Langkah Hagen terdengar berat ketika dia melintasi ruangan kantor miliknya di pusat kota Lancester. Gedung lima puluh lantai yang dia beri nama Blake Tower itu tampak berdiri gagah di antara rimba bangunan beton lainnya.
Athena, sekretaris pribadi Hagen tampak pucat pasih begitu melihat kedatangannya dari arah lift. Wanita dua puluh lima tahun itu tergagap dan langsung mengejarnya dengan gesture gelisah.
“Pa-Pak CEO,” panggil wanita itu halus dengan tangan saling bertaut.
Dia tampak sengaja menghalangi langkah Hagen yang hendak menuju ruang kerja pribadi.
Mendapati gelagat Athen yang familiar, Hagen mengerti apa yang terjadi, membuatnya menyipitkan mata hingga tangannya yang berada di saku celana mengepal seketika.
Langkah kakinya yang lebar pun terhenti, dan dengan tatapan setajam belati, dia melirik ke arah pintu dan Athena bergantian.
“Apa si brengsek itu melakukannya lagi di ruanganku?”
Suara Hagen terdenga
Beberapa kali Camellia memukuli ranjang begitu mengingat kembali apa yang telah dia lakukan pada Blake Hagen saat di terminal. Ingatan akan insiden penamparan pada wajah maskulinnya membuat gadis itu ingin bersembunyi beberapa waktu.“Apa yang kau lakukan, bodoh,” sungutnya sembari membenamkan kepala pada bantal.“Bisa-bisanya kau melakukan itu. Bagaimana bila dia membalasmu dengan sesuatu yang tidak terduga,” kutuk Camellia sembari menggigiti kuku jempolnya gugup.Dia mengingat-ingat lagi kejadian tadi. Saat itu Blake Hagen dan Camellia sama-sama terkejut setelah tangan feminimnya mendarat di permukaan pipi maskulin pria itu.Bahkan, waktu seakan berhenti sesaat. Namun, suara tercekat dari arah mobil pria itu menyadarkan keduanya. Asisten keamanan Hagen yang sejak tadi diam di balik kemudi akhirnya keluar dan mendekat, akan tetapi suara Hagen yang tegas menghentikan langkahnya.“Tetaplah di dalam, tidak ada yang terja
Camellia mencoba menghubungi Bella saat malam setelah insiden penamparan itu, dan dari pembicaraan panjang keduanya, sahabatnya itu pun memberikan satu saran yang sangat beresiko. “Apa maksudmu?” tanya Camellia dengan nada sedikit tidak percaya akan usul sahabatnya. Terdengar tarikan napas lelah di seberang sambungan, membuat Camellia merasa bersalah. Dia sudah banyak meminta bantuan pada satu-satunya teman yang dia punya, dan mendengar Bella menarik napas, rasanya Camellia ingin melakukan hal yang sama. “Dengar, kau tidak akan tahu bila tidak mencoba. Jadi, ini adalah jalan terakhir bila kau memang ingin mencari pekerjaan,” ucap Bella dengan percaya diri. “Lagi pula, aku sangat mengenal laki-laki ini. Dia pasti akan membantumu. Percayalah padaku.” Mendengar itu, Camellia berjalan mengitari ruangan kamarnya yang nyaris kosong dari perabotan. Beberapa kali dia menggigit bibir bagian bawah sembari melirik ke arah jendela. Entah m
Camellia menatap ruangan yang penuh dengan pakaian kotor di lantai dan sofa. Dia bahkan melihat dengan horror ke sekitar, seolah-olah serangga dapat muncul secara tiba-tiba dari balik benda-benda yang berserakan di sana.“Apa yang sudah kulakukan?” bisik gadis itu sembari mengedarkan pandangan.Dengan sapu dan beberapa alat kebersihan di tangan, Camellia pun berjalan pelan memasuki ruangan yang terlihat seperti tempat penyiksaan baginya.Dia hendak melangkah lebih jauh, saat tiba-tiba saja kaki gadis itu menginjak sesuatu yang lembek. Dan dengan menahan napas, dia pun menunduk perlahan hendak melihat apa yang baru saja dipijak tanpa sengaja.Napas tertahannya kemudian berubah menjadi jeritan kecil begitu dia menyadari bahwa benda lunak itu adalah tumpahan pudding berwarna merah darah yang berceceran di lantai.“Oh … my god,” gumamnya dengan tubuh menggigil.Seketika dia merasa sangat lemas, karena di temp
