Setelah mengantarkan Keysha ke bandara, Yudistira kembali ke rumah dan memasuki kamar ibunya, ada sejuta pertanyaan apa yang menyebabkan ibunya semarah itu pada Keysha. Padahal beberapa hari sebelumnya ia baik–baik saja, menerima kehadiran Keysha. Punggung Yudistira masih terasa perih, begitu kerasnya gelas itu dilempar oleh Ibu Rani, seakan ia menahan dendam, dan melampiaskannya.
Masih dua hari lagi, Yudistira di Yogyakarta. Suasana pagi selalu membuatnya rindu, hawa sejuk, udara segar, kicau burung yang merdu, embun pagi yang menyapa dedaunan, semuanya itu tidak Yudistira dapatkan di Jakarta. Oleh karena itu, jika kembali ke kampung halaman Yudistira enggan sekali kembali ke Jakarta. Tapi karena tututan pekerjaan dan tentunya uang, maka ia tetap harus kembali ke Jakarta, apalagi sekarang ada Keysha, penyemangat hidupnya.
***
Sejak kepergian Keysha, keadaan Rani membaik. Setelah nampak ibunya sudah dalam keadaan tenang, Yudistira menghampiri ibunya.
“Bu, apa yang terjadi? kenapa ibu tiba-tiba marah dan menyerang Keysha, apa salah Keysha?” tanya Yudistira pelan, sambil memegang kedua telapak tangan ibunya.
“Keysha Rahmania, kamu belum menceritakan siapa dia, ibu ingin tahu tentang dia?” Rani balik bertanya, dengan menatap nanar putra satu-satunya itu.
“Keysha Rahmania, dia purti tunggal Rama Atmajaya. Keysha anak orang terpandang, kaya, Rama Atmajaya adalah seorang dokter senior, sekaligus direktur utama di rumah sakit Hospital Healty, tapi Keysha mencintaiku apa adanya, itu yang membuatku ingin mempertahankanya,” jelas Yudistira menatap datar bola mata Rani, berharap ibunya memberi restu.
“Sebenarnya ibu , ingin kamu menikah dengan Dania, kamu sudah mengenal Dania sejak kecil, Dania juga membantu Ibu keluar dari depresi ibu, hingga ibu sembuh, dan ibu yakin, Dania diam-diam menaruh hati padamu. Tapi jika kamu lebih memilih Keysha, menikahlah dengan Keysha.”Rani berucap, sambil menatap datar Yudistira dan telapak tangannya memegang pipi Yudistira dan mengulas senyum tipis di sudut bibirnya.
Ucapan Rani bagai air sejuk, yang mengalir di tubuh Yudistira, sebuah restu dari sang ibu di dapatnya, dengan senyum semringah Yudistira memeluk ibunya yang berucap,”Terima kasih Bu...”
Dan pagi ini Yudistira di kejutkan oleh kedatangan seorang gadis yaitu Dania, putri tunggal dari Budhe Warni. Dania yang ia kenal sejak kecil dan selalu menjadi sahabatnya, kini tumbuh menjadi wanita dewasa. Dan pagi ini dia menggantikan ibunya untuk merawat Rani.
“Dania, terima kasih kamu telah membantu ibuku sembuh dari depresinya," ucap Yudistira seraya mengulas senyum, pada gadis satu tahun diatas usianya, tapi Yudistra memperlakukan Dania seperti seorang adik dan sahabatnya.
“Iya mas, Tante Rani bisa di bilang sudah sembuh,” jawab singkat gadis, pemilik manik mata coklat, dengan rambut lurus sebahu, dan kulit putihnya.
“Kamu, berkorban banyak untuk ibu, hampir waktumu kamu habiskan untuk berusaha menyembuhkan ibu.”
“Aku, yang seharusnya berterima kasih pada Tante Rani, karena dialah aku termotivasi untuk melanjutkan pendidikannu di fakultas psikologi,” ucap Dania.
“Dania, kemarin ibu terlihat histeris, dan menyerang, apa ada sesuatu yang terjadi pada ibu,” tanya Yudistira, dengan penuh penasaran.
“Jika pasien depresi terlihat histeris dan berusaha menyerang seseorang, biasanya pasien merasa terancam, oleh kehadiran orang tersebut, atau bisa jadi pasien mengingat kejadian, terburuk dari suatu peristiwa,” jelas Dania dengan tatapan serius.
