“Ceritakanlah pada saya, Nimas, siapakah sesungguhnya Nimas ini dan mendiang suami Nimas, biar saya sedikit tahu asal-usul orang yang ada bersama saya saat ini. Itu pun jika Nimas Sekar Laras tak keberatan,” pinta Ki Jagadita tanpa menoleh pada Diajeng Sekar Laras, namun pandangan matanya diarahluruskan ke depan, sehingga ia seolah-olah tengah berbicara kepada hamparan tanaman padinya yang terhampar menghijau.
“Bagaimana saya bisa keberatan atas permintaan orang yang paling berjasa dalam hidup saya dan anak saya, Ki Jagat?” jawab Diajeng Sekar Laras dengan wajah sedikit menoleh ke samping tapi tak memandang ke wajah Ki Jagadita. “Mendiang suami saya adalah seorang adipati, Ki Jagad. Namanya Adipati Wirajaya. Mendiang adalah adipati baru di sebuah kadipaten yang bernama Sendang Sewu. Semalam itu justru kami sedang dalam perjalanan menuju daerah tugas beliau yang baru itu. Malang sekali nasib suami saya, Ki Jagad. Huks...” Kesedihannya pun terasa kembali dalam hatinya.
“Nimas Sekar Laras harus tabah dengan semua yang telah digariskan oleh Sang Hyang Maha Agung. Semua kita akan kembali untuk menghadapNya pada waktunya. Hanya caranya yang beda pada setiap manusia. Yang sama hanya satu hal itu, bahwa kita pasti akan kembali padaNya!” Ki Jagadita mencoba membesarkan hati wanita yang duduk di samping dengan kalimatnya yang bijak.
“Iya, Ki Jagad. Andaikata tak ada Ki Jagad, tentu nasib saya dan putra saya tak jauh berbeda dengan mendiang suami saya.”
“Saya hanyalah perantara yang digerakkan oleh Sang Hyang Maha Agung untuk menyelamatkan Nimas dan Angger Anom. Andaikata tak ada saya, tentu saja ada manusia lain yang akan dikirimkan oleh Sang Hyang Maha untuk menyelamatkan Nimas dan putra Nimas. Sang Hyang Maha Agung tentu punya selaksa cara untuk menyelamatkan atau pun mencelakakan hambaNya,” ucap Ki Jagadita lagi dengan tetap bersikap merendah dan santun.
“Ki Jagad benar-benar orang yang sangat bijak,” Puji Diajeng Sekar Laras sembari menyeka air matanya dengan ujung jarik yang dikenakannya.
“Kebijakan sejati itu hanyalah milik Sang Hyang Maha Agung, Nimas,” ujar Ki Jagadita sembari menoleh kepada Diajeng Sekar Laras. Satu senyum terlukis di sudut bibirnya. “Sekarang lanjutkan cerita Nimas, mungkin tentang Nimas sendiri.”
“Sa-saya adalah adik kandung dari Ratu Ageng Sekar Arum, maheswarinya Baginda Nararyawardhana, Raja Kerajaan Palingga,” Diajeng Sekar Laras lanjut bercerita.
Mendengar itu membuat Ki Jagadita sontak mengangkat wajanya, dan sesaat ia menatap wajah wanita di sampingnya. “Duh Gusti, saya sangat tersanjung karena telah diutus untuk menolong seorang wanita yang mulia,” ucapnya.
“Janganlah berlebihan, Ki Jagad. Kita manusia sama saja,” ujar Diajeng Sekar Laras dengan wajah tersipu malu. “Sekarang giliran Ki Jagadi bercerita,” pintanya pula.
“Tak ada yang istimewa tentang saya yang bisa saya ceritakan, Nimas Sekar Laras,” sahut Ki Jagadita merendah. Atau lebih tepatnya mencoba mengelak.
“Tapi menurut firasat saya, Ki Jagad bukanlah laki-laki pelosok asli, tetapi memiliki kisah masa lalu yang juga membanggakan,” ucap Diajeng Sekar Laras. “Ceritakalah, Ki Jagad, biar adil.”
