Pandu semakin geram sekali melihat sikap dua pendekar yang tengah berdiri angkuh di hadapannya.
"Sekadar mengingatkan. Kau ini tidak mungkin terlepas dari cengkraman kami, dan sudah dapat dipastikan bahwa malam ini adalah mimpi burukmu, Anak muda!" ucap seorang pendekar yang satunya lagi.
Tanpa banyak bicara lagi, Pandu langsung menerjang dua pendekar itu dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi, tangannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Serangan yang dilancarkan Pandu memang sangat luar biasa, jika saja mereka tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri yang mumpuni. Maka, mereka akan binasa saat itu juga terkena pukulan tenaga dalam dari Pandu.
"Kau ini masih bau kencur, tidak layak bertarung dengan kami yang sudah menguasai pengalaman di rimba persilatan!" bentak salah seorang dari dua pendekar tersebut.
"Kemampuan seseorang tidak dinilai dari kematangan usia. Aku tidak pernah gentar dalam menghadapi kalian, meskipun kalian memiliki segudang pengalaman dan ilmu kanuragan." Pandu menyahut sambil membentangkan kedua tangannya melebar ke samping dari dua sisi yang berbeda.
Tiba-tiba saja, tubuh Pandu bergetar hebat. Seketika itu, badannya pun memutar kencang melesat cepat memburu dua pendekar itu dengan sebuah jurus yang berkekuatan tinggi.
Beruntung sekali, kedua pendekar tersebut dapat menghindari serangan dahsyat dari Pandu, sehingga mereka berhasil lolos dari maut. Akan tetapi, Pandu tidak memberikan peluang barang sedikitpun bagi kedua lawannya.
Sambaran bola api keluar dari tangan Pandu, berbentuk sebuah lingkaran lantas membesar. Dengan satu kali hentakan, bola api tersebut langsung menyerbu target yang dituju. Alhasil, kedua pendekar jemawa itu langsung jatuh bergelimpangan hingga mengalami luka bakar di sekujur tubuh mereka.
Tubuh kedua pendekar itu kejang-kejang diselimuti api yang berkobar-kobar hingga mengering. Pandu berdiri menyaksikan detik-detik terakhir kedua lawannya itu.
"Maafkan aku, karena telah mengakhiri hidup kalian malam ini," desis Pandu menarik napas dalam-dalam, dan kembali surut beberapa langkah ke belakang.
Tubuh mereka hangus, tanpa terdengar suara rintihan ataupun keluhan, hanya dalam hitungan detik saja, dua pendekar itu sudah tewas dalam kondisi mengenaskan. Pandu sengaja mengerahkan jurus tenaga dalam andalannya, karena ia tidak mau mengulur waktu.
Setelah itu, Pandu langsung meloncat ke arah kudanya, dan duduk di atas pelana kuda tersebut. Dua bola matanya tampak bersinar-sinar tersorot cahaya bulan yang samar, matanya tajam menembus gelapnya hutan.
"Aku harus mengejar ketiga orang tadi," desis Pandu langsung memacu derap langkah kudanya menuju ke arah timur.
Pandu tampak penasaran, dan berusaha untuk mengejar tiga orang pendekar yang beberapa saat lalu berlarian ke arah timur, ketika dirinya tengah bertarung dengan kedua pendekar yang baru saja dikalahkannya.
"Hiya ... hiya!" Pandu memacu derap langkah kudanya sangat cepat menuju ke arah larinya tiga sosok bayangan itu.
Pandu tidak menyadari bahwa hadirnya tiga sosok bayangan hitam itu, adalah sebuah rekayasa dari kelompok pengacau keamanan di kerajaan Genda Yaksa yang dengan sengaja memancing dirinya untuk datang ke suatu tempat yang berada di dalam hutan itu.
Setelah mengetahui bahwa Pandu tengah mengejar mereka. Maka ketiga pendekar itu sengaja memperlambat langkah mereka agar mudah ditemukan oleh Pandu.
Sehingga dalam waktu sekejap saja, Pandu sudah dapat mengejar tiga sosok pendekar yang tengah berlarian memancing dirinya.
