Keenan mengatakan itu dengan sadar, tetapi wanita yang ada di hadapannya malah menuduh kalau dia sudah gila. Rahangnya pun mengeras dengan tatapan yang begitu menusuk pada Lily. “Kau akan menyesali ucapanmu.”
“Dasar pria aneh,” gumam Lily. Dia pun lekas berbalik badan dan bergerak cepat meninggalkan Keenan.
Hal pertama yang ia lihat adalah wajah sayu sang putra yang tampak celingukan kian kemari. Lily mengulas senyumnya lalu mendekat ke arah brankar.
“Papa di mana, Ma?” tanya Farel tanpa mengindahkan kehadirannya sama sekali. “Aku enggak mimpi ‘kan? Tadi kita ketemu papa di taman rumah sakit. Nenek saja yang tidak percaya.” Diamnya sang mama membuat bocah itu menoleh ke arah wanita paruh baya yang tadi menjaganya. “Beneran loh, Nek. Papa nemenin aku di sini. Iya ‘kan, Ma?”
“Beneran, Ly?” tanya bibi Lily yang terlihat masih ragu.
Lily menggeleng lemah. Dia pun segera mengalihkan pembicaraan. “Gimana, Sayang? Apa tadi bekas infusnya sakit, hemm?”
“Mama belum jawab yang tadi,” tukas Farel dengan suara ketusnya. “Aku mau papa. Tidak mau yang lain.”
Sebagai seorang ibu, Lily paham betul arti dari ucapan sarkas barusan. Apapun yang dilakukannya tidak akan berpengaruh pada sikap Farel. Watak yang cerdas jauh dari umur seusianya membuat sang anak cenderung keras kepala dan sulit untuk dibohongi.
“Yang tadi itu bukan papa.”
Farel tak peduli dengan penutura tersebut. “Mobilnya saja seperti punya papa.”
“Sayang, hanya mobil ‘kan? Kalau yang bawa mobil seperti tadi kakek gimana? Kamu akan anggap papa kamu juga, heh??” serang Lily yang merasa tak tahu lagi harus bagaimana. “Ayo dong. Kamu anaknya mama yang cerdas. Dia tadi bukan papamu.”
“Tapi, Ma—“
“Jangan bertingkah, Sayang.”
Lily hanya diam ketika anaknya hendak mencabut selang infus lagi. Hanya sang bibi yang berusaha membujuk agar tidak melakukan tindakan yang membahayakan.
BRAK!!
Darah dari pergelangan tangan Farel kembali mengucur saat selang yang menancap di sana tadi terlepas. Namun, Lily masih tetap bertahan dengan pendiriannya.
“Panggilkan perawat, Ly. Cepat!” pinta bibi dengan wajah panik sekali.
“Mama sudah tidak sayang aku lagi. Aku benci Mama!!”
Pernyataan yang tentuah membuatnya pilu. Lily bergegas ke luar ruang rawatan dan memanggil seorang petugas medis yang kebetulan melintas di sekitar sana. Lantas dia sendiri tak ikut masuk ke dalam lagi. Memilih menyendiri meresapi takdir yang terasa mencekik kali ini.
Posisinya yang tadi dalam keadaan berjongkok lambat laun berubah menjadi duduk selonjoran di ubin rumah sakit. Pandangan wanita bertubuh kurus itu mengarah pada hamparan rerumputan hijau yang ada di depan mata. Rasa lelah fisik dan psikis kini berkumpul menjadin satu. Pun ditambah angin yang berembus sejuk menyapa wajah tirusnya. Kantuk mulai mendera secara perlahan.
Cinta menjadi alasan dia dan Adrian memilih untuk menikah. Namun, ternyata itu saja tak cukup. Butuh fondasi yang kuat seperti kepercayaan dan pengertian satu sama lain. Hal yang tidak didapatkan olehnya selaku seorang istri. Hingga kemudian badai rumah tangga mulai menerjang. Bayangan indah seketika pupus ketika Lily sadar bahwa ibu mertuanya tak akan pernah merestui mereka meskipun sudah diberikan cucu seperti Farel.
Puncaknya ketika buah hati mereka berumur tiga tahun. Suaminya semakin kelihatan tidak pernah mampu bersikap bijaksana. Yang ada dia terus tertekan hingga pria yang pernah menyebutkan janji suci padanya kala itu bersedia untuk mengabulkan permintaan sang mami, yakni perceraian. Pria tersebut tidak tahu caranya menempatkan diri sebagai kepala rumah tangga dan seorang anak sebagaimana mestinya. Jadilah keputusan menyedihkan telah dibuat dan disepakati.
