Diam-diam Ameera menelan ludah berat. Tidak menyangka dirinya bisa bersikap tegas seperti itu. Jangankan untuk membentak, berbicara dengan Akbar saja ia masih butuh penyesuaian. “Kamu tahu apa, Ameera,” ucap Akbar tegas lalu melepaskan pegangan tangan Ameera di bisep kekarnya. Pria itu bangkit dari tempatnya, mengabaikan kekhawatiran Ameera lalu melangkah menuju panggung. Jantung Ameera berdegup kencang kala melihat kemungkinan satu hal yang lebih buruk akan terjadi sebentar lagi. Kakinya hendak melangkah mengikuti Akbar namun niatnya tertahan.“Lho, itu Captain Akbar mau apa naik ke atas panggung? Kan bukan dia pemenangnya?” bisik salah satu tamu yang berdiri di belakang Ameera. “Iya, jangan-jangan dia gak terima kalau dia kalah.” Bisikan demi bisikan terus berdengung di telinga Ameera. Begitu memekakkan indera pendengarnya. Andai ia bisa mematahkan segala stigma negatif yang saat ini menempel di diri Akbar, Ameera mungkin akan melakukannya.“Perhatian semuanya…”Lamunan Ameera t
Suasana pesta berubah semakin seru. Orang-orang berdansa di tengah ballroom diiringi dengan music jazz yang terdengar syahdu. Ameera berdiri di pinggir lantai dansa. Dengan sebelah tangan ia menggenggam sebuah gelas berisi mocktail.“Sepertinya kamu benar-benar menikmati pesta ini.” Sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakang mengagetkan Ameera. Ia menoleh dan mendapati Akbar sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah curiga. Entah apa yang mengisi pikiran pria itu Ameera tak ingin menebak-nebak.Peperangan batin dalam diri Ameera tak bisa lagi dibendung. Antara dirinya yang sedang menahan diri untuk tak terjerumus dalam pesona Akbar. Semakin intens dirinya berinteraksi dengan pria itu, semakin sering juga batinnya disiksa oleh perasaan tak terjamah oleh nalar Ameera. “Bukankah kamu memintaku untuk bersikap seperti kekasih sungguhanmu?” balas Ameera datar. Pandangannya tak sedikitpun bergeser pada sosok di sampingnya. Sebaliknya, Akbar justru menatap lekat Ameera dari u
Selamat pagi, bu Ameera.” “Selamat pagi, sus.” Sapaan demi sapaan dibalas oleh Ameera dengan ramah. Pagi ini, rasanya lebih menyenangkan dari pada hari-hari sebelumnya. Semalam, Ameera memutuskan untuk melepas penat dengan berendam. Baru saja Ameera hendak membuka pintu ruang praktiknya, ia dikejutkan dengan sebuah tangan yang kini berpangku pada punggung tangannya yang memegang kenop pintu. Pandangan Ameera beralih. Bak adegan lambat ia menolehkan kepalanya ke samping. “Senang pagi ini aku melihatmu begitu bahagia. Apakah aku bisa menjadi bagian dari kebahagiaanmu, Ibu Ameera?” Akbar menarik sudut bibirnya ke atas. Senyum licik ia tampilkan sebagai pengawal hari Ameera pagi ini. “Apa maumu?” ucap Ameera tegas dan lantang. Suaranya rendah namun penuh penekanan. “Jangan panik, sayangku. Bukankah kita masih berstatus sebagai pasangan kekasih?” balas Akbar. Aroma musk yang menguar dari tubuhnya mengingatkan Ameera pada momen dimana semalam ia menggandeng tangan kekar milik akbar
Ameera asyik menatap gelagat Akbar yang dikuasai oleh amarahnya sendiri. Pria itu mengacak-acak rambutnya geram. Wajah Akbar memerah bak kepiting rebus. Sadar dirinya sedang menjadi objek pengamatan, Akbar menatap Ameera tajam. “Apa yang kamu lihat? Senang kamu melihat aku dicampakkan oleh Valentine?” Akbar memaki. Jaraknya hanya beberapa meter dari Ameera namun pria itu tak segan untuk berteriak. Ameera hanya diam. Menatap lurus ke arah Akbar tanpa suara. Tak peduli betapa Akbar mencoba mengintimidasi Ameera dengan segala kekesalannya. Bisik tamu resto terdengar di telinga. Namun sepertinya hal itu tak membuat amarah Akbar surut seketika. Entah apakah pria ini sudah tidak lagi memiliki rasa malu atau memang ia tidak menganggap perilakunya sebagai sebuah kesalahan. Tanpa bicara sepatah katapun, Ameera membuka purse yang ia bawa lalu mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja.Ia bangkit, dan meraih tangan Akbar menyeret pria itu keluar dari kerumunan orang-orang ya
