“Minggir!” teriak Stuart melepas talinya dan mendorong Cia agar lari mendekati Morgan. Katon melakukan hal yang sama bersama Lorna. Mereka berlima menjauhi sarkofagus yang terjatuh miring. Kelimanya menatap ke arah benda itu. Stuart bahkan berjongkok untuk mengetahui sudut yang menghantam lantai. Tidak ada asap. Tidak ada debu. Semua tampak baik-baik saja. Dan bagian sarkofagus yang menghantam lantai sedikit terbuka. Menumpahkan sekaligus menunjukkan isinya sedikit. Tanpa menunggu sahabat-sahabatnya, Stuart melangkah mendekati sarkofagus dengan berani. Katon hendak melarangnya. Namun, melihat keteguhan dan kerinduan di wajah Stuart, Katon memutuskan untuk melihat saja. “Setidaknyanya pake sarung tangan sama masker gas, kek,” celutuk Lorna. Katon berniat meneriakkan saran Lorna tetapi Stuart telah tiba di sisi sarkofagus dan membuka paksa tutupnya yang sudah rusak. Sesosok jenazah terbungkus kain kusam terjatuh dan kainnya robek menunjukkan isi yang ternyata hanya sisa-sisa residu t
“Crap!” Katon segera sadar sepenuhnya dari kondisi baru bangun tidur dan kelelahan. Ia bangkit dan memilih duduk di tepi tempat tidur, melanjutkan mendial nomor telepon lain. Bukan Ratih, kali ini ia menghubungi Lily. Perbedaan waktu tujuh jam antara Kairo dan Riquewihr membuat Katon merasa bebas saja menghubungi Lily meski sekarang masih pukul dua dini hari di Kairo. Karena di Riquewihr adalah pukul sembilan pagi. Keluarganya pasti sedang menikmati sarapan pagi. “Halo!” Suara Lily ceria. “Lily, Ratih masih di Riquewihr, ‘kan?” tanya Katon panik. “Masih. Kenapa gak telepon Mbak Ratih aja, Mas?” Lily balik bertanya dengan heran. Lily bicara dengan intonasi yang jelas, antara mereka belum mulai sarapan atau sudah selesai. “Mas butuh bantuanmu. Mbakmu ngambek karena Mas gak telepon dua hari ....” “Kapok!” potong Lily. “Lily!” “Iyaaa, Lily dengerin. Lanjut!” “Kamu coba bicara padanya. Mas akan meminta bantuan Maxime untuk mengantar Ratih ke Kairo,” ujar Katon. Maxime adalah salah
"Halo Gamal,” sapa Lorna ceria. Di sisinya ada Cia yang sibuk memakaikan jas untuk Lorna yang sedikit terbuka malam ini, mendadak sembuh dari demam ketika dikatakan akan diajak clubbing. “Mari, saya antar ke meja Anda.” Gamal meluruskan lengan dan mempersilakan rombongan Stuart. “Tolong kendalikan pesanan alkohol, Gamal. Aku tidak mau ada yang mabuk malam ini,” kata Katon seraya menyelipkan segepok uang ke genggaman tangan Gamal ketika mereka berjalan bersama-sama, seolah bersalaman ringan. “Baik, Tuan Tenan.” Gamal mengangguk khidmat dan dengan luwes memasukkan uang dari genggaman tangannya ke saku celana. Mereka dibawa ke meja di samping jendela sehingga bisa menikmati pemandangan kota. Sesuai janji Gamal sebelumnya, dia mengendalikan pemesanan alkohol dan menjaga kesadaran tamu-tamunya. Yang menjadi masalah ketika mereka puas menikmati makan malam, ternyata Stuart meneruskan keinginannya. Yang tidak diduga Katon karena ia dan Morgan sudah menolaknya. Lagipula, ada Lorna dan C