“Lily.” Suara tersebut langsung merenggut mimpi singkatnya barusan. Lily lekas menegakkan badan ketika mendapat sentuhan lembut di pundak kanannya.
“Farel? Dia ngobrol sama siapa, Bi?” tanya Lily seraya mengumpulkan kesadarannya lagi.
Sang bibi terlihat salah tingkah disertai dengan wajah yang kebingungan. “Kenapa, Bi?”
“Eng ... Kata Farel orang yang di dalam sana adalah papanya,” gumam si bibi dengan suara pelan.
Mendengar ucapan tersebut jelas Lily tahu siapa sosok yang dimaksud. Dia pun lekas bangkit dan masuk ke dalam ruangan. Terlihat dua orang pria beda usia tengah berbicara. Di mana Farel dengan wajah yang begitu ceria.
“Ma, Papa datang lagi,” adu Farel yang menatapnya sekilas. Sedetik kemudian bocah itu mengalihkan wajahnya ke hadapan Keenan.
“Nak, bibi enggak tahu harus gimana lagi. Tadi waktu kamu tidur, orang ganteng itu manggil dokter. Hasil pemeriksaan Farel normal, sepertinya benar yang dikatakan papa gadungannya kalau ... anak kamu depresi,” bisik bibinya dengan sangat hati-hati. “Kasihan Farel ya.”
Lily masih bergeming di tempatnya. Memperhatikan sang putra yang terus saja mengoceh pada Keenan, sedangkan pria dewasa itu tidak banyak berucap. Memilih menjadi pendengar saja.
Di luar dugaan. Ternyata Keenan masih berada di rumah sakit setelah Lily tadi sempat meninggalkan ruangan tersebut untuk membeli sesuatu. Yang lebih mengejutkannya lagi saat bibi memberitahu bahwa putranya kini sudah dipindahkan ke bagian rawatan kelas VVIP.
“Cepatlah makan. Kau harus segera sembuh,” ucap Keenan dengan nada yang masih tak berubah. Dingin dan datar. Namun. Entah mengapa Farel sama sekali tak merasa aneh dengan sikap seperti itu.
“Mama suapin ya, Sayang,” gumam Lily yang sudah tiba di ruangan kelas termewah tersebut.
“Tidak usah, Ma. Aku bisa sendiri,” tolak Farel. Lekas tangan mungil bocah itu meraih peralatan makan yang ada di dekatnya. Mengunyah dengan lahap dengan senyum yang terlihat begitu merekah.
Ketika seorang perawatan hendak memberikan obat berupa cairan ke dalam selang infusnya, Farel menggeleng cepat. “Nanti aku bangun papa tidak ada. Aku tidak mau.”
“Aku akan tetap di sini. Percayalah,” gumam Keenan dengan senyumannya yang terlihat tanggung.
“Bener ya?” tanya Farel yang langsung diangguki oleh Keenan. “Janji ya, Pa?”
“Tentu.”
Setengah jam kemudian benar yang dikatakan oleh Farel. Bocah itu terlelap akibat pengaruh obat yang masuk ke dalam tubuhnya. Kini saatnya Keenan kembali berbicara pada Lily.
“Kenapa Anda muncul lagi? Sengaja ingin membuat putraku merasa tergantung padamu ya? Iya ‘kah?” tanya Lily dengan sorot mata tak sukanya.
“Kau sangat pintar ternyata,” aku Keenan kemudian. “Dengan begitu kau tidak punya pilihan bukan?”
“Anda sangat licik.”
“Aku hanya pandai menciptakan peluang. Pilihan ada di tanganmu. Membiarkan bocah itu gila atau kau yang harus mengikuti kemauanku.”
Lily terbahak seketika. Lagi. Dia kembali dipermainkan oleh takdir. “Apa yang akan kudapatkan kalau bersedia menikah denganmu?”
“Semua yang kau mau akan kupenuhi. Kecuali ...,” ucapan tadi terhenti ketika Keenan merasakan hawa kemenangan ada di pihaknya.
"Apa? Kecuali apa?" tanya Lily yang merasa sangat tertekan.
