Kanaya terpaku dengan handphone masih menyala di genggaman. Pandangannya kosong dengan bulir bening kian menetes dari pelupuk mata. Rasa curiga yang sejak beberapa hari yang lalu datang kini sudah menampakkan wujud.
Rasa sesak terus menderu yang membuat dada wanita itu panas tak tertahankan. Seperti ditusuk ribuan sembilu, terasa amat menyakitkan. Kanaya menangis dalam diam.Berbagai pertanyaan terus bergumul di pikiran. Kecurigaan yang sudah terbukti kini berubah menjadi rasa penasaran, sebenarnya siapakah wanita berambut pirang yang sudah mencuri pelukan suaminya.Dilemparnya benda pipih itu hingga terjatuh ke lantai, membuat sebagian layar yang masih menyala itu retak dan hancur. Saking emosi sudah memenuhi diri, Kanaya tidak bisa mengontrol lagi. Sedih, gelisah ... dan kecewa.***"Ma, tadi Qilla dikasih roti sama Tante cadar," ucap putri Kanaya sesaat setelah masuk ke rumah.Kanaya yang sedang meletakkan kunci motor ke gantungan menoleh putrinya dengan cepat. "Tante Cadar? Siapa?""Itu, Ma. Tante yang rumahnya di depan itu," terang Aqilla sangat antusias. "Tadi, waktu Qilla nunggu Mama jemput, ada Tante Cadar datang, terus bilang katanya rumahnya depan rumah Qilla.""Terus Qilla dikasih roti?" tanya Kanaya untuk memastikan."Iya, Ma. Roti keju. Enak banget!""Alhamdulillah, baik banget ya Tante Jamilah," balas Kanaya lagi memuji tetangga baru mereka.Mendengar nama perempuan bercadar yang memberinya roti membuat gadis kecil itu bingung. "Tante Jamilah siapa, Ma?"Kanaya tertawa kecil menanggapi pertanyaan lucu putrinya. "Ya itu, tante bercadar yang kasih roti Qilla tadi namanya Tante Jamilah.""Oh, jadi gitu. Besok-besok kalau Tante Cadar datang ke sekolah lagi mau aku panggil namanya langsung aja!" seru Aqilla yang membuat Kanaya terhenyak."Maksud Qilla apa, Sayang? Memangnya Tante Jamilah mau ke sekolah Qilla lagi?"Gadis kecil itu mengangguk pelan. "Iya, Ma. Tadi katanya Tante Jamilah gitu. Mau sering sering main ke sekolahan Qilla.""Benarkah? Memangnya anak Tante Jamilag sekolah di sana juga?" tanya Kanaya penasaran. Mengingat yang ia ketahui pasangan baru depan rumahnya masih belum punya keturunan.Dengan cepat Aqilla menggeleng. "Enggak, Ma. Tante Jamilah anaknya masih di dalam perut. Katanya seneng lihat Qilla sama temen-temen main di depan sekolahan, jadi bakalan sering-sering ke sekolahan. Gitu, Ma ....""Oh, jadi Tante Jamilah hamil?" Kanaya melirik pada Aqilla."Iya, Ma. Katanya tadi gitu."Wajar saja Kanya tidak mengetahui keadaan perut tetangga barunya itu, karena selalu memakai pakaian tertutup lengkap dengan cadarnya pula. Kanaya juga bukan perempuan yang suka memperhatikan penampilan orang, lebih-lebih orang yang baru ia kenal. Jika bukan dari Aqilla, ia tak kan tahu jika tetangga depan rumahnya tengah berbadan dua.Malam semakin larut, tetapi Abimana masih belum pulang. Perasaan gelisah Kanaya kian membuncah ketika suaminya masih belum juga datang. Ia masih ingat betul dengan foto suaminya berpelukan mesra dengan perempuan berambut pirang, yang membuat Kanaya kembali berpikir yang tidak-tidak.Kamu ke mana, Mas? Kenapa belum juga pulang?Berkali-kali Kanaya memejamkan mata tetapi tak lekas tertidur juga. Pikirannya terus membayangkan Abimana yang mungkin saat ini sedang kembali berpelukan dengan wanita seperti foto yang dilihatnya tadi siang.Hingga suara derit pintu berhasil menyadarkan lamunan Kanaya. Dengan cepat ia bangkit dan keluar dari kamar. Dilihatnya Abimana sedang melepas sepatu sambil berdiri di samping pintu."Sayang, kok belum tidur?" Abimana terhenyak ketika mendapati Kanaya tiba-tiba berdiri di sampingnya."Belum ngantuk, Mas." Kanaya menjawab seraya meraih tas kerja yang dipegang Abimana. "Kenapa kamu pulang larut banget, Mas? Nggak seperti biasa.""Eum ... akhir-akhir ini kerjaan numpuk di kantor, Sayang. Jadi terpaksa Mas harus lembur. Sudah, ya? Mas capek, mau istirahat." Abimana bergerak masuk ke kamar. Setelah mengganti pakaian ia langsung berbaring di atas ranjang.Kanaya menyusul suaminya masuk ke kamar. "Mas, tumben nggak mandi dulu? Biasanya nggak bisa tidur kalau belum mandi?"Abimana yang tengah memainkan layar handphone menoleh