Mereka kembali ke griya tawang yang mereka sewa dengan berjalan kaki. Stuart yang setengah mabuk berjalan sambil merangkul dua wanita. Morgan masih berusaha membebaskan diri dari satu wanita yang bandel menempel padanya. Cia dan Lorna yang saling bergandengan sambil sesekali berdansa di tengah jalan. Dan Katon yang berusaha mempertahankan Ratih di tangannya. Meski Ratih gigih melawan, tetapi Katon memaksa menggenggam tangannya dan menggandeng sepanjang perjalanan kembali. Sesekali ia akan membawa punggung tangan Ratih ke mulutnya dan mengecup ringan untuk meredakan kesal wanita itu. Saat ini mereka berjalan di Midan Tahrir, distrik tengah yang ingin menjadi “Paris di Sungai Nil,” tempat restoran-restoran dan kafe-kafe terkenal berada. Salah satunya yang baru saja mereka tinggalkan. Lampu-lampu jalan menghiasi tepian Sungai Nil, menciptakan jejak cahaya yang membelah gelapnya air. Bangunan-bangunan bersejarah seperti Menara Kairo dan Benteng Saladin berdiri megah. “Dan pemandangan s
Sesuai dengan rencana yang sudah disusun Katon. Mereka akan bertolak dari Kairo kembali ke Paris, Perancis terlebih dahulu untuk mengantarkan rombongan Katon, Ratih, Morgan dan Stuart, baru ke Barcelona, Spanyol untuk mengantarkan Lorna dan Cia. Ketika jet pesawat pribadi milik Satria telah dipakai untuk mengantarkan keluarga kembali ke Indonesia, pesawat tersebut mengubah jadwal dan mengurus perijinan terbang ke Kairo untuk menjemput putera sulung Satria dan Arini. Dengan memakai pesawat jet pribadi, pemeriksaan keimigrasian melalui jalur khusus tidak terlalu ketat. Mereka yang telah mensortir harta-harta karun dan menentukan ranking nilainya, lebih leluasa menyembunyikan di berbagai tempat pada bagasi pribadi mereka. Mereka melalui jalur pemeriksaan khusus dan bisa pulang ke Paris dengan mudah. Seperti biasa, ketika tiba di Charles de Gaulle International Airport. Katon mempersilakan Morgan dan Stuart untuk memakai rumah tapak miliknya sementara ia akan mengantar Ratih ke apart
Karena Katon sudah mendapatkan keinginannya untuk mempersunting Ratih, walau pernikahan belum ditetapkan karena menunggu Ratih wisuda. Tetap saja, Katon sudah mendapatkan keinginannya maka Satria akan memberikan tanggung jawab lebih besar untuk bekerja. Jadwal sudah ditetapkan dan Katon harus pergi ke Yunani untuk menemui perusahaan telekomunikasi terbesar di Yunani. Growth Earth Company mempunyai rencana kerjasama dengan Outentic Telecommunication Organization S.A salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Yunani yang bergerak di bidang layanan telepon fixed-line dan mobile, layanan internet broadband, layanan televisi berbayar. Mereka juga berkontribusi pada transformasi digital dengan memungkinkan infrastruktur dan menjadikan Yunani negara yang menarik untuk investasi dan bisnis. “Jam dan tempat pertemuan dengan Michael Tsamas Kaissariani sudah dikirimkan ke emailmu. Demikian juga dengan dokumen-dokumen yang kamu perlukan untuk berkonsiliasi dengannya. Pelajari dulu dokumen
Konitsa, yang terletak di Epirus, Yunani, adalah surga bagi para pecinta alam dan olahraga ekstrem. Sesuai dengan kesukaan Katon, di sini ia akan menemukan pemandangan yang menakjubkan, gunung-gunung megah, hutan lebat, lembah-lembah yang hijau, dan desa-desa yang memesona. Salah satu alasan membawa Ratih. Katon yang tiba lebih dulu sudah menunggu kedatangan Ratih di Ioannina National Airport. Ia sudah menyewa mobil Ferrari 458 Spider warna hitam yang sengaja ia buka bagian atap seluruhnya. Ia sengaja memilih mobil ini agar Ratih dan dirinya bisa menikmati sinar matahari Yunani. Katon bisa mengenali Ratih dari jauh dan segera menghampiri untuk menyambutnya. meminta satu-satunya duffel bag yang dibawa Ratih. “Konitsa? Kirain Mas mau tetap di Athena. Kenapa Konitsa?” tanya Ratih setelah mencium punggung tangan tunangannya yang dibalas dengan perlakuan sama. “Kenapa tidak? Di sini indah,” jawab Katon. Katon membawa Ratih ke Konitsa Mountain Hotel yang terletak di titik tertinggi di