Yudistira, terdiam mendengar penjelasan Dania, otaknya terus berpikir kenapa harus tiba-tiba menyerang Keysha. Pertanyaan yang sulit untuk di jawabnya. Suara ibunya dari dalam kamar membuyarkan lamunannya.
“Dania,” panggil Rani dari dalam kamar , ketika mendengar suara Dania sedang berbicara di luar kamar.
“Iya Tante,” jawab Dania sambil berjalan memasuki kamar Rani.
Terlihat Rani, duduk di tepi ranjang, netranya menatap sebuah bingkai foto. Sebuah foto dirinya ketika masih belia, terlihat cantik alami, dengan rambut panjang bergelombang. Tiba-tiba air mata menitik di pipinya.
“Dania aku ingin bicara denganmu, tutuplah pintunya!” perintah Rani pada Dania.
Yudistria pun mengerti kemauan ibunya, ia pun berjalan menjauh dari kamar Rani.
Kini didalam kamar, hanya ada Rani dan Dania. Untuk sesaat keduanya terdiam, Dania menunggu Rani untuk berbicara.
“Dania, aku belum bisa melupakan orang-orang yang membuat hidupku hancur, puluhan tahun sudah aku hidup dalam kesendirian, meratapi nasibku, bagaimana agar aku bisa keluar dari kamar ini, dan melihat, kedua orang yang menghancurkan hidupku, mendapat hukuman,” jelas Rani, tatapnnya nanar, sambil berurai air mata.
“Mungkin, jika pelaku pemerkosaan itu di hukum, Tante akan merasa lega, dan puas. Tapi itu tidak mungkin, kejadian sudah lama, mungkin saja pelakunya sudah meninggal. Iklas menerima takdir lebih baik dari pada dendam,” jelas Dania.
Rani, tersenyum sinis, “tapi , jika dendam bisa membuatku puas akan aku lakukan,” ucap Rani lirih
Dania hanya terdiam , ia tidak tahu apa yang Rani pikirkan. Sementara itu,di dalam benak Rani, tersusun sebuah rencana balas dendam, pada 2 orang laki-laki yang membuat hidupnya hancur.
Kini Rani mencoba mengingat kembali kejadian malam itu, 25 tahun silam, ketika Rani selesai melaksanakan tugasnya sebagai cleaning service, suasana sangat sepi. ketika Haris, direktur utama rumah sakit Hostital Healty, tiba-tiba memanggilnya dan menyuruhnya masuk kedalam ruangannya, tidak di duga Haris merayunya, Rani menolak, tapi Haris justru semakin liar, memaksakan hasratnya pada Rani, teriakan Rani tidak dihiraukanya, dengan membekap mulut Rani, Haris melancarkan aksinya, tapi ditengah Haris melakukan pelecehan, datanglah Rama, yang tidak lain kekasih Rani, waktu itu kedudukan Rama hanyalah dokter magang. Melihat kejadian itu, bukannya menolong kekasihnya, dari cengkraman Haris, tapi malah pergi meninggalkan Rani, dan membiarkan aksi pemerkosaan itu terjadi. Sakit menjalar pada tubuh dan hati Rani, seorang pria yang menjadi kekasihnya justru membiarkan dirinya di nodai laki-laki lain. Sejak saat itu, Rani memutuskan meninggalkan Jakarta.
“Rama Atmajaya, aku akan membalas dendam, pada dirimu, melalui Keysha. Putri kesayanganmu itu, akan merasakan sakit yang aku alami.” Rani berbicara dalam hati, dengan dendam yang membuncah.
