Share

Mencoba Bangkit

"Apa? Kamu sama Abimanyu putus, karena masalah pendidikan kamu yang hanya sampai SMA?" pekik Siska, sahabat baikku, setelah aku selesai bercerita.

Hari ini, di sebuah taman kecil di pinggiran kota, aku memang menemuinya untuk curhat.

Aku tak tahu harus merespons apa, selain menunduk sambil mengangguk.

"Kurang ajar sekali keluarga itu! Mentang-mentang mereka kaya, seenaknya mereka buang kamu? Padahal, mereka menjadikan kamu pesuruh mereka,” ucapnya membara, “Apa kata aku, Ra?! Keluarga mereka itu cuma manfaatin kamu ...."

"Kupikir mereka hanya mengujiku selama ini, memberiku begitu banyak kerjaan, dan selalu meminta tenagaku semau mereka. Tapi, aku nggak nyangka, mereka sebenarnya tidak suka padaku."

Siska tampak mengepalkan tangannya. Nampak binar amarah terlihat di matanya.

"Brengsek! Seenaknya saja mereka menginjak harga diri kamu, Ra?! Aku nggak rela jika kamu diginikan!” ucapnya dengan nada tinggi.

Sahabatku itu bahkan tersenggal menahan emosi.

Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Kamu punya keahlian dalam mengolah masakan, Ra. Bagaimana kalau kamu buka kedai makanan saja? Kata kamu, kamu ada tabungan, kan? Biar aku bantu tambahin, aku yakin kamu akan sukses, Ra ...."

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala.

Memang, niatanku membuka usaha ada, tapi tak langsung sebesar itu.

Melihat responsku, Siska seolah tahu jawabanku. Perempuan itu tiba-tiba memegang bahuku. "Ra, modal nekat saja! Aku pasti akan support kamu. Jika dananya masih kurang, aku bakal bantu nambahin. Mungkin tidak seberapa, tapi aku berharap itu bisa bantu kamu.”

“Yang penting, kamu bersungguh-sungguh! Ini tentang harga diri, Ra. Mereka nggak bisa di maafkan," lirih Siska membuatku menghela napas berat.

"Aku akan pikirkan lagi, Sis. Aku masih dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja. Jadi, aku takut malah nggak fokus dan gagal."

"Jadikan hinaan mereka, motivasi kamu untuk maju, Ra," nasehat temanku itu.

Aku mengangguk.

"Jujur, aku bukan hanya sakit hati dengan perpisahan ini, Siska. Tapi, aku sakit hati dengan hinaan mereka. Jika mereka menolakku dari awal, mungkin rasanya tidak sesakit ini. Tidak kusangka, rupanya aku menjadi bodoh selama hitungan tahun, memalukan sekali rasanya, Sis."

"Kamu bukannya bodoh, Ra. Tapi, kamu terlalu baik dan polos–menganggap semua orang juga baik,” bela Siska, “faktanya, tidak semua bisa dianggap baik."

"Gini aja, lebih baik kamu fokus menyusun kembali impian kamu. Kalau gak buka kafe, warung kecil-kecilan dulu, juga gak apa- apa. Aku yakin deh, kamu pasti bisa maju dan buat keluarga Abimanyu menyesal melepaskan wanita sehebat kamu ...."

Siska berbicara dengan semangat yang kubalas dengan senyuman kecut.

"Hebat dalam menjadi orang bodoh, begitu?"

Siska terkekeh.

"Ah tidak apa- apa, jika dulu terasa bodoh, sekarang harusnya sudah pinter lagi, kan?"

*****

Meski bercanda, aku akhirnya memutuskan bersama Siska untuk membuka cafe kecil. 

Bersama sahabatku itu, aku mendiskusikan semuanya, seperti berapa anggaran yang akan kami butuhkan untuk membuka usaha itu.

Setelah rampung berdiskusi, aku memutuskan untuk pulang ke rumah.

Besok, aku masih harus bekerja lagi. 

Memang kebetulan hari ini, aku dan Siska, sama-sama libur bekerja.

Jadi, hampir setengah hari, kami habiskan waktu bersama.

"Ayah pasti bahagia, mendengar berita ini, Nak. Kamu itu adalah anak Mama paket lengkap, cantik, pintar, dan berpendidikan tinggi. Eh … punya calon suami anak dari konglomerat lagi, Mama bangga sama kamu." 

Ucapan Mama Lida terdengar saat aku mendekati ruang keluarga.

Bukan bermaksud menguping, tapi suara mereka memang kencang.

Namun, ada satu pernyataan yang membuatku tanpa sadar mengernyit.

‘Anak konglomerat, siapa?’ batinku.

Sejurus kemudian, aku melewati ruang keluarga.

Entah mengapa, tawa renyah penuh kebahagian yang terpancar di wajah mereka–menghilang seketika.

"Keluyuran terus seharian, kirain bunuh diri," ujar Mama Lida, menatapku dengan dingin.

"Aku tidak sebodoh itu, Ma." Aku pun menyahut dengan sikap yang tenang.

"Kan mana tahu? Lagian, Mouren sudah dilamar orang duluan. Kamu jangan berkecil hati jika dilangkahi adik kamu, ya!" ejeknya.

"Tidak masalah, bukan adik kandungku juga," jawabku sambil berjalan–meninggalkan melanjutkan langkah menaiki anak tangga.

"Dasar nggak sopan," gerutu Mama Lida.

Meski mendengarnya, aku tidak peduli.

Jujur, aku tidak suka jika dibanding- bandingkan dengan Mouren.

Dengan tenang, aku memasuki kamarku. Namun anehnya, kamarku tampak berantakan.

Mataku pun membulat sempurna ketika melihat lemariku–yang berisi kotak penyimpanan buku tabungan dan ATM–terbuka lebar.