Katon tidak tahu sama sekali jika Rosalind memiliki rumah dan kebun di sini. Para wanita di keluarganya memang menyukai anggrek. Katon tahu itu. Neneknya, mamanya karena terbawa Maya dan Rosalind karena terpengaruh Arini. Lily? Belum memperlihatkan kegilaannya pada anggrek. Tapi tentu saja karena gadis itu masih remaja dan masih mencari jati diri. Tetapi ia tidak tahu jika Rosalind akan menekuni hingga serius seperti sekarang. Dan menyembunyikannya di Yunani? Jauh sekali. “Terima kasih.” Karena Katon masih terpesona menatap adiknya dan Morgan, maka Ratih yang menggantikannya untuk mengucapkan terima kasih pada pelayan yang menjawab pertanyaan Katon. Pelayan itu mengangguk pada Ratih dan Katon lalu meninggalkan mereka. “Mas?” “Waaah ... aku merasa ditelikung,” desis Katon dengan nada tak percaya. “Oleh Rosalind? Dia pasti memiliki alasan tersendiri. Tentu saja,” kata Ratih sambil tersenyum penuh pengertian. “Apa maksudmu dengan tentu saja?” tanya Katon keheranan. “Aku memiliki b
Katon kembali menyeberangi lobi InterContinental Raffles City. Posturnya yang gagah dibalut setelan mahal bisa saja menarik perhatian wanita manapun. Tetapi, sejurus kemudian sepasang pria dan anita mendekat lalu berjalan bersama Katon, mengiringi seperti penjaga. Liang Zhiyuan berjalan dengan tegap, posturnya kokoh dan penuh otoritas, seolah setiap langkahnya memiliki tujuan. Otot-ototnya yang tegas menunjukkan kekuatan yang tak perlu dijelaskan. Di sisi lain, Mei Lifen, dengan tubuh ramping dan anggun, bergerak dengan kepercayaan diri yang halus namun memancarkan kecerdasan tajam, auranya tenang tapi berbahaya. “Jelaskan lagi padaku tentang Lin Jianghong,” perintah Katon pada Mei Lifen selama mereka berjalan. Selama mereka berjalan menuju mobil hingga berkendara, Mei Lifen tak henti bicara menjelaskan pada Katon. Lin Jianhong adalah sosok pebisnis yang berwibawa, tetapi di balik citra publiknya yang terhormat sebagai pengusaha sukses, dia sebenarnya adalah seorang tokoh krimina
Katon mendapat tugas dari Satria untuk memulai perjalanan bisnis ke Kota Chongqing yang terletak di barat daya Tiongkok. Salah satu kota di dunia yang terkenal akan sejarah dan perkembangan futuristiknya. Maka ia mengajak sang istri demi agar Ratih memperoleh pengalaman berharga. Ratih melangkah keluar dari bandara Chongqing dengan memeluk lengan Katon. Udara kota ini terasa berbeda, lembab namun hangat, seolah menyambutnya dengan sapaan kawan lama. Saat mobil membawa mereka menuju pusat kota, matanya tak bisa berhenti menelusuri setiap sudut yang asing dan megah. Di kejauhan, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, membelah langit dengan bentuk futuristik yang tak pernah ia bayangkan. Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah pemandangan Jiefangbei CBD, pusat bisnis yang penuh dengan lampu-lampu neon yang berkedip, menciptakan efek cyberpunk yang mengesankan. Ratih membayangkan seolah-olah dia tengah berada di planet lain. Kota ini terasa hidup, tetapi juga misterius.