Ki Jagadita memandangi wajah Diajeng Sekar Laras sambil mengangguk-angguk pelan. “Hm, baiklah, Nimas Sekar Laras,” ucapnya akhirnya. “Saya adalah keturunan campuran dari dua negeri besar, yaitu Andalas dan Jawa. Rama saya adalah seorang pembesar di Kerajaan Sriwijaya dan Ibu saya wanita bangsawan Jawa dari keraton Kalingga. Ketika saya berusia seperti Angger Anom, kedua orang tua saya berpisah, ibu saya memutuskan untuk kembali ke Kalingga. Saya waktu itu memilih untuk ikut ke Kalingga ketika rama saya memberi saya pilihan.”
Ki Jagadita menghela nafas panjang, lalu lanjutnya, “Di Kalingga sejak kecil saya giat mendalami ilmu beladiri dan olah kanuragan di bawah gemblengan beberapa orang guru yang merupakan pendekar-pendekar dari Kalingga sendiri maupun berasal dari luar negeri Kalingga. Setelah berusia dua puluh lima tahun saya mengabdi sebagai anggota pasukan Kerajaan Kalingga. Perjalanan nasib saya terlalu mujur. Dalam waktu sepuluh tahun saya berhasil masuk dalam jajaran pembesar dalam tubuh angkatan perang kerajaan. Saya menikah dengan salah seorang putri kedaton, namanya Ratna Tunggadewi. Dia wanita yang cantik dan baik budi pekertinya.”
Ada sedikit kedukaan yang tiba-tiba bergelayut di wajah Ki Jagadita. Ia kembali menghela nafas panjang. “Sampai suatu saat, kerajaan diserbu oleh pasukan Kerajaan Sriwijaya. Saat itu saya berada dalam kebingungan yang luar biasa. Seolah-seolah berada di sebuah persimpangan jalan. Jika saya membela Kalingga, berarti saya harus memerangi kerajaan di mana saya berasal dan ayah saya mengabdikan diri di dalamnya. Jika saya berdiri di pihak barat, itu lebih tak mungkin lagi. Tak mungkin saya memerangi negeri saya sendiri. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan saya. Berdua dengan istri saya, kami memutuskan untuk keluar dari kotaraja, lalu menyingkir jauh ke tempat terpencil ini. Kami sempat menikmati hidup bahagia di tempat ini hampir dua tahun. Saat itu kami hampir memiliki anak. Tetapi saat kandungan istri saya baru berusia empat bulan, ia mengalami keguguran akibat terpeleset di halaman padepokan, dulu masih pondok, akibat tanah licin setelah hujan sebelumnya. Dia mengalami pendarahan yang banyak. Saya terlambat memberinya pertolongan karena waktu itu saya sedang berada di sini, membuat pagar lahan ini. Baru beberapa saat saya sampai di pondok, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.”
Ki Jagadita sesaat terdiam dan mengusap-usap dahinya.
“Berarti...jarik dan baju yang saya pakai ini adalah pakaiannya mendiang...?”
“Benar sekali,” potong Ki Jagadita. “ Pakaian itu sejak ia tiada saya menyimpannya dengan baik, dan setelah ada wanita yang membutuhkannya sekarang, saya jadi ingat. Perawakan kalian berdua sama, saya rasa.”
“Dengan melihat pakaian ini tadi pagi, saya langsung punya firasat bahwa Ki Jagat bukanlah asli laki-laki pelosok seperti ini. Jenis pakaian ini hanya bisa dimiliki oleh wanita-wanita dari kalangan bangsawan tinggi,” ucap Diajeng Sekar Laras.
“Begitulah,” sahut Ki jagadita. “Setelah dia tiada, perasaan saya begitu sepi dan merana. Lalu saya sempat meninggalkan tempat ini selama beberapa bulan dan membangun sebuah padepokan sederhana.”
“Lalu Diandra dan Gayatri itu siapa, Ki...?”
“Keduanya adalah anak dari kemenakan laki-laki saya dari jalur biung saya. Kemenakan tapi usia kami terpaut sedikit. Kedua orang tuanya tewas dalam penyerbuan oleh pasukan dari barat itu. Seperti yang barusan saya cerita, saya sempat meninggalkan tempat ini beberapa bulan dan kembali ke kotaraja. Saya mengunjungi sepupu saya itu, dan ternyata sudah tewas. Keduanya diasuh oleh pelayan di rumah mereka. Saya lalu memutuskan untuk membawa keduanya ke mari. Saat itu Diandra baru berusia dua tahun lebih dan Gayatri berusia satu tahun. Karena mereka adalah anak-anak dari kemenakan saya, maka mereka memanggil saya sebagai kakek.”