Rani berjalan , keluar kamar, dilihatnya Yudistira sedang menyiapkan makan malam.“Beruntung sekali, wanita yang akan menjadi istrimu, kamu mandiri sejak kecil, urusan dapur bukan hal yang asing, kamu terbiasa menyiapkan makananmu sendiri, bankan menyiapkan makanan untuk ibu juga,” ucap Rani, sambil menatap Yudistira yang masih sibuk berkutan dengan ayam, yang baru di gorengnya.“Aku, memasak menu kesukaan ibu, ayam goreng dan sambal trasi, lalapannya mentimun, dan daun kemangi,” ujar Yudistira sambil mengulas senyum, menoleh ke arah ibunya.“Beruntung sekali Keysha akan memiliki dirimu, seberapa besar Keysha mencintaimu, apa dia rela meninggalkan keluarganya demi dirimu?” tanya Rani, memastikan jika Keysha, berkorban apa saja demi Yudistira.“Keysha, sangat mencintaiku, ia rela menentang perjodohan dari orang tuanya dan memilih meninggalkan rumah, demi mempertahankan hubungan kami, aku yang beruntung mendapatkan Keysha,” jelas Yudistira.“Secepatnya nikahilah dia, setelah menikah, b
Satu hari setelah menikah, Yudistira mengajak Keysha, untuk menemui ibunya di Jogya. Dengan menaiki kereta, Yudistira dan Keysha sampai di kota Jogyakarta. Ada rasa rindu mendera di hati Yudistira, satu bulan sudah ia meniggalkan ibunya, dan kini kembali bersama keysha sebagai istrinya. Waktu menunjukan sore hari, ketika mobil taxi yang di tumpangi Yudistira berhenti tepat di depan rumah yang sederhana, terlihat Rani sudah menunggu kedatangan putra dan menantunya.“Assalamualaikum Bu,” sapa Yudistira lalu mencium punggung tangan ibunya, di ikuti Keysha.“Walaikum salam, akhirnya sampai juga kalian, masuklah, akan ibu buatkan minum, pasti kalian capek,” ucap Rani, sambil melangkah ke dalam rumah dan menuju dapur.Tidak lama kemudian, Rani keluar dari dapur dengan membawa dua cangkir teh hangat.“Keysha, minumlah,” titah Rani pada menantunya, sambil mengulum senyum.“Terima kasih Bu...,” jawab singkat Keysha , sambil meraih secangkir teh di atas meja, dengan berlahan menyerutupnya.“Ti
Yudistira tidak bisa berbuat apa pun, dia merasa berdiri di dua persimpangan, di sisi lain, ibunya dan di sisi satunya istrinya. Dengan lembut di usapnya punggung Keysha. “Sabar ya Sha, ibu masih belum sembuh benar, jangan kamu masukkan setiap kata-kata ibu dalam hati,” ujar Yudistira, sembari mengecup kening Keysha, dan mengusap air mata Keysha. Keysha mengulas senyum tipis, rasa tenang ia rasakan begitu mendapat pelukkan dan kecupan dari Yudistira. “Aku, tidak peduli dengan yang lain, aku hanya peduli denganmu. Asalkan kamu selalu di sampingku, dan mendukungku itu sudah cukup bagiku,” balas Keysha pelan, seraya merekatkan pelukannya pada tubuh Yudistira. Ingatan Keysha, kembali di mana tahun ketika dirinya pertama kali bertemu Yudistira. Tahun 2016 di Kota Yogyakarta penuh pesona.Kala itu ia menghabiskan waktu liburan bersama Hanin, sahabat karibnya. Flasback Yogyakarta, tahun 2016 “Sha, ayo dong keluar kamar. Lihat bintang dan bulan bersinar terang, apa kamu mau menyia-ny
Keysha mendesah kesal, dilihatnya Yudistira yang sudah terlelap tidur di sampingnya. Hanya Yudistira yang membuatnya nyaman, di kecupnya kening laki-laki yang amat dicintai, lalu Keysha membaringkan tubuhnya sambil memeluk suaminya. Sinar sang surya masuk kedalam celah-celah korden, terlihat Yudistira sudah rapi, sedangkan Keysha masih terlelap. “Mas... ini jam berapa? Kenapa tidak membangunkan aku, bagaimana jika ibu marah!” seru Keysha, ketika membuka mata dan melihat matahari bersinar terang, di balik jendela. “Tenang, ibu masih tidur,” sahut Yudistira. “Oh syukurlah, aku akan mandi dulu, setelah itu aku akan buatkan sarapan,” ujar Keysha, bergegas bangkit dari tempat tidur. “Aku, sudah siapakan sarapan,” ujar Yudistira sambil tersenyum, menatap Keysha. Keysha menautkan kedua alisnya.” Mas... nanti ibu marah,” ucap Keysha, ada rasa khawatir tergambar di wajahnya. “Cepatlah mandi, aku tunggu di meja makan,“ pinta Yudistira, sambil mengusap lembut pucuk kepala Keysha. Rani,