ke arah Kanaya. "Tadi sore udah mandi di kantor, Sayang. Jadi nggak terlalu keringatan lagi," jawabnya, gugup."Mandi di kantor?""Iya, Sayang. Nggak cuma Mas yang mandi di sana. Pegawai yang lain pun pernah." Abimana kembali menjawab sambil meletakkan gawainya di atas nakas. "Sudah, ya? Mas ngantuk, mau tidur."Bukannya tenang, hati Kanaya semakin gelisah. Dilihatnya pria yang berbaring di sampingnya sudah langsung tertidur begitu memejamkam mata.Malam semakin larut, tapi mata Kanaya masih belum bisa terpejam. Kecurigaannya pada Abimana semakin membuncah dan harus segera dituntaskan. Ia melirik benda pipih milik suaminya yang tergeletak di atas nakas. Pasti di sana ada bukti kuat perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Dengan penuh hati-hati, Kanaya meraih benda pipih itu dan segera memeriksa."Apa!?" Alis Kanaya mengernyit. "Kenapa harus memakai kode sandi?""Mas, handphoneku batre habis nih, bisa pinjam punya Mas enggak?" Kanaya mendekati suaminya yang tengah sibuk sarapan. Dengan cepat pria itu meraih benda pipih yang diletakkannya di samping piring tepat di hadapan. "Jangan, Dek. Sebentar lagi klien kantor mau nelpon." Abimana menolak halus, dan itu semakin membuat Kanaya penasaran. "Ayolah, Mas. Bentar doang. Ini aku mau ngabarin ibu kalau besok mau berkunjung ke sana," sahut Kanaya lagi dengan memelas."Masih besok juga kan berangkatnya? Nantilah nunggu batre handphone-mu penuh dulu. Kan bisa?"Sangat berbeda dari biasa. Abimana yang selalu longgar pada handphone miliknya, kini seolah-olah sangat pelit. Seperti menyembunyikan sesuatu. Biasanya Abimana tidak masalah jika Kanaya meminjam handphonenya, tanpa tahu untuk apa dan kenapa. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Sudahlah tidak meminjami, Abimana malah menyudahi sarapan dan bersiap pergi. "Dek, aku berangkat dulu," pamit Abimana pada Kanaya tanpa melakukan ritual sebelum ker
Hati Kanaya semakin gelisah setelah mendapati struk belanja susu hamil yang tercecer di depan kamar putrinya. Tidak salah lagi, bukti belanja itu diyakininya milik Abimana, karena wanita itu sendiri tidak merasa belanja di minimarket. Apalagi membeli susu hamil. Buat apa? Di sepanjang jalan dari mengantar putrinya, Kanaya terus berpikir keras. Memecahkan semua teka-teki yang kian menjurus pada perselingkuhan sang suami yang sudah pasti sangat jauh. 'Jika benar Mas Abi membeli susu hamil itu untuk selingkuhannya, kemungkinan besar janin yang dikandung wanita itu adalah bayinya.'Membayangkan itu membuat hati Kanaya semakin hancur, hingga motor yang ia naiki berhenti mendadak di tengah jalan. Ia menundukkan wajah, menahan lelehan air mata yang kian tak bisa tertahan. Rasa percaya yang dulu begitu kuat kini terkoyak begitu saja. Namun, sekali lagi ... Kanaya masih akan tetap diam, hingga ia menemukan bukti yang benar-benar menguatkannya.Belajar dari pengalaman salah satu temannya ya
Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu. "Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang. Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan. "Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. "Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla. Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali. Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah. Sel
"Apa?! Mbak Jamilah keguguran?" "Iya, Mbak. Bukan keguguran biasa, karena itu seperti kelainan. Bayi saya meninggal di dalam kandungan dan rahim saya diangkat," jelas Jamilah yang saat ini cadarnya sudah sangat basah. Wanita itu menangis pilu.Ya Allah ... pasti sedih sekali mengalami hal ini. Bukan hanya keguguran yang bisa hamil lagi kapan pun jika siap, tetapi harus rela karena kenyataannya dia tidak bisa hamil lagi. "Sabar, ya Mbak." Aku hanya bisa mengatakan itu, meskipun aku tahu pasti sangat sulit baginya.Jamilah terus menangis dan itu membuat hatiku kian ikut tersayat. Bagaimanapun, aku juga wanita. Aku paham betul apa yang dialaminya. "Mbak," panggil Jamilah setelah kondisinya sudah tenang. "Ya, ada apa? Katakanlah." Aku meraih sebelah tangan Jamilah dan mengusapnya dengan pelan. Jamilah menatapku dengan kedua mata masih berair. "Saya boleh kan, menganggap Aqilla seperti putri saya sendiri."Ucapan Jamilah begitu tulus, dan aku tidak akan bisa menolaknya. Setidaknya aku
