“Kamu masak apa buat aku?” tanya Ais amat antusias ketika melihat Sheril yang berada di sebelahnya mulai membuka kotak bekal. Wajah Ais berbinar seperti anak kecil membuat Sheril terkikik geli. Baru kali ini Sheril melihat sisi Ais yang seperti ini. Ternyata secuek-cueknya lelaki, pasti tetap akan takhluk pada makanan enak.
“Tebak, dong,” goda Sheril supaya Ais semakin penasaran.
“Nggak bisa nebak. Udah kelaperen sampai gabisa mikir.”
Sheril tertawa terbahak mendengarnya.
“Tada~ aku masakin bento buat kamu.”
Mata Ais berbinar. Bento?
Dulu Umi juga sering membuatkannya bekal bento ketika ia masih sekolah.
Tetapi ketika Ais melihat isi dari kotak bekal Sheril yang tidak sesuai dengan ekspetasinya, Ais pun menelan ludah.
“Ini bento angry bird. Mirip kayak kamu, kan? Judes dan nggak pernah senyum.”
Ais sampai kehabisan kata-kata dibuatnya.
Dahi Ais mengernyit. Angry bird-nya seperti tersengat t
“Aku cinta sama kamu. Aku bakalan ngelakuin apa aja asalkan kamu nggak pergi,” ucap Dara. Ais terkejut mendengar ucapan Dara barusan. Bisa-bisanya Dara berbicara seperti itu kepadanya. Tidak hanya itu saja, kini Dara malahan menarik lengannya sampai Ais terjatuh menindihnya. Ais merasakan Dara mencium lehernya. Tangan Ais mengepal kuat-kuat. Rahangnya terkatup rapat. “SADARIN DIRI KAMU, DARA!” Tiba-tiba Ais bangkit. Lalu menguncang kedua bahu Dara membuat Dara terperanjat dengan perubahan sikap Ais tersebut. Napas Ais kembang kempis. Ia menatap tajam ke arah Dara. Selama berpacaran dengan Dara, Ais tidak pernah melakukan hal macam-macam dengannya. Itu semua karena Ais menghormatinya. Ais tahu batasan masa yang boleh dan mana yang tidak boleh. Jika niat awal dia berpacaran dengan Dara dan hanya mengincar ‘hal itu’. Tentu saja Ais sudah mela
“POKOKNYA AKU MAU CERAI SAMA DIA, HIKS!” Sheril menangis tersedu-sedu. Mahen yang menyaksikan itu semua dari kejauhan hanya mampu menggelengkan kepala. Ia heran, kenapa setiap kali Sheril ada masalah, dia selalu mengadu kepadanya? Hmm... Mungkin Sheril sudah kelewat nyaman dengannya sehingga tidak sungkan berbagi segala informasi kepadanya. “Dasar cowok berengsek! Cowok kardus! Nggak pandai bersyukur! Argh mati aja sana ke neraka sama selingkuhannya!” Tangan Sheril meremas gemas bantal sofa milik Mahen yang berada di pangkuan. Benda kotak tak berdosa tersebut dijadikan Sheril sebagai bahan pelampiasan amarahnya agar hatinya tenang. Bahkan kalau bisa, rasanya Sheril ingin mengoyak bantal sofa ini. “Kapan sampai rusak beneran aku jitak kepala kamu!” ancam Mahen tapi tak digubris oleh Sheril. Malahan sekarang tangis Sheril semakin kencang. “Maheeennn…. Urusin surat ceraiku, please. Pokoknya aku mau cerai sama dia!”