Yudistira menarik napas pelan, dan menghembuskannya, mencoba bersikap tenang, waktu mendengar hinaan dari papa mertuanya. “Ini mungkin hanya sebuah gubuk, tapi aku pastikan Keysha bahagia tinggal di gubuk ini,” ucap Yudistira. “Iya, Pa, walaupun rumahnya kecil, tapi nyaman kok Pa, Keysha senang tinggal di sini,” sela Keysha, sambil mengamit lengan Yudisita dan tersenyum. “Benar kamu nyaman tinggal di rumah sekecil ini?” tanya Risma, sambil memicingkan matanya dan memandang rumah minimalis dihadapannya. “Iya Ma, yuk kita masuk, kebetulan kami sedang makan malam. Kita makan malam bersama Pa, Ma,” ajak Keysha. “Nggak usah Sha, papa ke sini, hanya ingin mengantarkan surat penerimaan kerja, kamu di undang dan diterima oleh perusahan besar PT. Agratama Corp.” Rama berkata sambil meyerahkan sebuah amplop kepada Keysha. “Terima kasih Pa. Ini yang Keysha harapkan, bekerja di salah satu perusahaan multi nasional, salah satu perusahahn terbesar di negeri ini,” balas Keysha, meraih amplop
Keysha meninggalkan kantor PT. Agratama Corp, dengan menaiki taxi menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, ia langsung menuju dapur untuk mempersiapkan makan siang, ia teringat dengan kata-kata Hanin pagi tadi, yang menyuruhnya belajar memasak. Ya memasak adalah hal yang wajib harus di pelajari sebagai seorang istri, karena dengan menyantap masakan isrti, pasti seorang suami akan merasakan kepuasan tersendiri. Beberapa bahan sudah disiapkan dan dengan melihat resep yang tertera di layar ponsel, Keysha mencoba memasak ayam kecap pedas. “Sreng! Pletok!..bunyi minyak ketika sepotong ayam goreng di masukkan ke dalam wajan, membuat Keysha meloncat mundur, tangannya terkena percikan minyak, hingga membuat Keysha berteriak kesakitan, “Aww aduh,” teriak Keysha. Mendengar teriakan istinya, Yudistira yang saat itu sedang sibuk di depan laptop terkejut, dan berhambur menuju dapur. Dengan sigap ia mematikan kompor dengan api besar itu. “Sha, apa tanganmu terluka?” tanya Yudistira cemas, sambi
Hampir satu bulan, keysha menjadi seorang istri, sungguh, membuatnya extra berfikir keras, apalagi ketika Yudistira menyuruhnya memasang sprei, keringatnya sampai mengalir dari kepala sampai leher, tak dapat juga sprei terpasang, selama hidupnya baru kali ini Keysha memasang sprei, baginya lebih baik disuruh menghitung angka–angka akuntansi daripada disuruh memasang sprei. Mungkin tidak ada masalah jika Yudistira mempunyai asisten rumah tangga. Tapi seorang wanita sudah kodratnya mengurus rumah tangga jadi Keysha akan terus berusaha menjadi istri yang baik. Setelah sprei terpasang, Keysha dan Yudistira menuju meja makan, omlet dan segelas susu sudah ada dihadapannya dan semuanya Yuditisra yang mempersiapkannya. “Sha, hari kita belanja keperluan dapur, kulkasnya masih kosong, sekalian nanti kita mampir ke pasar untuk beli buah dan sayur mayur,” ucap Yudistira. “Beli sayur mayurnya sekalian saja di supermarket.” “Sha, kalau di pasar itu lebih murah dan lebih seger.” “Oh begitu
Keysha masih berdiri di pinggir jalan dekat kantor, beberapa kali ia mencari taxi, tapi tidak di dapat, lewat aplikasipun sulit karena di jam pulang kerja. Solusi satu-satunya menelfon Yudistira, walaupun sebenarnya rumahnya cukup jauh dari kantor, tapi itu jalan satu-satunya untuk dapat pulang. “Halo, Mas Yudis, jemput aku ya.” “Oke .” Sekitar 40 puluh menit kemudian, Yudistira sudah ada dihadapan Keysha dengan motor ninjanya, dan dengan mesra memakaikan helm di kepala Keysha. Kemudian Keysha naik ke motor, dan memeluk erat pinggang Yudistira, yang segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. “Sha, kita sekalian cari makan, kamu mau makan apa?” “Nasi goreng deh.” “Oke, Nyoyah Yudistira.” Yudistira lebih cepat melajukan motornya, beberapa menit kemudin ia berhenti di pinggir jalan, di depan gerobak penjual nasi goreng. “Maaf ya Sha, aku belum terima honor dari klienku, jadi kita makan di sini, lain kali, makan nasi gorengnya di kafe,” ucap Yudistra dengan tatapan mel