“Kita tidak akan melakukan peperangan di atas ranjang,” gumam Keenan sambil tersenyum miring. Wajah Lily yang tadinya terlihat tegang kini tampak kemerahan. “Kenapa? Apa kau kurang belaian, hemm?”“Jaga ucapanmu!” sentak Lily kemudian. Sungguh perkataan barusan sangat menyinggung harga dirinya. Ah. Dia hampir lupa kalau sudah lama kehilangan itu sejak memutuskan menikah dengan Adrian.“Jadi bagaimana?” Keenan sama sekali tak peduli dengan perubahan diri lawan bicaranya tersebut yang tampak tertekan. “Karena kau diam, maka aku anggap setuju. Aku akan urus ini bersama pengacaraku. Jadi bilang pada anakmu bahwa aku akan kembali.” Tanpa ingin mendengar balasan dari Lily, pria arogan tersebut melenggang pergi begitu saja. Kini Lily duduk di sofa ruang rawatan mewah putranya. Di sisi lain ada sang bibi yang sudah tertidur pulas di ranjang samping pasien. Sementara dirinya masih juga terjaga sejak dua jam yang lalu. Meratapi kemalangan hidup yang sepertinya tiada bertepi.
Teguran tadi membuat sepasang suami istri baru tersebut mematung seketika. Keduanya saling memandang dengan tatapan entah. Hingga beberapa detik kemudian Keenan mengulurkan tangan kanannya pada Lily.“Nah begitu. Jangan lupa diambil buat dokumentasi ya,” kata Pak Penghulu pada orang suruhan Keenan yang tengah memegang kamera.Sementara itu Lily menempelkan dahinya ke arah punggung tangan Keenan. Tak pelak sang pria pun mendekatkan bibir ke telinganya.“Aku bersedia menjadi papa untuk anakmu, tetapi jangan pernah berharap agar aku menganggapmu layaknya seorang istri.” Ucapan yang hanya bisa didengar oleh Lily saja karena jarak mereka yang sangat dekat.CUP!! Suami barunya itu mengecup singkat dahinya. Lantas kembali memundurkan tubuh menjauhi Lily.Penderitaannya bukan berakhir. Malahan bertambah hanya karena status baru yang sekarang ia sandang. Sebagai istri dari seorang pria yang bahkan tidak dikenal sama sekali. Bodoh. Tentu saja. Namun, nalurinya sebagai se
“Maaf, Pak. Emm... Bb-Bang Keenan maksud saya,” cicit Lily dengan suara seraknya. “Kali ini aku maafkan.” Keenan menatapnya dengan tajam. “Dengar baik-baik, Lily. Aku tak suka kau memanggilku dengan nada yang tinggi. Jadilah penurut kalau mau aku memperlakukan kalian dengan baik.” Wanita itu mengangguk tanpa suara. Lalu kembali berjalan berdampingan dengan Keenan menuju mobil. Tempat di mana putranya kini sudah berada. “Pa, kita mau ke mana?” tanya Farel ketika keduanya sudah berada di masing-masing sisi kanan kirinya. “Kau tunggu saja. Nanti juga akan sampai,” jawab Keenan dengan wajah dingin dan datarnya. Hal itu membuat Farel menunduk dan tak lagi berkata-kata. “Hei, tadi papa bilang apa, hemm? Dia mau kasih kejutan loh. Jadi jangan diganggu dulu,” bisik Lily seraya mengusapi puncak kepala anaknya. “Papa begitu karena dia takut keceplosan bicara, Sayang.” “Oh. Iya,” sahut Farel bernada pelan. Keenan yang tadinya membuang pandangan ke arah luar melirik Farel yang t
Suara barusan membuat Lily terhenyak seketika. Dalam sekejap kehadirannya sudah menjadi fokus semua orang yang ada di ruang tengah itu. Sementara Keenan sama sekali tak peduli."Keenan, kau jangan membual." Wanita dengan baju kekurangan bahan yang berdiri di hadapannya tersebut begitu meradang. "Dia hanya pembantu baru di rumah ini 'kan? Kalian ... tidak mungkin menikah. Kau hanya berbohong!!" Keenan memutar balas bola matanya. Lantas segera merengkuh cepat tubuh Lily. "Apanya yang tidak mungkin? Dia adalah istriku. Kami baru saja menikah. Apa kau tuli, heh?""Terus, kau anggap apa aku??" sentak sang wanita menggeram marah. Dia tersenyum miring ketika melirik ke arah istri Keenan itu. "Ini sungguh tidak lucu. Kau tahu bahwa kita adalah pasangan yang serasi." "Itu hanya menurutmu." Setelahnya Keenan menarik lengan sang istri meninggalkan wanita tersebut. Keduanya berjalan menuju kamar utama dan diikuti oleh seorang kepala pelayan yang tadi menyapa mereka. Warna putih, abu-abu dan hi