Pagi hari kedua di Everest Base Camp tiba dengan perlahan. Matahari baru saja muncul, suhu dingin masih menusuk hingga ke tulang. Di dalam tenda yang kecil tetapi hangat, Ratih terbangun dengan perlahan. Di sebelahnya, Katon masih terlelap, berbaring dengan nyaman di dalam sleeping bag yang sama dengannya. Ratih menyadari dirinya masih terbungkus dalam pelukan suaminya yang mencoba menghalau dingin yang menggigit. "Mas, bangun. Sudah pagi" bisiknya pelan, mendekatkan wajahnya ke Katon. Dengan lembut, ia mengecup bibir Katon, berharap ciuman manis itu bisa membangunkannya. Katon membuka mata dengan berat, dan ekspresi malas terlihat jelas di wajahnya. "Udah bangun, Neng. Bawahnya," ucapnya pelan sambil menguap lebar. Ratih tertawa kecil, lalu menepuk mesra lengan suaminya. "Jangan malas, Mas! Kamu janji ajak aku jalan-jalan hari ini." Dorongannya lembut, tetapi cukup kuat untuk membuat Katon perlahan duduk dan meregangkan badannya. Dingin pagi di EBC memang bisa membuat siapa saja i
Ratih akhirnya bisa bernapas lega. Hari-hari sebelumnya terasa begitu berat baginya saat harus berjuang melawan AMS Kini, dengan kekuatan baru, ia bersama suaminya Katon, melangkah keluar dari penginapan mereka di Dingboche. Langkahnya makin ringan karena Ratih tak perlu membawa beban apapun. Bersama dengan Rosalind da Morgan di belakangnya, Ratih mengikuti jejak langkah Katon yang berada di belakang Fey Foxie. Pasangan wanita itu, Jagawana terkuat, memilih menjadi penjaga di belakang Morgan dan Rosalind. "Mas, aku enggak percaya sudah sejauh ini. Masih sedikit pusing, tapi kurasa aku baik-baik saja," katanya bangga akan dirinya sendiri pada Katon. "Kamu luar biasa, Sayang. Jangan lupa untuk selalu minum air dan beristirahat saat perlu. Kita tidak perlu terburu-buru," ujar Katon menyemangati istrinya. Ratih mengangguk senang. Apa yang ia takutkan kalau ada Katon dan sekarang bisa tersenyum puas melihat barang bawaannya ada di punggung Fey Foxie sementara ia melenggang kangkung. Pe
Desa Dingboche, terletak di Nepal, adalah sebuah desa Sherpa yang terletak di ketinggian 4,410 meter di wilayah Khumbu. Desa ini dikenal sebagai "Summer Valley" karena cuacanya yang lebih hangat dibandingkan desa lain di sekitarnya. Dingboche tempat yang populer untuk aklimatisasi altitud sebelum menuju Basis Gunung Everest, selain memiliki pemandangan memukau, suhunya tidak terlalu menyiksa bagi pendaki yang berhenti dan berlatih beradaptasi sebelum naik ke tempat yang lebih tinggi. Desa ini juga dikelilingi oleh gunung-ganang Himalaya seperti Ama Dablam, Lhotse, dan Nuptse, yang membuatnya menjadi luar biasa mempesona. Ratih semakin membaik kondisinya ketika telah beristirahat setengah hari di Dingboche. Sesekali ia masih butuh menghirup oksigen portabel, oleh karena itu Ratih masih dikurung oleh Katon di dalam kamar. Sementara Rosalind dan Morgan, lebih sering berkeliling berdua. Sayangnya bukan untuk berkencan. Tetapi mengenali situasi apakah ada tentara Tibet yang mengendus pel
AMS atau Acute Mountain Sickness terjadi ketika seseorang berada di ketinggian yang lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut, menyebabkan tubuh kesulitan menyesuaikan diri dengan kadar oksigen yang lebih rendah. Jika AMS tidak segera membaik atau malah memburuk, komplikasi yang lebih serius bisa terjadi, seperti High Altitude Pulmonary Edema atau HAPE sebagian bisa meningkat ke High Altitude Cerebral Edema atau HACE. Gejala-gejala ini termasuk batuk basah, sesak napas parah, sakit kepala ekstrem, kebingungan, hingga pingsan. Pada tahap ini, tindakan segera adalah membawa penderita ke ketinggian yang lebih rendah, di mana kadar oksigen lebih tinggi. Jika AMS yang dialami Ratih semakin parah, Katon harus memutuskan segera turun. Pendakian lebih tinggi bisa memperburuk kondisi AMS, tetapi mereka juga bisa bertemu dengan tentara Tibet jika turun. Alternatifnya adalah memantau Ratih lebih dekat di Dingboche, yang berada pada ketinggian 4.410 meter. Perjalanan ke Dingboche mungkin bi