“Ternyata kisah hidup Ki Jagad pun tak kalah menyedihkan ya daripada kisah hidup saya? Kita kehilangan orang yang kita cintai sebagai imbas dari keserakahan dunia. Lalu kita berdua bertemu di tempat ini,” ucap Diajeng Sekar Laras dengan suara seperti mengguman dengan pandangan kosong ke depan.
“Yaah, semuanya tak lepas dari rencana Sang Hyang Maha Pengatur Kehidupan, Nimas. Kita ikuti saja alur ceritanya seperti mengalirnya air sungai. Perjalanan hidup kita semua pasti akan sampai pada sebuah muara yang namanya kematian. Karena itu, Nimas, semasih nafas kehidupan kita masih mengalir, maka mengalirlah yang baik seumpama anak sungai tadi, tanpa mengusik bebatuan maupun lelumutan. Karena memang hidup ini tujuannya hanya untuk menjalankan darma dan kewajiban pada sesama manusia, alam, dan Sang pencipta.”
Diajeng Sekar Laras mendengarkan dengan baik kata-kata bijak dari laki-laki yang duduk di sampingnya, dan meresapinya ke dalam pikirannya. “Iya, benar sekali, Ki...!”ucapnya pelan, lalu sebuah senyuman kecil menghiasi bibir indahnya.
Seiring berjalannya waktu, suasana hati dan pikiran yang dirasakan oleh Diajeng Sekar Laras sudah semakin stabil dan normal kembali. Berkat bimbingan spiritual dari Ki Jagadita, ia pun telah mampu menerima peristiwa yang dialami oleh keluarganya sebagai sebuah takdir dan garis nasib yang sudah ditetapkan oleh Sang Hyang Maha Agung. “Setiap manusia membawa garis nasib di tangannya masing-masing, Nimas,”nasihat Ki Jagadita suatu hari. “Seseorang menjadi pemimpin dan kawula itu juga sudah ada sebelum ketiadaan. Kita hidup dalam keadaan bagaimana, dan menjadi apa, entah menjadi pedagang, petani, nelayan, serta di mana kita akan hidup dan mati, bahkan siapa jodoh kita, itu sudah ditetapkan semuanya. Manusia yang baik adalah, mereka yang mampu menerima setiap ketentuan dan garis nasib itu dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan. Rasa kecewa dan duka itu, adalah hal yang sangat
Kitab Dewa Galap sejatinya adalah kitab wasiat yang berasal dari alam jin, karena diturunkan oleh seorang baureksa sakti di kalangan bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Galap Ngampar kepada muridnya yang bernama Pendekar Galap Ngampar. Pendekar Galap Ngampar mewariskan kitab tersebut kepada muridnya yang berjuluk Pendekar Galap Ngampar. Selanjutnya Pendekar Galap Ngampar merupakan kitab tersebut kepada muridnya yang bergelar Dewa Cambuk Halilintar, yang tak lain adalah Ki Jagadita. Ki Baureksa Galap Ngampar adalah putra dari Ki Baureksa Jagat. Kepada muridnya Ki Baureksa Jagat menurunkan sebuah cambuk sakti yang bernama Cambuk Halilintar. Artinya, kedua benda wasit itu memiliki keterikatan satu sama lain, dan berasal dari sumber yang sama, yaitu ayah dari Ki Baureksa Galap Ngampar yang bernama Ki Baureksa Halilintar Jagat, yang merupakan kakek dari Ki Baureksa jaga
“Horeee....!” Diandra, Gayatri, dan Raden langsung berseru kegirangan sambil berjoget-joget ketika puluhan laki-laki jahat itu lari kocar-kacir oleh mereka. Ki Jagadita dan Diajeng Sekar Laras hanya tertawa dan menggeleng-geleng melihat perilaku ketiganya. Ki Jagadita bangkit dari tempat duduknya dan berkata kepada Diajeng Sekar Laras, “Berlatihlah Nimas bersama anak-anak...” “Ki Jagad mau ke mana?” “Saya mau lihat ladang. Sudah beberapa hari saya tak ke sana.” “Saya ikut, Ki!” &ld
Tak terasa, dua tahun Diajeng Sekar Laras dan putranya, Raden Anom, tinggal bersama Ki Jagadita. Sepanjang waktu itu, keduanya digembleng oleh sang pendekar besar super sakti itu siang dan malam, bersama Diandra dan Gayatri. Untuk ukuran dan pandangan awam, ilmu dan kesaktian mereka sudahlah sangat tinggi. Namun bagi pandangan seorang pendekar besar seperti Ki Jagadita, para muridnya itu baru berada pada taraf menengah untuk ukuran seorang pendekar besar seperti dirinya, walaupun keempat muridnya itu telah menguasai jurus-jurus tingkat rendah, menengah, hingga jurus-jurus pamungkas darinya. Sebab, keempatnya baru menguasai ilmu benteng luar saja, jurus-jurus ilmu kanuragan, tetapi belum digembleng dengan ilmu benteng dalam berupa jurus-jurus ilmu tenaga dalam dan kelinuwihan.