Mas Abi terlihat panik. "Kamu kok sembarangan kasih izin tetangga bawa Aqilla! Kalau putri kita kenapa-kenapa, bagaimana??""Sudahlah, Mas ... jangan terlalu panik. Aku sudah lumayan kenal sama Jamilah, tetangga baru kita itu baik, kok." Aku berusaha menghentikan langkah Mas Abi agar tidak menyusul Aqilla.Namun, pria itu masih saja panik. Mas Abi melepas dasi yang dipakai dan meletakkannya di atas meja. "Tapi ini sudah jam berapa, Dek? Pokoknya Mas harus menjemput Aqilla dan membawanya pulang!" Setengah berteriak, Mas Abimana beranjak dari dapur dan ke luar rumah. "Mas! Tunggu!" teriakku, tetapi Mas Abi sepertinya sudah tidak mendengar. Aku pun ikut beranjak dari dapur dan melihatnya berjalan menuju rumah Jamilah dengan tergesa-gesa. Setelah mengetuk pintu yang berwana abu-abu itu, Mas Abi langsung masuk begitu saja. Mas Abi terlihat sangat tidak sopan. Kenapa bertamu ke rumah tetangga main nyelonong aja! Aku tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di dalam rumah itu, karena ak
"Ma, kita ajak Tante Mila juga ya? Kasian Tante Mila sendirian di rumahnya," rengek putriku dengan penuh kepolosan. Bukannya tidak mau tahu tentang kondisi Jamilah saat ini yang selalu kesepian, tetapi sepertinya kurang tepat jika aku mengajak wanita itu untuk berlibur bersama kami. Apalagi ini ke rumah ibuku. Apa kata ibu nanti kalau aku membawa orang asing ke rumahnya. "Ma, gimana? Boleh kan, Tante Mila ikut?" tanya Aqila lagi dengan memelas."Lain kali aja ya, Sayang ... lagian kita ke rumah nenek cuma sebentar kok, nggak sampai satu minggu.""Tapi kasihan sama Tante Mila, Ma ... boleh ya? Tante Mila kita ajak ke rumah nenek?" Putriku kembali merengek."Sudah, biarin aja kenapa sih?" Mas Abi yang sedari tadi diam ikut berkomentar. "Jadi menurut Mas, kita harus mengajak Jamilah ke rumah ibu?" Aku meminta pendapat suamiku.Pria itu mengangguk pelan. "Iya, kalau Aqilla pengennya begitu, turuti saja.""Tapi, Mas ....""Sudahlah, biarin aja, toh Jamilah tetangga yang baik kan? Bukan
"Mas, bisa ka, antar Mbak Jamilah pulang sebentar?" tanyaku pada Mas Abi. Pria yang berdiri di samping Jamilah itu mengangguk cepat. "Iya, Mas bisa kok antar Mila ... Eh, Mbak Jamilah. Kasihan suaminya kalau kelamaan nungguin." Jamilah masih terlihat ragu. "Emmm ... Mas Abi beneran bisa ngantar saya pulang?" tanya Jamilah. "Saya takut kalau malah ngerepotin Mas Abi dan Mbak Kanaya.""Ah, nggak papa kok Mbak. Mbak Jamilah juga sudah baik sama kami, Apalagi sama Aqilla," jawabku dengan cepat. "Mumpung belum sore banget, ayo Mbak Jamilah, saya antar pulang sekarang," ajak Mas Abi dengan tegas, kemudian pria itu menoleh ke arahku "Dek, Mas nganter Mbak Jamilah dulu ya. Nanti, Mas bakal langsung balik lagi ke sini." "Iya Mas, hati-hati." Aku hanya bisa melihat suamiku keluar dari rumah bersama Jamilah. Dua orang itu bergerak cepat menuju mobil dan segera pergi dari hadapanku. "Ma, tante Mila mana?" tanya Aqilla dengan wajah polos. Gadis kecilku sangat terkejut saat mendengar Jamilah h
"Jamilah?" tanyaku dengan suara bergetar. Pikiranku sudah tak karuan, karena membayangkan kenapa handphone Mas Abi bisa ada pada Jamilah. "Iya, Mbak. Saya Jamilah," jawab suara lembut itu lagi, dan memang dari awal aku sudah sangat yakin jika dia adalah Jamilah."Kenapa HP Mas Abi bisa sama kamu?" tanyaku langsung. Bagaimanapun, aku harus tahu alasannya. "Oh, Mbak Kanaya jangan berpikiran yang macam-macam, ya?? Ini tadi kayaknya HP suami Mbak Kanaya kebawa sama saya. Kemasuk di tas saya kayaknya, Mbak. Saya juga baru sadar saat Mbak Kanaya nelepon ini," jelas Jamilah dengan penuh keyakinan. "Benarkah?" Namun, hatiku masih ragu. "Iya, Mbak.""Terus, suami saya ke mana, Mbak? Apa pulang ke rumah atau balik nyusul ke sini lagi?"Untuk sesaat Jamilah terdiam, beberapa detik kemudian, suara wanita itu terdengar lagi. "Kayaknya pulang ke rumah, Mbak. Itu, lampu rumah Mbak Kanaya nyala.""Oh, ya sudah. Kalau gitu, besok tolong antar HP suami saya ya, Mbak. Tolong katakan suruh nelepon sa