“Awwh!!” Wanita itu meringis saat tangannya dicengkeram kuat lalu disentakkan dengan kasar. Dia menggeram lalu menoleh ke arah si pelaku. “Kee-nan?”“Ini rumahku!” Keenan menatap tajam sang wanita lalu menariknya cepat ke luar dari kamar.“Keenan, ayolah. Sandiwara apa yang kau lakukan, heh? Aku tahu bahwa kau ditekan untuk segera menikah, tetapi mengapa harus dengan janda beranak satu pula? Lihat aku!” Dengan penuh rasa percaya diri wanita berambut perak itu mendekatkan. “Aku bisa jadi istrimu.”Sayangnya Keenan malah tertawa sumbang. “Lisna, berhentilah mengada-ngada. Lebih baik kau pulang sekarang.”“Aku serius. Aku kurang apa coba? Oh astaga. Jangan-jangan kau ini dipelet oleh perempuan itu.”Keenan mendengkus pelan lalu berucap. “Aku sedang tidak mau berdebat denganmu. Pergilah.” Sementara di dalam kamarnya Farel tengah mendengarkan penjelasan dari Lily terkait dengan insiden barusan.“Enggak pa-pa, Sayang. Tante yang tadi mungkin sedang kesal. Jadi ya berbicara asal
Farel terkesiap lalu mematung dalam sekejap. Sementara Lily lekas menahan tangan Keenan yang sudah mengepal erat.“Apa yang kau lakukan??” tanya Keenan dengan suara yang menahan geram. Tadinya dia hendak kembali ke ruang kerja. Namun, suara bising dari kamar Farel mengacaukan rencananya.Bocah usia empat tahun itu menunduk seraya meremas jari-jarinya sendiri. “A-aku hanya main rumah-rumahan.”“Dia hanya bermain. Tolong jangan memarahinya,” bisik Lily. Wanita itu menggeleng pelan dengan bola mata yang nyaris berhenti berkedip ketika Keenan mulai mengayunkan langkahnya. Tepat saat hampir mendekati Farel, suami dinginnya tersebut berhenti lalu mengambil posisi bersidekap.“Apa ranjangmu tidak nyaman?” tanyanya kemudian. “Kau tidak suka gambarnya?” Farel menggeleng. “Atau warnanya?” Lagi-lagi sang bocah menggeleng pelan. Keenan lantas mengernyit heran. Kepalan tangannya pun mulai mengendur.“Enggak ada yang salah kok. Semua yang ada di sini Farel suka,” gumam Lily
“Mbok Jum??” Lily yang barusan ke luar dari kamar dikejutkan oleh kehadiran ketua pelayan yang sudah berdiri di belakangnya. “Mbok nyariin siapa?”“Eh he.” Wanita paruh baya itu mengusap pelan tengkuknya sambil tersenyum keki. “A-anu. Tuan Keenan. Apa Tuan sudah bangun ya?”“Mungkin. Ranjangnya sudah rapi begitu.” Lily menjawab sekenanya. Jelas penuturan barusan membuat Mbok Jum mengernyit seraya membolakan mulutnya. Memangnya tadi malam sepasang pengantin baru tersebut tidak menghabiskan malam bersama? Itulah yang ada di dalam benaknya. Baru saja hendak bertanya lebih lanjut, suara derap langkah kaki membuat mereka lekas menoleh.“Tuan?”“Sudah jam berapa ini, Mbok? Kenapa telat membawakan teh untukku??” Tatapan Keenan begitu mengintimidasi. Membuat Mbok Jum menunduk karena merasa bersalah.“Maaf, Tuan. Saya pikir tadi malam Tuan dan Nyonya—““Apa??” potong Keenan cepat. “Jangan banyak bicara. Lakukan saja tugas Mbok di sini dengan benar.” Setelahn
Lily memejamkan mata sembari meremas kain yang ada di hadapannya. Belum lagi napas yang mulai terengah-engah. Sayang. Ketakutan wanita cantik itu tampaknya tak beralasan. Terlebih lagi karena dia sekarang baik-baik saja. Bahkan pinggangnya direngkuh erat oleh sebuah lengan kekar yang masih menempel di sana.“B-bang Keenan?” ringisnya dengan bola mata refleks melebar seketika.“Lain kali jangan ceroboh.” Keenan buru-buru berdiri tegak lalu melepas kaitan tangannya dari tubuh Lily.“Makasih ya.” Suaminya itu tak berniat membalas meskipun hanya dengan anggukan kepala. Lily pun bergegas menutup pintu kamarnya.“Huffh!”” Napasnya terembus kasar ketika mengingat kejadian barusan. Kalau saja Keenan tak cepat menahannya, maka sekarang entah tangan, kaki atau bokongnya yang sakit akibat terjatuh ke lantai marmer tadi. Saat ini putranya tengah bersiap-siap di kamar. Sementara Lily sedang was-was menunggui Keenan yang tengah mandi sejak lima menit