“Apa kabar, Kakak?” Dari suara tamu yang datang, sepertinya Mahen mengenal siapa orang tersebut. Ketika Mahen menengok ke belakang, seketika matanya pun membola. Tidak salah lagi. Orang tersebut tak lain adalah Dara. Kenapa dia bisa ada di sini? *** Mahen dan Dara duduk berhadap-hadapan. Meja kayu oak menjadi penengah antara keduanya. Mahen menatap lurus-lurus ke arah Dara yang saat ini sedang mengamati ke sekitar. Matanya meneliti satu per satu benda apa saja yang berada di sini sembari berkata, “Kadang aku berpikir kalau Kakak punya kelainan OCD. Soalnya dari dulu Kakak selalu rapi.” “Berhenti manggil aku Kakak! Aku anak tunggal dan aku nggak pernah punya adik kayak kamu,” jawab Mahen ketus. “Ternyata Kakak masih dingin, ya, sama aku.” Meskipun begitu, sebenarnya ada banyak hal yang ingin Mahen tanyakan kepada Dara. “Langsung aja ke intinya. Kenapa kamu ke sini?” Dara tersenyum. Tidak s
“Kenapa kita nggak kerja sama aja? Dengan begitu aku bisa sama Ais dan Kakak bisa sama Sheril setelah mereka cerai.” Dara mengulurkan tangannya, memberikan tawaran kepada Mahen. Mahen diayun bimbang. Tangan putih kurus yang mengambang di udara itu mengundang untuk dijabat sebagai tanda setuju atas kerja sama mereka. Mahen menarik napas dalam-dalam. Memantapkan jawaban. “Apa kamu tahu….” Dara terkesiap saat Mahen tiba-tiba memajukan tubuhnya ke depan, mengikis jarak antara dia dan dirinya. “Ka-Kakak!” Dara mulai panik. Tangannya yang semula terulur kini berganti menekan bahu Mahen supaya Mahen tidak maju terus. Dara ingin mundur lagi tapi tidak bisa, punggungnya sudah menempel erat pada tembok yang berada di belakangnya. Kenapa Mahen tiba-tiba bersikap seperti ini? Tidak mungkin, kan, Mahen hendak
Ada satu nasihat dari Umi yang tiba-tiba terbesit kembali di benak Ais. Dulu, kalau tidak salah ingat, Uminya pernah mengatakan hal seperti ini kepadanya.... “Nak, besok ketika kamu sudah berumah tangga. Hormatilah wanita yang kelak menjadi pendamping hidupmu itu. Sayangilah dia sebagaimana Umi meyayangimu. Jangan pernah sekalipun kau buat dia menangis.” Anha mengusap rambut anak sulungnya yang sedang tiduran di pangkuannya. “Tugas anak laki-laki ketika sudah dewasa adalah harus bisa melindungi istrimu, mengayominya, dan jangan sampai membuat dia bersedih.” “Kayak Abati, ya, Umi?” Kini gantian si bungsu, Aim, yang sedang membaca buku komik menimpali. “Iya, dong. Kayak Abati.” “Ah, terus ada satu lagi. Yang ini adalah poin paling penting.” “Apa itu Umi?” tanya keduanya penasaran. Mata mereka berbi
Sheril masih terduduk di lantai sambil menangis sesenggukan. Diletakkannya tangannya sendiri di dada karena jantungnya terasa sakit sekali. Sheril tahu dia salah. Dia tahu kalau tadi tindakannya sangat keterlaluan. Padahal Mas Ais sampai tidak tidur untuk mengerjakan laporannya, tadi dengan bodohnya dia malahan menumpahkan kopi ke atas laptop Mas Ais. Tapi meskipun begitu, Mas Ais tidak perlu membentaknya juga, bukan? Wajah Sheril basah akan air mata, napasnya pun juga masih tersengal sesenggukan. Pelan-pelan Sheril berusaha berdiri dari posisi duduknya di lantai. Dia tahu menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang yang ada di benaknya tak lain adalah setidaknya dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya.
Ais mengunyah makannya dengan gerakan pelan. Dia tahu sepertinya Sheril sedang menerapkan tindakan silent treatment kepadanya karena sejak kejadian Sheril memergokinya sedang berpelukan dengan Dara di kantornya. Sikap Sheril jadi berubah 180°. Sheril tidak mau berbiacara sepatah kata pun kepadanya. Ketika dia pulang, Sheril yang biasanya bergelayut manja di lengannya kini hanya berdiam diri di dalam kamar, tidak menyambutnya sama sekali. Tidak hanya itu, Sheril juga selalu mengabaikannya dengan cara entah itu menyibukan diri membaca buku atau kalau tidak menonton drama korea. Pun juga, ketika Ais bertanya kepadanya tentang suatu hal, Sheril tidak mau menjawab pertanyaannya. Awalnya Ais merasa biasa saja dengan sikap Sheril tersebut. Pikirnya, bisa jadi Sheril saat ini sedang tidak mood berbicara k
“Dasar cengeng,” ejek Ais sambil mengusap pipi Sheril yang basah akan air mata. Kini mereka sudah berpindah tempat, duduk berduaan di sofa ruang keluarga.