianca menarik tubuh Melvin.

Melvin tak mau mengalah, dia mendorong Vianca hingga wanita itu terjatuh. Lalu pergi dengan membawa uang itu.

Vianca perlahan bangkit! Mengumpat di dalam hati. Dia sudah berusaha tegar, akan tetapi rasanya sulit. Dia malah menangis, walau tahu menangis tak dapat merubah keadaan. 

"Kenapa air mata bodoh ini selalu menetes, Ya Tuhan?"

Vianca meraih celengan, dompet, dan merogoh saku yang terdapat uangnya.  Dia mengumpulkan semua uang yang dia punya. Jika hanya dua juta, sepertinya dia punya. Namun, dia harus mengumpulkannya terlebih dahulu karena sebagian uangnya adalah pecahan kecil.

"Aku harus kembalikan uang ke Mas Zeva. Aku takut Mas Zeva meminta tubuhku untuk mengganti uangnya nanti. Pria itu mesum dan menyebalkan. Mana mungkin kasih uang cuma-cuma tanpa dapat apa-apa."

Vianca melakukan ini karena tak ingin terjerat kembali menjadi wanita malam. Hal yang dia takuti adalah, sekali dia terjerat kembali, dan tak bisa keluar dari lingkaran kesesatan. Vianca harus segera memutus rantai kesesatan itu.

Lagipula, dia juga merasa tak enak pada Zeva, karena Melvin dengan lancang memeras uang Zeva.

***

"Zeva, semalam kamu gak pulang ke apartemen, kamu tidur di mana? Tolong jelaskan padaku!" 

Zeva mendengkus, masih terlalu pagi baginya mendapat pertanyaan seperti ini. Tanpa diduga olehnya, Savana datang ke apartemen hanya untuk mengintrogasi dirinya. "Aku ini pria, bisa tidur di mana pun. Kenalanku banyak. Kamu gak kenal semua juga 'kan?"

"Bahkan kamu gak angkat telepon aku semalam! Sementara, hapemu sedang online. Bagaimana aku tak curiga, coba!"

"Tolong, Vana! Jangan bahas itu, aku lelah saat ini."

"Lelah? Emang semalam habis ngapain?"

Zeva mengacak rambutnya. "Itu privasi. Kita belum menikah, kamu gak perlu tahu semua tentang aku 'kan!"

"Tapi sebentar lagi kita akan menikah, Zeva. Aku harus tahu kegiatanmu. Kamu tinggal berkata jujur aja apa susahnya sih? Kamu tahu, kamu sudah banyak berubah tahu gak!"

"Vana, kamu juga harus tahu! Kamu pun banyak berubah. Entah karena hal apa, tapi kamu makin bawel, dan menyebalkan. Kamu tahu sendiri 'kan? Aku gak suka diatur-atur. Aku sangat mencintaimu, tapi jangan harap kamu bisa ngatur-ngatur hidupku."

Savana terdiam. Dia ingin menangis saat sadar Zeva tak mengikuti keinginannya lagi. Padahal, dia sudah rela putus dari Adam, sudah tak jadi selingkuhan Adam lagi. Dia lebih memilih bersama Zeva yang masih sendiri daripada Adam yang sudah memiliki istri.

"Kenapa nangis?"

Savana bungkam.

"Sudahlah! Jangan nangis!" Zeva mengusap air mata di pipi Savana. Lantas berkata kembali. "Kita pasti bisa kaya dulu lagi, kalau kamu mau lebih menghormati aku. Sejujurnya, aku rindu kamu yang dulu!"

"Oke, maafkan Aku Zeva."

Savana teringat, bahwa dirinya sudah menjadi pelakor dalam rumah tangga Adam saat Zeva di penjara dulu. Dia takut kena karma, makannya selalu over protektif pada Zeva akhir-akhir ini.

Savana mendekat, mendekap erat Zeva. Namun, Zeva merasa berbeda. Pelukan mereka tak sehangat dulu. Apakah waktu sudah mengikis kisah mereka berdua? 

Savana melepaskan pelukan. "Aku ada urusan ke rumah Oma, aku pulang dulu, ya, Zev."

"Oke, silakan!"

Savana mematung, menunggu Zeva peka akan menawarkan diri mengantar. Namun hal itu tak terjadi, dia pun menyerah dan pergi dari apartemen Zeva.

***

Vianca berada di lorong Apartemen, tertunduk saat melihat ada wanita yang baru keluar dari apartemen Zeva. Dia menyembunyikan wajah semampunya khawatir berpapasan dengan Savana karena hanya akan terjadi kesalahpahaman.

Vianca memastikan Savana sudah jauh pergi, barulah dia berani menemui Zeva. Dia berdiri mematung di depan pintu, masih ragu-ragu untuk menekan bel. Bahkan, tangannya bergetar.

