Share

Bab 5. Kontrak baru

Lama, Poppy berlutut di kepada Ezra yang kini menatapnya dengan puas.

Pria itu bahkan tersenyum miring. “Kau berdirilah.”

Mendengarnya, Poppy lantas bangkit dengan perlahan.

Namun, tubuhnya malah oleng karena kakinya kesemutan. Ia tidak kuat menahan bobotnya sendiri.

Refleks, Ezra menangkap tubuh Poppy agar tidak terjatuh.

Beberapa saat keduanya tertegun saat menyadari posisi yang begitu dekat.

Sayangnya, itu tidak bertahan lama karena Ezra dengan kasar melepaskan. 

Buk!

Tubuh Poppy yang belum sempat tegap pun terjatuh.

“Aduh,” keluh Poppy meringis sambil mengusap pantatnya yang ngilu.

“Ck! Jangan melakukan hal konyol, aku tidak akan terpengaruh.” 

“Memang apa yang kau pikirkan? Kakiku benar-benar lemas.”

Ezra menatap Poppy tajam karena berani menyahuti ucapannya. “Sudah kukatakan untuk bersikap sopan, aku atasanmu sekarang.”

“Siapa juga yang mengatakan jika kau ini bawahanku,” gumam Poppy yang masih dapat didengar oleh Ezra.

“Kau … dasar jalang! Berani-beraninya bicara tidak sopan padaku.”

Poppy memejamkan matanya sebentar untuk menekan perasaannya saat Ezra mengatai dirinya.

Setelahnya Poppy berdiri dengan menghadap Ezra. “Maafkan saya, Pak.”

“Seharusnya itu kau lakukan sejak tadi,” cetus Ezra semakin menghina Poppy.

Andai tidak membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup, rasanya Poppy ingin keluar dari pekerjaannya sekarang juga.

Sayangnya, ia tidak memiliki pilihan karena semua dokumen miliknya ada pada Keenan.

Sementara dirinya sangat malas untuk menemui pria yang sudah mencampakkannya.

“Keluarlah, aku tidak sudi satu ruangan denganmu!”

“Baik,” ucap Poppy patuh.

Begitu keluar dari ruangan, Poppy bernapas lega.

Satu ruangan dengan Ezra membuatnya kesulitan bernapas. ”Akhirnya, aku bisa menghirup udara dengan bebas.”

******

“Poppy, kenapa kau begitu lama?” tanya Sean saat Poppy baru saja tiba di ruangan.

“Aku mendapatkan sedikit masalah dengan Pak Ezra.”

Poppy membalas sambil menuangkan air putih kemudian meneguknya dengan rakus.

Mendengar itu, Sean dan Rexi menatapnya prihatin. “Bersabarlah, yang terpenting kau tidak sampai dipecat.”

Poppy mengangguk lalu memaksakan senyum. “Ya … setidaknya aku masih beruntung karena masih memiliki pekerjaan.”

“Ya sudah, kau istirahat sebentar. Nanti tolong bersihkan area toilet di lantai 2.”

“Baik.” 

Drrt!

Baru saja Poppy duduk sambil mengipasi tubuhnya yang panas dengan kertas, tiba-tiba telepon ruangan mereka berdering.

Ia menoleh ke arah Sean yang mengangkatnya.

Tidak lama setelah Sean berbicara dengan seseorang di seberang sana, ia menoleh ke arah Poppy.

“Apa?” tanya perempuan itu bingung. 

“Pak Ezra ingin dibuatkan kopi dan beliau ingin kau yang membuatnya.” 

Poppy mendesah pelan. Ia sebenarnya malas sekali. Namun, ia lagi-lagi hanya bisa menyanggupi.

“Baiklah, aku akan membuatnya sekarang.”

“Sepertinya hari-harimu ke depan akan lebih berat, Poppy.” Rexi berkomentar sambil menatap Poppy yang sedang membuatkan kopi.

“Ya … aku sudah bisa menebaknya.”

“Tapi kau masih beruntung karena tidak sampai dipecat.”

“Aku juga bersyukur akan hal itu,” balas Poppy yang kini sudah selesai. “Aku antarkan dulu ini, setelahnya aku akan membersihkan toilet seperti yang kau suruh,” sambungnya kepada Sean. 

“Iya.”

Dengan perasaan kesal Poppy menuju ruangan Ezra. “Sekarang apa lagi yang akan dia lakukan,” keluhnya.

Begitu tiba ia mengetuk pintu dan masuk. “Mohon maaf, Pak, saya ingin mengantarkan kopi.”

“Kau letakkan di meja,” perintah Ezra tanpa melihat ke arah Poppy.

“Baik.”

Setelah Poppy melakukan perintah Ezra, wanita itu berniat pergi.  

“Aku belum menyuruhmu untuk pergi,” ucap pria itu tiba-tiba.

“Maaf,” ucap Poppy.

“Hah… pundakku terlalu banyak memiliki beban untuk menafkahi karyawan sepertimu,” ujar Ezra lagi. 

“Maksud Anda apa, Pak? Bukankah ini seperti simbiosis mutualisme,” heran Poppy.

Bagaimanapun, Ezra membutuhkan karyawan untuk mengoperasikan perusahaan.