Saat keduanya memasuki ruangan goa yang luas itu, mereka disambut oleh cahaya kerlap-kerlip dari sejenis batu-baru kristal yang menempel di dinding-dinding goa. Cahaya dari batu-batu itu menjadi alat penerang alami bagi ruangan luas yang seharusnya gelap pekat itu. Diajeng Sekar Laras sangat takjub melihat pemandangan dalam gua itu. Sehingga saat masuk dalam ruangan alam itu tak membuat perasaan Diajeng Sekar Laras merasa was-was. Bahkan ia seolah-olah sedang berada di sebuah taman khayalan yang indah. “Mari, Nimas, kita ke ruangan goa yang dalam lagi,”ucap Ki Jagadita langsung melangkah ke ujung ruangan pertama goa lalu melewati sebuah jalan berupa pintu masuk. Diajeng Sekar Laras langat kaget, karena ternyata dalam ruangan kedua itu lebih luas lagi dan sang
Dalam waktu sekejap keduanya pun telah sampai di belakang padepokan. Saat itu Diandra, Gayatri, dan Raden Anom sedang menyiapkan makan malam untuk mereka. Berbagai ikan air tawar bakar dan berkuah terhidangkan di atas tikar pandan sebagai lauknya. Aroma makanan yang disiapkan oleh para juru masak cilik itu langsung membuat perut Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita terasa lapar. “Kalian bertiga benar-benar anak-anak yang pintar,” puji Diajeng Sekar Laras sembari mengambil tempat duduk di atas tikar makan. “Berarti kalian bertiga menangkap ikan di sungai ya tadi?” “Iya, Biung,” jawab Gayatri. “Dan semua ikan-ikan ini hasil tangkapan Dik Anom. Dia sudah selihat kamu untuk mengejar ikan-ikan di dasar lubuk.” “Bag
Ternyata di atas batu besar itu ada empat orang yang sedang duduk dan tiduran sambil ngombrol. “Siapa mereka, Kang Mas..?” desis Diajeng Sekar Laras. “Untuk memastikannya, kita dekati saja mereka untuk mendengarkan perbincangan mereka,” Ki Jagadita melangkah mendekati batu besar itu sambil memegang tangan istrinya. Karena orang-orang itu tak bisa melihat mereka karena wilayah sekitar itu hingga padepokannya sudah dilindungi dengan ilmu Halimun Jagat. “Apakah kauyakin yang membawa lari istri dan anak dari mendiang Adipati Wirajaya itu adalah sosok manusia? Jika dia manusia, lantas di mana ia membawa pergi wanita dan anaknya itu...?” bertanya salah seorang dari keempat laki-laki itu entah kepa
Hanya sepeminum kopi Diajeng Sekar Laras telah memasuki kota raja. Ibu kota Kerajaan Palingga merupakan sebuah kota yang yang sangat ramai dan luas. Denyut kehidupan masyarakat kotanya berlangsung di hampir setiap sudut kota. Sebelum melanjutkan perjalanannya menuju istana raja, Diajeng Sekar Laras akan beristirahat dulu barang sesaat sembari membasahi tenggorokannya dengan minuman yang segar dan mengisi perutnya dengan makanan. Tadi di padepokan ia sampai lupa untuk mengisi perutnya dulu, sebagai imbas dari keresahan hatinya akibat memikirkan kakaknya, Ratu Ageng Sekar Arum, yang sedang sakit keras. Tetapi saat ini, ia benar-benar merasakan sangat haus dan lapar. Maka ia harus menemukan sebuah warung makan dulu. Tetapi sebelum itu ia tak lupa merubah sedikit penampilannya dengan Ilmu Malih Rupo. Tampilan wajah dan perawakannya l