Dia ingin kembali, tapi sebelah hatinya menyuruh dia untuk tetap di sini. Akhirnya, dia tak bisa ambil keputusan selain berdiri berlama-lama di depan pintu itu.

Wajah Vianca sudah meringis, memejamkan mata dan berdoa supaya diberi keberanian. Akan tetapi, Pintu apartemen malah terbuka. Dan sialnya, dia tidak menyadari hal itu.

Zeva yang mau pergi ke super market kaget, dirinya malah disuguhi pemandangan unik. Ada seseorang yang berdoa di pintu apartemennya sambil menengadahkan tangan.

"Hey, sejak kapan kamu jadi pemuja pintu seperti itu? Berdoa lah di tempat ibadah! Jangan di pintu apartemen orang," kata Zeva.

Vianca terperanjat, dia menyesal melakukan itu semua. Tangannya tak bisa diajak kompromi. Malahan bergetar.

"Masuk!" ajak Zeva sambil mengarahkan wajah ke dalam ruangan.

Namun, Vianca tetap diam.

"Aku gak biasa ngobrol di depan pintu. Kata nenekku dulu, pamali. Kamu tahu tidak istilah pamali?"

"Oke, maaf mengganggu waktumu, Mas."

Vianca masuk, duduk di sofa setelah Zeva mempersilahkannya duduk. Kemudian, Zeva sibuk memilih minuman di kulkas yang cocok dengan Vianca. 

Zeva kembali dengan satu gelas jus buah kemasan yang dia tuang ke dalam gelas untuk Vianca. "Minum dulu, Vi."

Vianca mengangguk, akhirnya setelah beberapa menit dirinya bingung harus apa. Dia mengutarakan juga maksud kedatangannya. "Mas, aku mau minta maaf atas kelakuan Kakakku, Melvin! Jangan dengar ucapan dia! Dan ini, aku kembalikan uang yang diberikan Mas Zeva pada Kak Melvin."

"Aku pikir kedatangan kamu kemari mau bicarakan soal pernikahan kita besok."

"Tidak!"

"Kamu tidak ingin menikah?"

"Mau, tapi tidak dengan cara seperti ini."

"Oh!" Zeva menerima amplop dari Vianca, dia melihat uang ratusan yang dia berikan berubah menjadi kepingan lebih kecil dengan bekas lipatan seperti habis dari celengan. 

Zeva mendengkus, dia tak memberi tahu bahwa dirinya sudah mentransfer uang lebih banyak dari ini. Bisa-bisa, Vianca mendadak pinjam uang pada bank, hanya untuk mengganti uang pemberiannya.

"Gak usah dikembalikan, Vi. Mana pernah aku ngasih terus dibalikin lagi. Aku malah merasa terhina kalau dibalikin kaya gini."

Vianca tertunduk, ternyata dikembalikan salah diterima juga salah. Dia tak tahu harus berbuat apa.

Melihat Vianca kebingungan, Zeva pun tak tega. "Emang kenapa dikembalikan? Kalau pun kamu menolak nikah siri yang diajukan Melvin, aku gak bakal ungkit-ungkit uang itu, kok. Anggap aja sedekah."

Vianca mengangkat wajah. "Iya, aku tahu uang segitu kecil buat Mas Zeva. Sebenarnya, bukan masalah nilainya. Aku bisa terima jika Melvin sering memeras uangku. Tapi saat dia sudah berani memeras kenalanku, aku merasa sangat bersalah."

Zeva membulatkan mata. "Apa? Jadi Kakakmu itu sering memerasmu?"

Oh, tidak! Vianca sungguh keceplosan. Dia tak ingin masalah keluarganya diketahui orang lain. Sangat memalukan baginya. Dia diam.

"Vi, katakan padaku! Seberapa sering Melvin meminta uang padamu?"

Vianca berdiri. "Ah, itu urusan keluarga. Maaf aku berkata terlalu jauh pada Mas Zeva. Permisi! Aku pamit pulang!"

Zeva melihat wanita itu berjalan tergesa-gesa. Seolah, wanita itu tak ingin ada satu orang pun membuka masalahnya. Zeva tahu type orang seperti ini, mirip dengan teman lamanya. Selalu tertutup bahkan tak suka curhat sedikit pun.

Zeva merenung. Entah mengapa, saat tahu Melvin suka memeras Vianca dirinya malah berhasrat tinggi menikahi wanita itu. Sekadar ingin menjauhkan Vianca dan Melvin. Jika Vianca jadi istrinya, dia berhak membatasi pergaulan Vianca bahkan dari kakaknya sekali pun.

Dia hampir lupa, bahwa dirinya juga memiliki janji dengan wanita lain. Manakah yang akan Zeva pertahankan. Cinta lama, atau kisah barunya bersama Vianca?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status