Share

Bab 3

“RADIT, aku tidak bisa menginap di sini. Sebentar lagi ibuku pasti akan telepon…”

Radit masih tetap tersenyum. “Indri sayang, kita akan merayakan hari ulang tahunmu di sini. Aku sudah memesan makanan yang enak buat kita malam ini.”

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Pikiranku bekerja untuk mencari alasan jika ibuku menelepon. Hari hampir maghrib, dan jika aku belum muncul juga di rumah, ibu otomatis akan menelepon.

Radit menuang segelas teh hangat untukku. Rupanya sudah disediakan di sebuah water pot. Radit pasti sudah merencanakan semua ini.

“Radit, kita tidak akan nginap di sini kan, malam ini?” tanyaku masih berharap kalau semua ini hanya canda yang dibuatnya.

Radit menarikku lalu memelukku dengan erat. Tangannya meraba-raba sekujur tubuhku, membuatku kadang-kadang merinding, namun lama-lama aku menikmatinya. Bibirnya mulai mengecup bibirku perlahan, namun makin lama makin ganas dan liar.

Mendapat perlakuan mesra itu, secara naluri aku pun mulai membalasnya. Terus-terang, aku menikmati setiap ciuman dan rabaan Radit. Aku cewek normal, dan mungkin termasuk yang ‘doyan’, seperti kata teman-temanku, karena lekukan-lekukan tubuhku -kata teman-teman- menunjukkan itu.

“Kamu ini termasuk yang gairah tinggi”, kata Erin suatu ketika.

“Maksudmu?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.

“Ya, itu… doyan… hahaha…”

“Doyan apa?”

“Doyan begituan lah… doyan seks!”

“Hush, ngawur saja kamu. Dari mana tahunya?”

“Ya, itu… payudaramu yang montok, bokongmu yang semok, dan ini nih… bulu-bulu halus di tangan dan kakimu…” jelas Erin sok tahu, atau mungkin dia membacanya di Internet atau di mana.

“Ah, kamu sok tahu saja,” kataku waktu itu, walaupun aku sendiri merasakan ada benarnya apa yang disampaikan Erin itu.

Lama aku dan Radit berpelukan dan berciuman di atas sofa itu. Nafsu kami sudah menggebu-gebu. Apalagi sepanjang hari tadi aku sudah menikmati refreshing sehingga badanku kembali bugar, maka gairahku memang mudah untuk dipicu.

Tiba-tiba terdengar suara azan maghrib di kejauhan. Aku mendorong Radit lalu bangkit merapikan bajuku kembali.

“Ayo kita pulang,” ajakku sambil mengatur napas. Aku rasa, sudah cukuplah bermesraan kali ini, sudah puas. Tidak ada yang melihat dan mengganggu.

Tetapi Radit kelihatan seperti orang putus asa. Rupanya nafsu birahinya sudah sampai di ubun-ubun. Bahaya! Makanya aku harus memaksa Radit pulang.

Tiba-tiba ponselku berdering. Pasti ibuku yang menelepon.

“Iya, ibu. Ini aku lagi mampir ke rumah teman dulu. Habis maghrib baru pulang…” hanya itu yang bisa aku katakan kepada ibu. Untunglah aku sudah sempat mengatur napas tadi, sehingga suaraku tidak terdengar ngos-ngosan. Dan untung juga, ibu tahu kalau aku sama teman-temanku main ke Songgoriti hari ini dalam rangka ulang tahunku.

Setelah maghrib, bapak penjaga villa tadi datang bersama beberapa orang mengantarkan makanan yang dipesan Radit. Ternyata banyak sekali, dan ada kue ulang tahun juga!

Aku foto kue ulang tahun dan makanan yang banyak itu, lalu aku kirim ke ibu via W******p. Aku tulis pesannya, “Teman-teman sudah menyediakan kue dan makanan. Aku pulang agak malaman ya bu.”

Dengan gambar dan pesan itu, aku jadi mempunyai waktu yang cukup longgar, tidak perlu memaksa Radit pulang sekarang juga.

Sepeninggal bapak penjaga dan teman-temannya, kami lalu makan bersama. Tidak lupa kami juga mengadakan acara tiup lilin di kue ultah. Kali ini, aku akui Radit cukup romantis.

Tetapi ketika aku mengajaknya pulang, Radit tetap tidak mau.

“Indri, kita kan baru selesai makan,” jawabnya.

“Iya, tapi ini sudah malam banget…”

Sejenak Radit terdiam. “Oke, kita ke atas dulu,” katanya mengajak ke lantai atas villa. “Kita nikmati pemandangan malam yang indah di situ.”

Kami lalu ke lantai atas dan duduk di teras. Luar biasa view kota Malang yang gemerlap nun jauh di bawah sana.

“Bagus, kan?” tanya Radit.

“Iya…”

Radit lalu mengambil minuman hangat. “Nih minum, biar nggak masuk angin.”

“Apa ini?” tanyaku karena mencium aroma seperti rempah dalam minuman itu.

“Itu seperti jamu, biasa kita minum kalau malam-malam di sini,” jelas Radit.