"Astagfirullah, siapa yang mengacak- acak kamarku?" pekikku.

Aku panik. Terlebih, ketika melihat isi kotak tabungan itu terbuka. Buku tabungan, ATM, serta secarik kertas berisi sandi ATM-ku lenyap.

Orang mungkin menganggapku bodoh, tetapi aku melakukan itu dengan harapan, aku bisa mengingatnya karena aku jarang menggunakannya.

“Tidak mungkin ada maling yang bisa masuk ke rumah ini, kecuali pelakunya orang rumah sendiri,” gumamku kesal.

Segera, aku keluar kamar dan berniat mencari Mama Lida dan Mouren.

Namun, saat melewati kamar Mama Lida, terdengar suara mereka ada di dalam.

Aku mengetuk kuat daun pintunya. Hingga ketukan nya terdengar begitu keras, membuat Mama Lida begitu marah, ketika membuka pintu kamarnya.

"Kenapa kamu?" bentaknya dengan sengit ketika melihat wajahku yang begitu marah.

Tak kupedulikan ucapan wanita itu dan menerobos masuk ke dalam kamarnya.

Diriku tiba-tiba terhenyak begitu melihat belanjaan yang begitu banyak di atas kasurnya.

Dan aku melihat dengan jelas, buku tabungan dan ATM-ku ada di atas meja riasnya.

"Nggak sopan sekali kamu, Nara!" bentak Mama Lida.

"Kalian yang tidak sopan!" teriakku sambil berjalan ke arah meja riasnya.

"Siapa yang mengambil semua ini dari lemariku?" teriakku sambil mengangkat tabungan yang terlihat jelas di halaman utamanya namaku.

"Saya yang ambil, kenapa? Kamu cocok sekali menjadi orang bodoh, ya? Salahmu sendiri menyimpan tabungan sama kata sandi ATM-nya, luar biasa cerdas," kekeh Mama Lida, mengolok-olok kelalaianku.

"Haha, maklumi saja, Ma. Rugi sekali, jika keluarga Abimanyu mengambil dia sebagai menantu, bodoh dan ceroboh ...." Mouren yang biasa bersikap sok lembut, kini bahkan berani mengejekku di depan Ibu kandungnya.

Sepertinya, dia sudah merasa di atas angin saat ini.

Tanganku mengepal kencang. Rasanya, ingin sekali kupukuli wajah mereka.

"Kembalikan uangku! Kalian tidak berhak menggunakannya. Ini uang hasil kerja kerasku selama ini."

"Uangnya sudah habis! Mama belanja banyak, buat menyambut kedatangan keluarga calon suami Mouren besok. Kamu nggak usah ribut- ribut lagi, sana keluar!!"

Aku tercengang, mendengar ucapannya.

"Kenapa harus pake uangku? Memangnya, wanita yang berpendidikan tinggi ini nggak punya otak buat mikir nyari uang? Sampai- sampai menyambut calon suaminya sendiri saja, harus pake uang orang?" 

"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara teriakkan Ayah tiba-tiba terdengar.

Lelaki paruh itu tampak menuju ke arah kami berdiri.

Hingga, secara ajaib, Mouren keluar dari kamar dengan wajah basah bersimbah air mata.

"Ayah, Kakak menghina aku dan Mamah. Kakak juga bilang aku dan Mamah nggak punya otak," adu Mouren, membuatku benar-benar tercengang.

Ia bahkan langsung memeluk Ayah sambil menangis, seakan- akan aku melukai hatinya.

"Nara! Kenapa kamu semakin tidak sopan begini? Apakah karena pendidikan kamu yang rendahan itu, membuat kamu tidak punya sopan santun lagi?" bentak Ayah, menatap tajam ke arahku.

"Tapi, Ayah. Tabungan aku diambil Mama Lida," jawabku dengan mata berkaca-kaca.

Ya, Tuhan. Kenapa Ayah selalu menghina pendidikanku? Seharusnya, dia malu karena tidak mampu membiayaiku, bukannya terus menghinaku.

"Ayah, kan besok Mouren mau dilamar anak orang kaya. Wajar, jika Mama pake tabungan Nara? Dia kan juga punya kewajiban bantu adeknya," jawab Mama Lida.

Aku menghela napas kasar.

Sungguh tidak habis pikir dengan pemikiran itu. Wajib dari mana?

"Tapi itu maling namanya jika ngambil tabungan orang tanpa izin. Lagian, kenapa aku punya kewajiban membantu Mouren?” balasku, “dia bukan adik kandungku, bukan tanggung jawabku. Aku menanggung jawab diriku sendiri, kalian tidak berhak memakai uang tabunganku seenaknya ...."

"Nara!!" Ayah berteriak dan langsung menghampiriku ke dalam kamar dengan sengit. "Semakin kurang ajar saja ucapanmu itu!!" 

Plak!

Dilayangkan tamparan ke pipiku dengan keras, hingga aku terhuyung dan jatuh ke lantai.

Rasanya sakit luar biasa, hingga telingaku berdengung dan pipiku seakan mati rasa.

"Anak tidak tahu diuntung! Lebih baik, kamu pergi dari rumah ini," lanjutnya.

"Ayah, jangan usir Kakak! Aku nggak mau, dihari bahagiaku, Kakak tidak ada di rumah," pekik Mouren, sembari menatap Ayah dengan tatapan memohon.

Cih! Ingin sekali aku meledak rasanya melihat sandiwara itu.

"Lihat adik kamu! Dia begitu baik, dan lembut. Tega-teganya kamu menyakiti hatinya dengan segala ucapan kamu yang begitu kasar," ujar Ayah, menatapku masih dengan amarahnya.

“Kenapa kamu selalu membuat kecewa, hah?”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status