“Kau membunuh Brandon Brown?” Camellia terkesiap. Gadis itu kembali mendekati jendela dan melihat ke arah Hagen yang masih berdiri di tempatnya semula. Pria itu tersenyum dingin dengan tatapan yang menunjukkan seolah-olah perkataannya barusan layaknya sebuah pujian terhadap cuaca, meskipun jelas sekali hari itu badai akan turun. “Ya, Princess. Jadi kuharap kau berhenti melakukan hal-hal tidak masuk akal dan memberiku jawaban secepatnya.” Sudut bibir Hagen bekedut sedikit, membuat Camellia menatap pria itu geram. Dan tanpa sadar, dia pun meremas ponsel di telinga sembari menutup panggilan lebih dahulu. Keduanya masih tetap saling berpandangan sebelum akhirnya Camellia memutuskan untuk menyudahi pekerjaan hari itu. Dia merasa sangat marah, karena Black Hagen seolah mempermainkan hidupnya. Pria itu bahkan tampak sangat santai. Namun, Camellia merasa tidak percaya Hagen dapat melakukan sejauh itu, sehingga dia pun menghubungi kantor Brando
Hagen keluar dari mobil begitu melihat tubuh Camellia yang terbaring di bahu jalan. Dia menarik napas sejenak, memijit kepala, lalu menengadah ke langit sembari mengumpat pelan sebelum akhirnya berjalan dengan langkah biasa. Tidak sedikit pun terlihat terburu-buru atau khawatir, padahal jelas sekali matahari sangat terik siang ini. “Boss?” panggil Frank yang membuka jendela kaca mobil dan melihat atasannya itu mendekati si gadis keras kepala. Padahal dia sudah bilang pada bosnya itu untuk tidak perlu datang menemui gadis tersebut, namun tentu saja tidak ada yang bisa menghentikan Blake Hagen. Satu tangan Hagen naik ke udara, dan dia mengisyaratkan pada bawahannya untuk tetap di mobil, membuat Frank membuat gesture tangan menyerah. Ketika tinggal beberapa langkah lagi saat mendekati tubuh Camellia, Hagen mengeluarkan ponsel dan mendial nama Brown. Saat dering ke tiga, terdengar suara serak sahabatnya itu, yang tampaknya sedang menahan sakit. Go
Hagen membawa tubuh Camellia melintasi halaman sampai ke depan pintu. Dia kesulitan mengeluarkan kunci rumah gadis itu dari balik saku celana di saat kedua tangannya sibuk menggendong Camellia. “Shit,” umpatnya ketika kunci itu nyaris terjatuh dari genggaman. Kemudian, dia pun menatap wajah tertidur Camellia cukup lama sebelum akhirnya memperbaiki posisi gendongan gadis itu kembali dengan merebahkan kepalanya di bahu. “Kau tidak berat, jangan salah paham, Princess. Hanya saja …” Hagen bergumam disaat dia sibuk memutar kunci pada pintu. Berkali-kali dia menarik napas sembari menggeram, dikarenakan melakukan dua aktivitas bersamaan. “Hanya saja … aku tidak bisa memelukmu terlalu lama.” Beberapa kali Hagen menghela napas ketika dia merasakan benda di balik celananya mulai membentuk tenda. “Oh, shit,” bisiknya sembari memperbaiki celana yang mulai menyesaki. “Itu benar-benar ketat,” gumam Hagen dengan gigi mengatup rapat. Begitu pintu ruma
Suara gumaman percakapan di sekitar membangunkan Camellia. Perlahan-lahan mata gadis itu terbuka, dan dengan kepala yang terasa sedikit berat, dia pun mengedarkan pandangan ke sekitar.Camellia mengerjab-ngerjabkan kelopak mata beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan yang masih berkunang-kunang, dan saat itulah dia melihat tepat di depannya seorang pria tengah duduk di sebuah kursi dengan burger dalam genggaman. Pria berusia empat puluhan itu makan dalam diam, dan tidak sekali pun melihat ke arah Camellia yang kini terbaring di atas lantai dingin.Sementara itu, terlihat televisi menyala di dinding yang berhadapan dengan pria tersebut.Untuk sesaat, Camellia mengumpulkan kesadaran, menatap sekitar dengan seksama, pada dinding kusam dan atap tidak terawat. Dia juga menyadari, tubuhnya terbaring di atas lantai kotor, membuatnya menahan diri untuk tidak menjerit jijik.Kemudian, perhatian Camellia teralihkan pada pria berbadan gempal tersebut.Se
Begitu panggilan berakhir, mata Camellia membulat seketika. Dengan manik mata bergetar dan pelupuk mata yang basah, dia pun menatap pria yang menculiknya penuh permohonan tersirat.Kepala gadis itu menggeleng cepat saat mendapati tatapan bengis pria tersebut dengan bibir membentuk garis lurus. Dapat Camellia rasakan aura gelap yang keluar dari tubuh pria itu, membuat sekujur tubuhnya hendak meringkuk, insting melindungi diri secara tidak sadar.Kini, wajah pria itu pun memerah dengan pandangan marah yang terarah pada ponsel dalam genggaman. Dan seketika saja benda pipih itu membentur dinding yang berada di balik tubuh Camellia, meloloskan jeritan histeris cukup panjang dari mulut gad