Aku lalu mencicipinya, terasa enak, manis dan segar, dan aroma rempahnya yang khas itu memberi sugesti yang lain.

“Ayo habisin,” desak Radit. Dia juga meminum dari gelasnya -dalam beberapa teguk sampai habis.

Setelah minuman habis, aku merasakan aliran darahku menjadi lebih kencang, dadaku berdebar, dan kepalaku agak pusing. Apakah karena minuman itu?

“Radit, aku kok pusing setelah meminum itu…”

Radit mendekatiku, lalu menuntunku ke dalam. “Mungkin karena kamu baru pertama mencobanya,” kata Radit.

Karena kepalaku agak pusing, Radit membaringkanku di tempat tidur dalam kamar. Dia sendiri berbaring di sebelahku sambil meraba-raba badanku dan menciumi bibirku.

Mungkin benar ada sesuatu di dalam minuman itu, jadi aku merasa seperti fly, melayang. Ciuman dan rabaan Radit yang mesra membuatku merasa nyaman, dan aku menikmatinya.

Di situlah malapetaka itu kemudian terjadi.

Kami berdua kemudian berlomba di dalam badai asmara yang sangat menghanyutkan. Semuanya menjadi terangkat, terhempas, berkejar-kejaran, hingga kami berdua kelelahan dan lemas.

Ketika aku sadar dari mimpi yang melelahkan itu, aku mendapatkan diriku dalam keadaan telanjang, begitu juga Radit yang tergolek di sebelahku!

“Radit! Radit! Apa yang kamu lakukan?” teriakku membangunkan Radit. Seketika aku pun menangis karena aku tahu apa yang sudah terjadi. Aku memukuli dan mencakari Radit, lalu memaksanya mengantarkanku pulang malam itu juga.

Tengah malam kami sampai di rumahku, dan Radit tidak mau mengantar sampai ke rumah. Dia tidak turun dari mobil.

Bapak dan ibuku yang terbangun membukakan pintu, hanya bisa bingung karena aku mengetok pintu dengan keras, lalu langsung lari ke dalam kamar.

Ibu yang menyusulku ke kamar tidak bisa masuk karena pintu kamar langsung aku kunci.

“Ndri… Indri…” panggil ibuku sambil mengetok pintu kamar, tetapi aku tidak punya tenaga dan keberanian untuk menjawabnya, apalagi membukakan pintu.

Aku telah rusak! Aku sudah tidak perawan lagi! Aku sudah melakukan perbuatan itu dengan Radit! Aku kotor! Aku berdosa!

Demikianlah aku berteriak-teriak tanpa suara, menangis, membenamkan mukaku ke dalam bantal, dan rasanya seperti ingin menembus bantal dan kasurku untuk pergi ke dunia lain di mana tidak ada Radit, tidak ada teman-temanku, dan juga tidak ada orang tuaku!

Entah berapa lama aku dalam keadaan putus asa dan menyesal, sehingga aku tertidur --atau mungkin pingsan-- sampai aku terbangun oleh ketukan pintu dan panggilan dari ibuku.

“Indri… Indri… buka pintunya, nduk…”

Aku kasihan pada ibuku. Aku sudah ternoda. Kasihan kepada ibu yang selalu merawat dan menjagaku selama ini…

Sebelum membuka pintu kamar, aku merapikan wajah dan rambutku agar tidak terlihat kusut oleh ibu.

“Bu, maaf… semalam anak-anak ngerjain aku, jadi aku marah…”

“Duh, anak-anak ini…” hanya itu keluhan dari mulut ibu. Mungkin ibu maklum kelakuan anak-anak muda sekarang, suka membully dan prank terhadap temannya di saat ultah. Bukannya berpesta yang menyenangkan, tetapi malah menjadi ajang untuk ngerjain teman!

Tetapi hari itu, Senin, aku tidak bisa masuk kuliah! Aku tidak punya keberanian untuk bertemu teman-temanku. Kata ibu, karena semalam tidak bisa menghubungi aku, maka ibu menelepon Fien. Fien bilang kalau mereka pulangnya terpisah dari aku yang dijemput Radit!

Ah, apakah sebenarnya ibu tahu kalau aku tidak berpesta dengan teman-temanku? Sampai sekarang, aku belum tahu apa yang sebenarnya ibu ketahui, karena aku tidak pernah berani menanyakannya.

Sialan si Radit! Ternyata dia mematikan ponselku sehingga ibu tidak bisa meneleponku!

Hari Selasa, aku masih belum mempunyai keberanian untuk ke kampus. Aku tidak ingin ketemu Radit!

“Nduk, kamu kok nggak kuliah?” tanya ibu.

“Mmm… anu, bu, aku masih marah sama teman-temanku!”

“Jangan begitu, kan kamu yang rugi sendiri…” kata ibu.

“Iya, bu. Besok aku masuk, kok.”

Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata Radit!

“Indri sayang… jangan lama-lama dong marahnya. Udah kangen nih…” rayunya via telepon, membuat aku jadi galau!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status