"Rere, kita pulang bersama ke Jakarta, gimana?" tanya Mr Bagas saat mereka berdua di kursi, makan bersama.
"Kapan, Mr Bagas? Kalau sekarang tidak bisa, saya tidak mendapatkan tiket?" Jawab Rere yang dengan wajah kecewa.
"Apa maksudmu dengan tiket? Aku tidak pernah menyewakan pesawat pribadiku kepada siapa pun."
Sontak Rere minta maaf, atas ucapannya tadi.
"Hahahah! Aku bercanda Dew, kenapa kamu jadi sekaku itu di depanku." jawab Mr Bagas sambil tertawa lepas.
"Saya kira Mr marah karena ucapan saya, Jujur saya lupa kalau Mr naik pesawat pribadi."
"Jadi ... Bagaimana? Kamu mau kan ke Jakarta bersamaku." ulang Mr Bagas ke Rere yang masih belum menjawab pertanyaannya.
"Baik. Mr."
Rere duduk termenung di pojok kantin, di depannya ada secangkir kopi yang masih terlihat masih mengeluarkan asap.Dia seperti tak perduli dengan keadaan kantin yang ramai saat itu, banyak orang yang menyapanya atau sekedar tersenyum ke arahnya, namun tak satu pun yang dia balas.Dengan bersandar pada sandaran kursi yang sedang ia duduki, Rere memejamkan mata dengan tangan memeluk tasnya yang berada di pangkuan.Rere bingung dengan apa yang baru saja ia alami. Bayangan saat bersama Alman tadi membuatnya merasa tidak di hargai. Namun di sisi lain dia juga merasa simpati, saat mendengar alasan kenapa Alman melakukan itu kepadanya.Salah satu tangan Rere terulur ke arah cangkir kopinya, kemudian di minumnya sedikit, hanya sebagai pembasah kerongkongannya saja.Ponsel di dalam tasnya bergetar, Rere dapat merasakan getaran itu, meski tangannya berada di
Melihat pak Bagas sudah menghilang, Rere segera menuju ke kabin pesawat untuk mengambil barangnya.[ Din, kamu di mana?] Tanya Rere saat telpon yang ditelinganya tersambung.[ Lagi ada di apartemen, Bu!][Jemput aku sekarang!]Rere langsung mematikan sambungan telponnya, dan langsung memberikan lokasi di aplikasi berwarna hijau ke Udin.Nampak angka yang bertambah di pesan Alman kepadanya. Namun tak membuat Rere penasaran untuk membukanya.Dengan membawa dua koper besar, Rere melangkah menuju kantin di dalam bandara."Mbak, pesan kopi satu, ya!" Pinta Rere, tangannya juga mengambil roti sobek yang di pajang di atas meja kasir.Lima menit menunggu, akhirnya pesanan nya datang juga.Rere kemudian langsung membawa kopi dan roti yang sudah dibelinya ke sebuah meja yang letaknya di dekat pintu, agar mempermudah Udin untuk segera mengena
[ Eh jangan dong sayang,] cegah Alman terdengar seperti sedang merengek.Tak ada jawaban dari Rere. Dia hanya menjadi pendengar dan membiarkan Alman yang sedang bercerita. Hingga tanpa sadar Rere tertidur dengan ponsel yang masih menyala.****"Ya, sebentar ...!" Rere terbangun saat mendengar ada ketukan di pintunya. "Mbak, maaf harinya sudah petang." Suara berat Mak terdengar di balik pintu. "Iya, Mak. Makasih." Dengan sedikit berteriak Rere membalas ucapan mak. Hingga terdengar suara langkah Mak yang menjauh.Mata Rere langsung melotot saat melihat di ponselnya yang masih menyala, wajah Alman sedang menatapnya sambil tersenyum. Berarti sejak dia tertidur ponselnya bersambung terus dengan Alman."Kamu di mana?" Taya Rere saat melihat background tempat
"Mak, di kulkas nggak ada isinya, ya? Kita belanja bareng yuk!" Ajak Rere saat kakinya baru turun dari tangga. Kebetulan hari ini hari Sabtu, hari libur kerja buat dirinya.Tak ada jawaban yang keluar dari Mak, kecuali rengekan Nur."Mau ya, Mak." Pinta Nur yang berbisik dekat Mak yang sedang membuat roti selai di dapur.Namun, walau berbisik, Rere masih dapat mendengarnya dengan jelas."Tapi jangan minta dibelikan sesuatu kalau dah nyampek sana, janji?" Ujar Mak dengan suara yang tak kalah pelannya.Rere tersenyum tak berniat ikut campur saat proses tawar menawar antara ibu dan anak berlangsung."Es cream?" Nur masih menawar."Jangan ya, nanti aja kalau Mak sudah gajian," larang Mak, sembari mendekat ke meja makan sambil membawa baki yang berisi susu dan roti dua lapis."Mbak ...." Ujar Mak saat tangannya meletakkan piring berisi dua ro