Sudah satu minggu lamanya Ameera menjalani hidup seperti sedia kala. Waktu satu bulan ke belakang ini Ameera habiskan dengan kesibukan yang membuatnya seolah tak mampu lagi mengingat Akbar. Pria itu, pergi begitu saja semenjak perdebatan mereka terakhir kali. Hingga detik ini, Ameera tak lagi mendapatkan kabar atau bertemu dengannya sekalipun. “Aku dengar Akbar sibuk belakangan ini,” kata Vira. Ameera seringkali bertanya-tanya apakah yang membuat sang sahabat yang begitu jeli akan semua informasi tentang Akbar.“Aku pikir selain seorang dokter, kamu juga seorang detektif handal, Vira.” Ucapan Ameera mengundang gelak tawa dari sahabatnya. Vira menutup mulutnya dengan sebelah tangan sambil menahan tawa.“Kamu bisa saja, Ameera. Aku hanya membantumu memberikan sedikit informasi yang mungkin saja bisa memberi sedikit petunjuk. Aku tahu kamu galau tanpanya, hahaha.” Lagi, tawa Vira kembali terdengar.Mendengar itu, gerakan tangan Ameera yang sedang menulis terhenti. Vira seolah bisa menj
Sepanjang perjalanan Ameera menekuk wajahnya masam. Sesampainya di rumah juga ia tidak menggubris sapaan sang asisten rumah tangga yang menyambut kedatangannya. Di kamar, ia juga berjalan mondar-mandir mencoba menenangkan diri tapi segala pikiran buruk mulai berkecamuk di dalam dadanya. “Bagaimana aku bisa membawa Akbar datang ke rumah baru mama, untuk saling berkomunikasi saja aku tidak pernah,” gumamnya gelisah sambil menggigit kuku-kukunya yang panjang. Sebuah kebiasaan buruk Ameera kala ia tidak mampu lagi menahan diri. Di tengah kebingungannya, terlintas sebuah ide di benak Ameera. Ia meraih ponselnya dan mencari kontak sang sahabat. Tanpa berpikir lama, Ameera menekan ikon hijau di layar ponselnya.“Halo, Vira, aku butuh bantuanmu,” ucap Ameera pada sang sahabat. Terdengar panik sekaligus penuh tuntutan. Setengah jam berlalu, Ameera duduk dengan perasaan gelisah yang menjalar di sekujur nadinya. Beberapa kali ia melihat ke arah pintu masuk kafe bernuansa vintage ini. Seseor
Dibalik dress warna champagne dengan butiran batu safir yang membalut setiap lekukan tubuh Ameera. Sambil memupuk kepercayaan diri yang tak kunjung meninggi, Ameera melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Suasana rumah sepi. Padahal hari ini adalah akhir pekan yang rencananya akan Ameera habiskan dengan beristirahat. Dress bergaya span selutut itu tak biasanya Ameera pilih dalam kondisi apapun. Namun, Vira memaksanya untuk memilih gaun itu khusus acara malam ini. Dengan wajah yang sudah dipoles riasan yang elegan, seharusnya bisa membangkitkan kepercayaan diri Ameera sekarang. Namun, hal itu jangankan bisa dirasakan Ameera, yang ada hanyalah kegelisahan yang terus bergelora di dalam dada.‘Bagaimana jika rencana yang sudah ia dan Vira buat gagal?’‘Bagaimana jika Ameera kehilangan karir impiannya sebagai seorang psikolog handal?’‘Bagaimana jika Akbar justru tak mau membantunya kali ini?’ Sungguh, isi pikiran Ameera tidak pernah jauh dari hal-hal negatif yang bersumber dari ketakut
Baik Ameera, mamanya, juga Akbar kompak menoleh kala suara panggilan yang tertuju pada mama Ameera itu digaungkan. Ameera tak mengenal sosok wanita yang kini berjalan ke arah mereka. Kerutan di dahi Ameera sudah cukup menunjukkan dirinya tak bisa menebak bahkan mengingat wanita ini.Di usia wanita yang Ameera perkirakan sama dengan usia mamanya, Ameera hanya bisa berasumsi wanita dengan dress merah marun itu adalah kerabat mamanya. Wajah sumringah tante-tante itu begitu manis. Pesonanya semada muda seolah tak pernah luntur karena selalu dirawat dengan baik. “Ya ampun, stefanie?!” pekik Mila—mama Ameera. Wanita itu bergegas meninggalkan Ameera dan Akbar yang masih mematung di tempatnya. “Stefanie, akhirnya kita bertemu lagi. Aku rindu sekali sama kamu. Bagaimana kehidupanmu di Jerman?” ucap Mila seraya memeluk erat sahabat lamanya. Ameera memandang interaksi yang mirip dengan dirinya dan Vira dulu. Sekian lama berpisah dan tepat saat mereka kembali bertemu lagi membuat Ameera tengge