Katon, Morgan, Rosalind, dan Ratih melangkah dengan cepat meninggalkan hotel yang sudah menjadi medan perang. Mereka tahu betul, meskipun tentara Tibet telah mundur, situasinya masih sangat genting. Angin dingin dari puncak gunung menyapu wajah mereka saat mereka berjalan melewati jalan-jalan sempit Namche Bazaar yang dipenuhi turis dan pedagang, tak menyadari bahaya yang baru saja terjadi di hotel itu. Berusaha membaur dengan rombongan pendaki baru yang sengaja melanjutkan perjalanan demi menghindari bentrok internal di sekitar Hotel Everest View. “Berapa lama sampai kita mencapai jalur pendakian ke EBC?” tanya Ratih, masih terdengar gemetar meskipun dia berusaha menyembunyikannya. Gemetar yang disebabkan bukan karena gempuran dingin, tetapi juga rasa shock telah bentrok dengan tentara suatu negara. Morgan menatap peta di tangannya. “Sekitar satu jam, jika kita bergerak cepat. Namun dengan tentara Tibet yang mungkin masih mengawasi, kita harus mengambil jalur alternatif.” Katon
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah tirai tipis jendela hotel membangunkan Katon dari tidur lelapnya. Ia masih memeluk Ratih yang meringkuk kedinginan. Ia berbaring sejenak, berusaha beradaptasi dengan suhu dingin yang melingkupi Namche Bazaar di ketinggian lebih dari 3.400 meter di atas permukaan air laut. Perlahan ia melepaskan Ratih dan berbalik. Melihat Ratih masih terlelap, Katon bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati dan menutupkan selimut rapat-rapat ke tubuh istrinya. Setelah mengenakan jaket tebalnya, Katon membuka tirai dan memandang keluar jendela. Namche Bazaar terlihat tenang pagi itu, deretan bangunan berwarna cerah tersebar di lereng gunung yang curam, dan para pendaki serta penduduk lokal mulai memenuhi jalanan menuju pasar. Hari ini adalah Sabtu, hari di mana pasar besar Namche Bazaar digelar, menarik para pedagang dari seluruh penjuru Khumbu. “Pagi.” Suara Ratih memecah keheningan. Dia terbangun dan menatap ke arah Katon. Sudah tidak ada je
Ratih yang berjalan duluan, membuka pintu kamar dengan kunci manual lalu masuk sambil membiarkan pintu tetap terbuka. Wajahnya ditekuk sepuluh saat melangkah masuk. Sebaliknya, Katon melangkah masuk dengan senyum tersembunyi, menutup perlahan pintu, sudah siap jika Ratih akan menghajarnya lagi. Ternyata ketika balik badan, Katon hanya melihat Ratih menjauh sambil melepas jaket tebalnya dan bergerak naik ke tempat tidur. Katon menghela napas sedikit kecewa. Ia berjalan menjauhi pintu dan mendekat ke ruang tengah tempat ranjang mereka berada. “Sudah makan, Neng?” tanyanya lembut sambil melepas jaketnya juga dan meletakkan terlipat rapi di sebelah jaket Ratih. Sang istri mendengus sekalan membuang muka. “Nungguin kamu? Asam lambung yang ada!” jawab Ratih judes. “Iya, sih ....” Katon berkata perlahan. “Kenapa gak minta masuk? Kenapa malah hang out sama orang-orang ga jelas?!” tanya Ratih masih dengan kejudesan yang sama levelnya. Katon menatap heran. “Kamu melarangku masuk, Neng. Ak