Dering ponsel berulang kali terdengar namun Rere sepertinya enggan untuk menyentuh benda pipih yang semalam ia letakkan di sampingnya.Menarik selimut yang entah kenapa merosot ke bawah, kemudian kembali melanjutkan tidurnya.Semalam dia, Mak, Nur dan Udin bergotong royong memilah dan memasukkan barang belanjaan ke tempatnya masing masing.Mereka juga membantunya memasukkan barang barang pribadinya yang masih di dalam dalam koper untuk di letakkan dalam lemari.Tidak cukup itu saja, Nur yang sudah tidur puas di mobil, tidak dapat langsung tidur lagi walau pun sudah larut malam, jadilah mereka berempat menonton televisi, dan menyantap mi instan yang Mak buat hingga tadi dini hari.Ponsel itu berbunyi lagi, Rere tahu siapa yang sedang menghubunginya, Alman! Lelaki itu tak akan berhenti menghubunginya. Sampai dia menerima panggilan video call dari lelaki itu.&nbs
"Pagi, semua." sapa Rere yang baru saja menginjakkan kaki di ruang makan.Mak yang sedang menemani Nur sarapan, sudah membuka mulutnya hendak menjawab sapaan Rere namun, hanya bisa melongo saat mata mereka menatap penampilan Rere."Mak, pangling. Mbak." ujar Mak. Sesaat kemudian setelah kaget nya hilang.Seketika senyumnya merekah, sambil terus menerus menatap wanita yang baru saja turun dari tangga itu."Tapi kaca matanya jelek, kalau di buka pasti lebih cantik." sahut Nur yang sudah rapi dengan seragam barunya, tiba tiba menimpali ucapan Mak.Rere hanya bisa tersenyum mendengar komentar pedas, tangannya memundurkan satu kursi untuk memberikan cukup ruang agar dirinya bisa duduk menikmati sarapan."Maaf, Mbak. Untuk yang sekarang, Mak lebih setuju dengan yang di katakan Nur. Kaca matanya jelek." ujar Mak tulus, tanpa bermaksud menyinggung perasaan Rere yang sedang memak
Rere hanya bisa menarik nafas panjang sambil berdiri dari kursinya, mencoba tersenyum walau tampak sekali terlihat kalau apa yang ia lakukan saat ini seperti sedang berada dalam tekanan."Apa kabar, Wa?" Ujarnya, dengan kembali merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Matanya menatap membalas tatapan Dewa dengan pandangan yang biasa saja."Kau tampak sangat tidak bersahabat saat melihatku, Dew? Apakah kamu sehat?"Dewa mulai menabuh genderang perperangan.Bukannya menjawab apa yang Rere tanyakan, dia malah balik bertanya dengan senyum sinis yang setia di bibirnya."Alhamdulillah, buktinya aku ada di sini." Jawab Rere yang walau pun terdengar sama sama sinis, namun senyum Rere terlihat lebih tulus."Seperti yang papa ucapkan padamu kemarin, mulai saat ini Dewi yang akan menemanimu menjalankan roda perusahaan. Papa dan dewan direksi sudah berdisk
"Dewa ...."Tanpa mengetuk pintu, seorang perempuan setengah baya, dengan riasan sederhana namun tampak elegan, berambut putih sebahu yang dibiarkan terurai begitu saja, langsung masuk ke dalam ruangan tempat pak Bagas di rawat.Tentu saja kedatangan yang tiba tiba membuat Dewa yang sedang melamun dibuat kaget, hingga terlonjak bangun dari duduknya."Ma, jangan keras keras dong, kalau manggil, bikin aku kaget aja.""Bukan suara mama yang bikin kaget, tapi pikiran kamu yang kemana mana itu buat kamu tersentak." bantah perempuan yang dipanggil mama oleh Dewa."Jelaskan pada mama, kenapa Papamu bisa begini, jangan dikurangi dan jangan dilebih-lebihkan." Titah mamanya pada Dewa, tegas tapi pelan.Beliau memilih duduk di kursi yang tersedia samping Dewa. Setelah sebelumnya menghampiri, memandangi kemudian mencium kening pak Bagas, suaminya.Dewa yang tidak b