Jadi, tidak logis saat Ezra mengatakan hal seperti tadi.

Hal tersebut membuat Ezra langsung mengalihkan perhatiannya dari berkas ke arah Poppy.

Pria itu menatapnya dengan tajam. “Aku sedang tidak memintamu untuk berkomentar.”

“Lebih baik kau pijat pundakku sekarang!” sambung Ezra membuat mata Poppy melebar.

“Mohon maaf, Pak, tapi di dalam kontrak tidak ada hal semacam itu.”

Terang saja ucapan Poppy membuat Ezra semakin menatapnya tajam.

Sementara tangannya meraih gagang telepon.

Tanpa melihat pada nomor yang ia tekan, Ezra menghubungi seseorang.

“Buatkan surat kontrak baru untuk karyawan bernama Poppy, pastikan kau menambahkan satu poin jika dia harus melakukan apa pun perintahku.”

Deg!

“Mati aku,” umpatnya dalam hati.

Ezra tersenyum puas melihat wajah Poppy yang berubah pucat. “Kau tunggulah sebentar,” cetusnya kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya.

Poppy tidak menyahut, tetapi ia melakukan seperti yang diperintahkan Ezra.

Wanita itu berdiri di tempatnya dengan pikiran yang sudah melalang buana.

Tok tok tok!

Tidak lama ketukan pintu terdengar, setelahnya pintu dibuka hingga muncullah Kevin. 

“Selamat sore, Pak. Ini surat yang Anda minta,” ujar Kevin sambil menyerahkan sebuah map kepada Ezra.

“Serahkan padanya.” Ezra menunjuk Poppy dengan dagunya.

Patuh, Kevin lantas menyerahkan map kepada Poppy. Sementara Poppy nampak ragu-ragu untuk menerimanya. Ia bahkan melirik ke arah Ezra terlebih dulu.

“Apa yang sedang kau pikirkan? Ambilah, jangan membuang banyak waktu!” cetus Ezra membuat Poppy akhirnya menerima. 

“Sekarang kau boleh pergi.” Ezra menoleh ke arah Kevin. 

“Baik, Pak.”

Setelah kepergian Kevin, Ezra langsung meminta Poppy untuk membaca surat kontrak yang sudah diperbaharui. “Bacalah, jika kau setuju tanda tangan. Jika tidak, kau boleh membuangnya dan keluar dari perusahaan ini.”

Maju kena mundur juga kena. Itulah situasi Poppy saat ini. 

“Bagaimana?” ulang pria itu. 

Dilihatnya Poppy membaca isi kontrak yang sangat menguntungkannya.

Sesuai dugaan Ezra, Poppy akhirnya memilih untuk menandatangani kontrak baru.  

Baginya, pekerjaan ini sangatlah berarti meski harus mengorbankan diri menjadi bulan-bulanan Ezra atas kesalahannya di masa lalu.

Anggap saja sebagai penebus hutang.

“Saya menyetujuinya, Pak.”

Jawaban Poppy membuat Ezra tersenyum meremehkan.

“Ck! Begitu inginnya kau kembali padaku, Poppy. Baiklah aku sudah memberimu peluang,” ujarnya percaya diri, lalu melemparkan bolpoin kepada Poppy. “Tanda tanganilah,” sambungnya.

Dalam diam, Poppy menandatangani kontrak yang mengorbankan harga dirinya. 

Setetes air mata bahkan terjatuh membasahi kertas kala mengingat kehidupannya berubah 180 derajat. Dari Nyonya yang menikmati kemewahan saat masih menjadi istri Keenan, kini menjadi babu terhina untuk mantan kekasihnya.

“Ini, Pak.” Poppy menyerahkan berkas kontraknya kepada Ezra.

“Sekarang pijat pundakku,” perintahnya yang tidak bisa lagi Poppy tolak.

Ragu-ragu Poppy mendekat. Saat wanita itu akan memulai, tiba-tiba Ezra memintanya berhenti. “Kau kotor, cucilah tanganmu dengan sabun sebelum menyentuhku.”

Poppy pun izin keluar, tetapi Ezra justru kembali menahannya. “Kau bisa gunakan kamar mandiku, tapi jangan sedikit pun berani menyentuh barang-barang pribadiku.”

“Baik, Pak.”

Begitu masuk ke kamar mandi, Poppy mengembuskan napas kasar. “Oh, rasanya aku ingin pergi saja.”

Selesai mencuci tangan, perempuan itu kembali dan mulai memijat pundak Ezra.

Lagi-lagi, Ezra menunjukkan ketidakpuasan. “Lakukan yang benar,” protesnya.

“Yang sebelah sini, tekan lebih kuat.” Ezra menunjuk pundak kirinya.

Dengan patuh, Poppy melakukannya. Namun, Ezra kembali protes. “Kau ingin membunuhku? Pelan sedikit.”

“Tadi Anda memintanya untuk lebih kuat, Pak."

“Membantah tidak ada dalam kontrak.” 

“Maaf, Pak.” 

Poppy mendelik. Ia menatap tajam Ezra dari belakang. “Apa aku cekik saja dia?” ucapnya dalam hati. Pikiran intruisive sepertinya sudah menguasai dirinya….

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status