"Berhentilah kalian!" teriak Pandu sambil terus memacu derap langkah kudanya hampir mendekati ketiga orang tersebut.
Akan tetapi, mereka seperti tidak menghiraukan seruan dari Pandu. Mereka terus berlari menuju ke dalam hutan menelusuri jalan setapak yang tampak gelap gulita dan hanya mengandalkan kejelian mata mereka agar dapat bergerak dengan sempurna di kegelapan malam.
"Rabuta, berlarilah dengan kencang! Kejar mereka!" teriak Pandu sambil menepuk leher kudanya yang bernama Rabuta.
Rabuta bukanlah sembarang kuda biasa, kuda tersebut merupakan kuda pemberian dari Resi Naluka untuk Wira Karma, kemudian diberikan oleh Wira Karma kepada Pandu—putra semata wayangnya. Rabuta merupakan seekor kuda yang sangat jinak dan mampu bertahan di dalam air selama berjam-jam, serta mampu melihat dengan sempurna meskipun dalam kondisi gelap gulita.
"Hiya ... hiya!" Pandu terus memacu kudanya dengan sangat cepat.
"Ayo, Rabuta. Kejar mereka!" seru Pandu kepada kuda kesayangannya.
* * *Rabuta terus berlari kencang membawa Pandu mengejar ketiga pendekar itu, menerobos kegelapan malam. Hingga pada akhirnya, mereka pun telah tiba di sebuah perbukitan yang berada di balik hutan tersebut yang terkenal dengan julukan Bukit Tengkorak. "Kita sudah berhasil memancing anak muda itu," desis salah seorang dari ketiga pendekar tersebut. "Malam ini kita harus menghabisi anak muda itu di bukit ini!" sambungnya sambil tertawa lepas. Pandu terus mengamati tiga orang pendekar yang ada di hadapannya. Sejatinya, ia merasa heran dan kebingungan ketika melihat tiga orang pendekar itu, tiba-tiba saja berhenti dengan posisi membelakanginya, dan tertawa dengan begitu puas. Seakan-akan, mereka tengah merayakan sebuah kemenangan. "Aku tidak mengerti dengan maksud kalian, sebenarnya kalian ini siapa? Ada maksud apa kalian memancingku hingga tiba di bukit ini?" tanya Pandu masih duduk di atas pelana kudanya.
Dengan demikian, pendekar itu pun tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Seakan-akan, terkena oleh pengaruh jurus yang sangat dahsyat dari orang tua tersebut. Pria senja yang tiba-tiba datang itu adalah Resi Naraya—gurunya Pandu yang hendak ditemui oleh Pandu. Entah kenapa? Mendadak ia datang dan memberikan pertolongan kepada muridnya yang tengah dihadapkan dalam sebuah kesulitan. Sehingga Pandu pun hanya diam termangu sambil menatap sosok sang guru yang tengah berhadap-hadapan dengan satu orang lagi pendekar yang masih hidup itu. "Kenapa guruku bisa tahu jika aku tengah dalam kesulitan?" berkata Pandu dalam hati. Jiwa dan pikiran Pandu kala itu diselimuti rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap gurunya yang sudah datang dan memberikan pertolongan untuknya. "Hentikan perbuatanmu, jika tidak ingin bernasib sama seperti dua kawanmu!" seru pria berusia senja yang mengenakan ju
Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja." Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya. "Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat. Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu. Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.
Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi. "Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan. "Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan. Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata
Pandu dan kedua pria paruh baya itu terperanjat mendengar teriakan tersebut. Ia bergegas bangkit hendak menghampiri suara teriakan itu. Akan tetapi, orang yang tadi berteriak memanggilnya itu sudah berlari ke arahnya. "Reksa Pati, kau ini kenapa? Seperti ketakutan sekali?" tanya Pandu mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Reksa Pati yang sudah berada di hadapannya. "Aku baru saja bertarung dengan seorang pria yang mengenakan topeng tengkorak. Tapi, orang itu menghilang setelah menghajarku," jawab Reksa Pati dengan napas terengah-engah. "Kemudian muncul suara-suara aneh yang menakutkan. Sehingga, aku pun langsung lari," sambungnya menceritakan tentang apa yang dialaminya. "Sebaiknya kau duduk dulu, Reksa!" perintah Damara kepada pemuda itu. "Iya, Paman." Reksa Pati langsung melangkah dan duduk di hadapan Wira Karma. Ia tampak kaget ketika melihat tangan Wira Karma sudah dibalut kain. "Tangan Paman kenapa?" tanya Reksa Pati tampak penasaran
Pandu menghentikan langkahnya sejenak, lalu berpaling ke arah munculnya suara tersebut. Tampak seorang pria sudah berdiri tegak di belakangnya sambil memegang sebilah golok. "Siapa orang ini? Kenapa dia mengenaliku?" Pandu bertanya-tanya dalam hati. Orang tersebut melangkah menghampiri Pandu. "Kebetulan sekali aku menemukanmu di sini," kata pria berwajah sangar itu, tersenyum lebar memandangi wajah Pandu. "Siapa kau ini, Ki Sanak?" tanya Pandu mengerutkan kening. Pandu sama sekali tidak mengenali orang tersebut. Namun, orang itu tampaknya sangat mengenal dirinya. "Aku sengaja menghentikan langkahmu di sini, karena aku mendapatkan tugas penting dari Ki Kusumo untuk membawamu ke padepokannya," jawab pria itu. Pandu menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap wajah pria itu penuh selidik."Maaf, Ki Sanak. Seandainya itu tugas penting, kenapa Ki Sanak tidak datang saja ke rumahku?" tanya Pandu. "Aku tidak tahu di mana te
Pandu tidak mengindahkan seruan dari para petani tersebut. Ia hanya tersenyum saja sambil mengamati lawannya yang sudah tidak berdaya. Beberapa saat kemudian, pria itu bangkit. Meskipun sudah dalam kondisi terluka parah, namun dirinya masih tersenyum ketika tubuhnya goyang hendak jatuh terbanting. Dari mulut dan hidungnya kembali mengeluarkan darah hitam kental. Melihat kondisi lawannya seperti itu, Pandu cepat tanggap langsung menangkap tubuh pria itu, Pandu tetap memiliki jiwa bijaksana dan belas kasihan. Ia tidak membiarkan lawannya itu jatuh lagi, karena kondisinya sudah parah mengalami luka dalam terkena pukulan keras darinya. "Tolong bantu aku mengangkat orang ini!" seru Pandu kepada para petani yang ada di tempat itu. Namun, para petani itu tampak ragu. Seakan-akan, mereka enggan membantu Pandu menolong orang tersebut. Seperti yang mereka ketahui bahwa orang itu bukanlah orang baik, sehingga para petani i
Namun, Damara mencegahnya, "Berbaring saja, jangan bangkit dulu! Lukamu belum sembuh." "Iya, Ki," jawab orang itu mengurungkan niatnya untuk bangkit. Ia berpaling ke arah Pandu, lalu berkata, "Maafkan aku, Pandu. Kau jangan marah kepadaku, karena aku sudah menuruti perintah Ki Kusumo untuk memaksamu ikut ke padepokannya," ucapnya penuh sesalan. "Aku tidak marah kepadamu, kalau aku marah tidak mungkin aku membawamu ke tempat ini," sahut Pandu sambil tersenyum lebar. "Sungguh mulia hatimu, Pandu," desis pria tersebut. "Namamu siapa? Dan kau tinggal di mana?" timpal Damara bertanya kepada pria yang baru saja ia obati. "Namaku Jalamangkara, aku berasal dari kerajaan Kahuripan. Selama tiga tahun aku ikut bersama Ki Kusumo di padepokannya," jawab orang itu bersikap ramah dan tidak sombong seperti sebelumnya. "Lantas, kenapa kau bisa mengenal namaku?" tanya Pandu meluruskan pandangannya ke wajah Jalamangkara. "Aku mengenalimu